Pemimpin “Berhati” Rakyat (Kepada Bupati Tote Badeoda dan Wabup Domi Mere
“Menciptakan karya-karya besar/membutuhkan seniman yang bijak. Namun bila tidak karib dengan surga/sia-sia semua seni dan bijak”
Oleh : Steph Tupeng Witin
WARTA-NUSANTARA.COM-OPINI — PENGGALAN puisi di atas ditulis Pietro Metastasio, nama samaran dari Pietro Antonio Domenico Trapassi, seorang penyair dan pustakawan Italia. Puisi itu dikutip Bernardus dari Clairvaux, orang kudus dan pujangga Gereja (1090-1153) dalam percakapan intelektual dengan Albino Luciani yang kemudian menjadi Paus Yohanes Paulus I yang hanya memangku jabatan pimpinan tertinggi Gereja Katolik selama 34 hari.
Percakapan itu terdokumentasi dalam buku “Kepada Yang Terhormat” yang diterjemahkan Pater Alex Beding SVD (Nusa Indah, 1982).
Menurut Santo Bernardus, pemimpin yang bijak adalah seniman yang menciptakan karya-karya besar. Keputusan yang bijaksana hanya mungkin diambil oleh pemimpin yang disebut ”seniman” yang beriman.
Semakin besar tanggung jawab, semakin besar pula dibutuhkan bantuan Tuhan. Pemimpin hanya manusia biasa nan rapuh. Ibarat periuk tanah yang mudah retak. Maka tidak ada alasan secuil pun untuk bertindak arogan dan berwajah fasis. Baik dalam institusi agama (Gereja) maupun birokrasi.
Kita mulai dari Ende. Sebuah kebijaksanaan yang menyembul dari kaki Gunung Meja. Bupati Yoseph “Tote” Badeoda dan Wakil Bupati Dominikus Mere membuka tabir sejarah peradaban birokrasi Ende. Kita mesti jujur mengakui bahwa pemimpin periode sebelumnya berandil menempatkan Ende dalam sejarah peradaban birokrasi yang kelam, bahkan gulita.
Buku yang saya tulis “Politik Dusta di Bilik Kuasa” (JPIC OFM, 2019) merekam dengan cukup detail berbagai langkah dan kebijakan birokrasi amburadul, bahkan ugal-ugalan.
Buku yang didedikasikan untuk Kabupaten Ende itu dengan lugas menguliti karakter kepemimpinan yang haus kuasa, lapar proyek, arogansi kuasa, wajah fasis, politik balas dendam dan kebijakan kontroversial yang membuka ruang korupsi.
Fakta ini mesti kita ulang tanpa henti untuk sebuah kesadaran baru meski pasti menyakitkan. Saya tahu, pasti banyak orang tidak suka, marah, termasuk yang ada di balik dinding-dinding tebal.
Lebih baik membangun Ende dengan rasa sakit masa lalu yang dibuka dengan jujur ketimbang membangun sebuah masa depan berbasis slogan kosong di atas bangkai busuk masa lalu yang dikubur tergesa-gesa.
Sudah saatnya Ende tidak lagi menjadi sekadar area timbunan masalah tanpa solusi. Kita mesti bilang ini dengan jujur karena wajah-wajah masa lalu yang berandil sangat besar dalam pembusukan birokrasi, legislatif bahkan yudikatif masih bersarang, baik di birokrasi, tetapi terutama di DPRD.
Pemimpin Baru Ende, Tote Badeoda-Domi Mere merupakan perlawanan kreatif-bijaksana atas fakta kelam itu. Keduanya tidak hanya sekadar menjadi simbol perlawanan tapi juga menghadirkan harapan baru melalui penataan birokrasi sebagai antitese birokrasi Ende periode lama yang ugal-ugalan.
Konflik gagasan dengan anggota DPRD Ende perihal dana Pokir merupakan sebuah perlawanan terhadap dominasi segelintir orang yang bersembunyi di balik aturan dan regulasi seputar Pokir yang pasti mereka hafal karena memang sesuai dengan hasratnya.
Maka ketika bupati dan wakil bupati mengajak mereka keluar dari zona nyaman kuasa itu, untuk memuliakan rakyat, kursi DPRD pasti dilanda tsunami politik. Publik kritis mesti mengingatkan DPRD bahwa regulasi itu bukan barang sakral. Sepuluh perintah Allah saja mudah dilanggar dengan sederet alasan.
Regulasi buatan manusia pasti sarat kepentingan karena diproduksi oleh sesama mereka yang bermuatan politik kepentingan. Orang bijak selalu menempatkan regulasi di atas konteks riil. Bukan mengabaikan realitas hanya untuk melayani hasrat yang dibalut regulasi.
Perlawanan birokratif ini merupakan upaya intelektual untuk membawa pulang hati nurani anggota DPRD agar tidak melupakan rakyat yang hidup miskin dan sengsara. Perlawanan itu merupakan ajakan kemanusiaan bagi anggota DPRD agar segera pulang ke hati nurani rakyat yang menjadi substansi keberadaannya.
Penyair Wiji Thukul berkata, saat rakyat bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri, penguasa (DPRD) harus waspada dan belajar mendengar. Bila rakyat berani mengeluh, itu artinya sudah gawat.
Gerakan perlawanan rakyat di Indonesia selalu bermula dari bisikan, keluhan dan teriakan kemarahan rakyat yang perutnya lapar menyaksikan anggota DPRD sibuk memperbesar perutnya sendiri. Rupanya orang-orang ini setelah memakai dasi kehilangan urat malu saat memamerkan bongkahan perutnya yang mendadak menggelembung.
Rakyat punya kekuatan sendiri untuk menyingkirkan orang-orang lupa daratan ini menjadi manusia gembel yang mengumpulkan kulit kemiri di pinggir jalan umum.
Kita dukung duet Tote Badeoda-Domi Mere membuka horizon baru birokrasi Ende. Sebuah kebijakan tanpa campur tangan keluarga, tim sukses, legislator, kontraktor dan politik balas dendam.
Kekuasaan masa lalu berjalan ugal-ugalan karena campur tangan keluarga, tim sukses, legislator (wajah-wajah lama itu masih ada di DPRD) dan politik balas dendam melalui penempatan ASN yang memecah keutuhan hidup keluarga.
Duet ini mesti menjadi pemersatu bagi seluruh komponen Kabupaten Ende agar berpartisipasi dalam pembangunan. Tiap orang menyumbang bagiannya (Latin:pars) demi Ende sare Lio pawe.
Ungkapan ini mesti dibumikan tetap dengan sikap kritis sebagai tanda nurani tetap terjaga. Hanya orang bijaksana yang mampu mengemban kepercayaan rakyat sebagai tanda orang beriman.
Pemimpin bijaksana selalu dikendalikan oleh hati nurani rakyat. Segala masukan dari segenap komponen khususnya dari institusi agama mesti menjadi pertimbangan matang untuk melahirkan sebuah keputusan bijaksana.
Rakyat mesti selalu dimuliakan. Tidak hanya dalam pidato-pidato yang ditulis orang lain. Tapi melalui bahasa sederhana ala kampung tapi berdaya menembus dinding nurani kemanusiaan rakyat kecil.
Bahasa rakyat itu mesti dijelmakan dalam tindakan konkret. Jalan raya yang baik, air minum bersih tersedia, listrik yang tidak pada terus menerus (bukan perusahaan lilin negara), pasar rakyat yang bersih, pelayanan rumah sakit yang humanis, lingkungan hidup yang utuh terjaga (dulu Gunung Meja mau dijadikan taman Bougenvile) dan sebagainya.
Kita berharap agar duet Tote Badeoda-Domi Mere menghadirkan harapan baru bagi Ende. Pemerintahan dijalankan berbasis akal sehat yang dituntun hati nurani. Keduanya mesti menjadi “seniman bijak” yang melahirkan karya besar karena “berkarib dengan surga.” ***
Penulis, Jurnalis, Pendiri Oring Literasi Lembata