๐บ๐ฌ๐ณ๐จ๐ณ๐ผ ๐ฑ๐จ๐ซ๐ฐ โ๐น๐ผ๐ด๐จ๐ฏโ
(๐ด๐๐๐ ๐ฒ๐๐๐๐๐๐๐ ๐ป๐๐๐ ๐ป๐๐๐๐)
Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM–ย Waktu masih kecil ada sebuah foto yang sangat akrab. Foto hitam putih dipotret oleh alm bp Yosep Wua Henakin. Ada gambar bp Pius Kedang Tolok dan mama Maria Gelole Henakin. Di dalam foto itu juga ada mama/kaka: ๐ฒ๐จ๐ป๐จ๐น๐ฐ๐ต๐จ ๐ป๐ผ๐ป๐ถ ๐ป๐ถ๐ณ๐ถ๐ฒ. Dia masih gadis, tinggi, putih, rambut panjang. Ia bergabung dengan keluarga saudaranya yang baru menikah. Karena belum ada anak, mereka tiga tinggal serumah.
Di foto itu dan sepanjang hidup kami, sudah dimulai sapaan Ina untuk istri dari saudaranya. Sebuah sapaan yang begitu akrab, seakan yang dipanggil adalah mamanya. Ia hanya istri saudaranya, pendatang baru di rumah. Tetapi dalam budaya Atadei, panggilan itu agar yang baru masuk dalam lingkaran keluarga (istri saudara) diperlakukan sebagia ibu dan saudari-saudari segera menerima karena disapa โinaโ (saya baru mulai menulis tetapi air mata sudah lebih banyak jatuh dari kata-kata yang tertulis).
Pengalaman masa kecil segera berakhir karena ia menikah dan berpindah ke Lewoleba mengikuti suami (Bpk Maksimus Laga Watun). Saat ke Lewoleba, tidak ada rumah lain yang kami cari: Rumah di mana ada kaka Katarina. Di saat liburan, kami semua keponakan dari Lerek berlomba-lomba mau libur ke Lewoleba tanpa tahu apa yang akan dirasakan oleh tuan rumah. Tentu saja merepotkan dan membingungkan tetapi tidak pernah merasa ditolak. Di meja makan selalu ada makanan. Kadang karena terlalu banyak, nasi dicampur dengan singkong agar semua kebagian. Ikan diperoleh dari hasil suluh suami atau mencari siput di Awololong.
Suatu saat, dia meminta saya membeli kelapa agar bisa diparut dengan singkong. Saya pergi membeli kelapa muda yang langsung dipetik dari pohonnya. Dia sedikit kecewa tetapi tidak marah. Sikap suka mengampuni yang membuat saya sangat rasakan, kalau orang lain buat salah, jangan terlalu marah-marah (kebiasaan yang kadang masih saya lakukan tidak mengikuti teladan mm Katarina).
Saya tidak bisa hitung berapa belasan malah puluhan orang yang tinggal bersama mereka di Walangkeam. Rumah itu tidak pernah kosong karena meski kemudian mereka pindah ke Pamakayo โ Solor, rumah itu selalu diisi oleh anak SMA, tidak saja yang punya hubungan kelaurga tetapi siapapun. Rumah itu adalah rumah mereka. Saya ingat pak Sinun Piter Manuk. Di situ ada Lukas, Philipus, Agus, Alex, dan siapa lagi.
Saat di Pamakayo, saya rasa itulah iramanya. Saya tidak pernah ke Pamakayo kunjung mereka. Saat dari Waikodo dengan KM Theresia, ia hanya berdiri di dermaga Pamayako dan dia mengajak ke rumah tetapi saya sudah sangat rindu ke kampung dan lanjut terus. Dari Pamakayo ketika ke Kalikasa, rumanya selalu dipenuhi pelajar SMP yang nginap di rumah: Ada yang dari Karangora, Waipei tinggal bersama mereka. Ada juga pegawai atau siapapun yang tidak punya rumah diminta tinggal bersama. Herannya, meski begitu banyak orang, selalu saja ada makanan yang tidak tahu diperoleh dari mana. Hanya mamma (kami sapanya kaka) Katarina tahu dari mana ia adatangkan.
Di Lerek, ia menemani suami melewati beberapa tahun hingga SMP Tanjung Kelapa Lerek menjadi SMP Negeri 2 Atadei. Ada selalu orang tinggal bersamanya dari kampung lain: Lewokurang, Lewokebingi, Bauraja dan siapa saja. Mereka selalu bersamanya di dapur dan dilatih kerja dalam keakraban dan kepolosan. Mereka bukan dari kelaurga dekat tetapi siapa saja dianggap keluarga dekat.
Di masa tua, ia pindah menempati rumah di Lewoleba. Seharusnya ia bisa istirahat menikmati masa tuanya. Tetapi ternyata ada kerja berat menanti. Panti Asuhan yang didirikan oleh alm Br Dami Watun, SVD butuh orang yang bisa merawatnya. Sebuah kerja yang cukup berat karena mm Katarina tidak sehat. Tetapi semangat mengabdi tidak membuatnya mundur. Dengan ojek ia pergi pulang ke Panti untuk menjaga anak dengan 1001 masalah.
Saat liburan saya berbincang melihat dapur yang penuh beras. โIni beras siapa kaka?โ, ia jawab bahwa itu beras untuk anak panti. Beras harus disimpan di rumah agar bisa diawasi dan baru diantar tiap hari seesuai kebutuhan. Itulah aktivitasnya dalam beberapa tahun terakhir dan bisa saya rasakan, betapa anak panti menangis mendengar kepergiannya di Selasa dini hari 16 September 2025, pkl 02.30.
๐น๐๐๐๐ ๐ฉ๐๐๐
Seluruh perjalanan hidup dan kasih, tidak ada kata yang paling mengena selain โrumahโ sebagai suasana dan bangunan yang hadir bersamaan di rumahnya. Ia bersama suaminya, kk Max Laga Watun selalu berjalan menjadikan hidupnya sebuah rumah, tempat semua orang bisa berlindung meski hanya sebentar.
Hari ini, kata-kata ini menjadi lebih kuat karena Yesus sendiri berkata: ๐๐ข ๐ซ๐ฎ๐ฆ๐๐ก ๐๐๐ฉ๐-๐๐ฎ ๐๐๐ง๐ฒ๐๐ค ๐ญ๐๐ฆ๐ฉ๐๐ญ ๐ญ๐ข๐ง๐ ๐ ๐๐ฅ. ๐๐ข๐ค๐ ๐ญ๐ข๐๐๐ค ๐๐๐ฆ๐ข๐ค๐ข๐๐ง, ๐ญ๐๐ง๐ญ๐ฎ ๐๐ค๐ฎ ๐ฆ๐๐ง๐ ๐๐ญ๐๐ค๐๐ง๐ง๐ฒ๐ ๐ค๐๐ฉ๐๐๐๐ฆ๐ฎ. ๐๐๐๐๐ ๐๐ค๐ฎ ๐ฉ๐๐ซ๐ ๐ข ๐ค๐ ๐ฌ๐ข๐ญ๐ฎ ๐ฎ๐ง๐ญ๐ฎ๐ค ๐ฆ๐๐ง๐ฒ๐๐๐ข๐๐ค๐๐ง ๐ญ๐๐ฆ๐ฉ๐๐ญ ๐๐๐ ๐ข๐ฆ๐ฎ (๐๐จ๐ก๐๐ง๐๐ฌ ๐๐: ๐).
Inilah ayat suci yang ketika saya bertemu dengan ekeseget paling hebat, Yosef Rieger SVD, ia ingatkan bahwa kalau ada orang meninggal maka inilah ayat favorit.
Bagi orang lain, bisa saja ayat ini โdipaksa-paksakanโ tetapi bagi Mama Katarina adalah ayat yang dia hidupi. Ia jadikan hidupnya sebagai rumah dan menjadikan rumahnya sebagai tempat bagi orang lain bisa hidup. Karenanya, siapapun yang datang ke rumahnya, pasti ia sambut dengan senyum.
Kasih menjadi rumah, membuat anak-anaknya melewati hidupnya yang tidak lepas dari kasih ibunya sebagai rumah. Dari kelima anaknya, anak kembar Sr. Teti RVM (di Lembata setelah melewati pendidikan musik di Philipina) dan Sr Tati RVM (kini di Italia) membaktikan hidupnya sebagai rumah juga bagi banyak orang.
Saya kadang terusik untuk bertanya: dari mana ia peroleh kekuatan dan inspirasi jadi rumah? Dari mana ia peroleh semua kebijaksanaan itu? Sejauh saya tahu, karena sebagai perempuan (saja), ia tidak sempat bersekolah seperti saudara-saudaranya. Dalam istilah canda suaminya, ia hanyalah โbuta hurufโ, di mana manusia. Tetapi soal kebijaksanaan, ia melampau siapapun.
Di sinilah rahasianya. Ia tahu keterbatasan pendidikan tetapi tidak kalah dalam hidup karena selalu terbuka menjadikan hidupnya sebuah rumah. Di rumahnya tidak pernah ada kata tidak ada tempat tinggal, tetapi selalu ada tempat tinggal bagi siapapun.
Inilah teladan yang hampir tidak bisa dibandingkan. โKaka, selamat jalan. Terima kasih banyak untuk kesaksianmu sebagai rumah yang hidup. Siapkan tempat bagi kami yang lainโ. ***
(Robert Bala, Penulis buku MENGIRING KEMATIAN, 73 Renungan untuk Ibadat Kematian).