Rendahnya Peringkat HDI NTT dan Tantangan Pembangunan
Oleh : Dr. Ir. Karolus Karni Lando, MBA
WARTA-NUSANTARA.COM:-OPINI:– Membaca grafik Peringkat SDM 38 Provinsi di Indonesia berdasarkan Human Development Index (HDI) 2024, terlihat bahwa Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menempati posisi ke-35, atau peringkat keempat terendah setelah Papua, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.
Skor HDI NTT tercatat hanya 67,90, jauh tertinggal dibandingkan rata-rata nasional yang berada pada angka 74,39, dan makin kontras jika dibandingkan dengan provinsi maju seperti DKI Jakarta dengan skor 83,08 atau DI Yogyakarta 81,55.
Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan gambaran nyata keterbelakangan pembangunan sumber daya manusia di NTT.
“Jalan boleh rusak, listrik boleh padam, tapi jika manusia dibangun dengan pendidikan, kesehatan, dan kejujuran, maka masa depan NTT akan tetap bercahaya.” Dr.Ir. Karolus Karni lando, MBA
Rendahnya capaian HDI ini mencerminkan berbagai tantangan yang masih membelit NTT dalam tiga dimensi utama, yaitu pendidikan, kesehatan, dan standar hidup.
Di bidang pendidikan, akses ke sekolah menengah dan perguruan tinggi masih terbatas, terutama di pedesaan dan pulau-pulau kecil. Angka putus sekolah pada jenjang SMP hingga SMA masih cukup tinggi, sementara kualitas guru tidak merata karena lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar. Sekolah unggulan yang mampu mencetak lulusan berkualitas pun jumlahnya masih sangat minim.
Dalam aspek kesehatan, NTT masih menghadapi angka stunting yang tinggi dan termasuk salah satu yang terburuk di Indonesia. Akses masyarakat terhadap layanan kesehatan juga masih sulit, terutama di wilayah terpencil dan kepulauan. Rumah sakit dan puskesmas dengan tenaga medis memadai jumlahnya belum mencukupi, sementara permasalahan gizi buruk, sanitasi yang kurang layak, dan keterbatasan air bersih memperburuk kondisi kesehatan masyarakat.
Sementara itu, dari sisi ekonomi dan standar hidup, kemiskinan masih menjadi tantangan besar. Sebagian besar masyarakat bergantung pada pertanian subsisten yang produktivitasnya rendah. Infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, air bersih, dan internet belum merata, sehingga mobilitas ekonomi terhambat.
Investasi di sektor industri maupun pariwisata juga masih minim, padahal sektor ini berpotensi membuka lapangan kerja formal yang dapat mendongkrak perekonomian daerah. Faktor geografis sebagai daerah kepulauan turut memperbesar tantangan, sebab distribusi layanan publik menjadi tidak merata dan biaya pembangunan infrastruktur meningkat.
Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, pemerintah Provinsi NTT harus mengambil langkah strategis yang terukur. Di bidang pendidikan, akses harus diperluas melalui sekolah satelit dan pembelajaran digital, beasiswa diperbanyak bagi siswa miskin dan berprestasi, serta kualitas guru ditingkatkan melalui pelatihan intensif dan pemerataan distribusi.
Universitas lokal perlu diperkuat melalui kerja sama dengan lembaga nasional maupun internasional agar dapat melahirkan SDM yang kompetitif. Dalam bidang kesehatan, program penurunan stunting harus dijalankan secara terpadu, mulai dari pemberian gizi tambahan, edukasi ibu hamil, hingga penguatan posyandu. Layanan kesehatan perlu diperluas melalui puskesmas keliling dan telemedicine, serta didukung penyediaan air bersih, sanitasi, dan perumahan sehat.
Dari sisi ekonomi, modernisasi pertanian menjadi prioritas agar produktivitas meningkat, ditambah pengembangan sektor pariwisata berbasis alam dan budaya yang berkelanjutan. Pemberdayaan UMKM serta koperasi lokal harus diperkuat, diiringi dengan akses permodalan dan pelatihan kewirausahaan.
Infrastruktur pun perlu dibangun lebih merata, baik jalan, pelabuhan, bandara kecil, listrik, maupun internet, sehingga pulau-pulau di NTT saling terhubung. Pemanfaatan energi terbarukan seperti surya, angin, dan mikrohidro akan menjadi solusi bagi wilayah yang sulit dijangkau. Semua ini harus dijalankan dengan tata kelola yang transparan dan akuntabel, serta mengedepankan kolaborasi lintas sektor bersama universitas, NGO, lembaga internasional, dan swasta.
Jika ditarik pada skala lokal, Kabupaten Ende sebagai bagian dari NTT turut menyumbang pada rendahnya angka HDI provinsi karena masih menghadapi tantangan besar di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur.
Di sektor pendidikan, masalah utama adalah tingginya angka putus sekolah SMP dan SMA, minimnya fasilitas seperti laboratorium, perpustakaan, serta akses digital, sementara distribusi guru berpotensi belum merata karena terkonsentrasi di Kota Ende.
Untuk menjawab hal ini, pemerintah daerah perlu memperluas beasiswa bagi siswa miskin, menghadirkan akses pembelajaran digital hingga ke desa-desa, serta meningkatkan kualitas dan pemerataan guru melalui pelatihan berkelanjutan dan redistribusi ke wilayah terpencil.
Dalam konteks ini, kerja sama dengan sekolah-sekolah swasta seperti YASUKEL yang dikelola Keuskupan Agung Ende harus diperkuat, baik melalui program beasiswa bersama, pengembangan sekolah model, pelatihan guru terpadu, maupun kolaborasi riset dan pengabdian masyarakat, sehingga kualitas pendidikan di Ende dapat meningkat signifikan sekaligus berkontribusi nyata bagi perbaikan HDI NTT secara keseluruhan.
Dalam aspek kesehatan, stunting dan gizi buruk masih menjadi ancaman serius, ditambah keterbatasan fasilitas RSUD Ende dan puskesmas yang belum sebanding dengan kebutuhan masyarakat. Tenaga medis juga belum mencukupi, sementara air bersih masih menjadi masalah besar di banyak desa. Karena itu, program percepatan penurunan stunting, peningkatan kapasitas RSUD, penambahan puskesmas keliling, serta penyediaan air bersih dan sanitasi layak harus menjadi prioritas utama.
Di sisi lain, pemberantasan praktik korupsi di RSUD Ende mutlak diperlukan agar anggaran kesehatan benar-benar digunakan untuk kepentingan masyarakat, bukan dikorupsi oknum tertentu.
Pemerintah daerah juga harus segera melakukan pembenahan menyeluruh di PDAM Ende, mengingat pelayanan air bersih yang buruk akan terus memperparah masalah kesehatan. Dengan pengelolaan anggaran yang bersih, transparan, dan didukung oleh layanan publik yang profesional, kualitas kesehatan masyarakat Ende dapat meningkat secara nyata
Sektor ekonomi Ende pun menghadapi tantangan berat. Pertanian yang tidak produktif, akses pasar yang terbatas, serta harga hasil tani yang kerap jatuh menyebabkan kemiskinan sulit teratasi. Padahal sektor pariwisata dengan ikon Danau Kelimutu, budaya Lio, dan potensi pesisir pantai bisa menjadi mesin penggerak ekonomi jika dikelola optimal.
Pemerintah perlu membuat perencanaan matang dengan target jelas, termasuk Key Performance Indicator (KPI) kontribusi pariwisata terhadap PAD. Modernisasi pertanian, penguatan koperasi petani, pengembangan UMKM berbasis lokal seperti kopi Ende, tenun ikat, dan kuliner khas juga penting dilakukan untuk membuka peluang ekonomi baru.
Kondisi infrastruktur di Ende pun masih jauh dari memadai. Jalan antar-desa banyak yang rusak, akses listrik dan internet tidak merata, sementara air bersih tetap menjadi masalah yang berulang dari tahun ke tahun.
Jalan desa yang rusak bahkan sering menyulitkan masyarakat saat menghadapi kondisi darurat, di mana orang sakit yang membutuhkan pertolongan cepat harus dipikul beramai-ramai dari desa menuju jalan raya yang jaraknya cukup jauh.
Karena itu, pembangunan jalan yang menghubungkan desa-desa, program listrik desa, internet masuk desa, serta pemanfaatan energi terbarukan di daerah terpencil akan sangat membantu mempercepat mobilitas masyarakat sekaligus membuka peluang usaha baru.
Semua upaya ini tentu membutuhkan dukungan penuh dari kita semua bagi kepemimpinan Bupati Tote dan Domi Mere yang ingin menjadikan ENDE yang baru.
Harapan kita bersama adalah agar pemerintah tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik semata, tetapi juga memberi perhatian serius pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Anggaran daerah sepatutnya diarahkan terutama untuk pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Selain itu, pemerintah daerah perlu membangun kemitraan strategis dengan universitas seperti Universitas Flores, LSM, dan sektor swasta dalam program beasiswa, pelatihan keterampilan, serta layanan kesehatan, sehingga pembangunan yang dijalankan benar-benar berkelanjutan dan membawa manfaat nyata bagi seluruh masyarakat.
Untuk mewujudkan hal tersebut, seluruh stakeholder di Ende harus bersatu mendukung kepemimpinan Bupati Tote dan Domi Mere, dengan menjaga kerjasama yang harmonis antara pemerintah dan DPR agar tercipta sinergi kuat dalam melahirkan kebijakan yang berpihak pada rakyat.
Di sisi lain, dukungan kepada para wartawan juga sangat penting agar dapat menyampaikan komunikasi dan publikasi positif mengenai setiap kemajuan yang telah dicapai, sehingga masyarakat semakin percaya, optimis, dan tergerak untuk bersama-sama membangun Ende Baru yang lebih maju dan sejahtera.
Rendahnya HDI NTT dan sejatinya adalah peringatan bahwa pembangunan harus diarahkan kembali pada manusia.
Sebagai putra daerah dan pemerhati pembangunan, saya, Dr. Ir. Karolus Karni Lando, MBA, meyakini bahwa solusi untuk mengangkat NTT dan juga kabupaten di Flores, Lembata dan Alor tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur fisik, melainkan dengan menanamkan investasi besar pada pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
Dengan komitmen yang kuat, tata kelola yang transparan, serta kolaborasi lintas sektor, NTT dapat keluar dari jerat keterbelakangan dan menjadikan SDM sebagai pilar utama pembangunan berkelanjutan di masa depan. ***