𝑱𝑨𝑳𝑨𝑵 𝑺𝑼𝑳𝑰𝑻 (𝑻𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝑹𝒆𝒍𝒂𝒔𝒊 𝑹𝒆𝒕𝒂𝒌 𝑺𝒖𝒂𝒎𝒊-𝑰𝒔𝒕𝒓𝒊)
Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM-OPINI– Beberapa waktu lalu, dalam perjalan pulang, saya mengambil sebuah keputusan yang kemudian membuat saya menyesal. Di pertigaan jalan, saya berpikir sejenak, apakah harus mengikuti jalan biasaya saya lewati tetapi selalu macet (dan saat itu lagi macet), atau mengambil jalan yang kelihatan sepi?
Sekilas bukan sesuatu yang sulit untuk memilih. Logisnya orang harus memilih jalan yang lagi sepi ketimbang mengikuti jalan lurus yang lagi macet. Tetapi terhadap dua jalan ini ada perbedaan. Jalan yang sedang macet saya sudah ketahui alasannya. Pada jarak sekitar 100 meter ada sebuah sekolah yang tidak punya parkiran. Sekolah itu hanya ‘ambil manfaat’ jalan depan sekolah yang dibuat sedikit besar agar bisa memarkir kendaraan. Sudah dipastikan kalau melewati jalan yang lagi ramai tersebut, awalnya susah tetapi setelah melewati jarak 100 meter itu, jalan akan lancar.
Saat itu saya bingung: apakah mengikuti jalan yang macet atau ke jalan yang sepi? Namanya manusia, saya ambil jalan yang (kelihtan) sepi. Jalan ini saya ambil meski dengan was-waas karena saya tahu setelah 50 meter biasanya terjadi pertemuan berbagai jalur ke tiga sekolah yang saat sulit untuk tidak macet. Tetapi karena terkecoh, saya mengambil jalan ‘sepi’ itu.
Dan ternyata benar seperti yang diduga. Di bundaran tersebut sudah ditemui antrian panjang. Saya menyesal mengapa telah mengambil keputusan yang fatal. Saya menghindari kesulitan yang sebenarnya sudah saya ketahui dan memilih kemudahan yang sebenarnya masih tanda tanya.
Kisah ini saya sharingkan saat menjadi fasilitator dalam Bulan Kitab suci nasional pertemuan ketiga. Saya diminta untuk membawakan tema: 𝐏𝐞𝐦𝐛𝐚𝐫𝐮𝐚𝐧 𝐑𝐞𝐥𝐚𝐬𝐢 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚.
Tema sentral yang diangkat antara lain tentang perceraian. Kritik Meleakhi (2: 10 – 16) tentang 𝑘𝑎𝑢𝑚 𝑝𝑟𝑖𝑎 𝑏𝑒𝑟𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑖𝑘𝑎𝑛 𝑖𝑠𝑡𝑟𝑖𝑛𝑦𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑘𝑎ℎ 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑤𝑎𝑛𝑖𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑖𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑢𝑛𝑔𝑘𝑖𝑛 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑚𝑒𝑚𝑎ℎ𝑎𝑚𝑖, 𝑙𝑒𝑏𝑖ℎ 𝑚𝑢𝑑𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑛𝑡𝑖𝑘 𝑑𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑔𝑎𝑖𝑛𝑦𝑎. 𝑆𝑒𝑏𝑢𝑎ℎ 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑠𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑟. 𝐷𝑖 𝐼𝑛𝑑𝑜𝑛𝑒𝑠𝑖𝑎 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑘𝑖𝑟𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑠𝑒𝑡𝑖𝑎𝑝 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 400 𝑟𝑖𝑏𝑢 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑐𝑒𝑟𝑎𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑖𝑏𝑎𝑡 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑟𝑙𝑎𝑙𝑢 𝑠𝑒𝑑𝑖𝑘𝑖𝑡 𝑑𝑖𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑎𝑛𝑎𝑘-𝑎𝑛𝑎𝑘.
Ketika mendalami mengapa terjadi perceraian (yang diawali dengan pisah ranjang), maka pertanyaan yang muncul: mengapa sampai terjadi perceraian? Jawabannya mungkin mirip dengan apa yang saya ambil di awal cerita tadi. Denngan pasangan yang sudah lama melewati kehidupan berumah tangga sudah ditermukan banyak masalah dan persoalan. Ibarat jalan, sudah ada kemacetan yang dialami. Persoalan itu sudah diketahui.
Terhadap persoalan rumah tangga itu, orang mestinya hadapi karena sudah paham kalau hal itu diatasi maka selesai perkara. Demikian juga pengenalan suami terhadap istri dan sebaliknya. Masing-masing sudah ketahui ‘kelemahan dan kekurangan’. Ibarat jalan, sudah diketahui titik-titik macet yang bila diurai maka kemacetan atau kemampatan itu akan teratasi.
Sayangnya, kesulitan yang sudah diketahui kerap dihindari. Orang lalu memilih yang baru, yang bisa saja lebih muda dan cantik tetapi apakah hati dan perilakunya sudah diketahui seutuhnya? Atau di kemudian hari justru akan muncul persoalan? Lalu ketika menghadapi hal serupa apakah harus beralih lagi ke orang lain? Kalau demikian maka kapan terjadi pendewasaan dan kematangan diri?
Sebuah pepatah atau ungkapan berikut selalu sangat relevan: 𝑫𝒊𝒇𝒇𝒊𝒄𝒖𝒍𝒕 𝒓𝒐𝒂𝒅𝒔 𝒐𝒇𝒕𝒆𝒏 𝒍𝒆𝒂𝒅 𝒕𝒐 𝒃𝒆𝒂𝒖𝒕𝒊𝒇𝒖𝒍 𝒅𝒆𝒔𝒕𝒊𝒏𝒂𝒕𝒊𝒐𝒏𝒔 (𝑱𝒂𝒍𝒂𝒏-𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒖𝒍𝒊𝒕 𝒔𝒆𝒓𝒊𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒕𝒖𝒋𝒖𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉). Mengapa demikian? Karena kesulitan yang sudah diketahui akan dengan mudah menawarkan opsi solusi yang bila dicoba berulang-ulang akan mengantar kepada tujuan yang indah.
Malekahi tidak mengatakan bahwa istri yang bersama dari masa muda tidak ada kekurangan. Ia memiliki kekurangan seperti manusia pada umumnya. Yang patut dihargai adalah adalah bahwa dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu. Teman sekutu di usia muda dan bersamanya telah berjanji di harapan Allah sebagai sakti (Maleakhi 1: 14).
𝑴𝙚𝒏𝙮𝒖𝙨𝒖𝙣 𝙮𝒂𝙣𝒈 𝑹𝙚𝒕𝙖𝒌
Masih mungkinkan menyusun kembali yang retak? Apakah relasi yang sudah terpecah berkeping-keping masih dapat disusun kembali kepada bentuk sebelumnya? 𝑻𝒂𝒈𝒐𝒓 𝑷𝒂𝒏𝒈𝒂𝒓𝒊𝒃𝒖𝒂𝒏 dalam lagu 𝑱𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑺𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊 𝑻𝒊𝒈𝒂 𝒌𝒂𝒍𝒊, hanya memberi kesempatan dua kali. Artinya maaf sudah dibatasi. Apabila sampai ketiga kalinya maka ia tak mau:
𝑨𝒌𝒖 ‘𝒕𝒂𝒌 𝒎𝒂𝒖, 𝒂𝒌𝒖’𝒕𝒂𝒌 𝒎𝒂𝒖
𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒏𝒊 𝒂𝒅𝒂𝒏𝒚𝒂
𝑳𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒃𝒂𝒊𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒑𝒊𝒔𝒂𝒉
𝑫𝒂𝒓𝒊𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊 𝒉𝒂𝒕𝒊 𝒊𝒏𝒊 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒖𝒌𝒂
Tagor Pangaribuan memang memberikan batasan dalam lagunya. Ia menganalogkan cinta secara matematis dan meletakkannya dalam hitungan. Tetapi cinta yang tulus mestinya tidak memberi persyaratan seakan yang salah hanya pada satu pihak. Cinta adalah pertalian kasih antara cemara dan angin, sebuah kaitan sebab akibat yang saling berhubungan. Dengan demikian kegagalan hanya mungkin terjadi kalau tidak adanya respon yang tepat dari keduanya dalam menjaga hubungan itu.
Kembali kepada relasi keluarga yang retak. Ia masih bisa disusun kembali karena masing-masing, suami dan istri sudah mengetahui persoalannya. Keduanya bahkan sudah sangat paham. Ketika terjadi sesuatu secara sengaja atau tidak sengaja, sudah terbayang reaksi pada pihak lainnya. Inilah hal-hal kunci yang sudah diketahui.
Kalau sudah diketahui maka sebenarnya sangat mudah untuk mengatasinya yakni tidak melakukan hal-hal yang mudah menyulut api. Tidak ada pilihan lain selain menghindari atau memperbaiki sehingga tidak sampai terulang lagi.
Ini hal yang jauh lebih mudah dari memulai dengan pasangan baru. Pasangan itu bisa saja (seperti jalan di awal cerita itu) kelihatan ‘aman-aman saja’. Pasangan itu sudah pasti menampilkan yang lebih baik dengan paras yang jauh lebih indah. Tetapi apakah semuanya kemudian seperti penampilan awal? Kalau diingat, pasangan lama (yang mau ditinggalkan) di masa itu ketika masing-masing muda, pasti saja berpenampilan yang indah dan menarik. Tetapi dalam perjalanan dan waktu ditemukan keaslian diri yang kini menjadi masalah.
Dengan demikian mengambil yang baru, kelihatan lancar dan aman di awal tetapi kemudian menunjukkan keasliannya, maka akan butuh waktu lagi untuk menyelesaikannya atau harus cari yang baru lagi? Kalau cari ulang lagi maka kapan menghadirkan kematangan dan kedewasaan?
Robert Bala. Penulis buku 𝑴𝒆𝒎𝒂𝒌𝒏𝒂𝒊 𝑩𝒂𝒅𝒂𝒊 𝑲𝒆𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑𝒂𝒏 (𝑷𝒆𝒏𝒆𝒓𝒃𝒊𝒕 𝑲𝒂𝒏𝒊𝒔𝒊𝒖𝒔 𝒀𝒐𝒈𝒚𝒂𝒌𝒂𝒓𝒕𝒂).