• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Jumat, Oktober 3, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Opini

Hari Kesaktian Pancasila 2025 : Momentum Untuk Berefleksi dan Menegakkan Nilai Luhur Bangsa Indonesia

by WartaNusantara
Oktober 1, 2025
in Opini
0
Hari Kesaktian Pancasila 2025 : Momentum Untuk Berefleksi dan Menegakkan Nilai Luhur Bangsa Indonesia
0
SHARES
158
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Hari Kesaktian Pancasila 2025 : Momentum Untuk Berefleksi dan Menegakkan Nilai Luhur Bangsa Indonesia

 Oleh: Domitius Pau, S.Sos., M.A

Dosen Jurusan Ilmu Sosiatri  Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula Ende

WARTA-NUSANTARA.COM–  Dalam berbagai pidato Soekarno sering dikumandangkan kata bijak yang mengatakan bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini menemukan relevansinya, termasuk setiap kali kita memperingati Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober. Momen ini kita mengenang jasa pahlawan revolusi yang mengorbankan jiwa dan raga demi mempertahankan Pancasila. Namun, peringatan itu akan terasa hampa bila hanya dirayakan secara seremonial tanpa refleksi kritis atas kondisi bangsa hari ini.

RelatedPosts

Orang Gerindra Buat Beda, (Catatan Liburan di NTT 23/4 – 8/5 2022)

Pariwisata dan Peluang Kerja

Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan

Hermien Kleden dan Jurnalisme “Tutu Koda”

Load More

Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan warisan para pendiri bangsa yang ditetapkan sebagai fondasi persatuan sekaligus pedoman hidup bernegara. Akan tetapi, dalam realitas pembangunan dewasa ini, kita justru menyaksikan bagaimana nilai-nilai Pancasila semakin terpinggirkan. Korupsi yang merajalela, intoleransi, ketidakadilan hukum, hingga ketimpangan sosial adalah wujud nyata pengkhianatan terhadap sila Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan Sosial. Fenomena ini seharusnya menggugah pertanyaan kritis dari seluruh anak bangsa; apakah Pancasila masih benar-benar sakti?; ataukah kesaktian Pancasila kini sekadar simbol seremonial, sementara nilai-nilainya kian jauh dari praktik penyusunan kebijakan dan kehidupan sehari-hari? Tulisan sederhana ini coba menganggu pikiran kritis kita akan kesaktian Pancasila dengan bercermin pada realitas pembangunan dewasa ini, sekaligus mengingatkan bahwa segelintir anak bangsa ini pernah memiliki niat yang buruk untuk merubah dasar negara Pancasila dengan dasar yang lain demi kekuasaan.

Pancasila: Sakti di Tengah Badai Pengkhiatan

Setiap 1 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Momen ini merupakan saat yang tepat untuk melakukan refleksi historis, betapa saktinya Pancasila sebagai dasar negara walau melewati badai pengkhianatan. Latar lahirnya Hari Kesaktian Pancasila tak bisa dilepaskan dari tragedi nasional G30S PKI tahun 1965, sebuah peristiwa kelam yang hampir saja merobek persatuan bangsa.

G30S PKI apapun tafsir politik dan sejarah yang menyertainya merupakan tanda betapa ideologi Pancasila pernah diguncang hebat oleh hasrat politik dan birahi kekuasaan segelintir elit negeri ini. Para pahlawan revolusi yang gugur kala itu adalah bukti otentik bahwa untuk mempertahankan ideologi dan prinsip-prinsip dasar negara bukan sekadar retorika, melainkan perjuangan nyata yang dibayar dengan nyawa. Ada pelajaran penting yang patut kita garis bawahi dari sejarah kelam ini bahwa pengkhianatan itu bukan dari bangsa lain tetapi lahir dari anak bangsa sendiri. Elit politik yang haus kuasa dan kedudukan bahkan  tega mengkhianati Pancasila dan menyeret rakyat kecil menjadi korban dari tindakan yang tidak terpuji itu. Dari fakta ini kita belajar, rakyat selalu menjadi pihak yang paling menderita bila elit mulai menyingkirkan nurani kebangsaan demi kekuasaan.

Kini badai itu memang telah berlalu. Tetapi pengkhianatan terhadap Pancasila sama sekali belum usai. Di sinilah bangsa Indonesia dituntut untuk jujur mengatakan bahwa bentuk pengkhianatan hari ini tidak lagi menggunakan pemberontakan bersenjata, melainkan hadir secara lebih halus dan senyap melalui kebijakan, praktik korupsi, dan manipulasi kekuasaan. Misalnya korupsi dan praktek mafia yang merajalela adalah musuh paling nyata Pancasila masa kini. Jika G30S PKI mencoba mengganti ideologi negara, maka korupsi dan berbagai tindakan mafia justru lebih destruktif  merusak ideologi negara ini dari dalam. Tindakan korupsi dan mafia misalnya, menelikung sila kedua dan kelima sekaligus yang mengandung nilai kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih ironis lagi, korupsi kerap dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi teladan, para pejabat publik yang mendapat mandat rakyat. Hampir semua lembaga di Indonesia dewasa ini tidak bersih dari korupsi, baik lembaga Pemerintah maupun non Pemerintah, termasuk lembaga agama yang mengurus moral anak bangsa.

Hukum yang “tajam ke bawah, tumpul ke atas” semakin menegaskan adanya pengkhianatan secara sistematis terhadap Pancasila. Di pihak lain rakyat kecil yang mencuri demi sekali makan dihukum berat, sementara para koruptor yang merampok triliunan rupiah sering mendapat keringanan. Sebut saja kisah korupsi Pertamina ribuan triliunan dan kasus korupsi lainnya sampai hari ini terkesan sangat tertutup penanganannya.

Selain itu ketimpangan pembangunan juga menjadi wajah lain dari lemahnya pengamalan Pancasila. Wilayah bagian barat seolah menjadi pusat segalanya, sementara sebagian daerah di bagian timur seakan dibiarkan dengan fasilitas minim, akses terbatas, dan kesempatan pembangunan yang timpang. Bagaimana mungkin sila ketiga, “Persatuan Indonesia” bisa tegak bila sebagian anak bangsa merasa dianaktirikan oleh negara?

Pada momen ini kita patut bertanya diri dengan jujur, apakah bangsa ini benar-benar sedang mengamalkan Pancasila ataukah hanya menjadikannya jargon di podium upacara? Kesaktian Pancasila akan kehilangan makna jika ia hanya dielu-elukan setiap 1 Oktober tanpa dihidupi dalam praktik nyata bernegara. Maka dari itu Hari Kesaktian Pancasila tahun ini diharapkan bukan sekadar mengenang sejarah, melainkan momentum untuk mawas diri. Pengkhianatan terhadap Pancasila tidak lagi berbentuk kudeta militer, tetapi juga muncul dalam wujud ketidakadilan hukum, kerakusan elite, penyalahgunaan kekuasaan, serta pengabaian terhadap rakyat kecil. Ancaman ini bahkan jauh lebih dahsyat daripada G30S PKI karena dapat merusak sendi-sendi kehidupan bangsa secara perlahan dari dalam dengan wajah yang “legal” tetapi sesungguhnya mematikan. Oleh sebab itu, tantangan terbesar Bangsa Indonesia sekarang ini bukan mempertahankan Pancasila dari pengaruh ideologi luar, melainkan menjaga agar nilai-nilainya tidak dikhianati oleh anak bangsa sendiri. Jika bangsa ini benar-benar ingin selamat dari badai pengkhianatan, maka tidak ada pilihan lain selain kembali ke Pancasila sebagai pedoman hidup, bukan sekadar simbol. Semua arah kebijakan harus kembali bermuara pada pengamalan nilai-nilai luhur Pancasila.

Fenomena Bangsa Dewasa Ini: Catatan Kritis atas Pengkhianatan Pancasila

Di tengah derasnya arus demokrasi dan modernisasi, bangsa ini justru menghadapi situasi yang paradoksal. Pancasila yang mestinya menjadi landasan kehidupan berbangsa, kerap dikhianati secara terang-terangan. Nilai luhur yang diwariskan sebagai fondasi persatuan dan keadilan sosial justru terabaikan dalam praktik sehari-hari, baik oleh individu, kelompok, maupun lembaga negara. Sebut saja isu intoleran yang terus merebak adalah salah satu buktinya. Peristiwa pembubaran ibadah umat beragama secara paksa mencederai sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, kebebasan beribadah seharusnya menjadi hak asasi yang dilindungi tanpa kompromi. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian kelompok justru memandang kebebasan beragama sebagai ancaman bagi agamanya. Pemerintah pun kerap abai, bahkan membiarkan regulasi yang condong menguntungkan kelompok mayoritas, sementara umat minoritas terus terpinggirkan. Inilah bentuk nyata pengkhianatan terhadap Pancasila yang dilakukan secara sistematis.

Kisah tambang ilegal di Raja Ampat menyingkap sisi lain pengkhianatan itu. Di balik kabar simpang-siur soal siapa pemilik tambang, masyarakat kecil justru menjadi pihak yang paling dirugikan. Lingkungan yang selama ini menjadi penopang hidup masyarakat adat dirampas oleh kepentingan “orang kuat” yang datang dari luar. Lebih ironis lagi, tambang yang merusak itu dijustifikasi oleh payung hukum yang seolah sahih, padahal jelas-jelas melanggar nilai kemanusiaan dan keadilan sosial. Jika ditarik benang merah, kasus ini erat kaitannya dengan politik uang dan kerakusan elite yang menganggap kekuasaan sebagai tiket untuk menjarah sumber daya alam.

Belum lama berselang gelombang demonstrasi mahasiswa kembali menggema di seantero tanah air. Kekecewaan publik memuncak ketika para politisi dengan enteng menaikkan gaji dan tunjangan sendiri di tengah krisis ekonomi dan minimnya lapangan kerja untuk masyarakat. Aspirasi masyarakat pun ditanggapi dengan sikap beragam yang menunjukkan tidak adanya kemauan untuk mengoreksi kebijakan yang minim empati kepada rakyat. Sikap para wakil rakyat seperti itu menunjukkan betapa jauhnya mereka dari semangat sila keempat, yang menegaskan pentingnya kerakyatan dan musyawarah demi kepentingan bersama. Ketika suara rakyat tak lagi dianggap, wajar jika jalanan menjadi ruang alternatif untuk menyuarakan kekecewaan.

Fenomena-fenomena ini seakan memberi satu pesan kuat bahwa Pancasila memang sering dielu-elukan kesaktiannya, tapi jarang dihidupi dalam kehidupan bernegara. Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial seolah hanya berhenti sebagai jargon dalam pidato resmi, sementara praktiknya justru bertentangan dengan esensi dari sila-sila itu sendiri. Maka dari itu bangsa ini sebenarnya sedang berada di persimpangan jalan, apakah benar-benar mau menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup bersama atau sekadar simbol yang dipajang tanpa makna. Pertanyaan ini harus dijawab tidak hanya oleh para elit, tetapi juga oleh seluruh anak bangsa yang menginginkan masa depan yang adil, damai, dan bermartabat.

Menghidupkan Pancasila: Dari Jargon ke Tindakan Praksis

Dua hal yang mengemuka dari perjalanan bangsa ini adalah ironi sekaligus tantangan. Di satu sisi Pancasila terus dielu-elukan sebagai sesuatu yang sakti, tetapi di ujung yang lain pengkhianatan terhadap nilai-nilainya juga terus berulang dalam berbagai bentuk dan cara. Dari intoleransi agama, eksploitasi sumber daya alam, korupsi, hingga ketimpangan sosial semuanya merefleksikan betapa nilai luhur Pancasila masih sering diabaikan. Pertanyaan pentingnya, bagaimana kita bisa keluar dari lingkaran pengkhianatan itu?

Pertanyaan di atas bukanlah hal yang sulit untuk menjawabnya. Pertama, Pancasila harus dikembalikan ke ruang praksis, bukan sekadar simbol seremonial. Upacara 1 Oktober atau pidato pejabat tidak cukup jika tidak dibarengi kebijakan nyata yang berakar pada nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Semua kebijakan publik mesti diuji dengan “kaca mata Pancasila”, bukan kacamata politis. Dengan demikian regulasi yang dihasilkan benar-banar menjadi kunci untuk membuka ruang kebebasan, mencerminkan keadilan, memperkuat persatuan, dan melegitimasi sistem permusyawaratan perwakilan.  Dengan demikian kebijakan itu akan membawa dampak pada kesejahteraan dan memperkuat jati diri bangsa di tengah kancah persaingan global.

Kedua, pendidikan Pancasila harus dihidupkan kembali dengan pendekatan kritis, bukan bersifat dogmatis. Secara empiris pendidikan Pancasila sering hanya sebatas hafalan sila per sila tanpa relevansi nyata dengan kehidupan sehari-hari. Generasi muda mesti diajak untuk berpikir kritis tentang relevansi nilai sila-sila itu, misalnya sila ketuhan relevan dengan kebebasan beribadah, sila kedua kemanusiaan relevan dengan isu HAM, sila ketiga relevan dengan isu SARA, sila keempat relevan dengan sistem demokrasi dan perwakilan, dan sila kelima terkait dengan keadilan ekonomi-sosial-budaya (EKOSOB). Dengan demikian Pancasila akan semakin hidup dan dipahami sebagai etika publik, bukan sekadar materi ujian di berbagai instansi publik di saat hendak memasuki dunia kerja formal dan naik pangkat.

Ketiga, penegakan hukum harus dijadikan instrumen utama dalam menjamin tegaknya Pancasila. Pengkhianatan terhadap Pancasila hari ini lebih sering muncul dalam bentuk mafia hukum, politik transaksional, dan korupsi. Padahal hukum menjadi panglima tertinggi dalam menengakkan nilai dan moral Pancasila. Maka dari itu reformasi hukum yang konsisten dan berkelanjutan adalah syarat mutlak. Selama hukum masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah, Pancasila hanya akan menjadi slogan tanpa kekuatan moral dan bahkan kehilangan daya saktinya.

Keempat, pemberdayaan masyarakat sipil menjadi hal yang krusial dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Negara tidak bisa berjalan sendiri. Komunitas adat, organisasi keagamaan, akademisi, dan media harus menjadi penyeimbang yang mengontrol  sekaligus meluruskan jalannya negara agar tidak melenceng dari nilai Pancasila. Semakin aktif masyarakat sipil, semakin menyadarkan elit untuk menjauhi perilaku yang mengkhianati nilai-nilai kebangsaan.

 

Pada akhirnya, kesaktian Pancasila bukanlah mitos tanpa makna. Ia adalah fakta yang menyejarah yang akan semakin kokoh bila  dijaga dan dilestarikan melalui kesadaran kolektif seluruh anak bangsa, dari elit hingga rakyat kecil.

“Mengamalkan Pancasila bukan tugas negara semata, melainkan tanggung jawab moral setiap warga negara. Dengan begitu, peringatan Hari Kesaktian Pancasila tidak lagi berhenti pada nostalgia masa lalu, tetapi menjadi momentum untuk menimba energi baru dan memastikan bahwa pengkhianatan dalam bentuk apa pun tidak lagi berulang di masa depan”. Dengan demikian cita-cita Indonesia makmur sejahtera dapat diwujudkan menjadi kenyataan. ***

 

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Orang Gerindra Buat Beda, (Catatan Liburan di NTT 23/4 – 8/5 2022)
Opini

Pariwisata dan Peluang Kerja

Pariwisata dan Peluang Kerja Oleh : Robert Bala "Tourism is a powerful tool for peace, dissolving boundaries and fostering global...

Read more
Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan

Hermien Kleden dan Jurnalisme “Tutu Koda”

Retret Mewah dan Kegagalan Empati Kepemimpinan

Luka Anak dan Dosa Sosial Kita; Menggugat Budaya Malu di Balik Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan

Nagekeo dalam Cengkeraman Mafia?

Retret Mewah dan Kegagalan Empati Kepemimpinan

Retret Mewah dan Kegagalan Empati Kepemimpinan

Disonansi Politik Indonesia

Disonansi Politik Indonesia

Load More
Next Post
Danyon TP 834 Aeramo Tawar Damai, Sepriana Paulina Mirpey: Sampai Liang Kuburpun Saya Tidak Maafkan

Danyon TP 834 Aeramo Tawar Damai, Sepriana Paulina Mirpey: Sampai Liang Kuburpun Saya Tidak Maafkan

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In