• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Jumat, Oktober 3, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Opini

Dari Laut, Ladang, dan Kandang : Refleksi Jelang HUT Lembata

by WartaNusantara
Oktober 3, 2025
in Opini
0
Ketika Titi Jagung Jadi Perlombaan Birokrasi Lembata
0
SHARES
121
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Dari Laut, Ladang, dan Kandang : Refleksi Jelang HUT Lembata

Oleh : Richardus B. Toulwala, S. Fil., M.Si,

(Dosen Ilmu Pemerintahan pada Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula, Ende)

Sebentar lagi, 12 Oktober, Kabupaten Lembata genap berusia 26 tahun. Dalam hitungan hari, kita akan menyaksikan seremoni tahunan yang lazim diulang: pesta budaya, doa bersama, sambutan pejabat, dan gegap gempita panggung rakyat. Namun, lebih dari sekadar perayaan, momentum ini menuntut kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan bertanya: apa arti 26 tahun bagi Lembata?

RelatedPosts

Orang Gerindra Buat Beda, (Catatan Liburan di NTT 23/4 – 8/5 2022)

Pariwisata dan Peluang Kerja

Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan

Hermien Kleden dan Jurnalisme “Tutu Koda”

Load More

Sebagai tanah yang lahir dari perjuangan otonomi sendiri pada 1999, Lembata bukan sekadar entitas administratif, tetapi sebuah ruang hidup yang menampung harapan dan penderitaan masyarakatnya. Usia 26 tahun adalah masa transisi, yang berarti Lembata cukup dewasa untuk mengenali dirinya, namun belum cukup matang bila hanya berhenti pada seremoni tanpa pembaruan substantif.

Desa sebagai Pijakan Ontologis

Mayoritas rakyat Lembata hidup di desa sebagai nelayan, petani, dan peternak. Dalam perspektif ontologis, desa bukan sekadar unit administratif, melainkan basis eksistensi Lembata itu sendiri. Desa adalah “ada” yang melahirkan kabupaten, bukan sebaliknya. Karena itu, jika ingin menilai capaian pembangunan, janganlah kita melihat dari panggung kota Lewoleba semata, tetapi dari perahu nelayan di Lamalera, kebun jagung di Ileape, atau kandang ternak di Buyasuri.

Filsafat memberi kita pijakan kuat, bahwa eksistensi sejati tidak terletak pada simbol, melainkan pada praksis. Maka, pertanyaan kritis yang muncul adalah sejauh mana desa sudah menjadi titik berangkat pembangunan Lembata?

NTT: Perjuangan Negara dan Rakyat

Bupati dan Wakil Bupati Lembata yang baru dilantik membawa program unggulan yang akrab disebut “NTT”: Nelayan, Tani, Ternak. Tiga kata singkat yang mencoba merangkum denyut hidup orang Lembata. Laut, ladang, dan kandang, itulah wajah kita. Namun, sebagai pemerintahan baru yang belum genap setahun berjalan, wajar bila capaian masih dalam tahap awal.

Program 100 hari, misalnya, menunjukkan niat baik kerja sama dengan Bulog untuk menyerap hasil pertanian. Langkah ini patut diapresiasi, tetapi sekaligus mengingatkan kita bahwa jalan menuju transformasi desa masih panjang.

Dalam ilmu pemerintahan, Pemda Lembata tentu memikul tanggung jawab memastikan program unggulan ‘NTT’ harus terealisasi. Namun masyarakat juga tidak boleh berhenti hanya sebagai pengkritik atau penerima kebijakan. Pertanyaannya: apakah kita, nelayan dan petani, sudah berani membangun solidaritas ekonomi? Apakah kita, warga desa, masih menunggu “bantuan dari atas”, atau mulai menghidupkan kemandirian dari bawah?

Di sinilah letak ujian politik pembangunan. Bagaimana kita membangun relasi yang setara antara negara dan rakyat. Negara tidak boleh merasa maha kuasa, rakyat tidak boleh merasa tak berdaya. Desa adalah titik temu dan ruang di mana pemerintah dan masyarakat bekerja sama, bukan saling menunggu.

Antara Seremoni dan Esensi

Lembata yang berulang tahun sering terjebak pada perayaan seremonial. Filsuf Hannah Arendt sudah jauh-jauh hari mengingatkan kita bahwa politik sejati lahir bukan dari seremoni, melainkan dari action, ya semacam tindakan kolektif yang memberi ruang partisipasi rakyat. Jika pesta hanya mengulang simbol, sementara nelayan masih kesulitan solar dan petani tak punya pupuk, maka ulang tahun hanya menjadi ritual tanpa makna. Benar bukan?

Dalam kerangka tata pemerintahan, refleksi tindakan kolektif ini penting. Pemerintah daerah harus mampu menjembatani visi-misi dengan realitas desa. Artinya, birokrasi harus lentur mendengar suara masyarakat, bukan kaku dalam rutinitas administratif. Di pihak lain, bagi masyarakat Lembata: sudahkah kita belajar bahwa pembangunan bukan hanya “urusan bupati”, tetapi juga kesanggupan kita menjaga laut, mengolah tanah, dan merawat ternak dengan cara yang berkelanjutan?

Jalan Terakhir: Lembata Berbasis Desa

Refleksi jelang HUT ke-26 haruslah diarahkan pada kesadaran kolektif. Lembata hanya bisa maju bila desa menjadi pusat. Konsep “build from the village” bukan slogan, melainkan strategi politik. Desa adalah ruang sosial-ekonomi, ruang budaya, sekaligus ruang demokrasi yang paling nyata.

Sakralitas desa menjadikan dirinya sebagai subyek yang harus dilindungi dan dijauhi dari oknum kepala desa yang suka ‘mengganggu’ uang rakyat. Bupati Lembata harus berani menertibkan kepala desa yang bermain dengan uang rakyat, sebab membiarkan mereka sama artinya dengan ikut merampok masa depan desa. Jika bupati tidak berani menertibkan kepala desa yang nakal, maka ‘NTT’ yang ber-locus di desa hanya akan menjadi pepesan kosong.

Atas nama desa, Pemda Lembata mesti memperkuat tiga hal dalam waktu dekat. Pertama, kapasitasi ekonomi desa melalui teknologi pertanian, perikanan modern, dan peternakan produktif tanpa meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal. Kedua, keadilan distribusi agar hasil pembangunan tidak hanya menumpuk di pusat kota, tetapi menjangkau kampung terpencil. Ketiga, penguatan partisipasi rakyat dengn memberi ruang bagi masyarakat desa untuk terlibat dalam mewujudkan ‘NTT’.

Refleksi Akhir

Menjelang ulang tahun ke-26, kita diajak untuk tidak larut dalam pesta semata, tetapi menyalakan refleksi. Apakah Lembata sudah setia pada jati dirinya sebagai kabupaten desa? Program unggulan ‘Nelayan, Tani, Ternak’ adalah pintu masuk yang tepat, tetapi baru bermakna bila desa sungguh menjadi titik tolak.

Apakah kita sudah kritis tetapi juga partisipatif? Apakah kita masih terjebak dalam budaya menunggu bantuan, atau mulai membangun kemandirian kolektif? Apakah kita melihat desa hanya sebagai penerima kebijakan, atau justru sebagai pusat peradaban yang memberi arah bagi masa depan Lembata?

Seorang filsuf berkata, “Kebebasan bukan hanya merayakan, melainkan mewujudkan.” Begitu pula Lembata. Ultah kali ini seharusnya tidak hanya menjadi euforia, tetapi momentum untuk meneguhkan arah: membangun dari desa, menuju Lembata yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. ***

 

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Orang Gerindra Buat Beda, (Catatan Liburan di NTT 23/4 – 8/5 2022)
Opini

Pariwisata dan Peluang Kerja

Pariwisata dan Peluang Kerja Oleh : Robert Bala "Tourism is a powerful tool for peace, dissolving boundaries and fostering global...

Read more
Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan

Hermien Kleden dan Jurnalisme “Tutu Koda”

Retret Mewah dan Kegagalan Empati Kepemimpinan

Luka Anak dan Dosa Sosial Kita; Menggugat Budaya Malu di Balik Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Hari Kesaktian Pancasila 2025 : Momentum Untuk Berefleksi dan Menegakkan Nilai Luhur Bangsa Indonesia

Hari Kesaktian Pancasila 2025 : Momentum Untuk Berefleksi dan Menegakkan Nilai Luhur Bangsa Indonesia

Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan

Nagekeo dalam Cengkeraman Mafia?

Retret Mewah dan Kegagalan Empati Kepemimpinan

Retret Mewah dan Kegagalan Empati Kepemimpinan

Load More
Next Post
Pemuda Waikomo Lembata Dukung Program Inklusi Peduli Orang Muda

Pemuda Waikomo Lembata Dukung Program Inklusi Peduli Orang Muda

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In