Berakar pada Sabda-Nya, Berbuah dalam Pelayanan
WARTA-NUSANTARA.COM– Para Rasul meminta Yesus menambahkan iman mereka. “Tuhan, tambahkanlah iman kami” (Luk 17:5). Yesus menjawab itu dengan perbandingan. “Jika imanmu sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: tercabutlah engkau dan tertanamlah di laut, dan ia akan taat kepadamu” (Luk 17:6).
Kata-kata Yesus ini seringkali dipahami sebagai gambaran dahsyatnya daya iman. Namun pesan sabda Tuhan itu tidak hanya sebatas itu. Para rasul tentu sudah tahu bahwa iman itu berdaya besar.
Maka jawaban Yesus sesungguhnya hendak meluruskan pemahaman mereka. Yesus hendak bilang kepada para rasul bahwa iman bukanlah kesaktian untuk melakukan hal-hal spektakuler.
Bahkam iman seukuran biji sesawi pun sudah cukup untuk hal mustahil dalam pikiran manusia. Jadi, iman jangan dipahami sekadar sebagai kekuatan batin untuk menundukkan diri atau membuat mukjizat.
Luk 17:1-4 menegaskan peringatan Yesus agar para rasul wadpada dan tidak membuat orang lain jatuh, terutama orang-orang kecil, lemah dan miskin. Siapa saja yang menyesatkan anggota jemaat, terutama yang kecil, pasti dihukum sangat berat: dilemparkan ke laut yang sama dengan dibuang ke neraka (Luk 17:2).
Sebuah ajakan untuk mengampuni sesama dengan hati yang tulus. Itu bukan soal kesaktian, melainkan kesetiaan.
Iman Katolik yang sejati selalu tumbuh dan berkembang hingga memiliki kekuatan luar biasa. Setiap murid-Nya diundang untuk menjadi radikal. Tiap orang menjadikan dirinya seperti akar (Latin: radix) yang menyerap dan makan “Roti Hidup.”
Pribadi yang menancapkan seluruh akar hidupnya pada Yesus dapat mengubah apa yang tidak mungkin terjadi bila diukur dari hukum-hukum yang mengatur dunia fana. Yesus menggunakan ungkapan hiperbolik: memindahkan dan menanam kembali pohon ara di dalam laut, yang bukan habitatnya (Luk 17:6).
Iman bukan jimat, bukan pula sekadar kebesaran hati untuk mengampuni. Lukas menampilkan Yesus sebagai teladan iman: Ia setia pada perjalanan-Nya sampai akhir.
Di Getsemani (Luk 22:42), Tuhan meminta agar piala penderitaan dihindarkan, tetapi Ia menegaskan “Jadilah kehendak-Mu, bukan kehendak-Ku.”
Akhirnya, di salib, Ia menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa (Luk 23:46). Inilah iman sejati: menaruh kehendak Bapa di atas segalanya. Yesus menjalani hidupnya demi manusia agar tidak mudah tunduk pada dosa.
Sampai akhir, Ia menunjukkan pengampunan Allah. Inilah kekuatan sejati iman: tahan banting, mampu menghadapi kontradiksi hidup serta mengupayakan rekonsiliasi. Jika para murid meminta tambahan iman seperti ini, mereka sedang berada di jalan yang benar: jalan yang ditempuh Yesus sendiri.
Permintaan para murid agar Tuhan menambahkan iman mereka menjadi bukti para murid merasa tidak mampu menjalanan ajaran-Nya yang sangat radikal dan berat. Para murid memerlukan lebih dari sekadar iman manusiawi (Luk 17:5).
Tuhan juga mengajarkan para murid agar bersikap sebagai hamba. Hamba tidak pernah berhenti setelah menyelesaikan tugas. Ia tetap melayani tuannya, bahkan tanpa mengharapkan ucapan terima kasih.
Ia hanya berkata, “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang seharusnya kami lakukan” (Luk 17:10). Yesus menunjukkan bahwa pelayanan iman adalah pengabdian tanpa henti. Intinya bukanlah kesuksesan dan kemuliaan diri melainkan kesetiaan pada tugas.
Dalam praktik pelayanan pastoral, pelayan iman berarti memperhatikan kenyataan umat, peka terhadap tanda zaman, dan kreatif mencari jalan baru agar pelayanan semakin hidup.
Kekuatan iman yang sejati adalah berjalan pada “exodos” bersama Yesus, keluar dari perbudakan dosa menuju kepada kebebasan sebagai gambar dan rupa Allah yang sungguh. Para pelayan pastoral harusnya tidak mengambil jarak yang lebar dan dalam dengan umat yang dilayani.
Para gembala harus menyatu, tidak sekadar dekat, agar mampu mendengarkan dan memahami berbagai problem, sosial, ekonomi, politik dan kemanusiaan dan memberi “cahaya” kepada umat yang sederhana.
Gembala dan pelayan pastoral harus menjadi solusi atas persoalan, bukan beban bagi umat. Iman mesti nyata tidak tindakan konkret. Suara dari mimbar mesti bergema bahkan bersuara di tengah kenyataan hidup umat yang nyata.
Dalam salah satu kesempatan, seorang wartawan menyampaikan kepada Ibu Teresa, “Anda mengasihi orang-orang miskin, dan itu baik sekali. Tetapi bagaimana dengan Vatikan dan Gereja pada umumnya yang kaya, namun tidak memperhatikan orang-orang miskin?” Reaksi Ibu Teresa biasanya khas.
Dia langsung menatap mata orang itu dan menjawab: “Tuan, Anda kelihatannya tidak bahagia dan tidak memiliki kedamaian.” Kendati orang itu tidak setuju dengan pernyataan itu, namun Ibu Teresa melanjutkan perkataannya, “Anda mesti memiliki iman.”
“Bagaimana saya memiliki iman”, tanya sang wartawan itu. “Anda harus berdoa”, jawab Ibu Teresa. “Tetapi, saya tidak bisa berdoa”, jawab orang itu. “Kalau begitu, saya akan berdoa supaya Anda memiliki iman,” kata ibu Teresa. ***