• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Minggu, November 2, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Hukrim

Ketika Mafia “Merampok” Rezeki Warga di Waduk Lambo

by WartaNusantara
Oktober 6, 2025
in Hukrim
0
Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan
0
SHARES
57
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

RelatedPosts

Pembinaan Atau Penyiksaan ? Kasus Prada Lucky Bongkar Praktik Brutal di Balik Seragam TNI

Pembinaan Atau Penyiksaan ? Kasus Prada Lucky Bongkar Praktik Brutal di Balik Seragam TNI

Kapolres Ende AKBP I Gede Ngurah Joni M.,Hadiri Pemakaman Adi Menyampaikan Belasungkawa

Kapolres Ende AKBP I Gede Ngurah Joni M.,Hadiri Pemakaman Adi Menyampaikan Belasungkawa

Load More

Ketika Mafia “Merampok” Rezeki Warga di Waduk Lambo

Oleh : Steph Tupeng Witin

WARTA-NUSANTARA.COM–  MENULIS perihal dugaan kuat ada gerombolan mafia yang sedang mencengkeram leher Nagekeo saat ini merupakan sebuah tanggung jawab moral kemanusiaan. Moralitas kemanusiaan itu melampaui sekat-sekat primordial: suku, agama, geografi, ras dan bahkan golongan. Elemen-elemen ini sangat berbau Orde Baru.

Kita bisa membayangkan, orang yang hidup di zaman reformasi ini, meski banyak dimensi yang butuh pembenahan bersama, masih mengulang-ulang kelakukan yang basi, usang dan kedaluwarsa itu, tentu masih sangat terpencil dalam jagat moralitas kemanusiaan universal. Tapi kalau yang berpikir itu gerombolan mafia, tentu kita bisa sangat mengerti bahkan memahami. Mafia pasti membela mafia.

Sebuah opini tentu berbasis data dan fakta, ditulis dengan gaya dan bahasa penulisnya, dengan sangat memuliakan asas praduga tak bersalam dalam dimensi hukum. Data dan fakta pasti berasal dari investigasi dan wawancara dengan narasumber di lapangan dan sumber-sumber lain yang valid.

Opini itu sebuah pendapat atas realitas yang bisa menggerakkan institusi dan pimpinan level lebih tinggi, semacam Kapolri, agar segera menindak aparatnya yang diduga sekian lama menjadi barisan gerombolan mafia meski berseragam negara.

Opini mesti dijawab dengan opini, bukan berkoar-koar dengan ancaman hukuman dan teror laporan ke polisi selevel Kapolsek sekalipun.

Kapolri Listyo Sigit saja, dalam level kekuasaan tertinggi kepolisian di Republik ini, sangat menghormati mekanisme media. Masa aparat level mafia lokal yang dibela gerombolan peneror di media sosial bertindak melebihi Kapolri? Ini sudah namanya tidak tahu diri dan sudah kehilangan kewarasan. Maka bantahan pasti sarat dengan makian, hinaan dan teror sebagai senjata andalan.

Tidak ada tulisan yang sempurna. Tulisan ini mungin hanya sekadar sebuah “wake up call” untuk membangunkan rakyat Nagekeo khususnya dan rakyat Flores-Lembata umumnya, agar mewaspadai menjalarnya bandit mafia yang kita duga dibekingi oleh orang-orang kita yang tinggal di “luar.”

Mungkin saja ada yang pernah mencicipi kekuasaan negara. Tanah Flores dan Lembata ini jangan kita jadikan ruang cari makan orang-orang kita yang gagal di “luar” dengan titian memeras dan merampok hak rakyat kecil dengan kasar dan tidak manusiawi seperti yang kita duga kuat terjadi dalam kasus waduk Lambo di Nagekeo

Tulisan ini menjadi bukti keberpihakan pada silent majority. Mayoritas publik yang diam. Mungkin takut dengan teror dari gerombolan mafia yang terpancing keluar dari liang persembunyian selama ini bagai ulat kepanasan di bibir waduk Lambo.

Cukuplah kalau tulisan ini jadi topik diskusi di rumah-rumah warga kecil, sederhana dan buta hukum setelah doa Rosario selama bulan Oktober ini. Semoga tulisan sederhana ini bisa jadi palu godam yang membentur dengan keras kepala para gerombolan mafia di tanah Nagekeo.

Ketika Presiden Joko Widodo mencanangkan pembangunan Waduk Mbay/Lambo di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), publik berharap bendungan senilai Rp 1,915 triliun itu menjadi anugerah bagi rakyat.

Dari jumlah tersebut, Rp 400 miliar disiapkan untuk ganti rugi atau dalam istilah era Jokowi, “ganti untung”.
Janji itu terdengar manis: masyarakat yang lahannya tergenang air waduk akan mendapat kompensasi layak, hidup lebih sejahtera, dan membuka babak baru bagi pertanian modern di Nagekeo.

Namun, empat tahun berselang sejak pembangunan dimulai pada 2021, janji kesejahteraan berubah menjadi kisah muram. Yang terjadi di lapangan bukan ganti untung, melainkan ganti buntung.

Proyek pembangunan waduk Mbay sangat urgen bagi petani. Hal ini  dibuktikan Presiden Jokowi yang mengunjungi waduk Lambo pada Selasa 5 Desember 2023 dan berharap agar pembangunan waduk Lambo bisa rampung tahun 2024.

Wakil Presiden Gibran juga telah datang ke Nagekeo dan mengunjungi waduk Lambo pada Selasa 6 Mei 2025. Inilah bukti betapa pentingnya waduk ini bagi masyarakat, termasuk warga terdampak pembangunan waduk. Biasanya dalam kunjungan pejabat negara seperti ini informasi dan semua penjelasan semua sangat baik dan tidak ada noda.

Gerombolan mafia pasti merapatkan selimut dalam liang persembunyian. Sayangnya, waduk Lambo dikuasai jejaring gerombolan mafia yang diduga kuat dibekingi aparat penegak hukum khususnya kepolisian.

Peta Masalah: Dari Penlok I hingga Penlok III

Secara administratif, lahan proyek waduk dibagi menjadi tiga tahap pembebasan lokasi (Penlok).
* Penlok I: 617,76 ha (SK Gubernur NTT No. 434/KEP/HK/2021)
* Penlok II: 244,72 ha (SK Gubernur NTT No. 306/KEP/HK/2023)
* Penlok III: sudah ditetapkan, namun belum dieksekusi.

Proses pembayaran ganti untung di Penlok I pun masih simpang-siur akibat kekacauan data penerima, sengketa tanah ulayat, dan tumpang-tindih kepemilikan.

Tanah ulayat, yang secara adat dimiliki bersama oleh suku, justru dijadikan ajang perebutan oleh “tuan tanah dadakan” atau lebhi santer di Nagekeo “tuan tanah palsu.” Banyak kepala suku kehilangan otoritas moral karena uang ganti rugi menjadi alat perpecahan antar-anggota ulayat.

Ketika Mafia Bekerja Sistematis

Warga di Rendu Butowe, Kawa-Lambo, dan Ndora seharusnya menerima ganti untung berkisar antara Rp 500 juta hingga Rp 10 miliar per pemilik, tergantung luas dan tanaman produktif. Tapi sebagian besar hanya menerima secuil.

Sumber di lapangan menyebutkan, “mafia waduk” bekerja dalam jaringan terstruktur:

* Oknum polisi bertindak sebagai koordinator lapangan dan pelindung.

* Oknum pengacara menawarkan “jasa” untuk memperjuangkan hak warga dengan imbalan uang muka besar.

* Oknum BPN memainkan peta bidang dan sertifikasi.

* Oknum wartawan dipakai untuk membangun citra “resmi” dan menekan suara kritis. Oknum wartawan ini adalah gerombolan dan barisan wartawan piaraan polisi sejak era Kapolres Yudha yang juga dikenal sebagai pemimpin Kaisar Hitam (KH) Destroyer. Ada juga jenis wartawan yang masuk barisan inti piaraan aparat yang dikenal di kalangan jurnalis Nagekeo lebih sebagai “petinju” tapi bukan dalam acara pesta adat di Nagekeo yang lebih bermartabat itu.

Modusnya beragam. Ada pengacara yang mendatangi warga dengan janji, “Bapak akan terima Rp 1 miliar, tapi perlu bayar jasa Rp 250 juta dulu.” Setelah uang berpindah tangan, janji menguap.

Ketika korban melapor ke Polres, laporan diabaikan karena pengacara itu teman polisi sendiri. Diduga kuat, sama-sama berkolaborasi.

Kalau polisi dikritik secara beradab melalui media resmi, pengacara para mafia itu mulai keluar dari lubang persembunyian lalu sibuk membela bos mati-matian di media abal-abal yang diduga pemilik dan wartawannya sudah kena tatar dari dulu.

Prioritas utama dari gerombolan mafia adalah penampilan fisik. Bersuara garang di media sosial. Gaya premannya kelihatan meski dibumbui dengan pasal-pasal dan ayat-ayat  yang tidak laku dalam pertarungan intelektual di Jakarta dan laris manis sebagai teror bagi pemilik tanah waduk Lambo.

Mungkin itu hasil didikan “bos” kaisar hitam yang dibela habis-habisan sampai kehilangan martabat sebagai orang beradat Nagekeo.

Publik Nagekeo sudah tahu, siapa yang masuk golongan mafia yang sedang mencengkeram Nagekeo saat ini. Suara besar dan tampang fisik mirip preman tidak pernah menyurutkan keberanian untuk bersuara benar.

Kita tunggu saja, setelah tulisan ini  para mafioso yang selama ini bersembunyi nyaman, mulai keluar satu per satu untuk “bernyanyi” membela “patung berhalanya.”

Suara yang membesar karena menahan bandang emosi setelah dikuliti sampai ke sumsum, membuktikan bahwa selama ini mereka mengais hidup dari hak orang-orang kecil dan sederhana di Nagekeo yang buta hukum.

Kita mengajak publik Nagekeo khususnya kaum muda agar bangkit melawan, maaf: dugaan pengacara gagal di Jakarta yang berubah rupa menjadi monster yang melumat siapa saja khususnya rakyat kecil pemilik tanah yang menerima ganti rugi.

Kata-kata penuh amarah keluar dari penerima manfaat dan para aktornya yang blingsatan disayat opini sederhana saja. Memang kita akan menghadapi kelompok penerima manfaat yang sudah nyaman sekian lama sebagai peneror. Orang-orang ini biasa bekerja dengan teror. Dan suara kebenaran tidak pernah boleh kalah atau dikalahkan oleh teror jahat.

Lebih tragis lagi, ada oknum aparat yang memanfaatkan kelemahan warga laki-laki dengan mengirim “ladies”-wanita panggilan dari kafe di Roe-serta minuman keras untuk menguras sisa uang kompensasi.

Uang yang seharusnya menyejahterakan keluarga justru menguap di malam-malam kelam hasil setingan oknum aparat polisi yang kafenya buka 24 jam nonstop. Ini sebuah petunjuk bagi Gereja untuk memperkuat benteng kehidupan keluarga yang begitu loyo di hadapan permainan “malam kelam” yang disetting oleh orang seagama juga.

Kita sesalkan kok orang Katolik yang kebetulan punya secuil kuasa bisa terlibat melakukan kejahatan sistematis. Menjadi saudara orang suci tidak pernah menjamin yang bersangkutan juga hidup baik dan benar.

Dari “Ganti Untung” ke “Ganti Buntung”

Pada 2023, sempat tercatat lebih dari 50 mobil baru milik warga terdampak waduk. Kini, tinggal belasan unit yang masih beroperasi. Sisanya dijual kembali untuk bertahan hidup. Banyak keluarga kehilangan lahan pertanian tanpa lahan pengganti.

Janji rumah relokasi pun belum terwujud penuh. “Dulu kami tanam padi, jagung, dan jambu mete. Sekarang tidak punya tanah. Uang habis, pekerjaan hilang,” tutur seorang warga di Rendu, matanya kosong menatap bukit gersang di tepian proyek.

Menakutkan, Bukan Melindungi
Sejak masa Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata, kawasan Waduk Lambo menjadi wilayah mencekam. Mirip medan perang ala mafia Nagekeo. Warga mencurigai siapa pun yang datang dari luar.

Bahkan aparat sipil daerah kesulitan melakukan sosialisasi karena “pintu masuk” waduk dikuasai aparat bersenjata. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah proyek strategis nasional (PSN) boleh dijalankan dengan atmosfer ketakutan?

Kehadiran Babinsa (TNI) memang kemudian terlihat, namun peran mereka terbatas.

Kewenangan keamanan tetap di tangan Polres. Ironisnya, sebagian warga justru melihat aparat polisi sebagai bagian dari masalah, bukan solusi.

Polres Nagekeo perlu segera direformasi. Mabel Polri perlu mengirimkan tim independent-yang tidak terkait Polda NTT-agar akar kejahatan di tubuh Polres Nagekeo bisa dibongkar hingga ke akar-akarnya.  Reformasi Polri perlu dimulai dari Nagekeo.

Jangan biarkan oknum Polres apalagi oknum pimpinan institusi negara yang berwibawa menjadi, diduga kuat: pemimpin mafia.  Polisi harus menjadi penjaga Kamtibmas yang adil dan alat penegak hukum (APH)yang jujur.

Kasus Konkret

Media VixNtt.com edisi (5/10/2025) membantu kita memahami fakta kekerasan aparat yang diduga membekingi “tuan tanah palsu” untuk meneror warga buta hukum dalam soal tanah ulayat di area seputar waduk Lambo.

Gaspar Raja, asal Dusun Malapoma, Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa, Nagekeo memilih tidak mau menghadapi proses hukum atas laporan dari “tuan tanah palsu” yang begitu sigap dan cekatan ditangani Polres Nagekeo. Apakah karena ada udang waduk Lambo di balik laporan “tuan tanah palsu?”

Bayangkan ada 12 apartat polisi yang menyergap rumahnya, 25 Juli 2025. Herannya, 12 polisi itu hanya menangkap angin. Hanya tangkap orang kampung saja dikerahkan 12 personel. Itu pun tanpa hasil. Rupanya 12 polisi itu belum dicuci otaknya oleh KH Destroyer.

Gaspar Raja terlilit kasus hukum yang dilaporkan Wunibaldus Wedo. Tuduhan: merusak “Fani”: sepucuk daun moke (aren) yang ditancapkan dalam ritual adat, Senin (26/05/2025) di depan kantor para direksi waduk (Direksi Kit).

Penancapan itu dihadiri 40 orang yang dipimpian Wedo.Kapolres Nagekeo, AKBP Rachmat Muchamad Salihi dan beberapa anggota polisi disebut turut hadir. Dalam budaya Redu (Rendu), penancapan pucuk daun aren (Fani) menegaskan status kepemilikan tanah.

Namun dugaan adalah Fani yang ditancapkan Wunibaldus Cs di atas tanah Gaspar hanyalah akal bulus Wunibaldus untuk menekan pihak pembangun Waduk Mbay–Lambo agar segera mencairkan dana ganti rugi senilai Rp21,8 miliar. Tekanan bertujuan menuntut permintaannya segera dipenuhi, jika tidak, ia melarang pekerjaan Waduk dilanjutkan.

Konflik ini berawal dari perebutan kepemilikan 14 bidang tanah terdampak proyek waduk. Fransiskus Ngeta, yang diam-diam didukung Wunibaldus Cs, menggugat lima tokoh adat Rendu ke Pengadilan Negeri Bajawa.

Perkara nomor 02/PDT.G/2023/PN.BJW itu memang telah berakhir damai melalui akta dading, yang menegaskan 14 bidang tanah yang disengketakan merupakan tanah ulayat Rendu yang diperuntukkan kepada Suku Redu, Suku Isa, dan Suku Gaja di Desa Rendubutowe. Kesepakatan itu menutup peluang Wunibaldus menguasai dana Rp21,8 miliar. Dana hanya bisa dikelola tiga ketua suku sebagai pihak yang sah.

Gaspar memiliki lahan seluas kurang lebih 6 hektare di Kawasan Boa Dona. Lokasinya sangat strategis karena berada di atas bukit kecil yang kelak berbatasan langsung dengan waduk. Selain Gaspar, warga Malapoma lainya juga memiliki tanah di kawasan Boa Dona.

Menurut Kepala Desa Rendubutowe, Yeremias Lele, kawasan tersebut sejatinya akan dijadikan kawasan pemukiman baru bagi warga Kampung Malapoma yang terdampak jika kelak air waduk telah menggenangi perkampungan itu.

Pada 2022, saat pekerjaan fisik waduk dimulai, Yohanes Pabi selaku PPK BWS Nusa Tenggara II meminta agar Gaspar merelakan 1 hektare tanahnya untuk digunakan sebagai lokasi kantor direksi.

Gaspar pun menyetujui dengan syarat bahwa jika kelak waduk selesai dikerjakan, seluruh bangunan semi permanen di atas lahannya akan menjadi miliknya.

Kini, tanah Gaspar yang dahulunya hanyalah kebun biasa telah berubah seperti komplek perumahan dengan berdirinya sejumlah kantor direksi seperti dari PT Bumi Indah, PT Waskita Karya, PT Brantas Abipraya, Kantor untuk PPK dari Balai Wilayah Sungai, mess pekerja, dua unit mushola dan kantin, serta pendopo dan Gazebo. Tanah 14 bidang itu tidak termasuk dengan tanay ulayat milik Gaspar.

Menurut Kepala Suku Redu, Gabriel Bedi, tanah itu berstatus “tana ku rebe” yakni tanah ulayat Redu yang telah diolah secara turun-temurun dan diakui sebagai milik pribadi Gaspar Raja.

Di lokasi miliknya itu dipasang “Fani” oleh Wedo bersama Kapolres Nagekeo tanpa diketahuinya. Maka Gaspar menebas “Fani” itu dengan golok sambil memakan tanah.

Mengapa ritual itu tidak dilakukan di atas 14 bidang tanah tapi di atas tanah milik Gaspar? Itu hanya bisa dijawan Wedo dan gerombolannya, termasuk Kapolres Rachmat.

Laporan Wedo ditanggapi Polres Nagekeo dengan melayangkan surat panggilan klarifikasi atas laporan Wunibaldus, Jumat (30/05/2025). Gaspar berniat hadir pada 2 Juni 2025.

Namun, oknum polisi bernama Randi mendatanginya dan menyodorkan telepon dari Kabag Ops Polres Nagekeo, AKP Servulus Tegu. “Dalam telepon itu, Pak Tegu ancam saya, kalau hari itu saya tidak datang, polisi akan jemput paksa dan mereka langsung isi saya dalam penjara,” katanya.

Ancaman polisi dengan jabatan Kabag Ops.Polres Nagekeo sekaligus pemilik Kafe Coklat yang buka 24 jam itu membuat Gaspar mengurungkan niat. Mengapa Kabag Ops AKP Servulus Tegu mesti menelepon Gaspar dengan ancaman kekerasan?

Publik Nagekeo membaca, Kabag Ops Tegu ini punya tendensi buruk yang mesti diselidiki lebih mendalam.

Proses hukum terkait dengan tanah ulayat waduk Lambo selalu disertai permainan kekerasan, kekasaran dari oknum aparat kepolisian kepada orang-orang kecil, sederhana dan buta hukum. Orang-orang kecil ini hanya mempunyai ketakutan.  Ketika ketakutannya dirampas oleh aparat sekelas Kabag Ops Tegu ini, apalagi yang diandalkan?

Mangkirnya Gaspar dari panggilan polisi sesungguhnya berdasar pada trauma peristiwa 4 April 2022 yang tidak akan pernah hilang dari catatan memori orang-orang Rendu.

Kala itu sebanyak 24 warga Malapoma ditangkap paksa oleh polisi. Kisah kelam di balik penangkapan itu telah berujung pada aksi penganiayaan terhadap Bernadinus Gaso, tokoh adat, dan Hiparkus Ngange, aktivis muda.

Bernadinus bahkan dianiaya langsung oleh Kapolres Nagekeo saat itu, AKBP Yudha Pranata. Keduanya jatuh sakit berkepanjangan hingga meninggal dunia.

Kita berharap dari dunia seberang, darah Bernardus Gaso dan Hiparkus Ngange, terus mencari dan mengejar Yudha Pranata dan gerombolan mafianya hingga liang lahat. Gaspar justru melarikan diri dan mencari perlindungan di Koramil 1625/05 Aesesa.

Dandim 1625 Ngada, Letkol CZY Denny Wahyu Setiawan, menegaskan TNI tidak mencampuri urusan instansi lain tetapi berhak melindungi warga sipil yang mencari perlindungan kepada TNI.

Gaspar dan keluarganya bahkan diizinkan tidur dua malam di Koramil. Sejak itu, situasi Malapoma relatif tenang. Anggota TNI kerap melintas dan bercengkrama dengan warga.

Gaspar pun juga telah kembali ke rumah. Atas keamanan iti, Gaspar secara sadar juga telah membuka kembali akses menuju Kantor Direksi yang sebelumnya dia pagari.

Ekonomi Bayangan di Sekitar Waduk

Tak berhenti pada tanah, mafia waduk juga menguasai bisnis turunan. Pasokan material (galian C), suplai BBM bersubsidi, bahkan logistik proyek diduga dikendalikan kelompok yang sama. Pemilik izin tambang (IUP) sebagian besar adalah orang dekat aparat lokal atau makelar proyek dari luar daerah.

Kelangkaan BBM di Nagekeo yang sering terjadi sejak proyek berjalan bukan semata faktor distribusi tetapi karena sebagian besar BBM subsidi dialihkan ke waduk. Cengkeraman mafia sudah sangat masif. Rakyat Nagekeo sudah saatnya harus bangkit untuk membersihkan waduk Lambo dari tangan-tangan gerombolan mafia.

Proyek Besar, Rakyat Kecil

Publik tahu bahwa potensi Waduk Mbay sangat besar. Dengan kapasitas tampung 51,74 juta m³, waduk ini akan menjadi yang terbesar di NTT, menyaingi Bendungan Temef (45 juta m³). Fungsinya vital: Irigasi 6.100 ha sawah (Mbay Kanan dan Kiri), air baku 205 liter/detik untuk PDAM Nagekeo, dan reduksi banjir 283 m³/detik di Sungai Aesesa.

Presiden Jokowi bahkan berharap, setelah rampung, produksi beras Nagekeo meningkat 250 %. Namun, per Oktober 2025, progres fisik baru berkisar 35-40 %, jauh dari target rampung 2024. Hambatan utama bukan teknis, melainkan sosial dan tata kelola: pembebasan lahan yang rusak oleh intrik dan korupsi dari gerombolan mafia.

Lebih dari kehilangan tanah, masyarakat adat kehilangan martabat. Uang ganti rugi yang seharusnya dikelola secara kolektif justru memecah ikatan suku.

Ketua-ketua adat difitnah, diintimidasi, bahkan diserang oleh kelompok muda yang termakan janji uang. Sebagian situs adat seperti kubur leluhur, pohon suci, dan tempat upacara kini tergusur alat berat.

“Bendungan ini bukan hanya menenggelamkan tanah kami, tapi juga menenggelamkan hati kami,” ujar seorang tokoh adat dari Suku Kawa-Lambo dalam nada getir.

Reformasi dan Harapan

Tragedi Waduk Lambo adalah cermin kegagalan sistemik: antara proyek strategis nasional dan integritas lokal yang rapuh. Karena itu, langkah penyelamatan harus menyentuh akar. Pertama, bongkar jaringan mafia tanah.

Mabes Polri harus menurunkan tim independen di luar struktur Polda NTT untuk mengusut keterlibatan oknum aparat. Kedua, audit dan transparansi publik. Seluruh data penerima ganti rugi harus diumumkan terbuka. Setiap rupiah harus bisa dilacak.

Ketiga, perlindungan hukum bagi masyarakat adat. Hak ulayat harus diakui sebagai entitas kolektif, bukan obyek percaloan. Keempat, relokasi dan program ekonomi baru. Pemerintah wajib menyediakan lahan pengganti, modal usaha, dan pelatihan agar masyarakat tak jatuh miskin.

Kelima, media dan civil society harus bangkit. Jurnalis lokal harus bebas dari intimidasi dan mampu mengawasi proyek publik tanpa takut kriminalisasi.

Media-media yang masih memiliki nurani “terjaga” mesti bersatu untuk melawan gelondongan masalah yang diaktori gerombolan mafia yang terstruktur dan sistematis.

Tidak ada kejahatan yang sempurna. Tidak pernah ada kejahatan yang abadi. Hanya kebenaran yang abadi. Tapi perlu ketahanan energi dan keberanian menerobos segala rintangan.

Waduk Lambo atau dikenal juga dengan nama waduk Mbay harus menjadi waduk harapan, bukan waduk Keputusasaan. Bendungan Mbay sejatinya bisa menjadi simbol kemajuan NTT: air bagi sawah, listrik bagi desa, dan harapan bagi generasi muda.

Lebih dari kehilangan tanah, masyarakat adat kehilangan martabat. Uang ganti rugi yang seharusnya dikelola secara kolektif justru memecah ikatan suku.

Ketua-ketua adat difitnah, diintimidasi, bahkan diserang oleh kelompok muda yang termakan janji uang. Sebagian situs adat seperti kubur leluhur, pohon suci, dan tempat upacara kini tergusur alat berat.

“Bendungan ini bukan hanya menenggelamkan tanah kami, tapi juga menenggelamkan hati kami,” ujar seorang tokoh adat dari Suku Kawa-Lambo dalam nada getir.

Reformasi dan Harapan

Tragedi Waduk Lambo adalah cermin kegagalan sistemik: antara proyek strategis nasional dan integritas lokal yang rapuh. Karena itu, langkah penyelamatan harus menyentuh akar.

Pertama, bongkar jaringan mafia tanah.

Mabes Polri harus menurunkan tim independen di luar struktur Polda NTT untuk mengusut keterlibatan oknum aparat.

Kedua, audit dan transparansi publik. Seluruh data penerima ganti rugi harus diumumkan terbuka. Setiap rupiah harus bisa dilacak.

Ketiga, perlindungan hukum bagi masyarakat adat. Hak ulayat harus diakui sebagai entitas kolektif, bukan obyek percaloan. Keempat, relokasi dan program ekonomi baru. Pemerintah wajib menyediakan lahan pengganti, modal usaha, dan pelatihan agar masyarakat tak jatuh miskin.

Kelima, media dan civil society harus bangkit. Jurnalis lokal harus bebas dari intimidasi dan mampu mengawasi proyek publik tanpa takut kriminalisasi.

Media-media yang masih memiliki nurani “terjaga” mesti bersatu untuk melawan gelondongan masalah yang diaktori gerombolan mafia yang terstruktur dan sistematis.

Tidak ada kejahatan yang sempurna. Tidak pernah ada kejahatan yang abadi. Hanya kebenaran yang abadi. Tapi perlu ketahanan energi dan keberanian menerobos segala rintangan.

Waduk Lambo atau dikenal juga dengan nama waduk Mbay harus menjadi waduk harapan, bukan waduk Keputusasaan. Bendungan Mbay sejatinya bisa menjadi simbol kemajuan NTT: air bagi sawah, listrik bagi desa, dan harapan bagi generasi muda.

Tetapi jika gerombolan mafia terus bermain dan negara membisu, maka bendungan itu akan dikenang bukan sebagai sumber kehidupan, melainkan monumen ketidakadilan.

Air belum mengalir dari Waduk Lambo. Yang mengalir baru air mata rakyat kecil yang kehilangan tanah dan keadilan serta tidak berdaya di hadapan teror gerombolan mafia yang kesetanan melihat aliran uang dari bibir waduk Lambo.

Ketika Gereja bersama umatnya, terutama kelompok elite politik-birokrasi di Nagekeo tidak bungkam di hadapan fakta adanya mafia di waduk Lambo dan terus bersuara karena tidak berjarak dengan umatnya yang sedang diperas para mafia, harapan itu tetap hadir. Jika tidak, kita sedang mengarak salib menuju ke bibir waduk Lambo untuk menyalibkan umat kita sendiri. ***

Jurnalis, Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa”, Pendiri Oring Literasi

Catatan : Tulisan ini sudah dimuat pada FloresPos Senin, 6 Oktober 2025/

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Pembinaan Atau Penyiksaan ? Kasus Prada Lucky Bongkar Praktik Brutal di Balik Seragam TNI
Hukrim

Pembinaan Atau Penyiksaan ? Kasus Prada Lucky Bongkar Praktik Brutal di Balik Seragam TNI

Pembinaan Atau Penyiksaan ? Kasus Prada Lucky Bongkar Praktik Brutal di Balik Seragam TNI KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM — Praktik tidak...

Read more
Kapolres Ende AKBP I Gede Ngurah Joni M.,Hadiri Pemakaman Adi Menyampaikan Belasungkawa

Kapolres Ende AKBP I Gede Ngurah Joni M.,Hadiri Pemakaman Adi Menyampaikan Belasungkawa

Kapolres Ende AKBP I Gede Ngurah Joni Mohon Maaf dan Dukacita Atas Insiden Terhadap Adi

Kapolres Ende AKBP I Gede Ngurah Joni Mohon Maaf dan Dukacita Atas Insiden Terhadap Adi

Kejati NTT Lantik Shirley Jabat Kajari Kota Kupang

Kejati NTT Lantik Shirley Jabat Kajari Kota Kupang

Kejari Kupang Tahan Dua Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Sumur Bor Oenuntono

Kejari Kupang Tahan Dua Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Sumur Bor Oenuntono

Prajurit Bunuh Prajurit : Penasehat Hukum Keluarga Lucky Minta Hakim Jatuhkan Pidana Penjara dan Pemecatan 22 Terdakwa

Kematian Prada Lucky, Akhmad Bumi : Itu Extrajudicial Killing, Pembunuhan di Luar Hukum

Load More
Next Post
Sekda Tapo Bali Hadiri Perayaan Syukur Pemberkatan Rumah dan Hidup Membiara SJMJ di Watomiten Oleh Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kung

Sekda Tapo Bali Hadiri Perayaan Syukur Pemberkatan Rumah dan Hidup Membiara SJMJ di Watomiten Oleh Uskup Larantuka Mgr Frans Kopong Kung

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In