Renungan Minggu, 26 Oktober 2025 : Jalan Kebijaksanaan
Oleh : Pater Steph Tupeng Witin, SVD
WARTA-NUSANTARA.COM– Orang Farisi memasuki Bait Allah dengan kepercayaan diri yang tinggi dan penuh perhitungan. Ia berdiri dan berdoa dalam hatinya (Luk 18:11).






Orang Farisi berdoa di Bait Allah dengan meninggikan atau menyombongkan diri dan memojokkan atau merendahkan orang lain. Dalam doanya, orang ini menyebut kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya, yakni dirinya bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah, bahwa dirinya berpuasa sesuai ketentuan hukum Taurat dan memberi derma (Luk 18:11-12).



Ia bahkan membandingkan dirinya dengan pemungut cukai yang mengkhianati bangsa sendiri dengan memeras bagi penguasa asing. Pemungut cukai oleh orang Yahudi kerap dipandang sebagai orang berdosa, karena menarik pajak bagi penjajah Romawi dan biasa menarik lebih dari yang ditentukan.



Doa orang Farisi ini tidak ditujukan kepala Allah, sumber rahmat dan berkat, tetapi ditujukan kepada diri sendiri. Oleh karena terpusat pada dirinya sendiri, menurut Yesus, doa tersebut tidak dapat dibenarkan oleh Allah.
Dia gagal melihat kekosongan rohani dalam diri. Dengan demikian ia tidak mampu melihat adanya kebutuhan akan rahmat dan kerahiman Allah.



Sementara itu, pemungut cukai merendahkan diri di hadapan Allah. Ia menyadari kerapuhan dirinya dan sungguh menyesali dosa-dosanya di masa lalu. Lukas mencatat “Ia berdiri jauh-jauh” (Luk 18:13).
Ia merasa tidak pantas berdiri dekat “orang saleh” itu. Ia bahkan tidak berani memandang “ke atas.” Ia tidak punya apa-apa, selain perasaan tidak layak di hadapan Allah sebagai orang berdosa.
Ia berulangkali menepuk dada dan minta dikasihani. Ia bersujud di hadapan Allah dan mohon pengampunan atas dosa-dosanya, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini” (Luk 18:13). Dia tidak pernah menghina dan mempersalahkan orang lain.


Menurut Yesus, doa pemungut cukai ini dibenarkan oleh Allah (Luk 18:14). Ia layak menerima kasih karunia dari Allah. Mengapa? Dalam doanya, pemungut cukai menyediakan dirinya sebagai penerima belas kasih Tuhan. Dia benar-benar berseru kepada Tuhan. Pemungut cukai membiarkan dirinya dipenuhi belas kasih “dari atas.”
Pokok doanya adalah Tuhan sendiri. Sementara orang Farisi tidak dibenarkan Allah karena ia mengemas doanya sarat dengan “aku..aku..aku…Dirinya sendirilah yang menjadi pokok doanya. Tuhan kehilangan tempat. Doanya mandul karena penuh dengan dirinya sendiri. Doa orang yang congkak adalah jalan menuju kebinasaan.
Kitab Putra Sirakh mengungkapkan, “Doa orang yang terjepit didengarkan-Nya. Jeritan yatim piatu tidak diabaikan-Nya, ataupun jeritan janda yang mencurahkan permohonannya (Sir. 35:13b-14).
memang mendengarkan doa semua orang akan tetapi Ia mempunyai perhatian kepada orang tertindas, orang-orang yang tidak mampu menolong dirinya sendiri.
Doa terbaik adalah pelayanan yang setia dan sukarela. Doa orang yang rendah hati akan didengarkan Allah (Sir 35:16). Allah mengabulkan doa orang miskin dan tertindas (Sir 35:16) merupakan petunjuk bahwa kurban yang berkenan kepada-Nya ialah hati yang remuk redam dan penuh pertobatan (Mzm 34:19).
Banyak orang kaya yang mempersembahkan sejumlah besar persembahan untuk menyuap Allah agar menutup mata terhadap tindakan tidak adil yang dilakukan (Sir 35:10), sementara orang miskin dan tertindas tidak membawa apa-apa kecuali rintihan dan keluh kesah hatinya(Sir 35:16-18). Suara orang miskin dan tertindas seperti suara darah Abel yang menjerit menembus awan meminta pembalasan Tuhan.
Bagaiman sikap kita dalam berdoa? Apakah kita seperti orang Farisi yang membenarkan dan meninggikan diri? Ataukah seperti pemungut cukai yang merendahkan diri di hadapan Tuhan dan menyesali dosa-dosa? Firman Tuhan hari ini menginspirasi kita agar mengoreksi sikap batin kita saat berdoa.
Tuhan hendak menginsafkan kita agar mengenakan kerendahan hati sebagai satu-satunya jalan kebijaksanaan. Kalau kita mengandalkan diri sepenuhnya pada Kristus dan bukan pada kebaikan-kebaikan menurut persepsi kita, maka kita dapat sampai kepada suatu kesadaran bahwa “jika aku lemah, maka aku kuat” (2 Kor 12:10).
Sebaliknyalah yang akan terjadi kalau kita menaruh kepercayaan sepenuhnya pada kemandirian kita semata.
Injil hari ini mengajarkan kepada kita makna kerendahan hati. Farisi dan pemungut cukai sama-sama berdoa namun berbeda sikap dan intensi. Tuhan menerima doa pemungut cukai dan memberkatinya.
Ia sungguh-sungguh mengarahkan hati dan berserah kepada Tuhan. Sadar akan kedosaan dan ketidakpantasannya. Farisi seakan-akan berdoa tapi sesungguhnya sedang mementaskan kesombongan dan kecongkakan.
Hatinya sama sekali tidak terarah kepada Tuhan. Orang-orang seperti Farisi itu memandang diri baik secara rohani dan semua itu dicapai melalui upaya sendiri. Orang-orang model ini berada dalam bahaya penghakiman Allah karena percaya bahwa upaya-upayanya telah membuat mereka layak di mata Allah.
Tuhan mencari orang yang rendah hati, bukan orang yang suka membanggakan diri sendiri. Orang yang rendah hati akan terbuka hati untuk mempersembahkan diri dan hidupnya bagi kebahagiaan orang lain.
Paus Fransiskus ketika berpesan pada hari minggu misi sedunia mengajak kita melakukan ziarah misioner yang tidak kenal lelah kepada semua orang dan mengundang mereka datang berjumpa dengan Tuhan.
Sebagai murid-murid Tuhan, kita mesti memiliki kepedulian yang tulus bagi semua orang, apa pun status sosial dan moralnya. Bukan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain-karena setiap kita unik dan khas-tetapi memberi diri demi pelayanan kasih bagi semua orang. ***








