• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Rabu, Oktober 29, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Opini

Jangan Lagi Mengkriminalisasi Jurnalis

by WartaNusantara
Oktober 28, 2025
in Opini
0
Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan
0
SHARES
41
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

RelatedPosts

Retret Mewah dan Kegagalan Empati Kepemimpinan

Sumpah Pemuda dan Bara Literasi dari Timur

Sumpah Pemuda Ke-97 : Masih Relevankah “Satu Nusa” di Era Disrupsi Digital ?

Sumpah Pemuda Ke-97 : Masih Relevankah “Satu Nusa” di Era Disrupsi Digital ?

Load More

Jangan Lagi Mengkriminalisasi Jurnalis

Oleh : Steph Tupeng Witin

WARTA-NUSANTARA.COM–  TULISAN di media massa yang memenuhi standar jurnalistik dan melewati proses penyuntingan redaksi adalah karya jurnalistik yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Wartawan dan penulis artikel di media resmi tidak boleh dikriminalisasi karena karya jurnalistiknya. Pikiran ini mesti hadir dalam kesadaran intelektual para pengambil kebijakan publik, terutama aparat penegak hukum (APH) level rendahan tingkat lokal yang kelakuannya terkadang melebihi kapasitas elitenya di pusat.

Publik heran bahwa di Jakarta, Presiden Prabowo dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo dan pejabat selevel Menteri negara sangat menghormati karya jurnalistik yang menjadi mata, telinga, hidung dan hati rakyat.

Pejabat-pejabat ini memiliki kemampuan literasi jurnalistik yang mumpuni. Membaca karya jurnalistik, bahkan dengan kritik sekeras apa pun, merupakan jalan untuk mendengarkan suara, aspirasi, teriakan dan jeritan hati rakyat.

Lebih dari itu, karya jurnalistik adalah bagian dari perjuangan intelektual untuk menghadirkan kebenaran publik. Perjuangan intelektual itu melewati proses kerja jurnalistik yang memuliakan intelektualisme dan hati nurani.

Proses itu meniscayakan ruang debat dan adu perbedaan pendapat yang berlangsung secara demokratis di dalam ruang redaksi. Maka produk jurnalistik, entah berita, feature, opini, dan sebagainya merupakan buah dari percaturan ide, gagasan dan komitmen yang bersandar pada nurani.

Proses itu mulai dari lapangan, ketika jurnalis dan penulis opini mengumpulkan data dan fakta yang dianggap suci dalam jurnalistik (facts are sacred). Ia bukan sekadar tulisan, tetapi bentuk tanggung jawab moral kepada bangsa dan masyarakat.

Dalam konteks demokrasi, kemerdekaan pers adalah bagian tak terpisahkan dari kedaulatan rakyat. Karena itu, upaya apa pun yang membungkam wartawan sejatinya adalah pelecehan terhadap demokrasi itu sendiri.

Imam Katolik dan Wartawan: Suara untuk Publik

Saya bukan hanya seorang Imam Katolik dalam Serikat Sabda Allah (SVD), melainkan juga wartawan yang mengabdikan Imamat saya melalui dunia jurnalistik.

Saya pernah menjadi reporter, redaktur, redaktur pelaksana dan akhirnya memimpin Harian Flores Pos sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum, selama belasan tahun.

Setelah itu, saya memilih peran sebagai penulis independen yang lebih fokus pada laporan mendalam (in-depth reporting) dan analisa kritis atas persoalan publik di tanah Flores dan Lembata, bahkan NTT dan Indonesia.

Saya menulis opini di Kompas, Kompas.id., Koran Tempo, Media Indonesia, Koran Jakarta, Mingguan HIDUP Jakarta, menulis laporan mendalam di Majalah Tempo dan menulis hampir semua koran lokal di NTT.

Saya menjadi kolumnis tetap pada Florespos.net dan mengasuh kolom “Oring” yang dalam bahasa Lamaholot berarti: pondok mungil, tempat melepas penat siang sambil bercerita di tengah ladang ditemani tuak dan jagung titi (pangan lokal Lamaholot). Saya menulis di kolom “Oring” dua kali dalam seminggu.

Setelah mengakhiri masa kerja sebagai pemimpin umum dan pemimpin redaksi di HU Flores Pos, saya mendapatkan kepercayaan sangat besar dari Majalah Tempo sebagai Koreponden dengan “Surat Tugas” dari Pemimpin Redaksi, Setri Yasra pada 19 Desember 2022. “Surat Tugas” dari Pemred Tempo yang bernanung di bawah PT Tempo Inti Media Harian itu Nomor: 212/RED.MBM/S.Tugas/ XII/2022.

Saya selalu melakukan kegiatan liputan sesuai kebutuhan dan penugasan dari Majalah Tempo. Saya sudah menulis banyak laporan jurnalistik di Majalah Tempo.

Salah satu yang membuat saya bahagia hingga detik ini adalah investigasi Tempo perihal pembantaian 1965 yang kemudian dibukukan dalam buku “Pengakuan Algojo 1965” dan menjadi Best Seller.

Sebagai Imam, saya memiliki tanggung jawab moral dan teologis untuk memperjuangkan keadilan sosial dan membela suara kaum kecil, khususnya suku Redu, Gaja dan Isa, sebagaimana diajarkan Gereja Katolik dalam doktrin Preferential Option for the Poor.

Imam memiliki tanggung jawab moral untuk memulikan kemanusiaan kaum kecil dengan mempersembahkan diri di tengah altar realitas. Imam Katolik tidak bisa tidak memperjuangkan nasib orang-orang kecil yang diperlakukan secara biadab, apalagi oleh oknum aparat negara yang digaji pajak rakyat kecil itu untuk melindungi.

Sebagai wartawan, saya wajib menyuarakan kebenaran dan membongkar ketidakadilan, khususnya di daerah yang rawan kekuasaan disalahgunakan. Tentu proses pembongkaran itu berbasis fakta dan data. Saya tidak pernah menulis dari ruang hampa.

Dalam tulisan, saya tidak hanya sekadar menuliskan fakta tapi melukiskan fakta. Bahkan saya menulis dengan memuliakan asas praduga tak bersalah dengan memakai kata “dugaan, diduga kuat.”

Aneh bahwa ada oknumk polisi yang galau dan panik direpresentasi pengacara lokal berkolaborasi mempolisikan “dugaan.” Laporan itu hanya bikin geli perut saja. Otak terlantar saja di bibir waduk Lambo. Mahfud Md bilang: intinya tidak perlu diseriusi. Tapi yang perlu diseriusi adalah kadar otak oknum polisi dan sang pengacara penebar teror murahan.

Di Nagekeo, banyak persoalan publik tidak berani diangkat media lokal karena wartawannya mendapat tekanan, intimidasi, bahkan ancaman pidana. Mereka dikriminalisasi agar diam. Saya tidak ingin ikut diam, sebab diam berarti bersekongkol dengan ketidakadilan.

Saya hanya mengumpulkan data dan fakta “suci” di area seputar waduk Lambo dan tanah ulayat rakyat, mendengarkan desah, jeritan dan tangis warga korban yang ditindas gerombolan mafia yang diduga nuraninya ditumpulkan keserakahan uang.

Hal yang lebih menggelikan adalah oknum aparat penegak hukum khususnya polisi dan pengacara KH Destroyer memanfaatkan institusi Polres Nagekeo untuk meneror dan membungkam suara jurnalis lokal Mbay dan warga terdampak.

Semua orang bungkam. Apakah dugaan kejahatan yang dipertontonkan tanpa risih apalagi malu secuilpun oleh gerombolan mafia waduk Lambo mesti lestari dan terus memakan korban rakyat kecil hanya karena kita bungkam?

Saya ingat kata-kata Andreas Harsono, Wartawan, Penulis Buku dan Pendiri Yayasan Pantau: Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Hanya ada dua syarat untuk menulis: harus tahu dan harus berani. Tahu saja tidak cukup. Harus punya keberanian, punya nyali untuk menyatakan pikiran.

Romo Sindhunata SJ, Wartawan Kompas dan Pemimpin Umum Basis: Kita butuhkan wartawan atau penulis (opini) yang senang bekerja, bahkan bekerja keras, gemar turun ke lapangan, bertemu, bergaul, dan bercampur dengan realitas kehidupan sehingga mengangkat kejadian dan persoalan rakyat kecil ke atas panggung reportase yang mendalam dalam sosoknya yang nyata, hidup, berdenyut, berdesak, berkeringat, berairmata, bersenyum dan berpengharapan.

Sosok rakyat kecil di atas panggung reportasi dan tulisan opini itu adalah data dan fakta yang karena “kesuciannya” memiliki energi dahsyat untuk membuka borok sehingga menggoyahkan sendi-sendi mafianya.

Para gerombolan mafia itu lalu berhamburan keluar lubang persembunyian dan memamerkan wajah asli mafia. Pola aslinya mulai keluar. Panik luar biasa. Mainkan jurus pakai pengacara suruhan KH Destroyer untuk melancarkan serangan senja: laporan ke polisi.

Konferensi pers melalui facebook dengan narasi ugal-ugalan, sangat minim literasi hukum dan terpencil dari ranah kecerdasan. Belakangan, mulai pakai tokoh-tokoh lokal untuk memuja-muji sang oknum polisi yang panik luar biasa melebihi Tuhan.

Lalu menelepon orang-orang untuk curhat bahwa laporan ke polisi itu tidak serius dan hanya modus bertemu penulis untuk “omong baik-baik semua ini.” Semua ada rekaman pembicaraan. Otak mafia itu anggap semua orang itu sama: bisa dipanggil ke Polres Nagekeo, diperiksa, ditekan, diteror, lalu diajak berdamai.

Saya menolak untuk mengikuti pola usang yang selalu dimainkan institusi Polres Nagekeo di bawah komando Mantan Kapolres Yudha Pranata dan Kabag Ops Serfolus Tegu: setor kebodohan di depan publik. Saya hormati hukum tapi harus benar, adil, berintegritas, memulikan HAM dan tidak merepresi akal sehat.

Nagekeo dan Cengkeraman Mafia
Saya menulis dengan tanda tanya bahwa Nagekeo memang dalam cengkeraman mafia yang melibatkan oknum polisi, oknum pengacara, oknum pengusaha, oknum wartawan (termasuk wartawan yang bekerja di media online yang terdaftar di Dewan Pers), oknum masyarakat yang dinobatkan sebagai tokoh dan tuan tanah palsu. Jaringan mafia ini merasa sangat kuat karena didukung orang kuat Jakarta.

Menurut kesaksian para jurnalis dan warga Mbay khusus  terdampak waduk Lambo, AKP Serfolus Tegu memang selalu membawa-bawa nama orang dari Jakarta ketika menjalankan terjangan mafianya di waduk Lambo. Orang yang kerjanya hanya membawa-bawa nama “orang kuat” sesungguhnya sangat-sangat lemah sehingga mencari tameng untuk menutupi ketidakmampuannya. Terkait “orang kuat dari Jakarta” banyak orang yang “kepanasan.”

Saya duga, orang-orang yang “kepanasan” itu bukan orang kuat tapi orang lemah juga yang mungkin saja selama ini banyak memuja-muja orang kuat. Pertanyaan sederhana: kalau Anda bukan “orang kuat” mengapa tersinggung?

Laporan terhadap saya oleh AKP Serfolus Tegu lewat kuasa hukumnya yang berambut gondrong, sarat benturan kepentingan.  AKP Serfolus Tegu diduga kuat terlibat banyak skandal di Nagekeo. Laporan itu patut diduga sebagai upaya membungkam saya untuk menyampaikan kebenaran. Ia diduga tidak mau boroknya terkuak ke publik dan keterlibatannya sebagai otak mafia di bibir waduk Lambo yang mencoreng institusi Polri terbongkar.

Salah satu oknum pengacara, anggota KH Destroyer, bagian dari jaringan mafia,sangat aktif meneror orang Nagekeo yang kritis, termasuk saya, lewat narasi di WhatsApp dan media sosial lain.  Ia mengancam membawa saya dan sejumlah orang kritis, pembela kebenaran, ke Mabes Polri.

Jaringan ini kuat karena merasa mendapat dukungan dari orang berpengaruh di Jakarta. Mereka berlindung di balik institusi, bahkan menjadikan aparat hukum sebagai perisai untuk menutupi kejahatan.

Karena itulah, ketika saya menulis artikel berjudul “Ketika Keadilan Dirampas Kekuatan Mafia Nagekeo” (20 Oktober 2025, di Florespos.net), mereka bereaksi keras. Tulisan itu dinilai “berbahaya” karena membuka borok yang selama ini tertutup.

Kebiadaban Wolosabi

Tulisan-tulisan saya di Florespos.net akhirnya membuka kesadaran dan memantik keberanian warga Nagekeo yang selama ini sangat menderita dalam represi jahat gerombolan mafia waduk Lambo.

Anton Adja, warga dari kampung Wolosabi, Desa Ulupulu, Ndora, Kecamatan Nangaroro mengirim bukti berupa foto-foto dan video yang menghadirkan lokasi penggalian besar-besaran dengan hasil: lubang yang dalam, menganga lebar dan tampak alat berat berwarna merah muda sedang beroperasi.

Orang ini melukiskan lubang besar menganga itu sebagai “foto-foto kebiadaban mafia” yang menghancurkan lokais kebun dan pekarangan rumah. Ia menyebut salah satu penggeraknya adalah Gustyb Bebi Daga. Pemilik izin galian C adalah “orang kuat” dari Jakarta. Pemilik lahan disuruh minggir atas nama negara.

“Saya adalah korban langsung dari jaringan mafia biadab yang tak bermoral, yang dengan brutal merampok, merampas hak-hak warisan saya yang diturunkan dari nenek moyang, leluhur, orang tua dan hari ini turun ke saya lagi. Tapi semuanya telah dirampas, dirusak tanpa permisi oleh para mafia. Kebun dan pekarangan yang di dalamnya mengandung material berkelas, sudah dirusak jaringan mafia. Lahan saya terdampak waduk Lambo ada tiga bidang, sengaja dibuat konflik oleh para mafia ini.”

Laporan Sarat Konflik Kepentingan

Pada 21 Oktober 2025, sehari setelah terbitnya tulisan “Ketika Keadilan Dirampas Kekuatan Mafia Nagekeo” Kabag Ops Polres Nagekeo AKP Serfolus Tegu, seorang perwira Polres Nagekeo, melalui kuasa hukumnya Kosmas Jo Oko, melaporkan saya ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik.

Padahal, tulisan tersebut adalah karya jurnalistik, telah melewati proses redaksi, dan diterbitkan di media yang terdaftar di Dewan Pers. Saya dituduh mencemarkan nama baik Serfolus Teguh. Sebuah tuduhan yang dilontarkan secara ugal-ugalan oleh pengacara gondrong dengan narasi sarat teror dan serangan pribadi (ad hominem) yang sangat brutal.

Saya bisa memaklumi karena ini pengacara dengan karakter KH Destroyer. Kelompok mafia ini memang lebih gemar menyerang kulit, tapi absen di substansi karena kapasitasnya memang hanya itu. Kulit.

Saya merasa perlu mengingatkan pengacara Kosmas Jo Oko yang mengambil atau mengutip informasi dari Pater Mill yang sifatnya menyesatkan karena tidak cerdas menerima informasi dan mengekspose ke ruang publik. Sebuah kesalahan sangat fatal yang saying sekali dipertontonkan seorang tokoh publik sekelas Pater Mill.

Hal ini membuktikan ada orang, bahkan Imam yang sangat emosional dan tidak beretika. Saya juga mendengar sangat banyak informasi tentang pengacara Kosmas tapi untuk apa saya koarkan di ruang publik?  Saya ajak Kosmas agar lebih rasional dan sedikit saja lebih intelektual.

Argumentasi harus dibantah dengan argumentasi, bukan dengan serangan pribadi. Saya heran, Kosmas dan jejaring mafia yang memakai banyak akun palsu sibuk menyerang pribadi tapi menelantarkan otaknya sendiri di tungku dapur. Meladeni orang-orang yang lupa otaknya di tungku api, sama dengan membuang energi yang tidak perlu.

Bagi saya yang sedikit saja paham hukum, tuduhan brutal dan laporan itu tidak punya legal standing. Saya mengkritik Serfolus Teguh sebagai aparat penegak hukum pada Polres Nagekeo. Dia berpakaian polisi dan hidupnya dibiayai negara yang berasal dari pajak rakyat.  Saya tidak ada urusan dengan pribadi Serfolus Tegu.

Pembelokan brutal yang dilakukan Serfolus dan pengacara gondrong itu membuktikan kesesatan logika berpikir hukum. Dua orang ini pikir bahwa mereka bisa mengatur orang lain seenak perutnya dengan memperalat institusi Polres Nagekeo untuk memenuhi hasrat infantilnya.

Tegu itu seorang aparat polisi dengan jabatan Kabag Ops. Dalam dirinya melekat jabatan publik. Sebagai pejabat publik, dia tidak punya legal standing untuk melaporkan pencemaran nama baik atas kritikan kinerja lembaga kepolisian.

Yang ditulis dalam kritikan di media itu bukan Tegu sebagai pribadi murni tapi sebagai polisi dengan jabatan yang melekat. Yurisprudensinya ada dalam putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024. Pengacara Kosmas Jo Oko mesti baca dulu putusan MK ini agar jangan asal bunyi (asbun).

Pertanyaan sederhana: Ketika dia memanggil dan intimidasi wartawan di Polres Nagekeo itu sebagai Tegu atau Kabag Ops? Dia ke lokasi waduk Lambo ketemu warga terdampak itu sebagai Tegu atau Kabac Ops? Dia telpon dan ancam mahasiswa itu sebagai Tegu atau Kabag Ops? Apalagi ancaman dengan membawa-bawa nama institusi Polres Nagekeo. Ini bukti bahwa selama ini gerombolan mafia memakai insitusi Polres Nagekeo sebagai alat teror penuh ketakutan.

Saya sangat kuat menduga bahwa laporan itu hanya sebagai upaya membungkam kritik dan menakut-nakuti mereka yang bersuara. Ironisnya, Tegu sendiri diduga kuat terlibat dalam berbagai skandal di Nagekeo, mulai dari kasus Cokelat Café, praktik percaloan penerimaan polisi, hingga pelecehan dan intimidasi terhadap jurnalis, warga dan mahasiswa.

Advokat Senior Petrus Bala Pattyona menilai laporan itu penuh benturan kepentingan. “Kalau laporan diproses di Polres Nagekeo, tidak objektif karena pelapornya adalah Kabag OPS. Sulit membedakan kapasitas pribadinya dengan jabatannya sebagai polisi,” ujarnya.

Pengacara Dr. Edi Hardun menjelaskan, langkah Tegu sangat melelehkan institusi Polri. “Dia harus sadar bahwa Polri itu milik seluruh rakyat. Jangan menjadikan posisi sebagai APH (aparat penegak hukum) untuk melanggar hukum dengan menebar teror dan melakukan pembungkaman. Pater Steph itu Imam dan wartawan yang menjalankan tanggung jawab moral untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan pribadinya. Maka tidak boleh dikriminalisasi atau dlaporkan untuk diproses hukum ” kata Edi, Sabtu (25/102025).

Publik pun menolak jika kasus ini ditangani di Polres Nagekeo. Mereka mendesak agar Mabes Polri turun tangan, karena penanganan di tingkat lokal berpotensi tidak independen.

Mabes Polri jika benar-benar turun ke Nagekeo, itu sebuah kuburan terbuka lebar bagi semua gerombolan mafia waduk Lambo. Warga akan beramai-ramai melaporkan kasusnya yang selama ini tidak ditangani Polres Nagekeo karena tercemar kotoran mafia.

Dugaan Jejak Skandal dan Penyalahgunaan Wewenang

Rekam jejak Serfolus Tegu tidaklah bersih. Kasus Cokelat Café di Kelurahan Lape (Juni 2021) menjadi salah satu noda hitam. Berdasarkan bukti izin usaha dan surat kepolisian, Tegu diduga memiliki keterlibatan langsung.

Dalam peristiwa itu, dua orang tewas, termasuk seorang perempuan hamil enam bulan, Rovina Gamur (21), dan seorang anggota polisi, Bripka Julianus Pinem (35). Tiga pekerja lain hilang tanpa jejak. Semua dugaan kasus kejahatan kemanusiaan itu tidak pernah disentuh proses hukum dari Polres Nagekeo.

Kesaksian jurnalis dan warga menunjukkan ada kejanggalan dalam proses evakuasi korban. Bahkan, menurut saksi mata, salah satu jenazah sempat “dipaksa keluar” dari puskesmas oleh anggota polisi.

Tegu adalah pemilik Kafe/Cokelat Cafe di Roe, Mbay, Nagekeo”. Media lokal pernah mengulas konflik/razia kafe esek-esek ini pada tahun 2021 dan menyebut pemiliknya berinisial “BO” dan inisial itu merujuk pada nama Bibiana Oi (alias Putri).

Baca Juga :  Rakyat Nagekeo Harus Tolak Bungkam (Dukungan untuk Suku Redu, Isa dan Gaja)

Media menemukan nama ini dalam dokumen jual-beli tanah. Tapi, tidak ada dokumen terbuka yang mengaitkan kepemilikan kafe itu dengan Tegu.

Dalam perjalanan, Tegu dan BO pecah kongsi. BO masih keponakan Tegu. Mereka berjumpa di sebuah kafe di Riung, Ngada, saat Tegu bertugas di sana. Keluarga sudah memperingatkan Teguh bahwa BO adalah keponakan sendiri, bukan orang lain.

Mengapa pecah kongsi? Pecah kongsi terjadi karena Tegu ditengarai membina hubungan khusus dengan para ladies (PSK). Ini sudah menjadi rahasia umum. Rakyat hanya berbicara bisik-bisik, takut ditangkap dan disekap dimasukkan ke dalam sel.

Di Kafe Coklat ini sudah ada korban meninggal, antara lain, seorang polisi, Bripka Julianus Pinem yang diduga mengonsumsi miras oplosan. Kasus kematian aparat polisi dari Polres Nagekeo ini tidak pernah diproses hukum sampai hari ini karena dugaan ada “orang kuat” di Polres Nagekeo, pemilik kafe ini terlibat.

Salah satu ladies bernama Rovina Gamur alias Villa juga meninggal dunia akibat keracunan alkohol sesuai diagnosa dokter RSUD Aeramo, Nagekeo.

Pengacara Mbulang Lukas, SH mendesak Propam Mabes Polri turun tangan agar penyelidikan kasus ini dilakukan secara independen, guna menyelamatkan citra kepolisian dari dugaan penyalahgunaan wewenang dan keterlibatan oknum aparat dalam tragedi Nagekeo ini (VoxNtt.com,22/06/2021).

Ia juga diduga dilaporkan menerima uang Rp150–300 juta per calon untuk meloloskan mereka menjadi anggota polisi. Seorang ibu rumah tangga mengaku telah menyerahkan Rp150 juta namun anaknya gagal diterima, dan uang itu tak kunjung dikembalikan.

Mahasiswa PMKRI Cabang Kupang bahkan melaporkannya ke polisi karena intimidasi terhadap aktivis asal Rendu, Narsinda Tura. “Perilaku AKP Serfolus Tegu adalah bentuk arogansi kekuasaan yang tidak boleh dibiarkan,” tegas Yido Manao, Presidium GERMAS PMKRI Kupang.

Dasar Hukum yang Jelas: Lindungi, Bukan Kriminalisasi

Negara sudah tegas mengatur perlindungan terhadap wartawan. Pada 11 November 2022, Dewan Pers dan Polri menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) No. 01/PK/DP/XI/2022 dan No. PKS/44/XI/2022 tentang Pelaksanaan Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terhadap Penyalahgunaan Profesi Wartawan.

Pasal 5 PKS itu menyebut:

1. Bila polisi menerima laporan yang berkaitan dengan pemberitaan, wajib berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk menentukan apakah laporan tersebut menyangkut karya jurnalistik.

2. Jika dinilai sebagai karya jurnalistik, maka penyelesaian dilakukan melalui hak jawab atau hak koreksi, bukan pidana.

3. Jika dinilai bukan karya jurnalistik, barulah dapat diproses secara hukum pidana.

Artinya, Polisi tidak bisa langsung menetapkan wartawan sebagai tersangka.

Langkah demikian melanggar asas lex specialis derogat legi generali  bahwa UU Pers sebagai aturan khusus mengesampingkan aturan umum seperti KUHP atau UU ITE.

UU Pers Menjadi Tembok Perlindungan Demokrasi

Pasal 2 dan 3 UU No. 40 Tahun 1999 dengan jelas menyatakan:
“Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.”

Baca Juga :  Ketika Mafia “Merampok” Rezeki Warga di Waduk Lambo

Pasal 4 ayat (2) menegaskan:
“Pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”

Sedangkan Pasal 8 menegaskan:
“Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.”

Dengan demikian, kriminalisasi wartawan adalah bentuk pelanggaran terhadap konstitusi, prinsip demokrasi, dan penghinaan terhadap rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Produk Jurnalistik: Bukan Sekadar Berita

Pasal 1 angka 4 UU Pers menjelaskan bahwa produk jurnalistik mencakup tulisan, gambar, suara, data, dan grafik yang disiarkan melalui media massa yang sah. Bukan hanya hard news, tetapi juga opini, kolom, tajuk rencana, feature, dan laporan mendalam yang melewati proses redaksi.

Tulisan “Ketika Keadilan Dirampas Kekuatan Mafia Nagekeo” termasuk kategori tersebut. Ia telah melewati proses redaksi, diterbitkan oleh media yang terdaftar di Dewan Pers, dan ditujukan untuk kepentingan publik. Karena itu, setiap laporan hukum terhadapnya harus tunduk pada mekanisme Dewan Pers, bukan pidana umum.

Gunakan Hak Jawab, Bukan Jeruji
UU Pers memberi ruang bagi pihak yang dirugikan untuk menggunakan hak jawab dan hak koreksi. Ini adalah mekanisme demokratis yang menjamin keseimbangan antara kebebasan pers dan hak atas nama baik.

Namun yang sering terjadi, pihak-pihak yang merasa dirugikan justru memilih jalur pidana,  bukan karena mencari keadilan, tetapi untuk menakut-nakuti. Padahal, Dewan Pers telah menjadi lembaga resmi penyelesai sengketa pers sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf c UU Pers.

Peran dan Wewenang Mabes Polri

Mabes Polri memiliki peran strategis sebagai pengawas tertinggi dalam sistem kepolisian nasional. Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 dan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019, Mabes Polri berwenang mengambil alih kasus pidana di daerah bila:

1. Kasusnya berdampak nasional atau lintas wilayah hukum;

2. Menyentuh integritas institusi kepolisian;

3. Terjadi konflik kepentingan atau penyimpangan penanganan di tingkat Polres.

Dalam kasus Nagekeo, publik berharap Bareskrim Polri atau Divisi Propam turun langsung melakukan supervisi agar proses hukum berlangsung objektif dan transparan.

Polri Milik Rakyat, Bukan Milik Mafia

Polri adalah milik rakyat, bukan alat segelintir orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Siapa pun yang menggunakan institusi kepolisian untuk membungkam kritik dan melindungi kejahatan, sejatinya mencoreng kehormatan Bhayangkara.

Masyarakat berharap Kapolri bertindak tegas. Jangan biarkan nama Polri dipakai untuk menakut-nakuti rakyat dan wartawan. “Bagus jika Mabes Polri turun tangan memeriksa kebenaran jaringan mafia di Nagekeo yang melibatkan oknum polisi dan oknum pengacara. Datanglah ke Nagekeo secara in cognito agar tidak diketahui polisi di Nagekeo,” kata Edi Hardun.

Membela Pers, Membela Kebenaran

Kriminalisasi terhadap wartawan bukan hanya serangan terhadap profesi, tetapi terhadap hak rakyat untuk tahu. Ketika jurnalis dibungkam, publik kehilangan mata dan telinga. Mari hormati hukum, junjung tinggi etika, dan lindungi kemerdekaan pers. Wartawan bukan musuh negara. Mereka adakah penjaga nurani bangsa.

Dan bila ada aparat yang menggunakan hukum untuk menindas, maka tugas rakyat dan media adalah mengingatkan: Keadilan tidak boleh disandera oleh kekuasaan.

Ketika kekuasaan kepolisian di Nagekeo menyandera keadilan, saat yang tepat bagi segenap elemen Kabupaten Nagekeo segera bangkit dan bergerak bersama menuju Polres Nagekeo untuk merebut kembali kedaulatan rakyat dan membersihkan institusi Polres Nagekeo dari noda kelam jejak dugaan mafia waduk Lambo yang diotaki Kabag Ops Serfolus Tegu dan jejaring mafianya.

Hari-hari ke depan ini, gelombang perlawanan rakyat terhadap institusi Polres Nagekeo akan membesar, menyapu kepongahan gerombolan mafia karena memegang kekuasaan dan mempermainkan hukum untuk menindas rakyat miskin. ***

Jurnalis, Penulis Buku dan Pendiri Oring Literasi Siloam Lembata

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Retret Mewah dan Kegagalan Empati Kepemimpinan
Opini

Sumpah Pemuda dan Bara Literasi dari Timur

Sumpah Pemuda dan Bara Literasi dari Timur Oleh : Nia Liman Pegiat Litersi WARTA-NUSANTARA.COM--  Ada masa ketika saya merasa bara...

Read more
Sumpah Pemuda Ke-97 : Masih Relevankah “Satu Nusa” di Era Disrupsi Digital ?

Sumpah Pemuda Ke-97 : Masih Relevankah “Satu Nusa” di Era Disrupsi Digital ?

Ketika Dunia Bertanya, Jawaban Ada Pada Kejujuran

Ketika Dunia Bertanya, Jawaban Ada Pada Kejujuran

GEN – Z :  Merupakan Generasi Putih Future Cadres  dan Berperan Sebagai Agent Of Control

GEN – Z :  Merupakan Generasi Putih Future Cadres  dan Berperan Sebagai Agent Of Control

Pendidik dan Penyiram Antar Generasi (𝑬𝒖𝒍𝒐𝒈𝒊 𝑷. 𝑭𝒓𝒂𝒏𝒔 𝑷𝒐𝒓𝒂 𝑼𝒋𝒂𝒏, 𝑺𝑽𝑫)

Pendidik dan Penyiram Antar Generasi (𝑬𝒖𝒍𝒐𝒈𝒊 𝑷. 𝑭𝒓𝒂𝒏𝒔 𝑷𝒐𝒓𝒂 𝑼𝒋𝒂𝒏, 𝑺𝑽𝑫)

Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan

Rakyat Nagekeo Harus Tolak Bungkam (Dukungan untuk Suku Redu, Isa dan Gaja)

Load More
Next Post
Upacara Hari Sumpah Pemuda Ke-97 di Polres Ende : Polri Bersinergi dengan Ojol dan Buruh Jadi Pelopor Kamtibmas

Upacara Hari Sumpah Pemuda Ke-97 di Polres Ende : Polri Bersinergi dengan Ojol dan Buruh Jadi Pelopor Kamtibmas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In