Sumpah Pemuda Ke-97 : Masih Relevankah “Satu Nusa” di Era Disrupsi Digital ?
Oleh : Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin, M. Pd. CPIM
Prasangka:
WARTA-NUSANTARA.COM– Memperingati Sumpah Pemuda ke-97 tahun ini, sebuah pertanyaan kritis layak diajukan: “Masih relevankah gagasan ‘Satu Nusa’ di tengah derasnya arus disrupsi digital yang kini membentuk wajah kehidupan sosial dan politik Indonesia?”







Bahasan
Menurut laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2024, lebih dari 80 persen penduduk Indonesia aktif menggunakan internet, dengan mayoritas terlibat intens di media sosial seperti WhatsApp, Instagram, dan TikTok. Namun, fenomena polarisasi yang tajam juga terdeteksi. Studi dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat peningkatan kejadian hoaks sebesar 35% dalam dua tahun terakhir, terutama menjelang pemilu dan peristiwa nasional besar, yang tidak jarang memecah belah masyarakat berdasarkan afiliasi politik dan identitas suku/agama.



Salah satu contoh nyata yang mencuat di media sosial baru-baru ini adalah viralnya narasi kebencian terkait isu daerah tertentu yang dipolitisasi secara massif melalui konten video dan meme. Perilaku ini memunculkan reaksi berantai dan konflik digital yang mengancam integritas sosial di komunitas terkait, bahkan menimbulkan ketegangan di dunia nyata. Efek algorithmic bubble membuat pengguna sulit melihat beragam perspektif karena algoritma platform lebih mengutamakan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna.



Dalam konteks ini, ‘Satu Nusa’ yang dulu diperjuangkan oleh para pemuda pada 1928, sebagai wujud tekad persatuan di tengah keberagaman, diuji kembali di era digital yang penuh tantangan. Semangat yang sama harus dipertahankan, namun dengan pendekatan baru yang mampu menghadang fragmentasi yang dipicu oleh misinformasi dan segregasi digital.



Pemuda kini memiliki peran ganda sebagai penjaga dan penyambung semangat persatuan yang bertransformasi ke ranah digital. Gerakan literasi digital dan keberadaan komunitas digital yang aktif mengedukasi masyarakat menjadi hal krusial. Contohnya, kampanye #StopHoaks yang digalakkan oleh Kementerian Kominfo bersama organisasi masyarakat sipil berhasil menurunkan tingkat penyebaran berita palsu sebesar 20% pada tahun 2025.


Membangun persatuan di era digital bukan sekadar slogan semata, tetapi menuntut komitmen nyata yang diwujudkan melalui tindakan di media sosial: melawan ujaran kebencian, menerima pluralitas opini, dan aktif menjaga netiket. Melalui “Sumpah Pemuda Digital,” generasi muda dapat memperkokoh ‘Satu Nusa’ di dunia maya, menjadikan ruang digital sebagai tempat subur dialog yang konstruktif dan inklusif.
Di tengah disrupsi digital, persatuan Indonesia harus beradaptasi dan merefleksikan keragaman identitas sekaligus memperkuat solidaritas dengan menembus bunkers algoritmik. Hanya demikian, Sumpah Pemuda tetap relevan dan mampu menjadi pegangan dalam menjaga keutuhan bangsa.
Rekomendasi
Rekomendasi strategis untuk menguatkan persatuan digital melibatkan kolaborasi antar lembaga sebagai berikut:
- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo):
Memperkuat literasi digital dengan program edukasi berkelanjutan untuk warga digital agar lebih kritis terhadap informasi. Menegakkan regulasi tegas terhadap penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di platform digital.
- Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN):
Menjamin keamanan siber dengan peningkatan infrastruktur dan proteksi terhadap serangan siber yang berpotensi memicu disintegrasi sosial. Menggelar pelatihan keamanan digital bagi pengguna internet generasi muda. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI). Membentuk ekosistem digital yang inklusif dengan mendorong kolaborasi antara pelaku industri, masyarakat sipil, dan pemerintah dalam agenda tahunan Indonesia Digital Forum (IDF) 2025. Mengembangkan kebijakan dan standar etika digital yang memperkuat persatuan digital.
- Pemerintah Daerah dan Lembaga Pendidikan
Mengintegrasikan pendidikan literasi digital dan nilai persatuan dalam kurikulum formal serta pelatihan masyarakat. Menjadi ujung tombak dalam menguatkan kohesi sosial digital di komunitas lokal. Langkah-langkah ini bersinergi sesuai dengan visi transformasi digital Indonesia yang dicanangkan untuk menciptakan inklusivitas dan harmoni dalam ekosistem digital.
Inisiatif seperti Satu Data Indonesia dari Bappenas memberikan fondasi data terpadu untuk mendukung kebijakan efektif dan responsif terhadap dinamika digital. Menghadapi disrupsi digital yang memilah interaksi sosial ke dalam kelompok-kelompok sempit, Indonesia membutuhkan “Sumpah Pemuda Digital,” sebuah komitmen bersama untuk menjaga keutuhan bangsa tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga di ranah maya. Persatuan digital ini bukan sekadar slogan, melainkan tanggung jawab kolektif dan aksi nyata yang menghidupi nilai ‘Satu Nusa’.
Biodata:
Muh. Sulaiman Rifai Aprianus Mukin. Lahir di Ende, 27 April 1970, merupakan ASN pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Lembata, Provinsi NTT, saat ini sebagai Pengawas Sekolah Tingkat Menengah. Menyelesaikan studi S1 Fakultas Tarbiyah pada Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Muhammadiyah Kupang Tahun 1995, menyelesaikan studi S2 Magister Pendikan Agama Islam di Univesitas Muhammadiyah Malang Tahun 2025. Selain memperoleh gelar akademik, penulis pun memperoleh beberapa gelar non akademik, salah satunya Certified Planning and Inventory Management (CPIM). Penulis saat ini sedang merintis Taman Baca Savana Iqra (TBSIq), selain itu bergabung dalam “Komunitas Penulis Lembata” juga sebagai “Penakar Literasi” Menulis beberapa artikel pengabdian masyarakat, beberapa buku antologi Cerpen dan Puisi sejak tahun 2021 sampai dengan sekarang. Buku Solo “Mendidik dengan Cinta.” Sedang menunggu percetakan. Penulis juga menulis opini/headline di beberapa media online, penulis dapat ditemui di akun Facebook @RifaiAprian, IG @Rifai_mukin








