Sumpah Pemuda dan Bara Literasi dari Timur
Oleh : Nia Liman
Pegiat Litersi
WARTA-NUSANTARA.COM– Ada masa ketika saya merasa bara literasi di Lembata telah padam. Buku-buku yang saya susun di meja dan bangku Taman Literasi Bintang Timur hanya diam ditiup angin, tanpa tangan-tangan kecil yang membuka. Anak-anak menghilang. Mereka lebih tertarik bermain game atau tik-tok di gawai ketimbang membaca. Di hari-hari seperti itu, saya sempat bertanya pada diri sendiri: apakah literasi masih relevan di tempat yang bahkan untuk makan sehari-hari pun kadang tidak mudah? Apakah api literasi di tempat ini sudah padam?







Lembata, pulau kecil di Nusa Tenggara Timur, tempat laut biru bertemu perbukitan tandus. Tradisi tutur begitu kuat; orang lebih percaya pada apa yang diucapkan daripada yang tertulis. Percakapan di bale-bale, legenda pengantar tidur, petuah dalam syair upacara adat, semua itu adalah ruang belajar yang tidak kalah kaya dari buku mana pun. Dalam tutur, tersimpan kebijaksanaan leluhur: cara menghormati alam, cara menjaga hubungan dengan sesama, cara menata batin ketika hidup terasa berat. Tentu saja, tradisi tutur itu bukan sesuatu yang harus diganti dengan buku, melainkan disandingkan. Literasi yang tumbuh dari buku dan literasi yang tumbuh dari tutur bisa berjalan beriringan. Yang satu mengajarkan kita memahami dunia luar, yang satunya lagi menjaga kita tetap terhubung dengan tanah yang kita pijak.



Saya pernah berpikir, menyediakan ruang baca dan mengajak anak-anak membaca buku sudah cukup. Ternyata tidak. Yang datang tidak hanya pembaca, tapi juga penyintas kecil. Ada yang bercerita tentang perundungan di sekolah, kekerasan di rumah oleh orang tua, ada yang menangis karena kehilangan rasa aman. Banyak anak dan remaja di Lembata hidup dengan tekanan yang tidak selalu terlihat: kekerasan yang dianggap “pendidikan”, cemooh yang dibungkus “candaan”, rasa takut untuk berbagi cerita dan meminta tolong, juga kesepian yang terkadang sangat dalam. Dari mereka saya belajar, literasi harus melampaui huruf. Literasi mesti lebih dari sekadar kegiatan membaca, yakni menjadi jalan penyadartahuan; membuka ruang untuk bertanya, memahami diri, dan mengolah luka.



Di tengah situasi seperti itu muncul beberapa ruang belajar di Lembata yang mencoba menjadi lebih dari sekadar tempat membaca. Ada yang membuka kelas kecil di teras rumah, ada yang berkumpul di bawah pohon, ada yang menggelar panggung di pinggir jalan. Di salah satu sudut kota, sebuah taman literasi bahkan menyediakan layanan curhat gratis. Bukan terapi atau pun konseling formal, tetapi kehadiran untuk mendengarkan, menemani, dan memberi ruang agar siapa pun boleh bercerita tanpa takut dihakimi. Dalam proses itu, literasi menjelma menjadi ruang pemulihan, tempat orang bisa merasa hidup dan didengarkan.



Bara literasi itu belum padam. Ia mungkin tidak menyala terang, tetapi tidak pernah mati. Hanya tertimbun, menunggu tiupan angin yang tepat untuk menyala kembali. Dan angin itu, belakangan, mulai terasa. Seperti hari ini, 28 Oktober 2025, beberapa komunitas pemuda di Lembata seperti Forum Pinggir Jalan, Taman Daun Lembata, Langit Jingga Film, Banal Komunal, Koalisi Kopi, bersama komunitas-komunitas kecil lainnya, telah bergerak. Di pinggir jalan kota, di ruang yang sering dianggap sepele, mereka menciptakan ruang seni, berbagi cerita, dan mempertemukan orang-orang dari latar yang berbeda. Gerakan ini mungkin sederhana, tetapi memantik suatu kesadaran bahwa perubahan bisa dimulai dari mana saja, dari siapa saja, dengan apa yang ada.


Anak-anak muda Lembata itu menolak menyerah. Mereka tidak menunggu perubahan dari pemerintah, mereka membuat perubahan itu sendiri. Mereka menjadikan jalanan sebagai panggung kesadaran. Di pinggir jalan kota Lewoleba, para pemuda menyalakan obor perubahan lewat musik, drama, tarian, juga monolog. Jalanan menjadi panggung literasi dan seni menjadi bahasa baru untuk menyadarkan masyarakat. Tidak ada pidato formal, melainkan pernyataan sikap melalui karya-karya. Mereka membaca realitas sosial dan menulis ulang masa depan dengan tindakan.
Gerakan seperti ini mengingatkan kita pada makna Sumpah Pemuda bahwa pemuda bukan tentang usia, tetapi tentang keberanian untuk bertindak. Tentang keyakinan bahwa tanah kelahiran bukan hanya tempat pulang, tetapi tempat yang layak diperjuangkan. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan sejarah.” Kutipan ini terasa relevan hari ini, bukan hanya menulis secara harfiah, tetapi meninggalkan jejak: ide, karya, tindakan nyata yang menghidupkan harapan dan berdampak positif bagi sekitarnya.
Sumpah Pemuda adalah tentang keyakinan pada masa depan. Dan masa depan itu sedang ditenun pelan-pelan, di ruang-ruang kecil seperti ini: ruang belajar di teras rumah, panggung di pinggir jalan, komunitas yang tak menunggu dana atau sorotan, tetapi bergerak karena cinta pada tanah ini.
Dari timur, bara kecil itu menyala kembali.
Selamat Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2025. Semoga api itu terus dijaga, meski kecil, namun cukup untuk menerangi jalan pulang bagi banyak orang. ***








