Kematian Prada Lucky, Akhmad Bumi : Itu Extrajudicial Killing, Pembunuhan di Luar Hukum
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM– Prada Lucky Chepril Saputra Namo dianiaya secara tragis oleh rekan dan seniornya di Yonif TP 834/WM, Aeramo, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, hingga meninggal dunia di RSUD Aeramo pada Rabu, 6 Agustus 2025.








Para pelaku kini tengah menjalani proses hukum di Pengadilan Militer III-15 Kupang. Persidangan yang telah berlangsung tiga hari berturut-turut itu mengungkap sejumlah fakta hukum yang mengguncang publik.
Kuasa hukum keluarga korban, Akhmad Bumi, S.H., menegaskan bahwa kematian Prada Lucky merupakan bentuk extrajudicial killing, yakni pembunuhan di luar hukum. “Itu tindakan penghilangan nyawa oleh aparat negara tanpa melalui proses hukum yang sah,” tegasnya di Kupang, Kamis (30/10/2025).
Menurut Bumi, tindakan seperti ini terjadi ketika aparat militer melakukan kekerasan tanpa perintah resmi, tanpa dasar hukum, dan tanpa pemeriksaan formal.



“Dalam hukum pidana militer, setiap tindakan anggota TNI harus tunduk pada rantai komando dan aturan hukum yang sah, bukan atas dasar ‘inisiatif pembinaan’ atau ‘perintah senior’,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa extrajudicial killing merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945 dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
Selama memantau jalannya persidangan, Akhmad Bumi menyebut kesaksian Prada Richard Bulan menjadi kunci penting dalam mengungkap kebenaran.
“Saya mencermati betul fakta yang terungkap dalam sidang, terutama kesaksian Richard Bulan yang jujur menjelaskan penyiksaan hingga menyebabkan kematian Prada Lucky. Jika dikaitkan dengan foto-foto luka di tubuh korban yang diserahkan ayah korban kepada majelis hakim, jelas ini extrajudicial killing,” tandasnya.



Bumi juga menyoroti bahwa penyelidikan atas tuduhan orientasi seksual sesama jenis (LGBT) terhadap Prada Lucky dan Richard Bulan dilakukan secara tidak sah. Dansi Intel (Komandan Seksi Intelijen) melakukan penyelidikan hanya berdasarkan perintah lisan dari Danki (Komandan Kompi) A, tanpa surat perintah dari Danyon (Komandan Batalion). “Danki dan Dansi Intel bukan pejabat penegak hukum, melainkan pembina operasional di bawah Danyon. Mereka tidak memiliki kewenangan penyelidikan hukum tanpa perintah tertulis dari komando berwenang,” jelasnya.



Ia menegaskan, jika ada prajurit TNI terindikasi melakukan pelanggaran kedisiplinan seperti dugaan LGBT, maka harus dilaporkan ke Angkum (Atasan yang Berhak Menghukum) untuk diproses sesuai aturan disiplin, bukan disiksa.
“Jika ada dugaan tindak pidana, barulah diserahkan kepada Polisi Militer untuk diselidiki sesuai prosedur hukum,” tambahnya.
Akhmad Bumi juga menolak anggapan bahwa kekerasan terhadap Prada Lucky hingga meninggal dunia merupakan bentuk pembinaan.


“Pembinaan itu mendidik dan melatih disiplin, bukan menyuruh telanjang, memaksa hubungan seksual, mengoles cabe di kemaluan, atau menyiram air jeruk ke tubuh luka. Itu penyiksaan, bukan pembinaan. Bila korban sampai mati, itu pembunuhan di luar hukum,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sistem hukum acara di peradilan militer mengikuti KUHAP, kecuali diatur lain oleh undang-undang militer.
“KUHAP tidak mengenal istilah pengakuan, melainkan keterangan. Saksi dan terdakwa dipandang sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban, bukan objek yang boleh ditekan atau disiksa. KUHAP sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia,” pungkas Akhmad Bumi.
Kesaksian sedih saksi Prada Ricard Junimton Bulan
Sidang Kasus Prada Lucky, saksi Prada Ricard Junimton Bulan mengakui kelamin dan anus dilumuri cabe hingga penyiksaan ala Akmil Saksi Prada Ricard Junimton Bulan merupakan saksi kunci dalam kasus ini. Ia juga merupakan korban dari penganiayaan bersama Prada Lucky.
Pada kesempatan itu, Prada Ricard Junimton Bulan tanpa ragu mengisahkan kejadian penyiksaan yang dilakukan para seniornya itu. Menurutnya, perlakukan para senior hingga pimpinannya itu bukan lagi didikan namun sudah penyiksaan dan tidak manusiawi.
Ia mengungkapkan bahwa peristiwa itu mulai dialaminya sejak pukul 00.40 tanggal 28 Juli 2025. Saat itu, kata dia, dirinya sedang berada di dapur, datanglah Andre Mahoklory terdakwa 2 dan menyampaikan saksi diperintahkan menghadap oleh Dansi Intel Thomas Desambris Awi (terdakwa 1).
“Saat dia panggil, dia tanya saya, kamu ada masalah apa?, saya jawab tidak ada masalah, lalu HP saya diambil dan diperiksa kemudian dibawa menemui terdakwa 1. Ia kemudian menjalani pemeriksaan. Dalam pemeriksaan ditanya terkait sikap dan kepribadian dari Prada Lucky.
“Saat itu saya menjelaskan bahwa sepengetahuan saya, yang bersangkutan merupakan orang yang baik dan perhatian “ ujarnya.
Usai pengakuan itu, Dansi Intel langsung menyebut bahwa saksi dan korban menjalani hubungan terlarang (LGBT). Atas tuduhan itu keduanya lalu diinterogasi lebih lanjut dan mendapat penganiayaan.
“Dansi Intel menanyakan kepada almarhum, apakah kamu pernah berhubungan dengan Ricard?, almarhum menjawab tidak pernah. Jawaban itu kemudian membuat ia emosi lalu memukul korban menggunakan sandal. Tidak puas ia menghubungi Provos,” katanya.
Tak lama kemudian, datanglah Provos Poncianus Allan Dadi (terdakwa 3). Ia lalu hendak menampar korban Prada Lucky namun ditahan oleh Dansi Intel. Pratu Alan kemudian memerintahkan Rio Laka alias Umeke untuk mencari selang namun dibawakan kabel berwarna putih.
Dari kabel itu, Dansi Intel gunakan untuk mencambuk kedua korban berulang kali pada bagian punggung. Tak sampai di situ, kedua korban disuruh membuka baju kaos loreng yang dikenakan kemudian dicambuk oleh Pratu Alan hingga berdarah.
“Kami dicambuk dari jam 1 sampai jam 3 subuh. Dansi Intel suruh saya tidur sedangkan korban Lucky hendak ke kamar mandi. Tak lama kemudian ia diberitahukan bahwa korban melarikan diri sehingga kami mencari di sekitar Batalyon namun tidak ditemukan,” sebutnya.
Ia menyebut setelah pencarian, ia diborgol dan dipindahkan ke salah satu ruang kosong hingga pagi. “Tangan kanan diborgol di jendela mulai jam 9 pagi sampai malam,” ujarnya.
Setelah pergantian piket kepada Pratu Imanuel Nimrot Laubora (terdakwa 6), saksi kembali menerima penganiayaan sekitar pukul 15.00 Wita. “Saat itu ia menyampaikan bahwa kami membuat malu lalu memukul menggunakan tangan pada bagian pipi. Tak puas, ia mengambil selang kompresor lalu mencambuk dibagikan punggung sebanyak empat kali. Saat bersamaan Sertu Dervinti Arjuna Putra Bessie (terdakwa 7) datang dan memukul menggunakan kopel,” ceritanya.
Ia juga mengaku, sore itu ia belum mendapat kabar tentang keberadaan Prada Lucky. Sejak sore jam 15.00 sampai pukul 21.00 ia dibawa oleh Pratu Nimrot dan letingnya Prada Eugenius Kin ke ruang Staf Intel. Disana sudah ada Letda Made Juni Arta Dana (terdakwa 8) yang siap mengintrogasinya.
“Saat itu saya berusaha berbohong dengan harapan agar tidak mendapat penyiksaan lagi,” katanya.
Meski demikian, kata dia, cambukan terus dilayangkan dengan harapan ia bisa mengakui akan perbuatannya (LGBT). Karena saksi tidak mengakui tuduhan tersebut, terdakwa Made mulai menggantikan cara penyiksaan dengan menggunakan lombok (Cabai) yang sudah diulek.
Letda Made menyeluruh Pratu Nimrot mengambil cabe. Pratu Nimrot kemudian menyuruh lagi Egianus Kin untuk mengambil cabe yang sudah diulek di dapur. Tak lama berselang, datanglah Egianus dengan membawa cabe yang sudah diulek setengah gelas.
Saksi kemudian disuruh telajang oleh Made kemudiam memerintahkan Egianus Kin untuk mengoles cabe itu ke kemaluan dan anus. “Leting kami menggunakan plastik di tangan kemudian melumuri kemaluan saya. Setelah itu saya disuruh nungging lalu lanjut melumur anus. Saya merasakan perih dan panas,” ujarnya.
Usai penyiksaan itu, saksi kemudian disuruh mengenakan kembali celana dan digabungkan dengan Prada Lucky yang saat itu keluar dari ruang Staf Pers. Keduanya yang sedang duduk dilantai, datanglah Pratu Alan dan menuduhnya berbohong sembari menendang pakai kaki kanan pada bagian telinga dan memukul menggunakan vanbelt kompresor dibagikan tulang ekor.
Dalam kesaksiannya, sekitar pukul 22.00 Wita datanglah para perwira. Pertama kali tiba adalah Lettu Lukman Hakim, lalu Lettu Ahmad Faisal (Danki Kompi A yang juga terdakwa berkas terpisah) dan dua org perwira lainnya. Mereka memberikan nasehat kepada kedua korban.
Di ruang itu, tiba-tiba masuk Pratu Rofinus Sale (terdakwa 9) lalu memberikan hormat sambil mengambil selang dan mencambuk keduanya masing-masing sebanyak 5 hingga enam kali setelah itu ia keluar. Tak berselang lama, datang lagi Pratu Emanuel Joko Huki (terdakwa 10) dan Pratu Jamal Bangal (terdakwa 12) juga melakukan hal yang sama.
Lebih sadis lagi, Pratu Arianto Asa (terdakwa 11). Ia datang langsung meludahi keduanya dibagikan wajah lalu mencambuk hingga korban kencing dicelana. Setelah itu berlanjut ke terdakwa 13, Yohanes Viani Ili, Mario Paskalis Gomang (terdakwa 14) dan terdakwa 15.Firdaus.
“Danki C Rahmat lalu melarang untuk ambil (memukul) kami lagi. Selanjutnya Dansi Intel memerintahkan Provos Pratu Alan dan Pratu Piter untuk membawa kami ke kamar mandi untuk mandi,” katanya.
Setelah di ruang staf pers datanglah Danki Achmad Thariq Al Qindi Singajuru, S .Tr . (Han) (Terdakwa 16) lalu memerintahkan keduanya untuk tiarap. Lalu keduanya dicambuk. Saat itu Prada Lucky berteriak kalau dadanya sakit. Bukannya diampuni, malah disuruh tahan napas lalu memukul pada bagian perut kanan. “Danki suruh berdiri lalu pukul dibagian perut sebelah kanan. Saat itu ia langsung membungkuk kesakitan,” terangnya.
Lebih lanjut, saksi mengaku penyiksaan berikutnya adalah tradisi tenggelam di daratan. Ia mengaku Prada Lucky terlebih dahulu disiksa. Kedua tangan diinjak oleh Danki, kedua kaki dipegang lalu disiram menggunakan air yang sudah terlebih dahulu disiapkan ke bagian muka hingga air habis.
“Setelah itu gantian dengan saya. Saya merasa sesak napas dan muntah air,” jawabnya ketika ditanya tentang apa yang dirasakan oleh Oditur.
Usai itu, keduanya kembali dicambuk berulang kali oleh Pratu Aprianto Rede Radja menggunakan hanger yang sudah dililit hingga Prada Lucky meminta ampun.
[09.27, 30/10/2025] AKHMAD BUMI: Sumber: kuasa hukum keluarga korban *** (*/Sumber: Kuasa Hukum Keluarga Korban/WN-01)








