• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Sabtu, November 8, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Hukrim

Mengapa BPN Nagekeo Panggil TNI, Bukan Polisi?

by WartaNusantara
November 8, 2025
in Hukrim
0
Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan
0
SHARES
16
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

RelatedPosts

Advokat, Penegak Hukum Masih Dianaktirikan

Tanggungjawab Presiden Prabowo Untuk Proyak Whoosh Sudah Sesuai Hukum

Kejari Lembata Setor Uang Korupsi 1 Miliar Kasus Proyek Jalan : Lely Lumina Lay divonis 4 Tahun Penjara

Kejari Lembata Setor Uang Korupsi 1 Miliar Kasus Proyek Jalan : Lely Lumina Lay divonis 4 Tahun Penjara

Load More

Mengapa BPN Nagekeo Panggil TNI, Bukan Polisi?

(Dukungan bagi BPN Nagekeo dan Bank BNI)Oleh : Steph Tupeng Witin 

(Jurnalis, penulis buku dan pendiri oring Literasi Siloam Lembata)

NAGEKEO : WARTA-NUSANTARA.COM–  Perlahan namun pasti, ulah mafia mulai merusak institusi Polri, khususnya Polres Nagekeo. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini tergerus serius. Polisi bukan lagi simbol rasa aman, melainkan sinyal rasa takut. Ulah oknum polisi yang menjadi biang mafia waduk Lambo menyebabkan masyarakat takut berhubungan dengan polisi.

Sebagaimana diberitakan VoxNTT.com, 4 November 2025 pada link berjudul “Pegawai BPN Nagekeo Alami Kekerasan Verbal, Pelaku Diduga Tuntut Ganti Rugi Proyek Waduk Lambo”, pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) diteror dan dimaki oleh gerombolan manusia “buas” pimpinan Wunibaldus Wedo cs di kantor BPN. Instansi itu tidak memanggil polisi. Mereka justru memanggil anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk melindungi diri.

Peristiwa memalukan itu terjadi pada Senin, 3 November 2025, sekitar pukul 11.15 Wita di kantor BPN Nagekeo. Pelaku utama diketahui bernama Wunibaldus Wedo, warga Rendu, Kecamatan Aesesa Selatan, yang datang bersama lima anggota keluarganya. Mereka menuntut agar nama Wunibaldus Wedo dimasukkan sebagai penerima kompensasi tanah proyek Waduk Lambo.

Awalnya, kedatangan kelompok tersebut disambut baik. Namun, ketika petugas menolak permintaan mereka karena tidak sesuai data, situasi berubah menjadi tegang. Wunibaldus dan gerombolannya melontarkan makian dan ancaman kekerasan terhadap salah satu pejabat BPN bernama James. Tak cukup dengan kekerasan verbal, mereka bahkan berupaya melakukan penyerangan fisik.

Belakangan terkuak nama-nama yang menyertai Wunibaldus Wedo melakukan serangan premanisme ke kantor BPN Nagekeo, semuanya berasal dari satu keluarga. Public Nagekeo  menduga kuat orang-orang ini sedang dilanda “ngiler” dan “kebelet” mendengar dana miliaran yang akan segera dicairkan.

Kita sebut nama-nama mereka agar seluruh rakyat Nagekeo melihat: apakah mereka ini benar-benar pemilik tanah ulayat atau yang punya afiliasi dengan dugaan gerombolan mafia waduk Lambo: Arnoldus Epe alias Nodus Epe, Arnoldus Aru, Asis Bheka dan seorang anak muda yang belum diketahui namanya (VoxNtt.com 04.11/2025).

Pegawai BPN yang ketakutan segera mengamankan diri dan mengunci ruang pelayanan. Sementara kelompok pelaku terus menggedor-gedor pintu dan memaksakan diri masuk.

Ketegangan baru mereda setelah pihak BPN menghubungi anggota TNI untuk mengamankan lokasi. Hingga kini, Pegawai BPN yang menjadi korban masih trauma. “Pak James belum bisa memberikan pernyataan karena masih dalam pemulihan,” ujar salah satu staf BPN.

Terhadap semua pemberitaan tersebut, Wunibaldus Wedo menyampaikan bantahananya sebagaimana termuat dalam VoxNtt.Com 5 November 2025 di bawah judul: “Bantahan Soal Dugaan Kekerasan Verbal Pegawai BPN Nagekeo.” Menurut Wedo, ia hadir di kantor BPN sebagai wakil suku Rendu untuk melakukan komunikasi lintas sektor, termasuk dengan BPN Nagekeo.

Ia hendak membahas surat pembatalan yang diterbitkan BPN pada 17 September 2025 yang membatalkan status dirinya sebagai penerima mandat atas uang ganti rugi tanah u;ayat milik suku Rendu, Gaja dan Isa.

Institusi sekelas BPN dengan pimpinan baru saat ini memang menjadi “tembok” bagi gerombolan mafia untuk menebar kotorannya. Kita memahami bantahannya. Memang, mana ada maling di bawah kolong langit ini yang akan mengkau sebagai maling? Apalagi mafia mengaku sebagai mafia?

Kronologinya, Suku Redu, Isa dan Gaja hampir saja menjadi korban permainan busuk dari jejaring mafia waduk Lambo yang mengandalkan “tuan tanah palsu” alias “tuan tanah dadakan” Wedo yang tentu saja didukung oknum Polres Nagekeo, oknum pengacara dan oknum BPN khususnya Kakan Abidin kala itu. Begitu mendengar ada uang sebesar Rp22,4 miliar akan diterima ketiga suku itu, permainan mulai dirancang dengan memakai jasa Wunibaldus Wedo.

Orang ini sangat percaya diri karena didukung oleh pembeking mafia yang menguasai jalur hukum dan birokrasi pembayaran hak rakyat. Maka dibangunlah kesepakatan dalam pertemuan di kantor BPN Nagekeo, 27 Mei 2025 yang katanya dihadiri wakil suku Redu, Isa dan Gaja (Flobamora-News.com (6/10/2025). Herannya, Polres Nagekeo hadir. Memang ada uang di balik batu.

Kalau tidak ada uang, mana polisi mau hadir? Wedo sangat percaya diri bahwa dia dipercaya menerima aliran dana itu ke rekeningnya. Tentu saja, Wedo dan gerombolan mafia menarik napas. Ada harapan.

Tapi harapan itu pupus ketika ketiga suku keberatan dan menolak kesepakatan itu. Pihak yang terlibat dalam kesepakatan pun menarik kembali kesepakatan. Dus Wedo dan gerombolan mafia gigit jari, mungkin gigit lidah juga. Uang sebesar 22,4 miliar kandas (FloresPos.Net. 13 Oktober 2025).

Peristiwa mirip terulang lagi pada Rabu, 5 November 2025. Wunibaldus Wedo dan gerombolannya mendatangi Aula Pondok SVD, Mbay, saat petugas BPN dan Bank BNI sedang melaksanakan kegiatan pencairan ganti rugi lahan di lokasi waduk Lambo.

Wedo melontarkan pertanyaan keras dan berupaya menyerang kepala BPN Nagekeo yang sedang duduk karena nama dia dan anggota kelompoknya tidak tertera dalam daftar yang akan menerima ganti rugi lahan dari negara lewat BPN.

Melihat situasi tidak menentu, karyawan BPN menghubungi TNI. Dalam sekejap, anggota TNI tiba di lokasi.  Setelah berusaha bersabar mendengar ocehan Wedo dan “bosnya”, pengacara asal Nagekeo yang berdomisili di Jakarta, anggota TNI menghalau Wedo dan gerombolannya keluar dari Aula Pondok SVD.

Tindakan tegas aparat TNI mengusir keluar Wedo dan gerombolannya yang mengaku-lebih tepat mengklaim diri-sebagai pemilik tanah merupakan tindakan yang sangat tepat karena telah mengganggu proses pembayaran ganti rugi. Apalagi mereka tidak terdaftar baik nama, alamat atau peta bidang tanah.

Untuk meyakinkan anggota TNI yang mengusir mereka, Wedo berkonsultasi via smartphone dengan pengacara Jakarta bernama Hans Gore. Dengan gayanya yang tampak percaya diri, garang, dan penuh intimidasi, Gore berusaha “menggoreng” untuk meyakinkan pegawai BPN dan anggota TNI.

Tapi suara besar penuh gaya itu tidak dipedulikan oleh petugas yang sibuk bekerja di mejanya. Kasihan, pengacara yang sering tampil di foto dengan latar belakang tulisan “Bareskrim Polri” ini suaranya saja tidak berwibawa.

Meski Hans Gore terus saja mengoceh dengan gayanya, Wedo tetap dihalau keluar dari arena pencairan dana ganti rugi lahan.  Kelompok Wedo tidak masuk dalam daftar undangan yang diterbitkan BPN. Tamu yang tidak diundang. Memalukan.

Menurut Pengacara Nasional Petrus Bala Pattyona, jika nama Wedo dan gerombolannya tidak ada dalam daftar BPN itu artinya secara administratif, mereka bukan pemilik lahan. Karena data kepemilikan lahan warga ada di BPN jika sudah bersertifikat. Sedangkan jika belum ada sertifikat, bukti kepemilikan lahan cukup dikuatkan oleh surat keterangan kepala desa.

Kalau Wedo dan jejaring mafianya tetap merasa sebagai pemilik tanah, tapi tidak   diakui BPN, mereka boleh mengajukan gugatan ke pengadilan setempat. Hakim akan memutuskan, apakah benar mereka sebagai pemilik tanah dan berhak menerima ganti rugi. Untuk sampai pada putusan, hakim tentu tentu mendengar keterangan para saksi atau memeriksa dokumen tertulis.

Jika hakim sudah memutuskan bahwa tuan tanah yang hanya mengaku-ngaku sebagai tuan tanah tidak berhak menerima ganti rugi, Wedo dan gerombolan beserta jejaring mafia waduk Lambo harus terima. Karena, demikian Petrus, hakim memutuskan berdasarkan bukti-bukti, yakni dokumen tertulis seperti sertifikat atau surat keterangan kepala desa dan keterangan saksi-saksi yang mengetahui duduk masalah tanah.

Bila masih juga ada sengketa kepemilikan tentang siapa yang berhak menerima ganti rugi, kata Petrus, maka pihak BPN atau PUPR menunda pembayaran ganti rugi dengan menitipkan uang ganti rugi itu di pengadilan sebagai konsinyasi sambil menunggu keputusan hakim.  “Sudah tepat TNI bertindak tegas dengan mengusir orang-orang yang mengaku-ngaku  sebagai pemilik tanah karena mereka telah mengganggu proses pembayaran ganti rugi. BPN biasanya memiliki daftar pemilik tanah by name, by adress, dan peta bidang,” kata pengacara nasional asal Lembata ini dalam wawancara dengan penulis, Rabu (05/11/2025).

Mengapa TNI?

Pertanyaan yang langsung mencuat dari benak penulis adalah, “Mengapa lembaga negara pemegang kewenangan pertanahan di tingkat kabupaten justru lebih percaya TNI ketimbang Polres Nagekeo?” Secara hukum, urusan keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) adalah tanggung jawab Polri.

Namun dalam kasus Waduk Lambo, proyek strategis nasional senilai Rp 1,9 triliun yang seharusnya membawa kesejahteraan bagi rakyat justru muncul fenomena aneh: masyarakat dan bahkan lembaga pemerintah sendiri takut kepada polisi dan lebih merasa aman berhubungan dengan dan mendapatkan perlindungan keamanan dari kehadiran anggota TNI.

Pegawai BPN bukan orang awam hukum. Mereka tahu siapa yang harus dihubungi jika terjadi ancaman. Tapi, fakta bahwa mereka lebih memilih memanggil TNI menunjukkan adanya krisis kepercayaan mendalam terhadap aparat Polri setempat.

Keputusan itu tidak diambil sembarangan. Mereka tahu persis bahwa setiap kali berurusan dengan kelompok Wedo dan gerombolan mafianya, polisi acap berpihak. Polisi tidak hadir untuk menindak pelaku dan menegakkan keadilan. Mereka bahkan juga gagal menenangkan suasana.

Publik Nagekeo menduga kuat, warga dan pegawai BPN Nagekeo sudah tahu bahwa mantan Kapolres Yudha Pranata dan oknum polisi bernama Serfolus Tegu telah lama menjadikan institusi Polres Nagekeo sebagai alat peneror dari kelompok mafia waduk Lambo.

Bahkan kedua orang ini diduga sangat kuat menjadi biang dari segala kekacauan pembangunan waduk Lambo hingga detik ini. Dulu, dalam pertemuan dengan warga suku Kawa, Yudha Pranata menancapkan sangkur di atas meja di hadapan warga suku Kawa sebagai teror paling kejam dan biadab, tapi Kapolda Johni Asadoma kala itu menyatakan Yudha Pranta bersih dari aksis teror dan kekerasan. Salain itu,

Yudha Pranata dan Serfolus Tegu membentuk KH Destroyer yang sangat merusak peradaban dan budaya hidup di Nagekeo. Organisasi dengan nama menakutkan ini punya wartawan piaraan untuk memimpin dan memenangkan opini destruktif dari mulut Polres Nagekeo.

KH Destroyer juga punya pengacara piaraan yang mudah disuruh dan diperalat untuk meneror jurnalis dan warga kritis dengan laporan ke institusi Polres agar mudah dipanggil dan diteror untuk “berdamai” dengan aksi kejahatan mafia.

Pola ini yang selalu dimainkan gerombolan mafia waduk Lambo untuk mengail “untung” di tengah banjir air mata penderitaan orang-orang kecil di Nagekeo. Kita berharap air mata para korban menjadi doa bagi gerombolan mafia agar segera bertobat dan kembali ke jalan yang benar, beradab dan bermartabat sebagai manusia normal.

Nama Wunibaldus Wedo sudah lama bergema di Nagekeo sebagai biang onar. Ia dikenal sebagai sosok yang kerap mengklaim lahan bukan miliknya, menekan warga terdampak proyek Waduk Lambo, bahkan diduga memeras mereka yang ingin mendapat keadilan. Tapi, yang membuat masyarakat heran, mengapa orang seperti Wedo ini bisa terus merajalela, berani meneror siapa saja yang tidak mendukungnya, dan kenapa dia begitu kebal hukum?

Jawabannya mulai terkuak. Dari berbagai sumber di lapangan, Wedo diduga bagian dari Mafia Waduk Lambo. Sebagai orang Rendu, sebagian etnis terdampak waduk, ia dimanfaatkan untuk mendapatkan fulus dari gerombolan mafia yang mati nurani kemanusiannya. Wedok bikin keributan agar para mafia bisa mengail di air keruh.

Polanya, ketika warga hendak menerima ganti untung dengan nilai fantastis, Wedo dan gerombolan preman kampungan membuat keributan di lokasi, lalu membuat laporan ke polisi dengan pengacara dalam gerombolan mafia yang sudah disiapkan-pengacara ini umumnya punya kemampuan di bawah standar-polisi pasti sangat sigap mengeluarkan surat panggilan.

Warga sederhana yang ketakutan pasti datang ke Polres Nagekeo dan di Polres inilah akan berlangsung teror, tekanan dan intimidasi. Ketika rakyat sudah tertekan secara psikis dengan ancaman hukuman rekayasa bohong gerobolan mafia ini, mulailah mafia dan kelompoknya membangun komunikasi “berdamai” dengan iming-iming: fulus. Institusi Polres Nagekeo jadi alat peneror di tangan mantan Kapolres Yudha Pranata dan Kabag Ops. Serfolus Tegu.

Selain itu, Wedo diduga berada dalam posisi terjepit oleh utang pribadi dan dugaan lebih kuat lagi: tekanan dari seorang pengacara dari Jakarta yang konon “makan-tidur” di sebuah hotel di Mbay selama berbulan-bulan dan semua biaya dibebankan kepada Wedo. Si pengacara ini sering tampil laiknya investor besar, padahal di baliknya diduga hanya ada aroma pemerasan dan persekongkolan.

Omongannya sekarang tidak ada yang mendengarkan lagi karena semua orang sudah tahu pola kerja mafia waduk Lambo selama ini. Tapi mereka masih mau menunjukkan sisa-sisa kegarangan mafianya yang perlahan tapi pasti mulai menghilang setelah terbongkar semua borok. Biarkan saja mereka mengoceh sampai lelah sendiri. Orang juga sudah tiba pada titik batas kesabaran karena suara mereka hanya menghadirkan kebisingan tanpa makna lagi.

Pertanyaan lanjutan, siapa yang memberi rasa aman kepada mereka untuk beroperasi seenaknya di daerah kecil seperti Nagekeo? Mengapa laporan-laporan warga tentang pemerasan, ancaman, dan intimidasi selalu kandas di meja Polres?

Mari kita lihat “sedikit” jejak buruk Wunibaldus Wedo yang diduga kuat menjadi “pesuruh” dari otak gerombolan mafia waduk Lambo untuk membuat keributan agar mafia bisa mengail uang milik tiga suku dalam keributan itu. Pola ini kita duga didesain oleh mantan Kapolres Yudha Pranata dan Serfolus Tegu dengan memanfaatkan institusi Polres Nagekeo.

Wedo ini sesungguhnya tidak punya hak secuilpun dalam ulayat Rendu. Statusnya di dalam suku Rendu adalah “bawahan.” Orang ini sebenarnya tidak mempunyai apa pun yang dapat menjadi bukti valid untuk mengklaim ganti untung.

Maka kalau Wedo nekat “pasang badan” menerobos Kantor BPN untuk melakukan kekerasan premanisme maka dapat dipastikan itu suruhan dan perintah dari otak mafia waduk Lambo yang saat ini sudah dibuka boroknya.

Kita pastikan gerombolan mafia yang direpresentasi oleh Wunibaldus Wedo sudah putus urat malunya sehingga tanpa dasar apa pun mereka memaksakan diri dengan teror dan kekerasan agar bisa kebagian ruang rampokan hak orang kecil.

Ketiga ketua suku: Redu, Gaja dan Isa dalam rapat dengar pendapat dengan DPRD Nagekeo, Senin 6 Oktober 2025 mendesak beberapa pihak terkait agar mengempaskan Wunibaldus Wedo dari ketiga suku dalam proses pencairan dana hak tanah ulayat.

Ketiga ketua suku mendesak Kepala Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara Timur untuk tidak melakukan Validasi Pemberian Ganti Kerugian Dalam Bentuk Uang terhadap Dokumen atau administrasi atas 14 (empat belas) bidang tanah ulayat masyarakat adat Rendu (Suku Redu, Gaja, Isa di Desa Rendubutowe dari Panitia Pengadaan Tanah Waduk Mbay Lambo atas nama Wunibaldus Wedo.

Mereka juga meminta Kepala Badan Pertanahan Nasional Nagekeo agar membatalkan semua proses pengurusan dokumen atau administrasi terhadap 14 (empat belas) bidang tanah ulayat masyarakat adat Rendu (Suku Redu, Gaja, Isa) di Desa Rendubutowe atas usulan atau permohonan dari Wunibaldus Wedo.

Ketiga ketua suku mendesak Lembaga Manajemen Aset Negara untuk tidak melakukan pembayaran atau membatalkan Pembayaran Langsung Ganti Rugi Pengadaan Tanah Pembangunan Waduk Mbay Lambo terhadap 14 (empat belas) bidang tanah ulayat masyarakat adat Rendu (Suku Redu, Gaja, Isa) di Desa Rendubutowe atas nama pemohon Wunibaldus Wedo.

Ketua suku juga mendesak Kepala Bank Nasional Indonesia  (BNI) Cabang Mbay untuk tidak melakukan pencairan atau pembayaran Ganti Rugi 14 (empat belas) Bidang Tanah Ulayat Masyarakat Adat Rendu (Suku Redu, Gaja, Isa) di Desa Rendubutowe kepada Wunubaldus Wedo.

Mereka mendesak Kepala Badan Pertanahan Nasional Nagekeo untuk tidak membuat atau menyampaikan undangan pembayaran Ganti Rugi Waduk Mbay Lambo atas 14 (empat belas) Bidang Tanah Ulayat Masyarakat Adat Rendu (Suku Redu, Gaja, Isa) di Desa Rendubutowe kepada Wunubaldus Wedo.

Mereka mendesak Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Nagekeo sesegera mungkin selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari untuk melakukan proses pengadministrasian dan pengusualan ke Lembaga Manajemaen Aset Negara terhadap Dokumen 14 (empat belas) Bidang Tanah Ulayat Masyarakat Adat Rendu (Suku Redu, Isa, Gaja) Desa Rendubutowe.

Lalu, apa yang tersisa dari Wunibaldus Wedo? Menurut Pastor Paroki Jawakisa, Pater Kamilus Ndona Sopi, CP (Pater Mill) yang akhirnya mengakui bahwa ia memberi pinjaman uang umat melalui Wunibaldus Wedo-diduga kuat pinjaman itu bertujuan membiayai operasi perampokan uang milik sah ketiga suku-Wunibaldus Wedo ini bukan tuan tanah palsu.

Apakah Wunibaldus Wedo tuan tanah asli? Kita tidak tahu, dari mana gembala mendapatkan informasi bahwa Wedo adalah tuan tanah asli? Faktanya hari ini, berdasarkan semua dokumen terkait 14 bidang tanah, baik di pemerintah camat dan desa serta semua dokumen di BPN, nama Wunibaldus Wedo tidak tercantum sebagai orang yang memiliki kuasa atas tanah itu. Bahkan ketiga ketua suku: Redu, Gaja dan Isa telah mengempaskan dia terkapar tak berdaya di luar tanah ulayat ketiga suku.

Sang gembala yang bertindak sebagai juru bicara struktur ulayat itu berkata, dalam tatanan adat Rendu, Wedo berstatus sebagai “Goro Lado” dari Sa’o Nusa Kisa, Woe Nakalado, Suku Rendu. Goro Lado berperan sebagai “pe’i tuba, teo kume”, artinya pasukan perang berkuda Suku Rendu masa lalu. Status Dus Wedo sebagai Goro Lado atau pasukan perang diakui seluruh Rendu. Dalam perkara, Goro Lado hanya sebagai pasukan perang masa lalu, bukan pemilik tanah Rendu.

Hak pengaturan tanah sepenuhnya diatur oleh Ketua Suku. Mungkin saja peran Wedo sebagai pasukan perang itu maka bersama gerombolan mafia waduk Lambo selalu membuat keonaran dan “berperang” dengan dungu hendak merampas dan merampok hak-hak ketiga ketua suku. Anehnya, mafia yang berniat merampok hak rakyat ini didoakan gembala agar berhasil dan sukses.

Publik mendesak Wunibaldus Wedo dan gerombolannya segera menghentikan manuver mafia dalam mengganggu pemenuhan hak ulayat Suku Redu, Gaja dan Isa. Teror kepada orang-orang kecil dan sederhana dengan menyembunyikan kelemahan di balik nama “Bareskrim” mesti dihentikan. Teror itu hanya gertak sambal dari pengacara yang sudah kehilangan kewarasan diempaskan pengacara lokal berkualitas dan berintegritas.

Kita juga berharap agar Mabes Polri turun ke Nagekeo untuk membongkar jejaring mafia waduk Lambo karena banyak data membuktikan ada kejahatan sangat besar. Kita berharap agar laporan ke Mabes Polri yang pernah dikoarkan pengacara gerombolan mafia itu sekaligus menjadi “kuburan” bagi gerombolan mafia waduk Lambo.

Pengayom Rakyat atau Pelindung Mafia?

Polri seharusnya berdiri di sisi hukum, bukan di sisi kepentingan pribadi dan kelompok. Tapi di Nagekeo, garis itu menjadi kabur. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai laporan tentang intimidasi terhadap warga penolak Waduk Lambo hilang tanpa tindak lanjut.

Sementara mereka yang berani bersuara justru diteror, diintimidasi, dan dibungkam. Institusi negara Polres Nagekeo di tangan mantan Kapolres Yudha Pranata dan Serfolus Tegu menjadi alat peneror yang menakutkan.

Bila aparat kepolisian benar menjalankan fungsi penegakan hukum, tak mungkin BPN memilih TNI. Tak mungkin pula masyarakat menghindari kantor polisi, memilih diam di rumah, bahkan lari tinggal di hutan karena takut dipanggil, dikriminalisasi, dan dianiaya polisi.

Di Nagekeo, hingga detik ini ada warga yang dipanggil Polres Nagekeo untuk diteror dalam kasus tanah ulayat waduk Lambo tidak pernah datang. Bahkan warga yang diteror polisi lebih memilih mengamankan diri kepada TNI.

Polisi mestinya menjadi pelindung rakyat, bukan pelindung mafia tanah dan jenis mafia lainnya. Bila oknum di dalam Polres Nagekeo terbukti menutup mata terhadap kejahatan, itu bukan lagi soal etik, tapi pengkhianatan terhadap konstitusi dan sumpah Bhayangkara.

Polisi adalah garda terdepan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), termasuk memastikan kelancaran proyek-proyek strategis nasional seperti Waduk Lambo di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Sebagai aparat penegak hukum (APH), Polres Nagekeo memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk mengawal pembangunan waduk agar selesai tepat waktu, sesuai target yang ditetapkan pemerintah.

Jika terjadi pengadangan alat berat oleh kelompok masyarakat, polisi wajib bertindak objektif dan profesional, bukan berpihak, agar pembangunan tetap berjalan tanpa mengabaikan hak-hak warga.

Tugas kedua yang tidak kalah penting adalah memastikan keadilan bagi masyarakat terdampak. Polisi harus mengawal agar setiap warga yang lahannya terkena proyek menerima ganti untung, bukan sekadar ganti rugi.

Dalam hal ini, Polres Nagekeo semestinya berdiri di tengah, menjaga agar proses ganti untung berjalan transparan dan tidak dimanipulasi oleh mafia tanah atau oknum pejabat yang mencari keuntungan pribadi.

Bukannya memakai tangan preman dan gerombolan mafia untuk merusak proses pemenuhan hak rakyat. Bahkan lebih keji lagi, berusaha mengail untung fulus di tengah konflik yang didesain oleh gerombolan mafia waduk Lambo.

Selain itu, Polres Nagekeo juga harus menjamin BPN dapat bekerja dengan aman dan efektif. Aparat kepolisian tidak boleh membiarkan pegawai BPN diteror atau diserang oleh kelompok tertentu.

Ketika BPN justru lebih percaya memanggil TNI ketimbang Polres untuk menjaga keamanan, itu sinyal bahaya: citra dan kredibilitas kepolisian telah jatuh di titik nadir.

Polres Nagekeo mesti berusaha memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi polisi dengan tindakan nyata, bukan dengan retorika atau bahkan melancarkan teror dan intimidasi.

Hal lain yang perlu ditekankan, Polres Nagekeo tidak boleh menerima atau meminta dana keamanan dari kontraktor Waduk Lambo. Setiap anggota Polri sudah digaji negara untuk melindungi rakyat dan aset publik.

Menerima dana tambahan dari pihak proyek, langsung maupun tidak langsung, adalah bentuk gratifikasi terselubung yang melanggar etika dan hukum. Jangan jadikan baju colkat sebagai tameng untuk merampok dan memeras. Malu.

Dan yang terakhir, Polres Nagekeo tidak boleh menjadikan kawasan Waduk Lambo seperti daerah konflik atau zona perang. Jangan biarkan aparat Pemda kesulitan menemui warga, wartawan dilarang masuk, dan BPN bekerja dalam ketakutan.

Kawasan waduk harus menjadi ruang kerja pembangunan dan dialog, bukan arena intimidasi dan represi. Polisi bukan alat kekuasaan, melainkan alat negara yang tunduk pada hukum dan berpihak pada rakyat.

Bila fungsi luhur itu dijalankan dengan hati nurani, kepercayaan publik akan pulih, dan Waduk Lambo benar-benar menjadi waduk kesejahteraan, bukan waduk air mata.

Waktu untuk Bertindak

Kasus kekerasan verbal terhadap pegawai BPN hanyalah puncak gunung es. Di bawahnya, ada jaringan mafia tanah, oknum pengacara, dan kemungkinan keterlibatan aparat yang bermain di wilayah abu-abu kekuasaan.

Mabes Polri tak boleh tinggal diam. Tim investigasi khusus harus segera dikirim ke Nagekeo untuk memeriksa dugaan keterlibatan oknum anggota Polres dalam praktik mafia Waduk Lambo. Bila Polri ingin memulihkan kepercayaan publik, inilah ujian sesungguhnya: berani membersihkan tubuh sendiri dari noda hitam yang mencoreng kehormatan institusi.

Kita berterima kasih kepada aparat TNI di Nagekeo yang selama ini berperan sebagai pengayom dan pelindung rakyat.  Meski tugas utama mereka adalah menjaga setiap jengkal wilayah NKRI dari tangan musuh, kill or to be klilled, mereka pada masa damai ikut dalam kegiatan pembangunan.

Di Waduk Lambo, mereka ikut membantu warga dan memberikan rasa aman. Di kala bencana, TNI selalu berada di depan untuk melakukan penyelamatan warga.

Kita berharap TNI terus mengawal pembangunan Waduk Lambo agar dapat selesai pada waktunya, selambatnya tahun 2026.  Kelancaran pembangunan waduk harus dimulai dari kelancaran pembebasan lahan.

Wedo dan gerombolan mafia waduk Lambo sudah memamerkan diri sebagai penghalang PSN, penghambat pembangunan waduk. TNI harus melibas gerombolan mafia waduk Lambo dengan akal sehat dan nurani kemanusiaan terjaga.

Media dan civil society di Nagekeo harus bangkit. Jurnalis lokal harus bebas dari intimidasi dan mampu mengawasi proyek publik tanpa takut dikriminalisasi. Media-media yang masih memiliki nurani “terjaga” mesti bersatu untuk melawan gelondongan masalah yang diaktori gerombolan mafia terstruktur dan sistematis.

Tidak ada kejahatan yang sempurna. Tidak pernah ada kejahatan yang abadi. Hanya kebenaran dan keadilan yang abadi. Tapi perlu ketahanan energi dan keberanian menerobos segala rintangan.

Bagi masyarakat Nagekeo, inilah saatnya bersuara. Negara tidak boleh tunduk pada mafia, apalagi yang berselimut seragam coklat. Polri adalah milik rakyat, milik kita semua. Bukan milik gerombolan mafia itu. Kuburkan mafia waduk Lambo dengan keberanian melawan setiap bentuk intimidasi, teror dan kekerasan atas nama negara sekalipun.

Nagekeo milik seluruh rakyat, bukan milik Yudha Pranata, Serfolus Tegu dan gerombolan mafia waduk Lambo! Bahkan, mungkin saja ada orang kuat dari Jakarta yang sedang mengendus dan mengais untung di tengah bandang air mata orang kecil dan sederhana.***

 

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Advokat, Penegak Hukum Masih Dianaktirikan
Hukrim

Tanggungjawab Presiden Prabowo Untuk Proyak Whoosh Sudah Sesuai Hukum

Tanggungjawab Presiden Prabowo Untuk Proyak Whoosh Sudah Sesuai Hukum Oleh : Dr. Yohanes Bernando Seran, SH., M.Hum. (Alumni Program Doktoral...

Read more
Kejari Lembata Setor Uang Korupsi 1 Miliar Kasus Proyek Jalan : Lely Lumina Lay divonis 4 Tahun Penjara

Kejari Lembata Setor Uang Korupsi 1 Miliar Kasus Proyek Jalan : Lely Lumina Lay divonis 4 Tahun Penjara

Suara Orang Tua Lucky, Melawan 22 Oknum, Bukan Melawan TNI

Suara Orang Tua Lucky, Melawan 22 Oknum, Bukan Melawan TNI

Kejaksaan Tetapkan Tiga Tersangka Dugaan Korupsi Dana Pilkada Sumba Timur 

Kejaksaan Tetapkan Tiga Tersangka Dugaan Korupsi Dana Pilkada Sumba Timur 

Misteri Kematian Prada Lucky, Adakah Motif Asmara Dibalik Kematian Lucky?

Misteri Kematian Prada Lucky, Adakah Motif Asmara Dibalik Kematian Lucky?

Cinta Yang Terkubur di Barak : Air Mata Cicy untuk Lucky

Cinta Yang Terkubur di Barak : Air Mata Cicy untuk Lucky

Load More

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In