Bersaksi
Marturia artinya memberi kesaksian iman melalui pemberitaan Injil. Marturia sangat dekat artinya dengan “martir” yaitu orang yang berani memberi kesaksian tentang imannya sampai rela mati.
Santo Lukas dalam Injil memberi gambaran: betapa berat menjadi orang beriman di tengah berbagai tekanan dari luar. Lukas menulis Injilnya untuk umat Kristen perdana, bukan dari kalangan bangsa Yahudi, yang mendapatkan banyak tekanan dari orang-orang Yahudi dan penguasa Romawi.
Mereka dipaksa mengingkari imannya disertai kekerasan, tuduhan palsu, penyitaan harta, pelanggaran hak-hak sebagai warga negara, bahkan pembunuhan keji.
Dalam situasi itu, Injil menjadi kabar sukacita yang meneguhkan, memberi pengharapan, dan tetap terus berani memberi kesaksian. Yesus bersabda, “…kamu akan ditangkap dan dianiaya… oleh karena nama-Ku. Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi.
Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu” (Luk 21:12-15).
Yesus mengajak kita menjadi saksi tentang apa yang kita dengar, lihat dan alami. Kita bersaksi tentang kebaikan Allah dalam diri Kristus. “Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). 3).
Konsekuensinya, kita harus “dekat dengan Allah” melalui doa, membaca firman, menerima sakramen-sakramen dan berkumpul bersama saudari-saudari seiman dalam ibadah dan Ekaristi. Kekuatan kesaksian tampak dari sikap hidup setiap hari.
“Supaya kamu tidak beraib dan tidak bernoda sebagai anak-anak Allah yang tidak bercela” tulis Rasul Paulus (Fil 2:15). Yesus meneguhkan: kita tidak perlu takut karena Roh Kristus selalu menyertai dan memberi kekuatan. “Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu ” (Luk 21:19).
Kita diajak setia bertahan dalam situasi apa pun. Kekuatan kita hanyalah Yesus. Ia tidak turun dari salib. Dia bertahan sampai akhir. Kesetiaan dalam bersaksi di tengah dunia menguji kualitas iman kita. Pertanyaannya sederhana: Apakah saya sanggup bertahan dan setia memikul salin Bersama Dia?
Tuhan mengajak kita untuk tidak lari dari segala tekanan. Apalagi mengambil jalan pintas: mengingkari iman, melepaskan tuntutan-tuntutan praksis iman untuk mencari pelepasan momental. Iman itu gerak batin yang hidup, bukan statis, mati, atau bahkan sudah tuntas.
Iman akan terus menerus dimurnikan dan didewasakan dalam berbagai persoalan hidup. Iman yang sejati akan memampukan kita tetap menaruh harapan meskipun fisik, nalar, perasaan sudah lelah dan air mata pun sudah kering untuk melihat harapan.
Iman dan harapan inilah yang menghidupi dan menyertai perjalanan Gereja sepanjang sejarah. Melalui iman dan harapan, masih ada kasih yang mengalir dari kesaksian orang-orang beriman.
Kita mesti setia menyalakan api harapan di atas pelita iman dan terus bersaksi dalam kasih-Nya, tanpa syarat, agar hidup kita setia bercahaya “Kristus” di tengah dunia ini. ***








