Mafia (Nagekeo) Tidak Mungkin Eksis Tanpa Dukungan Aparat Keamanan
Oleh Steph Tupeng Witin
(Jurnalis, Penulis Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus”, Pendiri Oring Literasi Siloam)
NAGEKEO : WARTA-NUSANTARA.COM-Fenomenamafia bukanlah kisah tunggal yang berdiri sendiri, melainkan pola kriminal yang berulang dalam sejarah berbagai bangsa. Dari Sisilia hingga Hongkong, dari Tokyo hingga Medellín, satu kesimpulan selalu muncul: mafia tidak pernah tumbuh sendirian. Ia hanya bisa hidup, berkembang, dan mengakar ketika mendapat perlindungan atau pembiaran dari aparat keamanan, pejabat politik, dan struktur kekuasaan lokal. Artikel ini mencoba menelusuri benang merah itu bahwa di manapun mafia bertahan lama, selalu ada “bayangan negara” yang menopang mereka.

Dalam konteks Nagekeo, dugaan kuat keterlibatan oknum aparat keamanan bukan sekadar rumor yang beredar di lorong-lorong desa. Sejumlah peristiwa terang benderang menunjukkan adanya relasi yang tidak sehat antara Polres Nagekeo khususnya pada masa kepemimpinan AKBP Yudha Pranata dengan jaringan mafia yang beroperasi di tanah ini.
Penancapan sangkur di depan kepala suku, intimidasi terhadap pegawai Badan Pertanahan Nasional, dan teror terhadap media adalah gejala serius bahwa kekuasaan bersenjata telah keluar dari relnya. Di titik inilah masyarakat patut bertanya: perlindungan diberikan kepada rakyat atau justru kepada mafia?
Artikel ini disusun bukan sebagai sensasi, melainkan sebagai upaya menyuguhkan perspektif komparatif. Dengan menelaah praktik mafia di Jepang, Hongkong, Italia, Rusia, hingga Kamboja, pembaca dapat memahami bahwa modus operandi mereka selalu berpola: ada backing, ada wilayah aman, ada informasi dari dalam, ada politisi yang menutup mata.
Dengan kerangka inilah praktik mafia di Nagekeo perlu dipahami sebagai fenomena global yang direplikasi dalam ukuran lokal. Ketika kita menyadari kesamaan pola, kita dapat lebih jernih menilai apa yang sesungguhnya sedang terjadi.
Lebih jauh, artikel ini adalah panggilan moral untuk mengembalikan martabat negara dan hukum di Nagekeo. Mafia tidak mungkin berdiri tanpa tiang penyanggah. Jika tiang itu dicabut-aparat dibersihkan, pengawasan diperkuat, dan hukum ditegakkan tanpa pandang bulu-maka mafia akan runtuh sebagaimana terjadi di banyak negara.
Namun selama ada oknum yang menikmati aliran uang gelap, selama ada pejabat yang diam atau memilih berpihak, selama ada aparat yang menjadi “payung” bagi kejahatan, maka masyarakatlah yang menanggung luka: kehilangan tanah, kehilangan nafkah, bahkan kehilangan nyawa.
Akhirnya, tulisan ini adalah suara rakyat Nagekeo, suara yang terlalu lama ditenggelamkan, terlalu sering diintimidasi, dan terlalu mudah diabaikan. Dengan menyajikan fakta, perbandingan, dan analisis, artikel ini berharap dapat membuka ruang diskusi publik yang sehat, jujur, dan berani.
Sebab hanya dengan keberanian mengungkap kebenaran, kita dapat memutus rantai mafia yang membelit daerah ini. Nagekeo, seperti seluruh wilayah Indonesia, berhak dibebaskan dari bayang-bayang mafia. Dan setiap aparat keamanan berkewajiban berdiri pada posisi yang benar: melindungi rakyat, bukan melindungi mafia.
Pengalaman sejarah mafia di seluruh dunia menunjukkan keterlibatan aparat keamanan, tentara, dan politisi. Keterlibatan mereka umumnya individu, bukan institusi. Tapi, dalam kasus tertentu, institusi terbukti terlibat. Paling tidak, ada pembiaran dari institusi.
Di Nagekeo, mafia bisa merajalela, berbuat apa saja, karena ada dugaan sangat kuat keterlibatan oknum polisi dan Polres Nagekeo sepertinya menutup mata kasus yang terpapar di depan mata.
Kecurigaan ini semakin kuat karena AKBP Yudha Pranata-saat menjadi Kapolres Nagekeo-sangat akrab dengan jaringan mafia bahkan berkali-kali menunjukkan tindakan ala mafia.
Penancapan sangkur di depan kepala suku pemilik tanah dan aparat Badan Pertanahan Nasional (NPN) merupakan sebuah teror oleh aparat yang seharusnya berlaku santun.
Mengapa Kapolres Yudha tak perlu memamerkan kekerasan di depan kepala suku yang menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum? Mengapa Kapolres melakukan intimidasi di depan pegawai BPN yang tugasnya melancarkan urusan ganti-rugi lahan? Polisi memiliki semuanya: kuasa dan senjata.
Sangat patut diduga, amukan Kapolres waktu itu ada kaitan dengan mafia tanah. Kasus penancapan sangkur ini menguap begitu saja. Karena media arus utama yang bekerja lurus diteror untuk menulis apa adanya. Dengan memanfaatkan KH Destroyer bentukannya, ia berusaha mempengaruhi opini umum.
Bahwa penancapan sangkur itu adalah sebuah sumpah. Amboi! Sumpah model apa ini? Karena kasus terjadi di Nagekeo, di area waduk, mestinya sumpah menurut Suku Rendu atau Suku Kawa, bukan sumpah gaya preman pasar.
Saya akan menjelaskan lebih lanjut praktik mafia di Nagekeo-yang tampaknya kian beringas setelah membaca serial tulisan saya-usai saya membeberkan sejumlah praktik mafia di sejumlah negara. Biar pembaca mendapatkan perspektif yang memadai bahwa praktik mafia yang terjadi di luar sana hendak dikembang-biakkan di Nagekeo.
Mafia Hidup karena Bekingan
Mafia di berbagai negara hidup karena adanya bekingan (backing). Tidak mungkin sebuah jaringan mafia yang bersifat sistemik, sistematis, dan berlangsung lama bisa eksis tanpa dukungan atau pembiaran dari aparat keamanan setempat -terutama polisi, militer, intelijen-dan politisi kuat. Ini bukan sekadar pendapat, tetapi kesimpulan konsisten dari ilmu kriminologi, studi negara-negara mafia, dan penelitian transnasional.
Pertama, mafia membutuhkan perlindungan dari penegakan hukum. Tanpa “backing”, operasi mafia akan cepat terdeteksi, mudah dirazia, dan rantai logistiknya putus. Bisnis mafia adalah bisnis ilegal. Semua bisnis ilegal langsung runtuh jika aparat menindak secara konsisten. Maka mafia butuh safe zone, wilayah yang “didongkrak” atau dibiarkan. Wilayah yang “didongkrak” artinya zona yang sengaja diperkuat oleh aparat tertentu agar mafia bisa beroperasi dengan aman.
Kedua, mafia perlu akses senjata dan kekuatan memaksa. Tidak ada sindikat yang besar tanpa keamanan bersenjata,kemampuan memukul lawan, kemampuan mengamankan “aset” (termasuk manusia, dalam kasus human trafficking). Untuk itu, mereka membutuhkan oknum polisi, oknum militer, dan kelompok bersenjata lokal. Tanpa ini, mereka tidak bisa mempertahankan wilayah dan “ketenangan operasional”.
Mengapa kasus human trafficking dengan jalur Batam-Singapura-Malaysia-Kamboja berjalan lancar hingga hari ini? Romo Pascal, pastor yang bertugas di Batam, memiliki data cukup lengkap tentang hal ini. Berkali-kali ia dihadapkan dengan aparat keamanan, tapi praktik human traficking masih terus berjalan. Anak-anak Indonesia yang menjadi korban perdagangan manusia bekerja di Kamboja di perusahaan judi online dan ada yang bernasib lebih sial, yakni organ tubuhnya diambil untuk dijual.
Ketiga, mafia perlu intelijen. Mereka, para mafia itu, harus tahu kapan ada razia, siapa pejabat yang sedang bergerak, siapa yang bisa dibeli, dan bagaimana mengatasi ancaman. Sumber informasi internal hanya mungkin datang dari aparat.
Keempat, mafia perlu legitimasi politik atau birokrasi. Tidak ada mafia yang berdiri tanpa pembiaran pejabat lokal, korupsi birokrasi, dan politisi yang “melihat ke arah lain”. Setiap mafia jangka panjang pasti terhubung dengan struktur kekuasaan formal.
Jika aparat keamanan benar-benar berniat baik, bersih, dan bertindak profesional, mafia bisa dibereskan dalam waktu relatif singkat. Tapi dalam praktik, ada faktor-faktor kompleks yang membuat pemberantasan mafia tidak sesederhana itu. Sebaliknya, mafia bisa dihancurkan dengan cepat.
Pertama, secara Polisiologi dan Kriminologi: mafia bisa dihancurkan dengan cepat karena mafia membutuhkan perlindungan aparat,kelemahan hukum, korupsi internal, wilayah aman, akses senjata, dan pembiaran politik.
Jika semua itu diambil sekaligus, maka wilayah mafia dibersihkan, rekening mereka dibekukan, pemimpin ditangkap,aparat yang membekingi dihukum, bisnis legal mereka disita, aset dicuci ulang, dan pengawasan digital diperketat.
Kedua, mafia rontok dalam hitungan bulan, bahkan minggu. Ini yang terjadi di Hong Kong setelah ICAC 1974: Triad melemah drastis hanya dalam 3–5 tahun. Jepang pasca Undang-Undang Anti-Bōryokudan 1992: anggota Yakuza turun dari 90.000 ke < 30.000. Kolombia setelah Pablo Escobar diburu oleh pemerintah + AS: kartel Medellín runtuh dalam dua tahun.
Mengapa di banyak negara mafia justru tetap bertahan? Jawabannya jelas: Karena niat baik aparat sering bertabrakan dengan realitas struktural berikut: Pertama, korupsi internal. Ini tantangan nomor satu. Jika ada oknum polisi/militer/intel yang mendapat uang, mendapat bagian, menjalin loyalitas, mendapat keuntungan politik, maka pemberantasan menjadi mission impossible. Tidak ada mafia tanpa oknum aparat!
Kedua, mafia sudah masuk ke politik. Banyak negara punya masalah, yakni mafia membiayai pejabat lokal, pejabat melindungi mafia sebagai “payment”, dan mafia menjadi broker suara politik. Selama elite politik punya hubungan ekonomi dengan mafia, perang melawan mafia hanya setengah hati. Dalam konteks ini, diamnya pimpinan birokrasi Kabupaten Nagekeo patut diduga keras karena menjadi “produk” mafia. Sejumlah oknum yang diduga sangat kuat ada di jaringan mafia Nagekeo dikenal sebagai tokoh kampanye yang berada di garda terdepan. Kita berharap dugaan ini tidak benar dan tidak terbukti.
Ketiga, mafia bekerja dengan cara “state capture”. Mafia tidak hanya menyuap aparat. Mereka mengambil alih fungsi negara melalui pengamanan, layanan ekonomi, kredit ilegal, pekerjaan ilegal, dan pengaturan wilayah kriminal. Ketika mafia berfungsi seperti “negara bayangan”, maka negara resmi sulit membongkar tanpa perang terbuka.
Keempat, ekonomi gelap memberi pemasukan bagi banyak pihak. Contoh: perjudian, narkoba, prostitusi, online scam, dan human trafficking. Uang haram bisa lebih besar daripada APBD kota kecil. Banyak yang menikmati, yakni bos mafia, oknum polisi, politisi, dan pebisnis lokal. Perang melawan mafia sama dengan memutus aliran uang ke banyak orang berpengaruh.
Dari Yukuza Hingga Cosa Nostra
Yakuza, mafia Jepang, cukup unik di antara kelompok kriminal dunia karena di Jepang mereka tidak dilarang secara total hingga 1992, ketika Undang-Undang Anti-Bōryokudan diberlakukan. Sebelumnya, Yakuza bahkan memiliki kantor resmi, kartu nama, dan terdaftar sebagai “organisasi sosial.” Hubungan Yakuza-polisi sangat kompleks. Tidak bersifat institusional, namun ditoleransi selama puluhan tahun. Itu terjadi karena Yakuza dianggap menjaga ketertiban di distrik hiburan (Ginza, Kabukichō).
Polisi beralasan Yakuza lebih “tertib” dibanding sindikat kriminal liar.Yakuza sering menyediakan informasi intelijen kriminal ke polisi. Setelah 1992, hubungan ini semakin diperketat namun legacy relationship tetap ada pada tingkat oknum.
Sejumlah skandal besar menunjukkan adanya backing dari oknum. Pertama, Skandal Recruit (1988). Politisi besar, termasuk PM Jepang, menerima dana dari perusahaan yang diduga punya relasi dengan Yakuza. Kedua, Skandal Itsuki Yamada (2007).
Politisi lokal menerima sumbangan Yakuza. Ketiga, Yamaguchi-gumi dilaporkan (Kaplan & Dubro, 2012) memiliki koneksi dengan beberapa mantan polisi dan pejabat lokal. Yakuza eksis ratusan tahun karena semi-legal dan mendapat toleransi polisi, kolaborasi informal, dan perlindungan tidak langsung dari pemerintahan lokal. Ini semua bukan hubungan institusional, melainkan hubungan oknum demi kepentingan politik atau bisnis.
Triad di Hongkong disebut-sebut sebagai mafia tertua di Asia. Triad adalah organisasi kriminal asal Guangdong–Fujian yang berkembang ke Hong Kong, Makau, Taiwan, dan komunitas Tionghoa global. Triad seperti 14K, Sun Yee On, Wo Shing Wo memiliki keanggotaan ribuan.
Menurut laporan Royal Hong Kong Police Criminal Intelligence Bureau, 1993, Triad menguasai perjudian ilegal, loan sharking, perdagangan manusia, prostitusi, pemerasan, distribusi video bajakan, narkoba, dan logistik gelap Keterlibatan aparat Hong Kong dengan Triad bukan rumor, tetapi pernah dibuktikan secara hukum.
Sebutlah Corruption Crisis 1960–1970-an. Banyak anggota Royal Hong Kong Police Force bekerja sama dengan Triad dalam perjudian ilegal & narkoba. Ini memicu pembentukan ICAC (Independent Commission Against Corruption) pada 1974.
Laporan ICAC 1977–1982 mencatat ratusan polisi dihukum karena hubungan dengan Triad. Setelah ICAC, polisi Hong Kong menjadi salah satu institusi paling bersih di Asia, tetapi Triad tetap hidup melalui jaringan diaspora dan oknum politik di Tiongkok Selatan. Triad tumbuh bersama kolusi polisi (terbukti 1960–1970), pejabat lokal, dan jaringan ekonomi yang dilindungi.
Cosa Nostra dan Lainnya
Di Italia,ada Sicilian Mafia–Cosa Nostra. Banyak hakim dan polisi dibunuh ketika mencoba memutus hubungan mafia–politik. Maksiprocesso (1986–1992) menunjukkan ratusan pejabat politik terlibat mafia. Studi Falcone-Borsellino menunjukkan bahwa mafia bertahan 150 tahun karena ada politisi lokal melindungi, polisi korup, pejabat memberi akses wilayah.
Di Rusia ada Bratva/Russian Mafia. Setelah 1991, mafia menguasai 40–60% ekonomi bayangan. Banyak jenderal KGB/FSB dan militer terlibat (Mark Galeotti, The Vory, 2018). Kekuatan mafia Rusia meningkat setelah Soviet runtuh karena banyak bekas KGB masuk organisasi, aparat bisa “disewa”, dan negara lemah mengawasi.
Di Meksiko, adak artel Sinaloa, CJNG, Los Zetas memiliki backing oknum polisi, militer, bahkan gubernur (DOJ & DEA reports). Kartel 100% tidak mungkin eksis jika polisi profesional dan militer independen. Penelitian DEA menyebut: “No cartel survives without official protection.”
Di Amerika Serikat, ada Mafia Italia, 1930–1980. FBI baru serius memberantas mafia setelah 1960-an. Banyak pejabat lokal (New York, Chicago) terbukti bekerja sama dengan mafia.
Dari seluruh penelitian kriminal transnasional, ditemukan pola yang sama. Pertama, mafia membutuhkan imun hukum. Aparat memberi “area aman” sehingga perjudian, narkoba, atau prostitusi berjalan tanpa razia. Kedua, mafia membutuhkan akses senjata. Militer atau polisi-bahkan oknum kecil-dapat memfasilitasi pembelian senjata, pelatihan keamanan, akses logistik, dan pergerakan barang gelap. Ketiga, mafia membutuhkan intelijen (informasi dalam).
Mafia maju bukan karena “keberanian,” tetapi karena informasi. Siapa yang akan ditangkap, kapan kepolisian bergerak, siapa pejabat yang bisa didekati. Keempat, mafia butuh legitimasi sosial. Di Jepang, hubungan “semi simbiotik” terjadi: Yakuza dianggap “mengatur” dunia bawah agar tidak kacau. Kelima, mafia membutuhkan political protection. Banyak mafia mendanai kampanye politik (kasus Italia, Jepang, Taiwan, Hong Kong 1950–70).
Mafia Kamboja
Ada bukti cukup kuat bahwa di Kamboja kegiatan seperti penipuan daring (online scams / “job offers”) dan perdagangan manusia (human trafficking / forced labour) yang terkait dengan scam centre mendapat tingkat toleransi atau bahkan kolusi/seperlunya dukungan/lambannya aparat keamanan dan institusi setempat.
Bahwa “backing” aparat bukan selalu berarti institusi secara resmi mendukung kejahatan tersebut, tetapi oknum dalam aparat keamanan, politisi, atau institusi yang lemah pengawasannya-yang memungkinkan kejahatan berjalan dengan impunitas.
Pemerintah Kamboja secara resmi menyatakan bahwa mereka melakukan sejumlah razia dan pembongkaran scam centre. Namun banyak pengamat menyebut bahwa langkah tersebut tidak cukup untuk menghentikan sistem yang lebih besar.
Terkait sifat kejahatan yang internasional (korban dari berbagai negara, operasi daring, jaringan lintas negara), penegakan hukum menjadi sangat sulit tanpa kerja sama internasional dan transparansi lokal. Korban sering direkrut lewat janji pekerjaan dengan iming-iming gaji tinggi di Kamboja, kemudian paspor/distribusi dokumen mereka dikontrol, mereka dipindahkan ke “scam compound” dan dipaksa melakukan penipuan daring. Scam-centre ini terkadang berada di hotel, kasino, kantor di kota seperti Sihanoukville atau dekat zona ekonomi khusus di Kamboja.
Modus “penipuan daring” (online scams) dan eksploitasi orang sebagai pekerja paksa atau pelaku kriminal yang dikontrol secara paksa semakin diidentifikasi sebagai bentuk baru dari trafficking (trafficking for forced criminality) daripada hanya trafficking untuk seks atau kerja biasa.
Mafia Mudah Diberantas
Mafia mudah diberantas jika ada kemauan. Setelah ICAC berdiri (independen dari polisi), korupsi polisi disapu dan ratusan aparat dihukum. Triad merosot 60% dalam 5 tahun. Setelah Giovani Falcone meluncurkan Maxi Trial 1986, mafia Sicilian runtuh 70%.
Itu terjadi karena ada kejaksaan independen, unit investigasi khusus, dan perlindungan saksi.
Di Georgia (2003–2007), pemerintah memecat 16.000 polisi dalam semalam karena korupsi. Tingkat kejahatan sistemik turun drastis. Jika negara benar-benar bersih dan tegas, mafia tidak punya peluang. Jika aparat keamanan bersih dan punya kemauan politik kuat, mafia bisa dibereskan dengan cepat. Tapi, dalam kenyataan, mafia bertahan lama justru karena sebagian aparat tidak berniat baik tidak mampu, terikat kepentingan ekonomi/politik, atau sudah berada dalam jaringan itu.
Mafia di Nagekeo
Publik menduga kuat, praktik mafia di Nagekeo ini berjalan mulus karena kolaborasi apik dan saling menguntungkan antara lain: oknum polisi AKBP Yudha Pranata, mantan Kapolres Nagekeo, Kabag Ops Serfolus Tegu, oknum pengacara (oknum ini biasanya asbun di Medsos), oknum pejabat Pemda, oknum DPRD dan oknum masyarakat setempat yang dijuluki “tuan tanah dadakan” atau “tuan tanah palsu” yangb tega “menelan” sesama.
Kita menduga kuat di era Bupati Tjoan, mafia merajalela karena memang para mafia ini, yang menghendaki pemimpin lemah agar bergerak leluasa seperti ulat kepanasan menerjang semesta, tanpa mau terusik oleh orang lain, apalagi oleh pemimpin Nagekeo yang tegas dan konsisten memihak rakyat.
Publik menduga, pendukung yang membekingi keliaran para mafia di Nagekeo adalah orang kuat Jakarta yang yang namanya sering dijadikan “jualan” oleh Serfolus Tegu tapi tidak ditindak dan diproses. Kita duga, tidak ada oknum polisi yang begitu beringas dan tak bermoral seperti oknum polisi di Nagekeo. Demikian pula tidak ada oknum masyarakat yang begitu tega memeras rakyatnya sendiri jika tidak ada bekingan orang kuat Jakarta.
Kita bisa menderetkan dugaan mafia yang tumbuh subur di Nagekeo saat ini pada era kepemimpinan Bupati Tjoan: mafia waduk Lambo (tanah dan material), mafia BBM subsidi, mafia penyelundupan hewan, mafia human trafficking dan mafia Kafe Cokelat. Mengapa kafe esek-esek ini tetap dibiarkan dengan nama Kafe Cokelat? Serial tulisan saya bertitik fokus pada dugaan praktik mafia waduk Lambo yang proses pembangunannya sangat terhambat oleh ulah liar praktik gerombolan mafia keparat ini.
Situasi di Waduk Lambo, Nagekeo, adalah cermin kontemporer dari logika kekuasaan tanpa moral. Karena yang berdaulat dan menikmati manisnya kue pembangunan adalah para mafia yang berkuasa. Mereka kuat bahkan sangat kuat. Rakyat yang dirugikan tidak tidak bisa membela diri, apalagi memperjuangkan kepentingan mereka. Para wartawan profesional tidak berkutik karena berita mereka tentang perbuatan mafia yang merugikan rakyat dicap fitnah. Mereka dijadikan calon tersangka dan bahkan tersangka. Mereka dipanggil menghadap Polres Nagekeo saban hari, sehingga tidak bisa bekerja. Tindakan ini membuat wartawan profesional bungkam.
Polres Nagekeo sejak era Kapolres AKBP Yudha Pranata memonopoli kebenaran. Berita tentang Waduk Lambo dan berbagai pelanggaran hukum yang melibatkan oknum polisi hanya boleh berasal dari Polres. Di luar itu dinilai hoaks. Ada sejumlah oknum wartawan lokal yang masuk dalam kelompok mafia yang rutin mempublikasikan berita mereka. Mereka membentuk kelompok yang disebut Kaisar Hitam (KH) Destroyer.
Ketika orang lemah harus melawan orang kuat, orang lemah kalah. Yang menyedihkan, pihak yang kuat itu ada oknum polisi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat lemah dan penegak keadilan. Siapakah orang kuat dan orang lemah itu? “Orang kuat” di Nagekeo:
Pertama,oknum polisi yang seharusnya menegakkan hukum justru bersekutu dengan pelaku kejahatan.
Dua, oknum pengacara yang seharusnya membela korban malah diduga berubah wajah menjadi pemeras. Bunglon. Pengacara ini berlagak pofesoinal bertaraf nasional tapi spesialis kalah dalam pertarungan argumentasi dengan pengacara lokal. Pengacara ini tampak buas dan beringas memaki dan mendegradasi serta mengkriminalisasi siapa pun yang melawan praktik mafia. Tidak berperikemanusiaan. Mulutnya hanya mengalirkan hoaks dan asal bunyi.
Tapi orang model ini akan lelah sendiri karena ruang geraknya hanya lingkaran sesama mafia yang panik dan kalap dalam ruang medsos. Tiga, oknum DPRD dan pengusaha memanfaatkan proyek negara untuk memperkaya diri. Empat, “Tuan tanah dadakan” yang diciptakan oleh oknum polisi dan oknum pengacara kelas teri.
Lima, oknum pejabat pemerintah yang menutup mata demi keuntungan politik atau finansial. Enam, Mastermind orang kuat di Nagekeo ada di Jakarta yang diduga kuat punya kepentingan bisnis di Waduk Lambo. Semua mereka ini membuat rakyat kecil yang kehilangan tanah dan haknya tidak memiliki tempat untuk bersuara. Mereka menjadi “Melos” dalam konteks Nagekeo.
“Orang lemah” di Nagekeo adalah rakyat pemilik tanah yang sah kehilangan lahan tanpa ganti rugi yang adil. Ketika mereka melapor ke Polres Nagekeo, aparat tidak memproses karena para pelaku memiliki “jejaring kuasa” mafia. Hukum dan moral berubah menjadi alat untuk membungkam, bukan melindungi.
Ketakutan mencekam masyarakat terdampak Waduk Lambo akibat ketidakseimbangan kekuatan. Mereka hanya bisa mengelus dada menyaksikan keadilan yang direnggut oleh kekuatan mafia Nagekeo. Mereka tak mampu melawan akibat ketidakseimbangan kekuatan. Mereka orang lemah yang hanya mengandalkan moralitas dan tangan Tuhan. Mereka tidak kuasa melawan mafia yang memiliki semua kekuatan duniawi yang setiap saat mampu melancarkan teror.
Dan kita pun teringat pernyataan Thucydides. “Ya, jika kita bicara soal dunia, hanya masalah antara mereka yang punya kekuatan setara, sementara yang kuat melakukan apa yang bisa mereka lakukan dan yang lemah menanggung apa yang harus mereka tanggung.” (“Right, as the world goes, is only in question between equals in power, while the strong do what they can and the weak suffer what they must”). Demikian salah satu kutipan dari dialog yang dikenal sebagai Melian Dialogue (Dialog Melos) karya Thucydides dalam History of the Peloponnesian War.
Kita bertanya serius: Mengapa Kapolres Nagekeo hanya diam? Apakah Kapolres Nagekeo tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu atau kita duga telah masuk dalam jebakan jejaring mafia Nagekeo? Apakah Kapolres Nagekeo tidak mencari informasi alternatif yang benar agar tidak diperdaya dan dibohongi oleh narasi mafia khususnya Kabag Ops Serfolus Tegu? Mungkin saja kita duga Kapolres lebih percaya pada narasi mafia melalui media abal-abal dan hoaks dari para tokoh Nagekeo yang lebih cocok dikategorikan sebagai “tokoh Kafe Coklat?” Banyak orang Nagekeo jadi tokoh nasional yang hebat dan luar biasa.
Tapi para mafia waduk Lambo menokohkan orang yang sangat merendahkan martabat orang Nagekeo. Itulah kualitas intelektual gerombolan mafia. Mengapa Kapolda NTT juga ikut-ikutan diam? Propam Polda NTT sudah mendengar narasi murni rakyat korban kekerasan aparat polisi khususnya Serfolus Tegu.
Mengapa Bupati Tjoan terdiam? Apakah bupati dan wakil bupati hanya terharu? Kita menduga, jangan-jangan benar dugaan bahwa kepemimpinan saat ini adalah produk mafia seperti terbukti pada kemenangan yang mencengangkan dan operasi cokelat yang sangat membara? Apakah semua ini hanya menyiapkan area bagi para terduga gerombolaan mafia untuk memamerkan kepongahan mafia buasnya dengan menindas rakyat kecil?
Bukti Kerja Mafia Lambo
Oknum polisi yang diduga kuat membuat kekacauan di waduk Lambo adalah mantan Kapolres Yudha Pranata dan Polisi Servulus Tegu yan kini menjabat sebagai Kabag Ops Polres Nagekeo. Dulu, Tegu menjabat Kasat Intel yang menjadi penggerak mafia di lapangan dengan menciptakan konflik untuk mengadudomba warga. Yudha dan Tegu ini didukung oleh sejumlah wartawan lokal yang tergabung dalam Kaisar Hitam (KH) Destroyer dan para “ATM berjalan” yang sudah diketahui publik Nagekeo. Ujung-ujungnya: teror dan pemerasan.
Banyak polisi yang bekerja sangat baik dan bernurani di Polres Nagekeo yang tahu kelakuan dua oknum ini tapi memilih bungkam. Banyak elite politik dan birokrasi Nagekeo juga tahu betul fakta ini tapi tidak mampu berbuat apa-apa. Akibatnya, rakyat kecil khususnya warga terdampak terepresi dalam ketakutan dan teror gerombolan mafia waduk Lambo ini.
Kita angkat fakta dugaan pemerasan berkedok hukum dari waduk Lambo. Pertama, ada bukti kerja polisi di waduk Lambo yang memeras dan mengambil uang dari rakyat dengan akal-akalan penghentian surat perintah penyelidikan (SP3) terhadap 85 warga di Labulewa. Hingga detik ini SP3 yang dijadikan alat pemerasan warga itu tidak pernah ada alias bodong. Ini buah kerja aparat penegak hukum yang direpresentasi Yudha Pranta dan Servulus Tegu.
Jumlah dana yang ditransfer sangat fantastis untuk ukuran ekonomi rakyat miskin. Fakta lebih mengerikan: dana itu malah dipinjam untuk memenuhi perintah “komandan” yang sangat mendesak agar segera ditransfer dengan catatan komandan “untuk dibuatkan laporan hari ini.”
Ada janji agar SP3 keluar hari Senin. Terkait permainan mafia kampungan ini, pihak Polres Nagekeo melakukan skenario dalam kerja sama dengan beberapa pihak kemudian melakukan pengaduan ke Polres yang selanjutnya melakukan mediasi. Sebenarnya semua pengaduan warga ke Polres itu bukan ranah pidana.
Warga yang mengadu itu pun tidak pernah diberikan SP3 supaya polisi memiliki ruang untuk terus memeras masyarakat. Polisi yang dibantu gerombolan mafia mengarahkan semua persoalan ke Polres supaya gerombolan mafia ini bisa mendapatkan remah-remah dana pemerasan terselubung sebagai imbalan atas kelakuan busuk bertopeng proses hukum.
Kedua, ada bukti laporan bohong-bohongan yang dikirim Polres Nagekeo ke Polda NTT setelah kejadian teror dan kekerasan terhadap Bapak Gaspar Raja. Polisi Tegu dan Wunibaldus Wedo bersama gerombolan mafia lain melakukan “Fani” di atas lahan yang sama sekali tidak masuk dalam penetapan lokasi (Penlok) I, II dan III (Penlok III belum ada tanda tangan Gubernur NTT) dengan pola mainan mafia: melakukan koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nagekeo untuk validasi ulang.
Ini bukti kerja para mafia di waduk Lambo. Berdasarkan regulasi, tidak pernah boleh ada validasi ulang. Kepala BPN Nagekeo kala itu, Abidin ikut cawe-cawe makanya Abidin ini mengikuti mainan otak mafia Servulus Tegu dan Wunibaldus Wedo yang diasbun pengacara mafia.
Sekarang ini rakyat Nagekeo bersyukur karena Kepala BPN yang baru mengambil sikap tegas dan tidak mau mengikuti alur otak para mafia waduk Lambo sehingga 14 bidang tanah kembali ke pangkuan ketiga ketua suku: Redu, Gaja dan Isa sebagai pemilik sah.
Jika permainan mafia kampungan ala Serfolus Tegu dan Wunibaluds Wedo bersama matan Kakan BPN Abidin lolos, maka uang 21,8 miliar milik sah ketiga ketua suku dirampok ludes oleh gerombolam mafia. Kejahatan memang tidak selalu sempurna.
Selalu saja hadir orang-orang baik dan berhati nurani yang mempersembahkan dirinya-hidup maupun mati-untuk memuliakan orang-orang kecil di Nagekeo, khususnya ketiga ketua suku: Redu, Gaja dan Isa yang sekian lama menjadi korban teror dan kekerasan gerombolan mafia.
Ketiga, dugaan pemerasan juga terkait dengan fakta buka-tutup waduk Lambo. Perusahaan-perusahaan (PT) yang dipercaya mengerjakan waduk Lambo selalu diintimidasi oleh oknum polisi dari Polres Nagekeo. Taktik liciknya: kalau mau bisa kerja waduk, ada poin-poin yang harus dipenuhi dulu oleh pihak PT. Oknum polisi, kadang memakai jasa preman lokal, menekan Balai Wilayah dan Sungai (BWS) yang setiap hari selalu berada dalam kondisi jiwa sangat tertekan.
Biang kerok yang menghambat pembangunan waduk Lambo itu bukan dari masyarakat tapi dari oknum aparat Polres Nagekeo. Dugaan semuanya tertuju kepada Kabag Ops Serfolus Tegu dan mantan Kapolres Yudha Pranata. Kehadiran oknum Kabag Ops Tegu ini sangat meresahkan perusahaan-perusahaan (PT) di waduk Lambo dan BWS selalu berada dalam posisi ditekan dan diancam setiap saat. Ujung-ujungnya: peras uang perusahaan dan masyarakat. Maka jika kita mendengar ada penghentian pembangunan waduk Lambo, kita pastikan itu bagian utuh dari pekerjaan gerombolan mafia: sodorkan poin untuk dipenuhi, masuk bangun negosiasi dan ujungnya: pemerasan dan perampokan yang kasar.
Keempat, hambatan pencairan pascaputusan Dading 8 Juni 2023. Setelah Dading diterbitkan, pihak-pihak yang berkaitan dengan pencairan uang waduk Mbay-Lambo seharusnya mulai melakukan proses penerbitan dokumen yang berhubungan dengan pencairan keuangan ganti rug. Namun Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo mengeluarkan surat undangan kepada kedua belah pihak pada 26 Mei 2025. Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo beralasan bahwa masih terjadi “Miskomunikasi” antara kedua belah pihak.
Pertemuan tersebut dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo 27 Mei 2025. Nama-nama yang diundang oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo ialah para pihak yang menandatangani surat pernyataan damai (Dading) yakni Fransiskus Ngeta, Gabriel Bedi, Tadeus Betu, Kristoforus Lado. Pihak lain yang turut diundang: Kepala Desa Rendubutowe, Kapolres Nagekeo, Kajari Ngada dan Pengadilan Negeri Bajawa.
Pada Selasa 27 Mei 2025, para pihak yang diundang melakukan pertemuan di Aula Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo. Pertemuan tersebut justru didominasi oleh kehadiran pihak lain yang tidak masuk dalam undangan Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo: Wunibaldus Wedo, Ino Beka, Nodus Epe.
Pelaksanaan pertemuan di Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo didominasi oleh aksi kekerasan verbal dari Wunibaldus Wedo dan Ino Beka yang ditujukan kepada Ketua Suku Redu, Suku Isa dan Suku Gaja. Aksi Kekerasan verbal berupa makian dan hinaan kepada tiga orang ketua Suku itu dibiarkan begitu saja oleh polisi. Kita paham karena polisi di Nagekeo menyatu dalam gerombolan mafia bersama Wunibaldus Wedo. Ketiga ketua suku tersebut hanya geleng-geleng kepala tanpa membalas.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo bersama polisi menyarankan agar para pihak segera mengusulkan satu nama sebagai orang yang akan menandatangani spesimen pencairan dana gatni rugi senilai Rp21, 8 miliar. Pihak Fransiskus Ngeta (penggugat) mengusulkan nama Wunibaldus Wedo. Pihak Leonardus Suru dkk (tergugat) mengusulkan Kepala Desa Rendubutowe.
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Nagekeo bersama Kapolres Nagekeo dan Kabag Ops, AKP Servulus Tegu mengarahkan agar semua pihak menyepakati nama Wunibaldus Wedo sebagai penerima ganti rugi dan menolak usulan nama Kades Rendubutowe dengan alasan Kepala Desa Rendubutowe turut berkepentingan dalam penandatanganan dokumen pencairan nantinya. Usulan nama Wunibaldus Wedo diprotes pihak tergugat sehingga susana pertemuan sempat tertunda.
Pertemuan dilanjutkan setelah Kepala BPN meminta Leonardus Suru, Gabriel Bedi, dan Gaspar Sugi serta Wunibaldus Wedo beserta kuasa hukumnya melakukan pertemuan tertutup di dalam ruang kerja Kakan BPN. Leonardus Suru dan Gaspar Sugi menandatangani surat kuasa kepada Wunibaldus Wedo. Sedangkan Gabriel Bedi menolak menandatangani dokumen tersebut.
Sebagai penggantinya, pada kolom Ketua Suku Redu, dokumen tersebut ditandatangani oleh Benyamin Laki, anak dari Fransiskus Ngeta sebagai pengganti Gabriel Bedi. Rakyat Nagekeo bisa lihat permainan busuk gerombolan mafia waduk Lambo ini. Otaknya ada di Kapolres, Kabag Ops, AKP Serfolus Tegu dan Kepala BPN Nagekeo, Abidin.
Leonardus Suru memberikan informasi, Kabag OPS Polres Nagekeo, Serfolus Tegu diam-diam ikut masuk kedalam pertemuan tertutup tersebut. Gabriel Bedi menolak menandatangani surat kuasa penerima uang ganti rugi karena selalu diintimidasi dan diserang dengan kata-kata kasar Wunibaldus Wedo selama pertemuan.
Leonardus Suru dan Gaspar Sugi mengaku diapit oleh Serfolus Tegu dan Kakan BPN Nagekeo. Keduanya mendesak Leonardus Suru dan Gaspar Sugi segera menandatangani kuasa penyerahan kepada Wunibaldus Wedo. Tegu memang benar-benar otak mafia waduk Lambo.
Mestinya pertemuan antara para pihak yang diselenggarakan Kantor Pertanahan Nagekeo fokus membahas tata cara pencairan uang ganti rugi tanah milik ketiga suku: Redu, Gaja dan Isa. Berdasarkan hasil Dading, khususnya pasal 3, pihak berwenang menerima uang ganti rugi adalah tiga suku yang berada di Desa Rendubutowe: Suku Redu, Gaja dan Isa.
Pertemuan itu diduga kuat hendak “menganulir” kembali putusan Dading yang telah dibuat dalam bentuk Akta. Otak mafia itu ada di Kabag Ops, Serfolus Tegu. Merujuk pada hasil Dading pasal 3, seharusnya penerima kuasa pencairan hanya bisa direkomendasikan oleh tiga orang ketua suku yaitu Redu, Gaja dan Isa.
Akhirnya, ketiga ketua suku: Suku Redu, Suku Isa dan Suku Gaja menyadari kekeliruan akibat pola permainaan jahat Kapolres Nagekeo, Kabag Ops. Serfolus Tegu dan Kepala BPN, Abidin. Akhirnya ketiga ketua suku membatalkan rekomendasi kuasa pencairan kepada Wunibaldus Wedo. Wedo terempas, lebih tepat diempaskan ketiga ketua Suku.
Terempasnya Wedo juga menjadi bukti terbongkarnya otak jahat mafia dari Serfolus Tegu. Ketiga suku telah bersepakat menunjuk Leonardus Suru sebagai pihak yang akan menandatangani spesimen dokumen penerimaan ganti rugi waduk Lambo terhadap 14 bidang tanah yang disengeketakan.
Kelima, kejahatan ekologi dan mafia kebal hukum. Fakta ini dilaporkan Anton Adja, asli Ndora, Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, korban langsung jaringan mafia waduk Lambo. Ia bertanggung jawab atas semua yang dia tulis. Ia meminta agar nama-nama itu ditulis lurus-lurus untuk memastikan kebenaran.
Ia menyebut gerombolan jejaring mafia waduk Lambo Desa Ulupulu: Yohanes Berchmans Jawa, kepala desa yang merekayasa dan memalsukan surat tanah, Gaspar Jawa, pensiun dini PNS, bersamaan mulainya proyek PSN waduk Lambo, Fransiskus Dhosa, tuan tanah palsu, Primus Wawo, kontraktor, orang dekatnya Serfolus Tegu dan Agustinus Bebi Daga, anggota KH Destroyer, corongnya Polres Nagekeo dan preman kampung yang mengawasi, melancarkan proyek galian C ilegalnya milik Primus Wawo di kampung Wolosabi, Sipi, Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, jalan Lintas Flores jurusan Ende-Bajawa.
Kelompok ini memang terkenal sadis, apa saja bisa mereka lakukan. Saudara saya Valentinus Bheo pernah dikeroyok di lokasi galian C ilegal oleh Frans Dhosa dan anak-anakanya, tapi tidak diproses hukum. Saya sendiri sudah beberapa kali mengalami percobaan pengeroyokan oleh kelompok ini tapi tidak berhasil.
Kelompok mafia ini terkenal kebal hukum. Kami sudah beberapa kali membuat laporan ke Polres Nagekeo, tapi tetap ditolak oleh pihak penyidik Polres Nagekeo. Kami tidak tahu harus berbuat apa? Kami sepertinya bukan lagi warga masyarakat Wolosabi, Sipi, Desa Ulupulu bahkan bukan warga negara Indonesia. Tugas polisi yang katanya sebagai penegak hukum, pelindung dan pengayom warga, sekarang tinggal slogan saja.
Malah polisi di Nagekeo berbalik arah menjadi perampas, perusak dan pengkianat. Tempat kami sekarang hancur berantakan dengan lobang menganga yang ditinggal pergi begitu saja oleh gerombolan mafia. Masih adakah keadilan buat kami? Fakta ini menjadi bukti bahwa benar adanya mafia di Nagekeo. Kami juga mendesak agar KH Destroyer segera dibubarkan dan polisi kembali berwajah kemanusiaan bagi rakyat kecil.”
Manusia Sakti di Nagekeo
Namanya AKP (Ajun Komisaris Polisi) Serfolus Tegu, perwira Polri yang pernah tercatat sebagai Kasat Intel dengan pangkat IPTU (Inspektur Polisi Satu) di Wilayah Polres Bajawa/Ngada pada 2018, dan kini Kabag Ops Polres Nagekeo dengan (pangkat AKP) pada 2025. Ia dipindahkan ke Nagekeo 2019 sejak Kepolisian Resor (Polres) Nagekeo berdiri.
Ia sempat dipindahkan ke Kupang. Tapi, diduga, berkat dukungan orang kuat Jakarta, ia dikembalikan ke Nagekeo. Jaringan mafia Nagekeo ditengarai membutuhkan Tegu.
Orang ini dikenal warga Nagekeo tidak tedeng aling-aling meneror, membentak, dan melancarkan intimidasi. Salah satu peristiwa paling heboh adalah teror Tegu kepada Gaspar Raja, pemilik tanah di Waduk Lambo.
Awak media di Nagekeo sangat takut pada sosok ini. Karena dia bukan “peneror” biasa, melainkan “peneror” berbaju coklat. Rakyat mana yang bisa melawan Tegu? Dia punya semuanya: kekuasaan sebagai polisi yang bisa menangkap dan menyekap siapa saja yang dianggap mengancam kepentingan dia (bukan kepentingan negara, ya). Dia juga punya uang dan koneksi kuat di Kupang dan Jakarta.
Apa kepentingan Tegu? Tegu adalah pemilik Kafe/Cokelat Cafe di Roe, Mbay, Nagekeo”. Media lokal pernah mengulas konflik/razia kafe esek-esek ini pada tahun 2021 dan menyebut pemiliknya berinisial “BO” dan inisial itu merujuk pada nama Bibiana Oi (alias Putri). Media menemukan nama ini dalam dokumen jual-beli tanah. Tapi, tidak ada dokumen terbuka yang mengaitkan kepemilikan kafe itu dengan Tegu.
Dalam perjalanan, Tegu dan BO pecah kongsi. BO masih keponakan Tegu. Mereka berjumpa di sebuah kafe di Riung, Ngada, saat Tegu bertugas di sana. Keluarga sudah memperingatkan Teguh bahwa BO adalah keponakan sendiri, bukan orang lain.
Mengapa pecah kongsi? Pecah kongsi terjadi karena Tegu ditengarai membina hubungan khusus dengan para ladies (PSK). Ini sudah menjadi rahasia umum. Rakyat hanya berbicara bisik-bisik, takut ditangkap dan disekap di sel.
Di Kafe Coklat ini sudah ada korban meninggal, antara lain, seorang polisi, Bripka Julianus Pinem yang diduga mengonsumsi miras oplosan. Kasus kematian aparat polisi dari Polres Nagekeo ini tidak pernah diproses hukum sampai hari ini karena dugaan ada “orang kuat” di Polres Nagekeo, pemilik kafe ini terlibat. Salah satu ladies bernama Rovina Gamur alias Villa juga meninggal dunia akibat keracunan alkohol sesuai diagnosa dokter RSUD Aeramo, Nagekeo.
Pengacara Mbulang Lukas, mendesak Propam Mabes Polri turun tangan agar penyelidikan kasus ini dilakukan secara independen, guna menyelamatkan citra kepolisian dari dugaan penyalahgunaan wewenang dan keterlibatan oknum aparat dalam tragedi Nagekeo ini (VovNtt.com 22/06/2021).
Tegu juga calo. Salah satu masalah yang tidak selesai hingga hari ini adalah uang Rp 250 juta yang ia terima dari seorang ibu. Anak dari ibu ini gagal jadi polisi, tapi uang belum dikembalikan.
Publik Nagekeo menduga kuat bahwa Tegu begitu kuat dan leluasa menebarkan kelakuannya yang beraroma kekerasan dan mafia karena diduga kuat ada orang kuat Jakarta yang menjadi bekingannya. Tegu sudah berulangkali diperiksa Propam Polda NTT tapi lolos tanpa celah.
Terakhir, beberapa minggu lalu, Propam Polda NTT turun ke Nagekeo dan bertemu dengan warga korban kekerasan Tegu dalam kaitan mafia waduk Lambo. Publik tidak tahu hasilnya bagaimana? Publik hanya bisa berharap agar Polre Nagekeo dibersihkan dari kelakukan oknum model Serfolus Tegu ini.
Mengapa Serfolus Tegu Sangat Teguh di Nagekeo?
Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa Serfolus Tegu ini dalam banyak kesempatan selalu “menjual” nama orang besar dan orang kuat dari Jakarta-julukan ini terarah kepada banyak orang, bukan satu orang tapi kalau ada orang yang merasa terarah ke dia, tidak apa-di Nagekeo khususnya dalam kasus waduk Lambo tapi Tegu dibiarkan bebas berkeliaran tanpa bantahan secara resmi atau tindakan hukum lain terhadap Tegu? Bukankah membawa-bawa nama orang itu masuk delik pencemaran nama baik dan itu bisa dipidana? Beberapa orang Nagekeo di Jakarta pernah menghubungi penulis untuk mengklarifikasi bahwa nama orang kuat Jakarta yang dibawa Tegu itu tidak benar.
Artinya, menurut klarifikator dan komunikator itu, orang kuat Jakarta itu tidak terlibat daam jejaring mafia waduk Lambo. Tapi pertanyaan besarnya: mengapa Serfolus Tegu sangat teguh di Polres Nagekeo hingga detik ini? Publik yang waras paham pola kerja mafia yakin bahwa tidak mungkin Serfolus Tegu itu sangat teguh seperti sekarang ini tanpa bekingan orang kuat Jakarta.
Penulis tidak pernah menyebut nama orang kuat itu. Tapi ketika ada yang mengklarifikasi dengan menyebut nama, saya hanya terperangah! Saya menulis dengan niat tulus. Tentu saja, para gerombolan mafia akan terus menyerang, mengkriminalisasi dan mendegradasi di akun media sosial milik mereka.
Saya tidak akan pernah peduli dengan medsos yang menghadirkan wajah-wajah palsu. Orang Nagekeo sudah tahu akun-akun palsu yang menyembunyikan wajah penuh borok itu. Kita saksikan dan nikmati saja tubuh mara mafia yang menggelepar kepanasan di akun medsosnya!
Kita berharap semua orang besar dan orang kuat Nagekeo yang berada di Jakarta dan kota besar lainnya di seluruh dunia, bersatu mencari solusi untuk mengatasi dugaan kasus mafia Nagekeo khususnya waduk Lambo ini. Orang kuat dan orang besar Nagekeo di Jakarta itu semuanya sudah sangat kaya, sangat sukses dan harum namanya di seluruh dunia.
Apalagi yang masih dicari di atas dunia? Mari kita semua bersatu untuk memberantas dugaan gerombolan mafia di Nagekeo. Kelompok mafia yang beringas di medsos “Nagekeo Mandiri” itu hanya pencari makan momental yang memang harus berperilaku beringas dan buas karena jatah mafianya digerogoti oleh publik Nagekeo yang kritis. Gerombolan mafia model ini kita ibaratkan keong-keong yang keluar dari cangkang ketika panik, kalap dan kepanasan.
Aparat Harus Berdiri Bersama Rakyat Nagekeo
Pertama, seluruh pengalaman sejarah menunjukkan bahwa mafia hanya bisa tumbuh ketika aparat keamanan memilih berpaling dari tugas sucinya. Triad di Hong Kong runtuh ketika ICAC dibentuk. Cosa Nostra digulung ketika negara berdiri tegak dan melindungi hakim-hakim yang berani. Kartel-kartel besar dunia ambruk ketika polisi dan militer dibersihkan dari oknum-oknum korup. Pola besar ini terang-benderang: mafia tidak pernah lebih kuat dari negara. Yang membuat mafia tampak kuat hanyalah kelemahan moral aparat yang seharusnya menumpasnya. Maka jika mafia di Nagekeo masih bernapas lega, pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah: siapa pelindungnya?
Kedua, praktik mafia yang kini mencederai Nagekeo-dari tanah waduk, material, BBM subsidi, narkoba, penyelundupan hewan, human trafficking, hingga Kafe Cokelat yang menjadi simbol kelonggaran hukum-bukan hanya masalah kriminal biasa. Ini luka sosial. Ini penindasan sistemik terhadap rakyat kecil.
Ketika aparat justru tampil dengan gaya preman, menancapkan sangkur, mengintimidasi warga, dan membungkam media, maka yang tercederai bukan hanya hukum, tetapi martabat negara. Aparat yang seharusnya melindungi malah menakut-nakuti; yang seharusnya menegakkan keadilan malah memberi ruang bagi kejahatan.
Ketiga, diamnya pejabat daerah-Kapolres, Kapolda, dan Bupati-adalah diam yang penuh tanda tanya. Apakah mereka tidak tahu? Tidak mampu? Atau memang tidak mau? Dalam sejarah kejahatan terorganisir, diamnya pejabat justru menjadi sinyal paling berbahaya.
Banyak negara jatuh dalam perang berkepanjangan dengan mafia justru karena pejabat memilih diam ketika rakyat berteriak. Dugaan bahwa mafia telah merembes ke jalur politik Nagekeo tidak boleh diabaikan. Keheningan mereka bukan lagi sekadar kesalahan administratif, tetapi potensi kegagalan moral yang dapat merusak masa depan seluruh daerah.
Keempat, sesungguhnya jalan keluar sangat jelas. Mafia runtuh di mana pun ketika negara berani membersihkan aparat, memutus aliran uang gelap, menindak oknum tanpa kompromi, dan mengembalikan hukum kepada rel yang benar. Kita sudah melihat preseden sukses: Hong Kong, Italia, Georgia.
Semua menunjukkan hal yang sama: pemberantasan mafia tidak membutuhkan puluhan tahun. Ia hanya membutuhkan keberanian moral, institusi yang independen, dan niat politik yang bersih. Jika Polres Nagekeo dan Polda NTT serius ingin memutus rantai mafia, mereka hanya perlu bertindak. Sesederhana itu.
Kelima, masa depan Nagekeo tidak boleh dibiarkan digadaikan kepada jaringan gelap yang merampas tanah rakyat, menghisap ekonomi daerah, dan merendahkan martabat manusia. Nagekeo adalah bagian dari NKRI-bukan wilayah eksperimen mafia. Maka mendegradasi dan mengkriminalisasi penulis hanya karena penulis bukan orang Nagekeo adalah kejahatan kemanusiaan yang luar biasa. sebuah cara pandang sangat kuper, dangkal dan memalukan.
Rakyat Nagekeo sudah terlalu lama menahan derita, kehilangan hak, dan kehilangan harga diri. Jeritan mereka bukan sekadar keluhan, tetapi panggilan moral. Jika aparat keamanan memilih kembali ke jalur kebenaran, mafia akan runtuh dalam waktu singkat. Sebab yang menentukan masa depan Nagekeo bukanlah kekuatan mafia, tetapi kemauan aparat untuk berdiri bersama rakyat. Dan itulah yang sekarang harus dilakukan, tanpa ragu, tanpa takut, tanpa menunda.
Nagekeo adalah tanah subur dengan jiwa yang terluka. Luka itu bukan hanya karena tanah rakyat dirampas, tetapi karena rasa percaya mereka kepada hukum dan negara telah dirampas. Keadilan yang semestinya menjadi hak, kini jadi barang mewah yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang punya kuasa.
Tulisan-tulisan saya bukanlah serangan terhadap lembaga Polri, melainkan panggilan moral untuk mengembalikan wajah kemanusiaan aparat negara. Saya menulis agar rakyat berani bersuara, agar anak-anak muda Nagekeo tidak lagi takut berdiri di sisi kebenaran, agar para penegak hukum sadar bahwa mereka digaji untuk melindungi, bukan menindas.
Karena itu, saya ingin menutup tulisan yang bukan terakhir ini, dengan seruan sederhana namun tegas: Jangan biarkan Nagekeo jatuh ke tangan mafia! Sebab, ketika mafia berkuasa, hukum hanya akan menjadi alat pembenaran kejahatan, dan keadilan akan terkubur di bawah kaki kekuasaan.***
Catatan : Tulisan ini telah diterbitkan KoranTimor.Com, 16 November 2025







