Negeri Tanpa Sirene; Mungkinkah Dinas Damkar Lahir di Lembata?
Oleh : Richardus B. Toulwala, S. Fil., M. Si
Dosen STPM Santa Ursula-Ende
WARTA-NUSANTARA.COM– Setiap kali api menyala di salah satu sudut Kabupaten Lembata, itu bukan hanya insiden kebakaran. Itu adalah simbol bahwa negara belum sepenuhnya hadir pada momen paling genting dalam hidup warganya. Api adalah simbol-simbol ketidaksiapan, simbol kerentanan, simbol bahwa di wilayah kita, hidup warganya masih mengambang pada batas antara “aman” dan “terancam”.
Di saat nyawa dan harta benda berpacu dengan waktu, kita baru sadar bahwa keselamatan publik bukanlah urusan pinggiran. Ia adalah inti dari etika pemerintahan. Filosofi keselamatan publik mengajarkan bahwa negara atau pemerintahan daerah yang baik bukan hanya yang mampu memadamkan api, tetapi yang mencegahnya, yang merancang ruang kebijakan, dan kelembagaan agar jangan ada yang terbakar sebelumnya.
Dalam pandangan filsafat politik klasik, negara dibentuk karena manusia takut pada bahaya-bahaya dari sesama, bahaya dari alam, dan bahaya dari ketidakpastian. Thomas Hobbes menyebut negara sebagai “Leviathan”, makhluk besar yang diciptakan agar manusia dapat tidur tenang di malam hari. Namun, bagaimana jika “Leviathan” itu lamban ketika api datang? Bagaimana jika kehadirannya terhalang struktur birokrasi yang belum memberi ruang bagi fungsi penyelamatan bekerja optimal?
Itulah refleksi awal kita di Kabupaten Lembata hari ini.
Risiko Nyata, Kelembagaan yang Belum Setara
Di Kabupaten Lembata, persoalan kebakaran dalam beberapa tahun terakhir bukan lagi peristiwa insidental, tetapi sudah menjadi pola risiko yang berulang. Kajian Risiko Bencana Daerah mencatat 42,6 persen wilayah Lembata tergolong berisiko tinggi terhadap karhutla, sementara 43,8 persen lainnya berisiko sedang. Artinya, hampir 9 dari 10 wilayah memiliki potensi kebakaran yang signifikan.
Sejak tahun 2020 hingga 2024, banyak peristiwa kebakaran yang terjadi baik di wilayah permukiman, pasar, dan fasilitas publik. Rentetan peristiwa kebakaran menimbulkan kerugian material dan trauma sosial yang berkepanjangan.
Beberapa insiden juga menegaskan fakta ini. Kebakaran gedung SD Negeri Waipei di Kecamatan Atadei menimbulkan kerugian hampir Rp800 juta akibat korsleting listrik. Belum lagi kebakaran lahan kering yang berulang di musim kemarau, serta peristiwa kebakaran rumah yang acap kali baru bisa dipadamkan setelah merembet ke rumah lain.
Data kebakaran di atas tidak berjalan linear dengan upaya kesiapsiagaan kita, maka tak heran tanggung jawab pemerintah pun ikut terbakar di dalamnya. Urusan pemadam kebakaran masih menjadi bagian kecil dari Dinas Satpol PP. Padahal urusan ini memiliki karakter dan tanggung jawab yang sangat berbeda. Satpol PP berorientasi pada penegakan Perda dan ketertiban sosial, sementara pemadam kebakaran berorientasi pada penyelamatan jiwa dan aset masyarakat. Dalam struktur seperti ini, fungsi penyelamatan sering terpinggirkan baik dalam alokasi anggaran, prioritas kebijakan, maupun perhatian publik.
Jika kita membaca kembali amanat Permendagri Nomor 114 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Kebakaran, jelas ditegaskan bahwa penanganan kebakaran adalah urusan wajib pelayanan dasar. Artinya, negara (dalam hal ini pemerintah daerah) berkewajiban menghadirkan kelembagaan yang kuat, responsif, dan berdaya guna bukan sekadar unit fungsional yang “numpang hidup” pada urusan Satpol PP.
Argumen Rasional dan Manfaat Strategis
Banyak dasar hukum yang permisif terhadap kemandirian Dinas Damkar ini. Regulasi yang paling teknis adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pedoman Nomenklatur Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Aturan ini membuka peluang bagi daerah untuk membentuk Dinas Damkar tersendiri, asalkan beban kerja dan kapasitas fiskalnya cukup. Lembata memenuhi dua-duanya.
Lembata sudah memiliki kapasitas yang mumpuni seperti unit Damkar, ada pengalaman menghadapi karhutla, ada sumber daya manusia yang berdedikasi. Lembata juga tak kurang dengan basis data seperti data risiko bencana, laporan kerugian, dan evaluasi tahunan. Maka, apa lagi yang kita tunggu? Dalam logika etika publik, mengetahui risiko tetapi tidak menyiapkan kelembagaan yang memadai adalah bentuk kelalaian institusional.
Lembata wilayahnya luas, topografinya menantang, dan risikonya tinggi. Kapasitas fiskalnya juga baik kalau diatur dengan bijak. Dengan struktur dinas tersendiri, fungsi Damkar akan jauh lebih profesional. Lebih preventif, karena dapat membentuk pos di kecamatan dan mengembangkan edukasi kebakaran bagi masyarakat. Fungsinya juga lebih responsif, karena memiliki manajemen logistik, armada, dan SDM yang berfokus penuh. Dan lebih koordinatif, karena mudah bersinergi dengan BPBD, Dinas Kesehatan, dan aparat keamanan dalam sistem tanggap darurat terpadu.
Pembentukan Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan yang berdiri sendiri bukanlah soal menambah birokrasi, melainkan soal memperjelas tanggung jawab moral dan administratif pemerintah terhadap hak keselamatan warganya. Sebab keselamatan bukan barang mewah, ia adalah hak dasar, sebagaimana air, pendidikan, dan kesehatan.
Dari sisi rasional kelembagaan, pembentukan Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan di Lembata akan memperkuat fungsi pelayanan dasar, mempercepat respons, serta membuka ruang inovasi daerah dalam mitigasi dan edukasi kebakaran. Ini bukan sekadar soal struktur, melainkan soal keberadaban pemerintahan bahwa negara hadir bukan hanya di ruang administratif, tetapi di tengah kobaran api, di tengah kepanikan, di tengah duka warganya.
Secara strategis, Dinas Damkar juga akan menjadi simbol perubahan paradigma birokrasi di Lembata. Lembata yang selama ini lebih mencintai ritual dan panggung, bisa berubah menjadi “penjaga kehidupan”. Dari birokrasi yang gemar seremoni menjadi birokrasi yang siap berlari. Dari tepuk tangan di panggung menjadi sirene yang menyelamatkan. Dari pemerintah yang sibuk membangun citra, menjadi pemerintah yang membangun kehadiran.
Yang Terbakar Bukan Hanya Rumah, Tapi Tanggung Jawab Negara
Dalam perspektif etika publik, kebakaran bukan sekadar peristiwa api yang melalap rumah, tetapi ujian moral bagi negara. Seberapa cepat ia hadir ketika rakyat berteriak meminta tolong? Ketika armada mobil pemadam terbatas, personel kurang, dan koordinasi birokrasi lamban, maka yang terbakar sesungguhnya bukan hanya rumah warga tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara.
Kita dapat belajar dari daerah-daerah lain yang telah lebih dulu membentuk Dinas Damkar tersendiri, sehingga koordinasi kebijakan dan penganggaran menjadi lebih efektif. Lembata seharusnya tidak menunggu tragedi yang lebih besar untuk belajar. Sebab sebagaimana dikatakan Heidegger, manusia adalah being toward death (keberadaan yang sadar akan kefanaan). Maka, tugas negara ialah meminimalkan kematian dan kehilangan yang bisa dicegah.
Mendirikan Dinas Pemadam Kebakaran bukan sekadar keputusan administratif, tetapi pernyataan moral bahwa pemerintah daerah memahami esensi keberadaannya yakni melindungi kehidupan. Api bisa padam, tapi tanggung jawab negara untuk hadir tidak boleh pernah padam.
Api Tak Menunggu Rapat Koordinasi
Kebakaran selalu mengajarkan dua hal yakni bahwa manusia rentan, dan bahwa negara dituntut hadir. Namun terkadang jiwa tak mampu diselamatkan karena negara terlalu lama berpikir dan berkoordinasi. Membiarkan Damkar terus menumpang di Satpol PP akan memperlambat koordinasi dan menumbuhkan sikap saling menunggu.
Sementara itu kobaran api tidak bisa menunggu hasil rapat. Dari situ kita bisa belajar sebuah filsafat sederhana bahwa api tidak hanya membakar kayu, tapi juga menyingkap kualitas kepemimpinan.
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Lembata menegaskan komitmennya terhadap pelayanan publik yang melindungi nyawa, bukan sekadar menegakkan aturan. Pembentukan Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan bukan hanya langkah administratif, melainkan manifestasi dari moralitas pemerintahan yang berorientasi pada kemanusiaan.
Sebab sebagaimana api dapat melahap rumah dalam hitungan menit, kepercayaan publik pun bisa padam dalam sekejap jika negara absen di tengah bencana. ***






