Pengkritik “Dipukul”, Mafia Dilindungi (Catatan untuk Komplotan Mafia Nagekeo (3)

Penyalahgunaan data intelijen oleh anggota Polres Nagekeo, sebagaimana tampak dalam narasi pembelaan terhadap Serfolus Tegu, membuka satu babak baru: bahwa kewenangan negara dapat dipelintir demi kepentingan individu dan kelompok tertentu. Data intelijens yang seharusnya menjadi instrumen deteksi ancaman justru dijadikan alat menyerang pengkritik dan mensterilkan mafia dari ancaman hukum. Di titik ini, publik perlu bertanya: apakah institusi keamanan bekerja untuk rakyat, atau telah disandera oleh kepentingan gelap?
Ketika polisi memukul kritik, bukan kejahatan, dan ketika informasi rahasia negara dipakai sebagai senjata untuk membela diri atau melindungi jaringan bisnis ilegal, maka yang terjadi bukan lagi pelanggaran etika biasa. Ini adalah gejala captured state dan police corruption nexus, situasi di mana aparat penegak hukum tidak lagi berdiri di pihak kebenaran, tetapi menjadi bagian dari mesin kekuasaan mafia. Di Nagekeo, gejala ini bukan teori abstrak. Ia nyata, terukur, dan dirasakan langsung oleh warga yang berani bersuara.
Data intelijen kepolisian adalah data rahasia untuk deteksi dini dan keamanan nasional yang tidak boleh dibuka untuk publik. Data intelijens tidak boleh digunakan oleh anggota polisi untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Itu namanya abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. Pelanggaran ini dapat berujung pidana, etik, hingga pemecatan. Pengetahuan umum dan amat biasa ini harusnya juga diketahui aparat penegak hukum, terutama pengacara yang membela oknum polisi yang telah diduga menyalahgunakan sepotong kuasa yang diberikan negara. Pengacara yang menggunakan data intelijens negara untuk mengkriminalisasi dan menyerang warga yang bersuara untuk kebenaran mesti diproses hukum.
Serfolus Tegu hanya boleh menggunakan data intelijen Polres Nagekeo saat menjalankan tugas untuk kepentingan institusi sesuai rantai komando dan untuk melindungi kepentingan publik (UU Polri Pasal 13–14). Data intelijen wajib digunakan dengan penuh tanggung jawab.
Data intelijens tidak boleh digunakan untuk membela diri dalam kasus pribadi, digunakan untuk menyerang warga, misalnya menyerang saya yang setia menulis serial opini di media untuk menyuarakan suara mayoritas rakyat Nagekeo yang selama kurun waktu panjang mengalami penindasan dan kriminalisasi dahsyat dari komplotan yang diduga sangat kuat sebagai mafia Waduk Lambo sekaligus mafia Nagekeo. Data intelijens tidak boleh digunakan untuk kepentingan kelompok mafia, kepentingan politik, ekonomi, atau pribadi, dan untuk membuat narasi hoaks untuk melindungi diri. Ketika data intlijens disalahgunakan dengan serampangan, rakyat yang kritis memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral untuk melawan arogansi ini.
Lalu ketika pengacara yang juga terlibat dalam jaringan terduga mafia waduk Lambo berpartisipasi aktif dalam abuse of power data intelijens ini, masihkah rakyat akan menaruh kepercayaan kepada pengacara model ini? Apalagi dalam kasus penyalahgunaan data intelijens negara ini, pengacara Tobbyas Ndiwa menjadi orang paling pertama yang membuka fakta penggunaan data intelijens ini ke ruang publik. Kita menduga kuat, Tobbyas Ndiwa ini telah sangat lama bersekongkol dan berkolusi jahat dengan Polres Nagekeo dalam menggunakan data intelijens ini untuk menyerang warga dan jurnalis kritis yang melawan arogansi dan kepongahan yang sejujurnya hanya semakin membuka fakta kelemahan dan keterbatasan, tidak sebatas intelektual tapi moralitas penegak hukum.
Jika Serfolus Tegu menggunakan data intelijen Polres untuk menyerang balik kritik saya untuk membungkam warga, menyusun narasi untuk menggiring opini, melindungi jaringan tertentu, atau menutupi kejahatan, maka itu tidak sah, ilegal, dan melanggar semua aturan. Itu kejahatan! Dan pengacara bernama Tobbyas Ndiwa yang menjadi orang pertama yang membuka kebusukan penyalahgunaan data intelijens ini sangat pasti dan telak melanggar semua aturan dan fakta jauh lebih dahsyat kejahatannya dari Serfolus Tegu. mengapa? Karena sebagai pengacara, Ndiwa harusnya lebih paham penggunaan data intelijens negara yang ikut ia salahgunakan ini. Kita menduga, Tobbyas Ndiwa ini masih memiliki anggapan kuno bahwa rakyat Nagekeo tidak paham hukum sehingga semena-mena dan sewenang-wenang berkoar seolah benar padahal salah sangat besar. Kita heran, ada pengacara model ini, yang entah sadar atau tidak maju tak gentar menyuarakan fakta yang sangat salah. Tapi itu bahasa alam: kejahatan tidak selalu sempurna dan selalu ada celah yang tidak disadari mafia: mereka sendiri akhirnya menunjuk hidung dan mulutnya sendiri.
Penyalahgunaan Wewenang
Penggunaan data intelijens oleh Tegu untuk melindungi dirinya adalah sebuah abuse of power atau penyakahgunaan wewenang. Pertama, UU No. 2/2002 tentang Polri menyatakan, Polri wajib bertindak untuk kepentingan umum,bukan pribadi atau kelompok (Pasal 5 dan 13). Menggunakan intelijen untuk membela diri adalah sebuah penyimpangan tujuan (detournement de pouvoir).
UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan, penyalahgunaan wewenang terjadi bila tindakan seorang pejabat melampau kewewenangannya, mencampuradukkan kewewenang, dan bertindak untuk tujuan lain yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian wewenang. Jika intelijen digunakan untuk menyerang saya, Pater Steph Within, menekan masyarakat, dan melindungi mafia tanah/galian C/hewan/BBM dsb, maka ini jelas itu penyalahgunaan wewenang serius.
Kode Etik Profesi Polri (KEPP) & Perpol 7/2022 melarang anggota Polri menyalahgunakan informasi rahasia, menggunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi, terlibat dalam jaringan kriminal, dan bertindak tanpa kejujuran dan integritas.
Sanksinya berupa sanksi etik berat,penurunan jabatan, hingga pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) atau pemecatan. Itu sebabnya, polisi yang benar akan sangat berhati-hati menggunakan kewenangan yang diberikan. Tidak membabi buta seperti Tegu.
UU 17/2011 tentang Intelijen Negara menjelaskan, informasi intelijen hanya untuk keamanan negara, bukan untuk kepentingan individu. Membocorkan atau menyalahgunakan kewenangan mendapat sanksi pidana.
Serfulos Tegu atau siapa pun anggota Polres Nagekeo tidak boleh menggunakan data intelijen untuk kepentingan pribadi. Jika digunakan untuk menyerang warga atau tokoh, itu adalah abuse of power tingkat berat. Secara hukum, tindakan Tegu melanggar UU Polri, UU KIP, UU Administrasi Pemerintahan, UU Intelijen, dan Kode Etik Polri. Secara moral, yang ditempuh Tegu adala tindakan tidak bermartabat, mengancam warga, dan menghancurkan kepercayaan publik.
Dalam TANGGAPAN DAN KLARIFIKASI TERHADAP OPINI STEPH TUPEN WITIN, yang diterbitkan Politisinusantara.com, 19 November 2025, Tobbyas Ndiwa, Kuasa Hukum AKP Serfolus Tegu / Kabag Ops Polres Nagekeo, menanggapi dua opini saya yang dipublikasikan di FloresPos.net tanggal 20 dan 22 Oktober 2025.
Untuk mengglorifikasi Tegu, kliennya, dan Gories Mere (GM), Tobbyas menyampaikan Kronologi keterlibatan AKP Serfolus Tegu pada rencana pembebasaan lahan proyek PSN Waduk Lambo sejak Tahun 2016. Ada 14 butir informasi yang menurut Tobbyas, dijelaskan berdasarkan keterangan dari kliennya dan disampaikan sesuai “time line” yang dapat dipertanggungjawabkajn secara hukum. Saya kutip satu butir, yakni butir 9, sebagai berikut.
“Menurut keterangan klien kami, dari investigasi intelejen tim Polres Nagekeo ditemukan alasan mengapa Kepala BPN Nagekeo yang baru tidak mengeluarkan undangan pencairan dikarenakan: Kepala kantor BPN Nagekeo mendapat telepon dari oknum anggota DPRD Nagekeo, agar bersurat kepada BWS untuk melakukan validasi ulang. Namun oleh BWS mengatakan bahwa tugas mereka sudah selesai hingga turunnya uang ganti untung untuk dicairkan kepada warga suku terdampak. Oknum anggota DPRD Nagekeo sebelum menjadi anggota DPRD, pernah menjadi kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa antara suku Kawa dan suku Rendu, saat itu kalah saat berpekara di Pengadilan Negeri Bajawa. Dugaan, sebagai balasannya ketika terpilih menjadi anggota DPRD yang bersangkutan melakukan provokasi kepada sekelompok masyarakat Rendu pada saat RDP dengan Kepala BPN Nagekeo di kantor DPRD Nagekeo. Dimana pada saat RDP terjadi keributan karena hadirnya massa dari kelompok Dus Wedo. Lalu klien kami selaku Kabag Ops beserta tim mengamankan situasi agar tidak terjadi kontak fisik. Patut diduga oknum anggota DPRD sengaja mengundang kelompok masyarakat membuat keributan agar memperhambat proses pencairan uang ganti untung.”
Sangat jelas, seperti diakui sendiri oleh Tobbyas, kliennya menggunakan data intelijens Polres Nagekeo. Pengacara berdasi ini membeberkan fakta ini dengan bangganya seakan saya dan publik Nagekeo bisa digertak dengan data intelijens. Gaya mafia Nagekeo memang mirip Tobbyas. Suka membawa-bawa nama Polri dan intelijen negara seakan itu semua adalah milik pribadi mereka. Memangnya Tobby itu siapa ya? Orang ini sangat berbahaya karena dia sendiri membuka borok busuk penggunaan data intelijen negara. Apalagi data negara itu hanya sekadar mau melindungi Serfolus Tegu yang dikenal jejak kejahatannya di Nagekeo. Pengacara yang suka menebar teror berkedok hukum ini mesti dilaporkan agar diproses hukum karena ikut menggunakan data intelijen milik negara untuk melindungi terduga otak mafia Nagekeo.
Saya kenal banyak pengacara hebat level nasional yang tenang, rendah hati dan tidak koar-koar seperti orang kesurupan di media sosial. Bahkan Tobby ini selalu memakai media sosial untuk mengancam dan meneror orang seolah hukum di Republik ini milik dia atau komplotan mafia Nagekeo. Ndiwa ini buat diri macam Presiden Prabowo bahkan mungkin lebih dari Prabowo. Dia kalau tampil dengan serangan dan penghinaan bahkan teror itu orang anggap biasa karena orang tahu jejak keterlibatan membela orang-orang yang kebetulan jadi pejabat tapi diduga kuat terlibat kejahatan publik. Saya tidak habis pikir orang ini mengancam dan meneror untuk memenjarakan orang melalui facebook. Dia mungkin pikir FB itu semacam pengadilan privatnya.
Belakangan dia mengancam dan meneror penulis kembali melalui sebuah somasi yang dia umbar melalui sebuah media yang tidak terdaftar resmi di Dewan Pers. Saya sendiri ketika membaca tulisannya pun sangat sarat dengan penghinaan dan ancaman terhadap pribadi saya. Tapi saya sangat tenang menghadapi dan tidak pernah terbersit secuil pikiran pun untuk menempuh proses hukum. Saya dihina: saya dituduh dengan jahat sebagai corong pihak tertentu, saya dituduh dengan sangat keji sebagai preman berselimut kasula, lebih parah lagi menggunakan informasi yang sesat yang bersumber dari Pater Mill yang tidak memiliki etika dalam menyampaikan informasi kepada publik, saya dituduh agen provokator, saya dituduh munafik dengan mengutip ayat kitab suci-setan pun bisa mengutip ayat kitab suci- dan masih banyak lain lagi (Politisinusantara.com 19/11/2025).
Apakah saya akan melakukan somasi kepada Tobbyas Ndiwa yang tampil gagah perkasa menyerang dan mengkriminalisasi saya dengan narasi usang yang diulang terus menerus di media abal-abal? Saya tidak pernah akan menyetor kebodohan karena saya tahu konteks polemik dan perdebatan di media. Itu ranah jurnalistik. Saya selalu menjawab semua tuduhan, tudingan, serangan dan kriminalisasi dengan opini. Tulisan di media harus dijawab dengan tulisan di media. Itu mekanisme hak jawab di media dalam ranah jurnalistik. Opini tidak bisa dipolisikan dan diproses hukum. Ada mekanismenya, bukan menggunakan hukum untuk merepresei kebebasan berpikir dan berpendapat orang lain. Tobbyas Ndiwa yang memulai perdebatab secara terbuka meski melalui media abal-abal. Saya hanya menjawab tudingan dan terjangannya. Kritik disampaikan oleh seseorang pasti ada ikutan titik-titik emosi, mungkin disertai diksi yang agak melebar tapi kalau anda begitu leluasa menyerang dan mengkriminalisasi orang lain, lalu mengapa anda begitu baperan ketika orang lain balik mengkritik anda? Memang, mungkin benar, ciri-ciri orang yang kalah debat adalah meneror dan mengancam dengan alat hukum. Polemik secara terbuka di media sesungguhnya membuktikan kedewasaan dan kematangan dalam berpikir dan berpendapat. Polemik itu semacam “tanur api” untuk menguji kualitas dan mutu seseorang di ruang publik! Saya selalu berjuang untuk setia berada di dalam ranah ini. Saya tidak pernah berharap yang sama untuk Tobbyas Ndiwa. Dan itu sudah terbukti.
Saya menulis sebagai jurnalis intelektual, bukan tukang siul jalanan yang mengaku diri seniman. Saya tidak pernah berkoar-koar mengajak orang muda dan orang tua di Nagekeo agar mempercayai tulisan saya. Tanggung jawab kenabian saya adalah menulis dengan baik dan benar. Bagi seroang jurnalis, fakta adalah suci (The Facts are sacred). Urusan percaya atau tidak, bukan ranah saya, itu hak publik yang membaca. Sejarah peradaban selalu membuktikan: kebenaran akan menemukan ruang keabadian dalam hati manusia. Kebohongan akan lari secepat kilat tapi akan diterbangkan angin dengan tergesa pula. Teror, ancaman, terjangan, fitnah dan kriminalisasi tidak pernah abadi. Semua itu hanya sekadar menarasikan kegelisahan komplotan mafia yang sedang dibongkar habis struktur kejahatannya. Titik.
Siapa Pahlawan Sesungguhnya di Waduk Lambo?
Tobbyas Ndiwa bersama para komplotan lingkar mafia selama ini berulang-ulang tampil di media abal-abal untuk mengglorifikasi Serfolus Tegu sebagai pahlawan waduk Lambo. Benarkah itu? Pertanyaan ini selalu mengganggu dan menggugat nurani kemanusiaan. Pahlawan sesungguhnya di Waduk Lombok adalah orang-orang kecil, rakyat jelata yang telah merelakan tanahnya diambil oleh negara untuk kepentingan banyak orang yang diganti setara harga 2 kilogram beras untuk harga saat ini yaitu 30.500/m2. Maka kita harus melawan komplotan mafia yang begitu murah dan sangat mudah tanpa beban membalikkan semua hal, termasuk mengglorifikasi Serfolus Tegu sampai tidak terlihat lagi dugaan jejak kejahatannya di tanah Nagekeo. Komplotan mafia ini sibuk memuji-muji Serfolus Tegu melalui media abal-abal yang hanya dibaca dalam lingkaran mafia untuk menghibur hati yang sedang luka lara karena terancam serius kehilangan nafkah rampokan dan rampasan di waduk Lambo. Nyanyian luka lara kelompok mafia ini harus menjadi inspirasi bagi orang-orang yang mengaku diri seniman untuk menulis lagu, merekam dan mengedarkannya kepada masyarakat luas agar penghasilannya menggantikan mimpi perampokna uang rakyat yang telah kandas.
Ketika ada oknum polisi bernama Serfous Tegu diakui dan disanjung-sanjung sebagai pahlawan di Waduk Lambo, ini tentu menjadi pertanyaan besar kita: kebaikan macam apa yang membuat para begundal ini memberikan puji-pujian kepada oknum polisi bernama AKP Serfolus Tegu ini? Sebab pahlawan sesungguhnya ialah orang-orang kampung sederhana yang demi kepentingan banyak orang merelakan tanah, tempat mereka memperoleh penghidupan selama berabad-abad demi banyak orang.
Jadi, orang yang punya jasa besar yang sesungguhnya adalah orang-orang yang berasal dari Suku Redu (Rendu), Suku Isa dan Suku Gaja, Komunitas masyarakat adat Kawa dan Lambo, Suku Anajogo dan Ebudai serta Ndora dan Ulupulu.
Maka sangat wajar dan masuk akal sehat bahwa kita semua yang masih punya hati nurani kemanusiaan berhak dan memiliki tanggung jawab moral-kemanusiaan untuk membela orang-orang suci dan mulia ini atas semua pengorbanan yang telah mereka persembahkan untuk kebaikan bersama (bonum commune). Jalan pembelaan moral-kemanusiaan itu adalah melawan kepongahan dan keangkuhan komplotan mafia waduk Lambo dengan tidak membiarkan lagi para mafia ini mengambil uang dari proses ganti rugi yang sudah sangat murah meriah ini.
Kita tidak perlu mendengar alasan pembelaan dari para begundal ini untuk menjaga reputasi Serfolus Tegu. Jejak kejahatan para pembela ini sudah dibuka dalam tulisan-tulisan saya sejak tulisan pertama yang menghentak batok kepala komplotan mafia Nagekeo: Nagekeo Dalam Cengkeram Mafia? Tidak salah jika mereka harus membela Tegu, ini bagian kecil dari bentuk dukungan antar sesama terduga mafia. Memang, hanya penjahat yang boleh membela penjahat, demikian pun sebaliknya. Kita yang masih waras dan akal sehat masih aman tidak pernah boleh kalah dengan gerombolan begundal dan mafia keparat.
Tidak perlu juga kita jauh-jauh menilai apakah Tegu benar-benar menjadi pahlawan seperti pembelaan dari para begundal itu. Apakah Tegu pernah merasakan bagaimana dia pernah memberikan sejengkal tanahnya untuk kepentingan umum? Apakah dia pernah merasakan berada di posisi menjadi orang miskin yang hidup dari tanah dan harus merelakan tanah itu diambil negara dengan harga murah demi kepentingan banyak orang?
Kita mengakui bahwa Tegu ini cukup berperan dalam urusan waduk Lambo. Meski dia lebih dominan melakukan diskresi tugas dan fungsinya sebagai seorang anggota Polri, kita tetap mengakuinya sebagai upaya pemenuhan manfaat waduk untuk banyak orang.
Yang kita lawan ialah cara yang dia gunakan untuk memperoleh keuntungan dari proyek itu dengan cara-cara yang tidak adil. Dia menggunakan tangan orang lain yang tidak berhubungan dengan waduk untuk merampas hak warga. Tegu telah diberi gaji oleh negara, dia juga mendapat alokasi anggaran Polri untuk menjalankan tugas-tugas dia sebagai Kabag OPS. Maka kritik kepada Tegu menjadi tanggung jawab semua warga negara demi menjaga kemurnian dan kesucian institusi kepolisian. Ini pencerahan kepada pengacara agar membela klien secara rasional dan jangan sampai kehilangan akal sehat hanya karena “maju tak gentar membela yang membayar.”
Apa Itu Data Intelijen Kepolisian?
Data intelijen kepolisian adalah segala informasi yang dihimpun, diolah, dan dianalisis oleh aparat intelijen Polri untuk mencegah, mendeteksi, dan menangani potensi ancaman keamanan. Dasarnya terdapat pada (1) UU No 2/2002 tentang Polri, pasal 13 dan 14 menugaskan Polri melakukan deteksi dini dan intelijen keamanan dan (2) Perkap No 1/2019 tentang Manajemen Intelijen Keamanan. Di sana dijelaskan definisi, ruang lingkup, dan tata cara pengelolaan intelijen keamanan, termasuk pengumpulan data, analisis, dan penyimpanan.
Disebutkan, data intelijen adalah data sensitif yang berisi informasi potensi ancaman, jaringan kriminal, peta konflik sosial, analisis kerawanan wilayah, hingga profil individu yang diduga terlibat aktivitas tertentu yang mengancam keamanan.
Apakah data intelijen boleh dibuka ke publik? Secara hukum, tidak boleh! Data intelijen bersifat rahasia negara karena (a) Mengandung informasi sensitif terkait keamanan publik; (b) Jika dibuka, dapat membahayakan operasi dan keselamatan petugas; dan (c) Menghindari penyalahgunaan oleh pihak yang jahat.
Dasar hukumnya adalah (1) UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Pada pasal 17 ayat (1) dijelaskan, “Informasi yang dapat mengganggu pertahanan dan keamanan dikecualikan dan tidak boleh dipublikasikan.” (2) UU 2/2002 dan Perkap 1/2019 menetapkan, data intelijen sebagai informasi tertutup bagi umum, (3) UU 17/2011 tentang Intelijen Negara. Pada pasal 25 disebutkan, informasi intelijen adalah rahasia dan hanya digunakan untuk kepentingan negara.
Data intelijen tidak boleh dibuka kepada publik, termasuk media, kecuali bagian yang telah disetujui sebagai rilis resmi institusi. Pertanyaan selanjutnya, apakah data intelijens boleh digunakan oleh anggota polisi untuk kepentingan diri atau kelompoknya? Secara mutlak: tidak boleh! Itu pelanggaran berat. Dasar hukum sudah saya jelaskan. Saya harap pengacara Tobbyas Ndiwa lebih paham ini sehingga tidak berkoar seenaknya di media abal-abal seolah tanpa noda padahal dia sedang mengumbar kejahatan penggunaan data intelijens hanya untuk membela Serfolus Tegu yang justru diduga sangat kuat menjadi otak mafia waduk Lambo dan punya rekam jejak kejahatan sebagai aparat polisi yang digaji pajak rakyat.
Serfolus Tegu Harus Dipecat dari Dinas Polri
Jika ada oknum polisi menggunakan data intelijen untuk melindungi mafia tanah, galian C, hewan, BBM, atau jaringan bisnis ilegal, memetakan lawan mereka, mengintimidasi warga, menyusun narasi hoaks, dan menutupi kejahatan kelompok tertentu, maka tindakan itu masuk kategori serius. “Penyalahgunaan intelijen untuk kepentingan mafia adalah suatu pelanggaran berat, moral dan hukum.”
Ini juga merupakan salah satu indikator negara captured state atau police corruption nexus. Captured state adalah kondisi ketika negara, atau salah satu institusinya, bukan lagi bekerja untuk kepentingan rakyat, tetapi diambil alih (captured) oleh kelompok tertentu seperti mafia atau jaringan kriminal, oligarki ekonomi, kelompok bisnis tertentu, dan elite politik lokal.
Dalam captured state, kekuasaan negara digunakan bukan untuk hukum dan kepentingan umum, tetapi untuk melindungi kepentingan kelompok kecil, menekan atau membungkam warga, menyingkirkan lawan, mengamankan bisnis ilegal, dan mengalirkan keuntungan kepada aktor-aktor tertentu.
Ciri-cirinya, antara lain, polisi, jaksa, atau birokrasi tidak netral. Laporan masyarakat diabaikan atau ditolak. Mafia atau cukong merasa kebal hukum. Aparat aktif melindungi bisnis haram.Kekuasaan negara dipakai untuk kepentingan pribadi/kelompok. Kritik dan kebenaran dianggap ancaman.
Captured state muncul ketika negara tidak lagi milik rakyat, tetapi milik mafia atau kelompok kuat yang menguasai institusi negara dari dalam. Ini berbahaya dan ini yang sudah terjadi di Nagekeo! Saatnya rakyat Nagekeo yang mendapatkan pencerahan ini harus bangkit merebut kebenaran yang selama ini didominasi Serfolus Tegu, bahkan sejak Kapolres Yudha Pranata yang mendominasi opini melalui wartawan piaraan yang mengelola media abal-abal tapi ulahnya melebihi jurnalis senior di luar langit.
Istilah police corruption nexus digunakan dalam studi kriminologi global, merujuk pada hubungan simbiotik antara polisi korup dan jaringan kriminal (mafia). Keduanya saling membutuhkan dan saling menguntungkan. “Nexus” berarti “pertautan” atau “persilangan”. Jadi, police corruption nexus adalah pertautan kedekatan antara polisi korup dengan kejahatan terorganisasi.
Bentuknya? Mafia memberi uang, fasilitas, atau perlindungan politik kepada oknum polisi. Oknum polisi membalas dengan melindungi bisnis ilegal mafia. Informasi intelijen bocor ke kelompok kriminal. Polisi menolak laporan warga tentang mafia. Polisi memukul kritik, bukan memukul kejahatan. Polisi menjadi alat untuk menyerang korban mafia, bukan pelindung mereka.
Keduanya, captured state dan police corruption nexus saling terkait. Captured state adalah kondisi makro. Ketika institusi negara dikuasai kepentingan mafia. Sedangkan police corruption nexus adalah mekanisme mikro.
Dalam konteks Nagekeo, gejala yang dialami rakyat adalah gambaran nyata dari captured state dan police corruption nexus. Ada mafia tanah Waduk Lambo/Mbay, mafia galian C, mafia penyelundupan hewan, mafia BBM subsidi, mafia prostitusi, polisi yang menolak laporan warga, polisi yang takut berdialog dengan mahasiswa, polisi yang menyerang balik tokoh moral, diduga penyalahgunaan data intelijen, upaya suap kepada mahasiswa, dan kedekatan pejabat polisi dengan jaringan mafia. Semua itu menunjukkan ciri-ciri police corruption nexus, dan jika berlangsung lama serta sistemik, itu mengarah pada captured state tingkat daerah.
Kondisi ini sangat berbahaya karena aparat yang seharusnya melindungi rakyat berubah melindungi mafia, hukum menjadi alat represif, bukan alat keadilan, warga menjadi takut melapor, tokoh moral diserang untuk membuat contoh, mafia bisa tumbuh bebas karena punya “backing” resmi, kepercayaan publik runtuh total, dan demokrasi lokal lumpuh. Ini adalah salah satu ancaman terbesar terhadap kehidupan bernegara!
Ahli hukum Lord Acton (Inggris) mengatakan, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Penyalahgunaan intelijen oleh aparat adalah bentuk korupsi kekuasaan yang paling berbahaya, karena dilakukan oleh institusi yang seharusnya mengawasi dan menjaga keamanan.
A.V. Dicey, Father of the Rule of Law (Inggris) menegaskan tiga prinsip utama rule of law: (1) Tidak boleh ada kekuasaan yang berada di atas hukum. (2) Aparat negara dapat dituntut jika melanggar hukum. (3) Penyalahgunaan kewenangan adalah ancaman terhadap negara hukum. Polisi yang memakai intelijen untuk menyerang warga jelas melanggar prinsip Dicey.
Sosiolog Jerman, Max Weber, menegaskan bahwa birokrasi modern wajib bekerja berdasarkan rasionalitas hukum, bukan loyalitas pribadi atau jaringan informal.
Jika aparat memakai kewenangan negara untuk kepentingan kelompok, itu disebut patrimonial corruption. Kondisi seperti di Nagekeo = bentuk patrimonial mafia–police nexus.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pertama, Prof. Jimly Asshiddiqie, mengatakan bahwa penyalahgunaan wewenang adalah “bentuk pelanggaran konstitusi paling berbahaya karena merusak kepercayaan publik dan mematikan demokrasi.” Sedang mantan ketua MK Prof. Mahfud MD menegaskan, “Intelijen tidak boleh dipakai untuk urusan pribadi. Itu kejahatan.” Ia juga menegaskan bahwa state capture adalah bentuk korupsi paling tinggi karena menguasai aparat negara dari dalam.
Prof. Satjipto Rahardjo, Bapak Sosiologi Hukum Indonesia, menegaskan, polisi harus menjadi “pelindung rakyat” bukan alat kekuasaan. Jika aparat menindas kritik, itu adalah pelanggaran etik dan pelanggaran moral.
Pakar kriminologi Prof. Romli Atmasasmita menjelaskan, konsep organized crime dan police–criminal collaboration. Ia menegaskan, “Kejahatan terorganisasi selalu membutuhkan perlindungan aparat.” Ini tepat menggambarkan police corruption nexus di Nagekeo. Semua upaya yang dilakukan pengacara dengan kejahatan menggunakan data intelijens termasuk dalam wilayah kejahatan terorganisasi.
Di titik ini, kita ingatkan rakyat Nagekeo bahwa pengacara semodel Tobbyas Ndiwa sangat berbahaya karena diduga menjadi bagian dari komplotan mafia sebagai kejahatan terorganisasi yang menggunakan institusi kepolisan Polres Nagekeo, bahkan memakai data intelijens untuk membela kliennya Serfolus Tegu. Dugaan kita telah terbukti dalam narasinya di media abal-abal yang saya kutip dengan sangat terpaksa di atas karena malas membacanya. Tidak bermutu.
Penutup
Dalam situasi di mana pengritik “dipukul” dan mafia dilindungi, publik harus berani menyebut sebuah kejahatan dengan nama sebenarnya. Penyalahgunaan data intelijen oleh aparat bukan sekadar pelanggaran administrative. Itu adalah tindakan kriminal yang menggerogoti sendi-sendi negara hukum. Ketika intelijen negara dijadikan alat untuk menyerang warga dan membela kepentingan gelap, maka aparat itu sendiri telah berubah dari penjaga keamanan menjadi ancaman terhadap keamanan rakyat. Ini bukan sekadar kesalahan individu, tetapi indikasi kerusakan moral dan profesional yang sangat serius.
Nagekeo sedang berada di titik genting. Gejala captured state dan police corruption nexus terlihat telanjang: mafia tanah, mafia galian C, mafia hewan, mafia BBM, mafia prostitusi, laporan warga yang ditolak, mahasiswa yang dihalangi berdialog, dan tokoh moral yang diserang balik. Semua pola ini tidak mungkin terjadi tanpa keberpihakan sebagian aparat. Ketika polisi lebih sibuk memburu kritik ketimbang memburu mafia, itulah pertanda bahwa sebagian kekuasaan negara sedang dialihkan ke tangan kelompok kriminal. Ini bukan persoalan personal antara saya dan Serfolus Tegu. apalagi sekarang Tobbyas Ndiwa menggantinya sebagai persoalan saya dengan dia sebagai pengacara. Ini juga sebuah kesalahan bahkan kesesatan berpikir sang pengacara yang harus dikoreksi total. Ini persoalan besar: masa depan penegakan hukum di Nagekeo. Bagaimana perjuangan untuk kepentingan seluruh rakyat dilibas hanya untuk melindungi kepentingan klien yang sedang terancam keberadaannya dalam institusi polisi? Pengacara, kuasa hukum memang tugasnya membela klien tapi belalah klien dengan rasional, sikap kritis, tidak perlu berapi-api seperti orang kesurupan dan keterbukaan untuk dikoreksi orang lain. Tidak ada monopoli kebenaran di atas dunia ini. Apalgi monopoli itu hanya mengandalkan suara besar, menggelegar bak guntur hanya untuk mengancam dan meneror suara warga.
Masyarakat harus tahu bahwa hukum masih berpihak pada mereka. Undang-undang Indonesia tegas melarang penyalahgunaan wewenang, apalagi penyalahgunaan intelijen. Tindakan semacam itu bukan saja melanggar UU Polri, UU Administrasi Pemerintahan, UU KIP, dan UU Intelijen Negara, tetapi juga menghancurkan martabat kepolisian sebagai institusi. Polisi yang baik tidak akan menggunakan celah-celah kekuasaan untuk kepentingannya sendiri. Polisi yang baik tidak takut pada transparansi, tetapi justru menjunjungnya untuk menjaga kepercayaan publik. Jika ada anggota Polri yang melenceng, negara wajib mengambil tindakan tegas untuk memulihkan integritas institusi.
Karena itu, Serfolus Tegu atau siapa pun aparat yang memakai intelijen secara salah harus diperiksa secara menyeluruh. Proses hukum dan etik harus berjalan tanpa kompromi. Pemecatan bukanlah hukuman yang berlebihan untuk pelanggaran berat seperti ini. Justru itulah langkah minimum untuk menunjukkan bahwa negara tidak tunduk pada mafia, dan Polri tetap berdiri sebagai institusi yang bekerja untuk rakyat, bukan untuk elite, bukan untuk jaringan kriminal, dan bukan untuk melindungi diri sendiri. Tanpa pembersihan total, kepercayaan masyarakat tidak akan pernah kembali.
Pada akhirnya, perlawanan terhadap mafia dan aparat yang menyimpang bukan hanya tugas seorang imam, jurnalis, aktivis, atau mahasiswa. Ini adalah perjuangan seluruh masyarakat yang mencintai keadilan. Mafia hanya bisa tumbuh ketika rakyat diam. Captured state hanya bisa terjadi ketika warga tidak bersuara. Karena itu, mari menjaga Nagekeo tetap dalam genggaman rakyat, bukan dalam genggaman mafia. Negara ini milik warga negara yang jujur, bukan milik para penguasa gelap. Suara kita adalah cahaya. Dan cahaya sekecil apa pun tetap cukup untuk membongkar gelapnya mafia dan aparat yang memilih menjadi bagian dari kegelapan.
Let the truth stand, no matter how hard it is to swallow. Biarkan kebenaran berdiri tegak, seberapa pun pahit atau sulitnya untuk diterima. *
Siapa Pahlawan Sesungguhnya di Waduk Lambo?
Tobbyas Ndiwa bersama para komplotan lingkar mafia selama ini berulang-ulang tampil di media abal-abal untuk mengglorifikasi Serfolus Tegu sebagai pahlawan waduk Lambo. Benarkah itu? Pertanyaan ini selalu mengganggu dan menggugat nurani kemanusiaan. Pahlawan sesungguhnya di Waduk Lombok adalah orang-orang kecil, rakyat jelata yang telah merelakan tanahnya diambil oleh negara untuk kepentingan banyak orang yang diganti setara harga 2 kilogram beras untuk harga saat ini yaitu 30.500/m2. Maka kita harus melawan komplotan mafia yang begitu murah dan sangat mudah tanpa beban membalikkan semua hal, termasuk mengglorifikasi Serfolus Tegu sampai tidak terlihat lagi dugaan jejak kejahatannya di tanah Nagekeo.
Ketika ada oknum polisi bernama Serfous Tegu diakui dan disanjung-sanjung sebagai pahlawan di Waduk Lambo, ini tentu menjadi pertanyaan besar kita: kebaikan macam apa yang membuat para begundal ini memberikan puji-pujian kepada oknum Polisi bernama AKP Serfolus Tegu ini? Sebab pahlawan sesungguhnya ialah orang-orang kampung sederhana yang demi kepentingan banyak orang merelakan tanah, tempat mereka memperoleh penghidupan selama berabad-abad demi banyak orang.
Jadi, orang yang punya jasa besar yang sesungguhnya adalah orang-orang yang berasal dari Suku Redu (Rendu), Suku Isa dan Suku Gaja, Komunitas masyarakat adat Kawa dan Lambo, Suku Anajogo dan Ebudai serta Ndora dan Ulupulu.
Maka sangat wajar dan masuk akal sehat bahwa kita semua yang masih punya hati nurani kemanusiaan berhak dan memiliki tanggung jawab moral-kemanusiaan untuk membela orang-orang suci dan mulia ini atas semua pengorbanan yang telah mereka persembahkan untuk kebaikan bersama (bonum commune). Jalan pembelaan moral-kemanusiaan itu adalah melawan kepongahan dan keangkuhan komplotan mafia waduk Lambo dengan tidak membiarkan lagi para mafia ini mengambil uang dari proses ganti rugi yang sudah sangat murah meriah ini.
Kita tidak perlu mendengar alasan pembelaan dari para begundal ini untuk menjaga reputasi Serfolus Tegu. Jejak kejahatan para pembela ini sudah dibuka dalam tulisan-tulisan saya sejak tulisan pertama yang menghentak batok kepala komplotan mafia Nagekeo: Nagekeo Dalam Cengkeram Mafia? Tidak salah jika mereka harus membela Tegu, ini bagian kecil dari bentuk dukungan antar sesama terduga mafia. Memang hanya penjahat yang boleh membela penjahat., demikian pun sebaliknya. Kita yang masih waras dan akal sehat masih aman tidak pernah boleh kalah dengan gerombolan begundal dan mafia keparat.
Tidak perlu juga kita jauh-jauh menilai apakah Tegu benar-benar menjadi pahlawan seperti pembelaan dari para begundal itu. Apakah Tegu pernah merasakan bagaimana dia pernah memberikan sejengkal tanahnya untuk kepentingan umum? Apakah dia pernah merasakan berada di posisi menjadi orang miskin yang hidup dari tanah dan harus merelakan tanah itu diambil negara dengan harga murah demi kepentingan banyak orang?
Kita mengakui bahwa Tegu ini cukup berperan dalam urusan waduk Lambo. Meski dia lebih dominan melakukan diskresi tugas dan fungsinya sebagai seorang anggota Polri, kita tetap mengakuinya sebagai upaya pemenuhan manfaat waduk untuk banyak orang.
Yang kita lawan ialah cara yang dia gunakan untuk memperoleh keuntungan dari proyek itu dengan cara-cara yang tidak adil. Dia menggunakan tangan orang lain yang tidak berhubungan dengan waduk untuk merampas hak warga. Tegu telah diberi gaji oleh negara, dia juga mendapat alokasi anggaran Polri untuk menjalankan tugas-tugas dia sebagai Kabag OPS. Maka kritik kepada Tegu menjadi tanggung jawab semua warga negara demi menjaga kemurnian dan kesucian institusi kepolisian. ***








