• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Kamis, November 27, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Opini

Somasi Angkuh Untuk Membungkam Kritik (Catatan untuk Komplotan Mafia Nagekeo (4)

by WartaNusantara
November 27, 2025
in Opini
0
Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan
0
SHARES
7
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

RelatedPosts

Tantangan Peran Hukum Adat Dalam Penegakan Keadilan Hukum Secara Yuridis

Tantangan Peran Hukum Adat Dalam Penegakan Keadilan Hukum Secara Yuridis

𝑫𝑼𝑶 𝑴𝑶𝑵𝑻𝑬𝑰𝑹𝑶 (𝑵𝒂𝒓𝒂𝒔𝒊 𝑼𝒔𝒌𝒖𝒑 𝑴𝒐𝒏𝒕𝒆𝒊𝒓𝒐: 𝑮𝒓𝒆𝒈𝒐𝒓𝒊𝒖𝒔 𝒅𝒂𝒏 𝑯𝒂𝒏𝒔 )

𝑫𝑼𝑶 𝑴𝑶𝑵𝑻𝑬𝑰𝑹𝑶 (𝑵𝒂𝒓𝒂𝒔𝒊 𝑼𝒔𝒌𝒖𝒑 𝑴𝒐𝒏𝒕𝒆𝒊𝒓𝒐: 𝑮𝒓𝒆𝒈𝒐𝒓𝒊𝒖𝒔 𝒅𝒂𝒏 𝑯𝒂𝒏𝒔 )

Load More

Somasi Angkuh Untuk Membungkam Kritik (Catatan untuk Komplotan Mafia Nagekeo (4)

Oleh :  Steph Tupeng Witin 
(Jurnalis, Penulis Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus” dan Pendiri Oring Literasi Siloam)WARTA-NUSANTARA.COM–   Somasi terbuka yang dilayangkan Tobbyas Ndiwa, S.H., terhadap saya menandai babak baru dalam pertarungan antara suara moral dan jejaring mafia yang bersembunyi di balik seragam negara. Ketika kritik terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang aparat justru dijawab dengan ancaman hukum, kita dipaksa melihat wajah telanjang dari persoalan yang lebih besar: kegagalan sebagian aparat memahami makna akuntabilitas publik. Dalam literatur hukum tata negara dan studi demokrasi, respons demikian dikenal sebagai upaya delegitimasi kritik, sebuah pola klasik dalam rezim yang alergi pengawasan dan antikritik. Ironisnya, pola tersebut kini dipertontonkan di Nagekeo oleh figur-figur yang seharusnya menjunjung etika profesi dan prinsip negara hukum.

Steph Tupeng Witin    

Somasi ini tidak berdiri di ruang hampa. Ia muncul di tengah deretan laporan, investigasi, dan kritik moral mengenai jaringan mafia tanah, mafia galian C, mafia hewan, mafia BBM bersubsidi, hingga mafia prostitusi yang selama bertahun-tahun menggerogoti Nagekeo. Ketika kenyamanan para pelaku terganggu, somasi tiba-tiba dijadikan tameng. Ia tidak lagi tampil sebagai instrumen hukum perdata yang sehat, tetapi berubah menjadi peluru retoris yang diarahkan untuk menakut-nakuti pihak yang bersuara. Secara substantif, pola seperti ini identik dengan SLAPP-Strategic Lawsuit Against Public Participation-yang bertujuan membungkam kritik, bukan mencari kebenaran.

Maka kita bisa katakana bahwa ketika somasi dijadikan sekadar sebagai peluru terduga mafia untuk membungkan kritik sebagai suara kenabian, bahkan sebagai sebuah teror yang kejam, itu kejahatan yang harus dilawan dengan rasionalitas yang utuh. Publik yang kritis tidak pernah boleh kalah atau dikalahkan oleh oknum pengacara atau siapa pun yang secara sewenang-wenang dan semena-mena memamerkan diri sebagai penentu kebenaran dan bertindak seolah-seolah sebagai pemimpin opini publik. Padahal opini yang sedang dibangun oleh kelompok yang panik, tidak sekadar keliru tapi salah besar dari semua aspek. Kita hanya ingatkan publik agar tidak boleh percaya pada suara besar, teror tanpa substansi dan ancaman dengan menggunakan ayat-ayat hukum. Somasi yang digunakan sebagai alat peneror suara kritis sesungguhnya menarasikan kedangkalan pola berpikir dan kepanikan dahsyat dari aparat negara bersama pengacaranya untuk sekadar menutupi borok kejahatan mafia yang sedang dibongkar habis-habisan. Di titik ini tidak ada kata lain, selain: Lawan!!

Dalam perspektif etika profesi, demokrasi konstitusional, dan hukum internasional hak asasi manusia, somasi semacam ini cacat sejak dalam niatnya. Advokat yang independen tidak boleh merangkap peran sebagai pihak yang tersinggung, agen politik, sekaligus pembela aktor yang diduga terlibat dalam jejaring mafia. Doktrin conflict of role-yang diatur dalam ABA Model Rules dan IBA Principles-melarang advokat menggunakan keahlian hukum sebagai alat intimidasi. Ketika somasi dijadikan mekanisme untuk menutup mulut warga yang sedang mengungkap penyimpangan pejabat publik, maka ia tidak hanya salah arah, tetapi juga melanggar teori demokrasi deliberatif yang menempatkan kritik sebagai inti percakapan publik. Di titik ini, kita bertanya: apakah Tobbyas Ndiwa yang menggemborkan diri sebagai pengacara nasional paham hal ini? Terkadang, omongan berapi-api dan teriakan berbusa-busa melupakan ruang akal sehat.

Maka, somasi Tobbyas Ndiwa tidak dapat diperlakukan sebagai sekadar surat teguran. Ia harus dibaca secara politis, moral, dan struktural sebagai bagian dari mekanisme pembungkaman yang beroperasi di bawah kedok legalitas. Kritik saya tidak menyasar ranah privat, tetapi menyentuh soal-soal yang menjadi inti kepentingan umum: penyalahgunaan data intelijen, dugaan mafia yang merugikan rakyat, dan penyimpangan perilaku pejabat publik. Dalam konteks semacam itu, hukum justru mewajibkan kritik, bukan mengekangnya. Ketika seorang imam yang membela rakyat kecil disomasi hanya karena mengungkap kebenaran, yang sedang diuji bukan hanya integritas saya, melainkan kualitas demokrasi kita sendiri.

Somasi Ngawur
Somasi terbuka yang dikeluarkan oleh Tobbyas Ndiwa, S.H. terhadap saya, muncul dalam konteks perdebatan publik terkait dugaan keterlibatan oknum aparat kepolisian dalam jejaring mafia di Nagekeo. Dari perspektif rule of law, etika profesi advokat, doktrin kebebasan berekspresi, serta standar hukum internasional mengenai kritik terhadap pejabat publik, somasi ini sangat tidak tepat, bahkan ngawur.

Secara formil, somasi ini memenuhi unsur minimal somasi, tetapi secara substansial cacat etik, sarat konflik peran (role conflict), tidak tepat menerapkan norma hukum, dan menggunakan pola yang dapat dikategorikan sebagai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Dengan demikian, somasi tersebut tidak layak digunakan sebagai dasar pembatasan kebebasan berekspresi maupun sebagai respons yang proporsional terhadap kritik publik.

Somasi adalah instrumen hukum perdata yang sering digunakan dalam konteks peringatan atau teguran untuk mencegah sengketa berlanjut ke proses litigasi. Namun, dalam ruang demokrasi modern, somasi juga dapat dipakai secara keliru sebagai alat untuk menekan kritik publik, terutama ketika ditujukan terhadap mereka yang mengungkap dugaan penyalahgunaan kekuasaan.

Serial kritik saya terhadap dugaan praktik mafia di Nagekeo telah mengobrak-abrik kenyamanan para aktor mafia yang selama ini merampas hak rakyat kecil-tak berdaya di Nagekeo.  Banyak pihak yang tersinggung, termasuk orang kuat Jakarta, yang acap digadang sebagai perisai olah para bagundal yang mengais rezeki ilegal di Nagekeo.

Pada Selasa, 25 November 2025, sebuah media online menayangkan somasi Tobbyas Ndiwa dengan judul “Somasi Terbuka dan Opini Hukum untuk Steph Tupen Witin”.  Hal kecil saja: nama saya ditulis tidak hanya keliru tapi salah besar. Saya duga, kesalahan agung ini hadir karena wajah pengacara yang satu ini sudah dipagari emosi membeludak, kemarahan tak terkendali dan mungkin saja kepanikan tak terkira. Somasi panjang itu bercampur aduk dengan narasi membanggakan diri sebagai pengacara kelas dunia yang mencari makan di Nagekeo. Sebelumnya, Tobbyas menjadi pengacara AKB Yudha Pranata, oknum polisi sekaligus mantan Kapolres Nagekeo yang juga bermasalah.

Kasus somasi Tobbyas Ndiwa terhadap saya perlu diletakkan dalam konteks yang lebih luas, yakni:
1. Somasi melibatkan aktor yang berkaitan langsung dengan isu dugaan mafia dan aparat.
2. Saya adalah pihak yang menyampaikan nilai moral. Saya tidak memiliki kepentingan ekonomi dan politik. Saya sepenuhnya bertindak sebagai pembela masyarakat.
3. Tulisan saya  yang disomasi berkaitan dengan isu kepentingan publik, bukan sengketa privat.

Dengan demikian, tindakan  hukum  terhadap saya tidak bisa dilakukan semata-mata berdasarkan norma positif, tetapi harus mengacu pada teori demokrasi, yurisprudensi kebebasan berekspresi, dan etika profesi.

Secara struktural, somasi Tobbyas Ndiwa memiliki identitas pengirim dan penerima argumentasi hukum yang diklaim, tuntutan, tenggat waktu, dan ancaman tindakan hukum.

Dalam hukum acara, tidak ada bentuk baku somasi. Oeh karena itu, secara formil somasi tersebut sah sebagai surat teguran. Namun, legalitas formal tidak identik dengan kelayakan substantif. Somasi yang benar menempatkan fokus pada substansi, motif, dan dampak.

Pejabat Publik Wajib Dikritik
Dalam yurisprudensi Indonesia, Mahkamah Agung sudah berkali-kali menegaskan bahwa kritik terhadap pejabat publik, institusi publik, atau kebijakan publik bukanlah pencemaran nama baik. Hal ini sejalan dengan (1) Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008, (2) Putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015, dan (3) Putusan MK No. 2/PUU-VII/2009.

Doktrin umum adalah ini: Pejabat publik dan aparat harus memiliki toleransi lebih tinggi terhadap kritik. Kritik keras tidak otomatis memenuhi unsur delik penghinaan. Opini moral tidak dapat diadili sebagai fitnah kecuali mengandung fakta palsu yang dapat diverifikasi. Sedang tulisan saya termasuk critical commentary, normative opinion, dan public interest advocacy. Sama sekali bukan informasi palsu yang memenuhi unsur delik.

Critical commentary adalah tulisan analitis-kritis yang mengevaluasi sebuah peristiwa, kebijakan, tindakan, atau aktor publik dengan menggunakan logika, bukti, dan argumen rasional. Tulisan ini berbasis analisis, bukan sekadar pendapat emosional.  Critical commentary menunjukkan kelemahan, kekeliruan, penyimpangan, atau dampak negatif dari tindakan atau peristiwa. Ciri tulisan ini tetap berada dalam batas kebebasan berekspresi yang dilindungi hukum dan uumnya muncul dalam opini media, esai kritis, editorial, atau review.

Fungsi critical commentary adalah mengoreksi kekuasaan (check and balance), membantu publik memahami konteks dan risiko suatu kebijakan atau perilaku pejabat, dan menggugah debat publik yang sehat. Contoh critical commentary: mengkritik penggunaan data intelijen oleh oknum polisi untuk kepentingan pribadi, dengan menunjukkan dasar hukum dan etika yang dilanggar. Terkait penggunaan data intelijeb oleh oknum polisi yang disuarakan dengan gagah perkasa oleh Tobbyas Ndiwa merupakan pelanggaran serius dan sangat berat. Rupanya, dititik ini Serfolus Tegu dan Tobbyas Ndiwa tidak sadari itu karena kita duga sudah terlalu lama dan terlalu sering praktik jahat ini dilakukan untuk membungkam suara berlawanan dengan praktik dan ulah komplotan mafia di Nagekeo. Saya sudah berulangkali menulis bahwa Polres Nagekeo telah sangat lama dijadikan sarang mafia untuk meneror warga Rendu yang harus menerima ganti untung ulayatnya, mengkriminalisasi jurnalis kritis dan menjadi pemimpin opini publik dengan memakai media abal-abal dan wartawan karbitan yang digembleng oleh KH Destroyer.

Normative opinion adalah pendapat yang berisi penilaian moral, etis, atau nilai-nilai ideal tentang apa yang seharusnya (“norma”), bukan hanya apa yang terjadi. Cirinya adalah menggunakan bahasa “seharusnya”, “wajib”, “tidak pantas”, “melanggar moral”. Tulisan ini berbasis nilai (values): etika, prinsip demokrasi, kemanusiaan, HAM, ajaran agama, atau filsafat moral. Tulisan tidak hanya menganalisis fakta, tetapi memberi penilaian.

Tujuan dari normative opinion adalah memberi arah etik kepada publik, memperkuat standar moral dalam demokrasi, dan menentukan batas yang pantas bagi perilaku pejabat publik. Contoh: Tulisan menilai polisi tidak bermoral karena menolak dialog dengan mahasiswa, karena tugas polisi adalah melayani rakyat. Mestinya polisi lebih ramah berdialog dengan mahasiswa dan aktivis PMKRI yang datang membangunkan polisi di Nagekeo dari tidur panjang hasil buaian para komplotan mafia yang otaknya ada di Polres Nagekeo. Nama terduga otak mafia dan sederet praktik jahat di Nagekeo itu kita sebut berulang-ulang sampai hampir muntah tapi dibela habis-habisan oleh lingkar komplotan mafia dan pelanggan Kafe Coklat yang diduga milik oknum polisi itu. Nama kafe yang juga menjadi kuburan kematian ladies dan satu polisi itu merepresentasikan identitas kepolisian.

Sedang public interest advocacy adalah pembelaan aktif terhadap kepentingan publik melalui argumentasi, kampanye, tulisan, advokasi hukum, atau mobilisasi masyarakat. Tulisan ini berfokus pada hak publik, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil, menggunakan data, argumen kebijakan, kerangka hukum, atau narasi moral, bertujuan memperbaiki kebijakan, layanan publik, akuntabilitas pejabat, dan keadilan sosial. Tulisan jenis ini acap dilakukan jurnalis, LSM, akademisi, atau warga yang kritis.

Fungsi dari public interest advocacy adalah melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan, mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintah, dan enjadi alat koreksi terhadap korupsi, mafia, atau kebijakan yang merugikan rakyat. Contoh: Menulis laporan investigatif tentang mafia tanah, menyuarakan pelanggaran wewenang aparat, dan meminta reformasi Kepolisian sebagai bagian dari perjuangan untuk kepentingan publik.

Apakah AKP Serfolus Tegu, Kepala Bagian Operasional Polres Nagekeo seorang pejabat publik? Dalam struktur kepolisian, Ajun Komisaris Polisi (AKP) adalah pangkat perwira pertama dalam Polri. Sedang Kepala Bagian Operasi (Kabag Ops) di Polres adalah jabatan struktural yang memimpin seluruh kegiatan operasional kepolisian di tingkat kabupaten/kota. Dalam struktur organisasi, Kabag Ops berada di bawah Kapolres dan memiliki kewenangan operasional sangat luas.

Pejabat Publik menurut UU 2/2002 tentang Kepolisian menyatakan, Polri adalah alat negara yang menjalankan pelayanan publik, perlindungan masyarakat, penegakan hukum, dan pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Setiap perwira yang memegang jabatan struktural-termasuk Kabag Ops-dikategorikan sebagai penyelenggara urusan negara. Dengan demikian, AKP Servulus Tegu adalah pejabat publik secara hukum.

Dalam UU Tipikor & KUHP, anggota Polri disebut sebagai pejabat publik/pegawai negeri (pejabat negara dalam arti luas). Mereka dapat dikenakan pasal penyalahgunaan wewenang (Pasal 3 Tipikor) bila menggunakan kekuasaannya tidak sesuai mandat. Ini memastikan bahwa posisi Kabag Ops termasuk kategori pejabat publik dalam aspek pidana dan anti-korupsi.

Dalam standar demokrasi modern dan menurut Dewan Pers, polisi adalah public officials. Mereka memiliki public accountability. Mereka boleh dikritik secara sah oleh warga, media, dan lembaga masyarakat sipil. Pejabat publik tidak bisa meminta perlindungan yang sama seperti warga biasa terhadap kritik, karena jabatan mereka melekat pada otoritas negara.

Public accountability adalah pertanggungjawaban pejabat publik kepada masyarakat atas setiap kewenangan, keputusan, tindakan, dan kebijakan yang mereka buat. Ini adalah pilar utama demokrasi. Setiap orang yang memegang jabatan publik-termasuk polisi, kepala daerah, menteri, anggota DPR, hakim, hingga penyidik-wajib mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada publik, bukan hanya kepada atasan internal.

Pejabat publik wajib umenjelaskan, mempertanggungjawabkan, dan menerima konsekuensi atas penggunaan kekuasaan yang mereka miliki kepada masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. Tanpa akuntabilitas publik, kekuasaan berubah menjadi alat penindasan.

Polisi harus akuntabel karena mereka menerima gaji dari APBN, memiliki kewenangan menahan masyarakat,memegang data intelijen, dan memimpin operasi lapangan. Seorang Kabag Ops Polres seperti AKP Serfolus Tegu harus menjawab kritik, tunduk pada pemeriksaan publik, tidak boleh menyalahgunakan jabatan, dan tidak boleh mengelola usaha bermasalah yang mencoreng Polri.

Dengan demikian, jelas bahwa AKP Servulus Tegu, Kabag Ops Polres Nagekeo, adalah pejabat publik tingkat menengah yang menjalankan fungsi pemerintahan, menerima gaji dari negara, dan memegang kewenangan koersif. Karena itu, ia wajib menerima kritik dari publik.Ia wajib bertindak sesuai UU Polri, UU 30/2014, dan Kode Etik Profesi Polri. Setiap penyalahgunaan data intelijen, wewenang, atau jabatan dapat dikategorikan sebagai abuse of power. Kritik terhadap dirinya tidak dapat dikriminalisasi, selama berbasis fakta dan kepentingan publik.

Kritik yang Harus Dilindungi
UU ITE tidak dapat digunakan untuk membungkam kritik publik. UU ITE adalah singkatan dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yakni aturan hukum yang mengatur segala aktivitas, informasi, dan komunikasi yang menggunakan teknologi digital dan internet di Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), telah diubah dua kali, yaitu UU 19/2016, dan UU 1/2024.

Surat Edaran Kapolri No. SE/2/II/2021 memberikan panduan penting yang memerintahkan polisi untuk mendahulukan restorative justice, menghindari kriminalisasi, menahan diri dalam memproses laporan pasal 27 ayat 3, dan tidak memproses kritik terhadap pemerintah.

Revisi kedua tahun 2024, UU No. 1 Tahun 2024 tentang ITE. Revisi ini memperjelas definisi penghinaan agar pejabat publik tidak bisa lagi memakai UU ITE untuk membungkam kritik. UU hasil revisi ini menegaskan bahwa kritik, keluhan, opini, koreksi, atau laporan dugaan penyimpangan adalah protected speech. Revisi memperjelas unsur “kesengajaan” (mens rea) dan menegaskan batasan kriminalisasi terhadap ujaran. UU ITE tidak dapat digunakan untuk membungkam kritik publik. Tulisan saya tidak menyasar kehidupan privat, melainkan mengkritik sistem dan perilaku aparat.

Kritik terhadap aparat adalah bagian dari fungsi kontrol sosial. Dalam ilmu hukum tata negara dan teori demokrasi (Habermas, Dahl, Barber) disebutkan, kebebasan berbicara dalam isu korupsi, mafia, dan penyalahgunaan kekuasaan adalah core of democratic discourse, inti percakapan dalam demokrasi, yaitu ruang bebas bagi warga untuk mengkritik, berdiskusi, dan mengawasi pejabat publik tanpa takut dihukum. Jantungnya demokrasi adalah kebebasan berbicara dan mengkritik kekuasaan.

Dengan demikian, kritik saya dalam serial tulisan saya termasuk protected speech, ucapan atau kritik yang dilindungi hukum, sehingga tidak boleh dipidana selama masih dalam batas kebebasan berekspresi. Kebebasan berbicara adalah hak konstitusional, dan tanpa perlindungan itu rakyat tidak bisa mengawasi, mengkritik, atau mengontrol kekuasaan.

Konflik Peran
Aneh, somasi kepada saya dikeluarkan oleh kuasa hukum AKP Serfolus Tegu, pihak yang mengaku diri sebagai korban, dan putra daerah yang berkepentingan dengan narasi publik. Ketiga peran ini bertabrakan satu sama lain.
Dalam teori etika profesi, advokat harus independen (principle of independence). Advokat tidak boleh menjadi pihak yang terlibat secara emosional (impartiality doctrine). Advokat wajib menghindari conflict of role (ABA Model Rules, IBA Principles). ABA Model Rules dan IBA Principles adalah standar etika internasional bagi profesi hukum. ABA Model Rules adalah Aturan Etik Advokat dari American Bar Association yang menjadi rujukan global tentang perilaku profesional pengacara. Sedangkan IBA Principles adalah Prinsip Etika Advokat Internasional dari International Bar Association yang memuat standar integritas, independensi, dan kewajiban moral pengacara di seluruh dunia. Dua-duanya adalah pedoman etika profesional untuk advokat internasional.

Somasi Tobbyas melanggar ketiga prinsip tersebut! Selain itu, ia juga melanggar Model Rules of Professional Conduct (USA, UK, EU) yang menegaskan, advokat yang merasa dirinya pribadi menjadi pihak dalam sengketa tidak boleh mewakili klien yang berkaitan langsung dengan sengketa tersebut. Model Rules of Professional Conduct adalah aturan etika profesi hukum yang menjadi standar bagaimana seorang pengacara, penasihat hukum, atau advokat harus berperilaku. Ini adalah pedoman resmi tentang integritas, kerahasiaan, independensi, larangan konflik kepentingan, dan kewajiban moral seorang pengacara.

Dengan demikian, somasi Tobbyas bukan saja tidak patut, tetapi secara etis cacat berat. Tampak jelas, si pengacara hanya bertindak menuruti insting primitif, diduga mencari uang dengan jalan yang mudah dari oknum aparat yang tengah diduga sangat kuat menjadi bagian dari mafia Waduk Lambo dan mafia lainnya.

Somasi untuk Membungkam
Somasi yang dilayangkan Tobbyas kepada saya memiliki karakteristik kuat sebagai SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation). Alih-alih menanggapi substansi kritik mengenai dugaan penyalahgunaan wewenang pejabat publik, somasi itu justru memakai nada mengintimidasi, tenggat 2×24 jam, dan ancaman hukum yang berlebihan untuk membungkam suara kritis.

Dalam standar hukum modern-termasuk prinsip anti-SLAPP di berbagai negara-tindakan hukum yang diarahkan kepada warga atau tokoh publik yang mengungkap isu kepentingan umum dianggap sebagai upaya menekan partisipasi publik, bukan mencari kebenaran. Karena kritik saya menyangkut penyelenggaraan kekuasaan, tanggung jawab publik, dan dugaan pelanggaran etik aparat negara, maka upaya membungkamnya melalui somasi termasuk praktik yang bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat dan akuntabilitas pejabat publik.

SLAPP adalah gugatan atau ancaman hukum yang bertujuan untuk menghentikan kritik, menimbulkan rasa takut, mengalihkan isu, dan melumpuhkan partisipasi publik dalam isu korupsi atau mafia. Ciri-ciri SLAPP menurut doktrin internasional adalah (1) gugatan diarahkan kepada pembela publik. (2) Kritik diarahkan pada pejabat atau elite (3) Ada tekanan hukum yang berlebihan. (4) Tujuannya menghalangi pengawasan publik terhadap kekuasaan.

Somasi Tobbyas memenuhi semua elemen ini. Karena ditujukan kepada seorang pastor yang membela masyarakat, berkaitan dengan isu mafia dan penyalahgunaan kekuasaan, diiringi ancaman pidana dan gugatan perdata, dan terkait institusi yang memiliki kekuasaan (aparat negara) Somasi Tobbyas dikategorikan sebagai tindakan SLAPP.

Saya dilindungi oleh UUD 1945 (Pasal 28E), ICCPR (Pasal 19), dan putusan MK terkait kebebasan berekspresi. Yurisprudensi selalu menempatkan kritik sebagai bagian dari fungsi sosial. Pengadilan Indonesia sudah mulai memakai doktrin anti-SLAPP.

Sebagai Imam, saya memiliki mandat moral untuk melindungi masyarakat, bersuara atas ketidakadilan, menghadapi mafia dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam teologi moral ada adagium “Vox clamantis pro iustitia”.  Suara yang berseru demi keadilan adalah kewajiban iman, bukan pelanggaran.

Tobbyas Mempermalukan Polri
AKP Serfolus Tegu boleh menggunakan pengacara dari luar Polri. Namun, ada syarat dan batasan etik yang harus dipenuhi karena ia adalah anggota Polri aktif yang terikat aturan internal.

Anggota Polri adalah warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan bantuan hukum, menunjuk penasihat hukum, dan membela diri secara adil. Ini dijamin oleh Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, Pasal 54-56 KUHAP, dan UU Polri No. 2/2002. Regulasi yang ada tidak melarang penggunaan advokat eksternal oleh anggota Polri. Anggota Polri boleh memakai pengacara pribadi, baik dari luar Polri maupun advokat sipil mana pun.

Tapi, ada syarat dan pembatasannya. Karena ia pejabat publik dan anggota Polri aktif, maka ada aturan etik dan prosedural yang harus dipatuhi. Pertama, tidak sedang dalam kapasitas menjalankan tugas dinas. Jika kasusnya terkait urusan pribadi, boleh memakai pengacara eksternal. Jika terkait tugas kedinasan, biasanya harus memakai Biro Hukum Polri / pendampingan resmi Polri.

Kedua, tidak boleh memakai fasilitas jabatan. Anggota Polri dilarang memakai kewenangan jabatan, fasilitas Polri, dan hubungan hierarkis untuk mempengaruhi proses hukum atau mendukung pengacara pribadinya. Ini diatur dalam: Kode Etik Profesi Polri (KEPP) dan Perkap No. 14/2011 tentang Kode Etik Polri.

Ketiga, tidak boleh menimbulkan conflict of interest. Jika advokatnya juga terlibat dalam peristiwa, memiliki hubungan personal kuat, dan memiliki kepentingan dalam isu yang sama, maka ada konflik peran yang melanggar prinsip independence (ABA Model Rules & IBA Principles). Somasi yang dikeluarkan advokat yang terlibat secara emosional/personal termasuk pelanggaran etik. Pengacara entah dari kampung atau level nasional-tidak singgung nama orang tapi kalau ada yang tersinggung berarti kena- mesti pahami itu agar tidak bertindak serampangan dengan mongotori ruang opini publik.

Keempat, tidak sedang mempermalukan institusi Polri. Advokat yang dipakai anggota Polri tidak boleh membuat konflik baru, menyerang warga secara tidak proporsional, bertindak agresif tanpa dasar, atau mengeluarkan pernyataan yang merusak kredibilitas Polri. Jika demikian, Propam bisa memeriksa.

Kelima, tidak boleh digunakan untuk membungkam kritik publik. Jika pengacara digunakan untuk mengancam warga, menegur pengkritik pejabat publik, membuat somasi intimidatif, ini semua termasuk abuse of power, dan bisa masuk kategori SLAPP, terutama ketika menyentuh kepentingan publik.

Tegu boleh saja memakai pengacara dari luar Polri, tetapi hanya untuk urusan pribadi, bukan untuk membungkam kritik publik atau melindungi diri dari dugaan pelanggaran jabatan. Tidak boleh menimbulkan konflik kepentingan, pelanggaran etika, atau mencoreng nama Polri. Jika pengacara dipakai untuk intimidasi warga, itu berpotensi SLAPP + abuse of power.

Namun, sayang, Tobbyas Ndiwa melanggar semuanya! Yang paling memprihatinkan, Tobbyas mengintimidasi warga, membungkam, dan mempermalukan institusi Polri yang kini sedang berbenah. Propam dari Mabes Polri harus memeriksa dengan seksama pengacara yang masih sangat “mentah” secara mental dan intelektual ini.

Suara Moral untuk Polri

Pada akhirnya, kasus somasi ini membuka dua wajah yang sangat berbeda dalam tubuh Polri: satu wajah yang sedang berbenah untuk menjadi institusi modern, bersih, dan humanis dan wajah lain yang masih terseret pola lama:  menggunakan kekuasaan untuk menekan kritik, melindungi jaringan mafia, dan menghindari akuntabilitas publik. Saya yakin, Polri yang sedang bertransformasi tidak ingin diseret oleh perilaku segelintir oknum yang merusak reputasi institusi. Karena itu, kritik saya bukanlah serangan terhadap Polri, melainkan seruan moral agar Polri semakin kuat, semakin dipercaya, dan kembali ke mandat konstitusionalnya: melindungi rakyat, bukan melindungi mafia.

Somasi dari seorang advokat yang terjerat konflik peran tidak boleh dilihat sebagai ancaman terhadap satu individu semata. Ini adalah gejala patologi kekuasaan: ketika aparat publik lebih cepat menekan pengkritik ketimbang menindak kejahatan yang merugikan masyarakat luas. Jika pola ini dibiarkan, ia akan melemahkan fungsi kontrol sosial dan mengikis legitimasi Polri di mata publik. Hukum tata negara mengajarkan bahwa tanpa akuntabilitas, tidak ada stabilitas; dan tanpa kritik, tidak ada pembaruan. Justru dengan mendengar kritik-bahkan kritik yang tajam-institusi negara mampu tumbuh dewasa.

Saya berdiri di sini bukan sebagai musuh Polri, melainkan sebagai suara moral yang mengingatkan bahwa kekuasaan harus kembali ke jalurnya. Teori kontrol demokratis (democratic accountability) menyatakan: pejabat publik memiliki toleransi lebih tinggi terhadap kritik karena kekuasaan mereka berasal dari mandat rakyat. Karena itu, melabeli kritik sebagai penghinaan atau ancaman bukan saja keliru secara hukum, tetapi juga berbahaya bagi kesehatan demokrasi. Kritik terhadap penyalahgunaan wewenang bukan penghinaan terhadap Polri, melainkan bentuk cinta publik kepada Polri agar tidak dikuasai mafia dan penyimpangan.

Masyarakat Nagekeo berhak atas aparat yang bersih, aparat yang berpihak pada rakyat kecil, dan aparat yang tidak tunduk pada jejaring gelap yang mengatasnamakan jabatan. Ketika warga bersuara, ketika pastor bersuara, ketika mahasiswa bersuara, itu pertanda bahwa publik masih percaya pada hukum dan masih menaruh harapan pada Polri. Lebih berbahaya apabila rakyat diam. Diam adalah tanda putus asa. Kritik adalah tanda cinta. Dan saya memilih mencintai negeri ini dengan mengatakan kebenaran, meskipun kebenaran itu pahit.

Karena itu, saya menyerukan kepada Mabes Polri dan Propam untuk melihat persoalan ini bukan sebagai konflik pribadi, melainkan sebagai kesempatan emas untuk menunjukkan komitmen reformasi Polri. Tindakan tegas terhadap oknum yang diduga melindungi mafia akan memulihkan martabat institusi; sementara perlindungan terhadap warga yang menyampaikan kritik akan memperkuat kepercayaan publik.

Pada akhirnya, sejarah selalu berpihak pada mereka yang berpihak pada kebenaran dan setia berjuang untuk menegakkan kebenaran itu walau diterpa badai momental. Dan kebenaran itulah yang akan saya bela, tanpa takut, tanpa gentar, dan tanpa bisa dibungkam oleh somasi siapa pun. ***

Penulis : Steph Tupeng Witin 
(Jurnalis, Penulis Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus” dan Pendiri Oring Literasi Siloam)

 

 

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Tantangan Peran Hukum Adat Dalam Penegakan Keadilan Hukum Secara Yuridis
Hukrim

Tantangan Peran Hukum Adat Dalam Penegakan Keadilan Hukum Secara Yuridis

Tantangan Peran Hukum Adat Dalam Penegakan Keadilan Hukum Secara Yuridis Oleh : Elvis Gadi Kapo WARTA-NUSANTARA.COM--  Konflik antara hukum adat...

Read more
𝑫𝑼𝑶 𝑴𝑶𝑵𝑻𝑬𝑰𝑹𝑶 (𝑵𝒂𝒓𝒂𝒔𝒊 𝑼𝒔𝒌𝒖𝒑 𝑴𝒐𝒏𝒕𝒆𝒊𝒓𝒐: 𝑮𝒓𝒆𝒈𝒐𝒓𝒊𝒖𝒔 𝒅𝒂𝒏 𝑯𝒂𝒏𝒔 )

𝑫𝑼𝑶 𝑴𝑶𝑵𝑻𝑬𝑰𝑹𝑶 (𝑵𝒂𝒓𝒂𝒔𝒊 𝑼𝒔𝒌𝒖𝒑 𝑴𝒐𝒏𝒕𝒆𝒊𝒓𝒐: 𝑮𝒓𝒆𝒈𝒐𝒓𝒊𝒖𝒔 𝒅𝒂𝒏 𝑯𝒂𝒏𝒔 )

Uskup Larantuka

Uskup Larantuka

Orang Gerindra Buat Beda, (Catatan Liburan di NTT 23/4 – 8/5 2022)

Orang Watuwawer dan ‘ERE IDE’ (Tafsiran atas Geothermal)

Ketika Titi Jagung Jadi Perlombaan Birokrasi Lembata

Negeri Tanpa Sirene ; Mungkinkah Dinas Damkar Lahir di Lembata?

Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan

Mafia (Nagekeo) Tidak Mungkin Eksis Tanpa Dukungan Aparat Keamanan

Load More
Next Post
Tantangan Peran Hukum Adat Dalam Penegakan Keadilan Hukum Secara Yuridis

Tantangan Peran Hukum Adat Dalam Penegakan Keadilan Hukum Secara Yuridis

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In