Pendidikan “Model Asadoma”
Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM– Saya mengenal Jhony Asadoma hanya secara kebetulan. Saya ditelepon oleh orang dari Komisi Tinju Indonesia (KTI) yang tengah mempersiapkan pentinju untuk ikut olimpiade Tokyo 2020. Telepon kemudian dialihkan ke Brigjen Asadoma yang saat itu sekaligus Wakapolda NTT. Kepada saya diinformasikan bahwa dibutuhkan penerjemah bahasa Spanyol karena para petinju akan disiapkan oleh pelatih asal Kuba.

Meski tidak bisa memenuhi permintaan karena ada kesibukan, tetapi saya merekomendasikan seorang sahabat ymenggantikan posisi saya. Yang saya simpan hanya nomor kontak sang jenderal. Di medio 2024 saya mengirim pesan WA secara acak, salah satunya ke Asadoma tentang pembangungan gedung SMA SKO San Bernardino (SMARD) di Lembata. Tanpa bertanya lebih apalagi mengondisikan syarat apapun, Asadoma langsung ‘fight’ seperti karakternya sebagai polisi-petinju.
Sikapnya yang gesit ini muncul secara spontan saat mengetahui bahwa Asadoma melakukan ujian doktoral bidang Administrasi Publik, Kupang 26/11/26. Ternyata Asadoma yang hanya menjadi kawan di medsos dan secara kebetulan bertemu di Bandara El Tari Kupang di medio Juni 2025 selain petinju juga seorang pembelajar. Ia malah mencapai gelar akademik tertinggi sebagai doktor.
Model Asadoma
‘Model Asadoma’, sebagai sebutan terhadap idenya tentang pendidikan digital, tentu tidak bisa disejajarkan dengan pemikir pendidikan digital seperti: Papert Seymour, yang dianggap sebagai Bapak Digital Modern, yang mempopulerkan Construtionism bahwa anak akan belajar efektif ketika terlibat dalam proyek digital. Atau Nicholas Negroponte, penggagas One Laptop Per Child (OLPC) untuk demokratisasi pembelajaran digital. Juga bukan Sugata Mitra yang menekankan bahwa anak bisa belajar teknologi secara mandiri tanpa guru.
Lebih lagi, Asadoma tentu bukan March Prensky yang melalui Digital Natives dan Immigrants. Ia mendorong inovasi pedagogi berbasis game dan teknologi interaktif. Atau juga bukan Salman Khan yang sangat dipengaruhi oleh model Blended Learning dan Flippeds Classroom, ia menggagas sistema pembelajaran digital global, gratis, dan beskala masif.
Jauh di NTT dan di tengah kesibukannya sebagai Wakapolda saat itu (2019), Asadoma melihat ketimpangan dalam penerapan digitalisasi pendidikan antara sekolah negeri dan swasta. Hal itu semakin nyata terlihat saat pandemi covid-19 menerpa. Banyak sekolah swasta terutama yang berada di daerah 3 T mengalami kelumpuhan total. Mereka sangat jauh dari infrastruktur, infostruktur, dan lebih jauh lagi dari infokultur.
Yang jadi pertanyaan, siapa yang salah sehingga sekolah-sekolah swasta mengalami keterpurukan yang begitu besar? Kerap faktor jumlah minimal siswa menjadi kendala untuk dapat mengakses aneka bantuan. Kenyataan itu lebih terasa di daerah 3 T. Akibatnya sekolah-sekolah tersebut ibarat hidup segan mati tak mau.
Terhadap kendala ini masuk akal kalau Asadoma mengajukan ‘model Asadoma’ sebagai alternatif. Dibutuhkan tiga pilar yakni Kebijakan afirmatif berbasis data riil di daerah 3 T, perlunya Local Political Will dan kebijakan dari pemerintah pusat yang lebih proaktif; serta perlunya pembentukan komunitas belajar guru dan monitoring antar guru (senior-junir) demi mengatasi resintensi psikologis dan membangun kepercayaan diri guru.
Kemapuan Politik Lokal
Pertanyaan menggelitik, bagaimana “Model Asadoma” bisa diterapkan di NTT? Merujuk pada uraian di atas, kegagalan dan kegagapan yang dihadapi sekolah swasta baik selama maupun sesudah pandemi Covid-19 bermuara dari ketimpangan dalam kebijakan pendidikan nasional. Akses sekolah terhadap anteka bantuan termasuk laboratorium dan peralatan TIK kerap kali didasarkan pada data sekolah terutama dengan jumlah siswa.
Banyak sekolah swasta terpaksa menerima keadaan ‘apa adanya’
Untuk NTT tentu saja kebijakan pendidikan digital tidak bisa terpisahkan dari pendidikan formal biasa, dalam hal ini mengacu kepada Pergub No 35 tentang Iuran Pengembnagan Pendidikan yang dibataskan Rp 100 rb. Kebijakan ini kelihatannya berpihak kepada masyarakat terutama yang berskeolah di sekolah negeri. Yang jadi pertanyaan, bagaimana Pergub itu bisa dipahami sekolah swasta yang muridnya ‘seadanya’ dengan semua guru hampir swasta?
Pada sisi lain, kebijakan pendidikan yang diterapkan Pemerintah Pusat terutama dalam pengadaan laboratorium untuk pembelajaran digital sangat mengandalkan jumlah siswa. Banyak sekolah SMP-SMA Negeri di NTT memiliki murid di atas 1000 yang berarti terdapat 8 kelas paralel. Lab tentu saja diprioritaskan. Namun apda sisi lain, dari segi SDM terdapat ketimpangan. Guru di sekoalh negeri karena kebanyakan rombongan belajar bisa saja hanya mengajar 1 mata pelajaran di 1 level hal itu tidak berlaku di sekolah negeri. Guru tidak hanya mengajar 3 level tetapi bahkan masih merangkap mata pelajaran lain.
Kalau belum ada penataan seperti ini, rencana apapun termasuk pendidikan digital akan hanya bisa dicapai di sekolah negeri sementara sekolah swasta yang (katanya) ikut mencerdaskan kehidupan bangsa hanya bisa menjerit. Inilah ketimpangan yang tentu saja disoroti Asadoma.
Dalam arti ini, kita sambut temuan menarik dari Asadoma di NTT. Dengan basis penelitian pada Kota Kupang sudah tersibak ketimbangan sekolah swasta dan negeri dan bisa terbayangkan sekolah SMA yang ada di Alor, Lembata, Rote, dan Sabu yang merupakan kabupaten pulau?
Kita yakin, Model Asadoma ini bila diterapkan maka sudah pasti yang dilakukan adalah pembenahan struktural yang memberikan kesempatan pada tiap sekolah (terutama sekolah swasta) untuk bisa berkiprah juga dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Robert Bala. Penulis buku Cara Mengajar Kreatif, Pembelajaran Jarak JauhPenerbit Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).








