𝑹𝒖𝒕𝒊𝒏𝒊𝒕𝒂𝒔 (𝒅𝒂𝒏 𝑪𝒉𝒆𝒄𝒌 𝑼𝒑 𝑹𝒖𝒕𝒊𝒏) (𝑰𝒏𝒔𝒑𝒊𝒓𝒂𝒔𝒊 𝑯𝒐𝒎𝒊𝒍𝒊 𝑴𝒊𝒏𝒈𝒈𝒖 𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂 𝑨𝒅𝒗𝒆𝒏, 30/11/2025)
Oleh : Robert Bala
𝐑𝐨𝐛𝐞𝐫𝐭 𝐁𝐚𝐥𝐚. 𝐏𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐛𝐮𝐤𝐮 𝐈𝐍𝐒𝐏𝐈𝐑𝐀𝐒𝐈 𝐇𝐈𝐃𝐔𝐏, 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐜𝐢𝐥, 𝐒𝐚𝐫𝐚𝐭 𝐌𝐚𝐤𝐧𝐚 (𝐂𝐞𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞-𝟑 𝐏𝐞𝐧𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭 𝐊𝐚𝐧𝐢𝐬𝐢𝐮𝐬).
WARTA-NUSANTARA.COM– Sampai ketika mendapatkan diabetes, segala sesuatu saya lakukan secara rutin, demikian kisah seorang bapak. Kondisi kesehatannya (dianggapnya) baik. Tetapi ketika terjadi penurunan berat badan tanpa sebab apapun, ia tidak saja heran tetapi orang-orang terdekatnya juga heran. Ia disarakan untuk check up dan ternyata gula darahnya di atas 200. Ia merasa, semuanya ‘baik-baik’ saja: makan, minum. 𝑇𝑒𝑟𝑛𝑦𝑎𝑡𝑎 𝑟𝑢𝑡𝑖𝑛𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑎𝑛𝑔𝑔𝑎𝑝𝑛𝑦𝑎 ‘𝑎𝑚𝑎𝑛-𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑗𝑎’ 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑤𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑘𝑒 𝑘𝑜𝑛𝑑𝑖𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑢𝑑𝑎ℎ 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑡𝑎ℎ𝑎𝑝 ‘𝑤𝑎𝑠𝑝𝑎𝑑𝑎’.

Ini contoh sederhana, betapa rutinitas menjadi ancaman. Memang dalam psikologi kognitif, rutinitas sering dipandang membantu efisiensi karena mengurangi beban pengambilan keputusan (𝒅𝒆𝒄𝒊𝒔𝒊𝒐𝒏 𝒍𝒐𝒂𝒅). Orang yang melakukan sesuatu secara rutin akan terhindar dari bahya menumpukkan sebuah persoalan hingga bisa meledak pada suatu saat. Jadi ada manfaat juga rutinitas.
Tetapi jatuh ke dalam rutinitas sudah memiliki arti negatif. Rutinitas bisa menggerus kesadaran yang disebut sebagai mindlessness. Hal ini dikenal sebagai automaticity— 𝑠𝑒𝑠𝑒𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑙𝑎𝑘𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 ℎ𝑎𝑙 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑘𝑒𝑠𝑎𝑑𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑛𝑢ℎ. 𝐼𝑛𝑖 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑢𝑎𝑡 𝑘𝑢𝑎𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑟𝑢𝑛 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑙𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 “𝑏𝑖𝑎𝑠𝑎” 𝑑𝑎𝑛 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑛𝑎.
Bila sampai pada titik ini, maka ada efek samping yang sekilas tidak berbahaya. Tetapi ketika dibiarkan maka dapat menjurus kepada hal lain. Yang dimaksud adalah hilangnya rasa syukur. Karena melaksanakan sesuatu secara rutin maka apa yang diperoleh dianggap biasa dan karenanya tidak ada alasan untuk bersyukur.
Kalau tidak bersyukur (karena dianggap biasa), maka kepuasan hidup akan menurun. Hidup dianggap biasa-biasa saja dan orang terus mencari kepuasan (karena yang dimiliki sekarang tidak memuaskan). Dan pada akhirnya rutinitas memunculkan perasaan hampa meski hidup terlihat stabil.
𝑰𝒏𝒊𝒍𝒂𝒉 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒚𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒛𝒂𝒎𝒂𝒏 𝑵𝒖𝒉. 𝑴𝒆𝒓𝒆𝒌𝒂 𝒎𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒊𝒏𝒖𝒎, 𝒌𝒂𝒘𝒊𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒘𝒊𝒏𝒌𝒂𝒏 (𝑴𝒂𝒕 24: 38). Mereka tidak mengetahui sesuatu sedang terjadi karena semuanya dainggap biasa saja. Seperti kisah di awal, sang Bapak merasa semuanya biasa-biasa saja, normal, dan rutin. Padahal sebuah bahaya besar tengah menghadang.
𝐵𝑎ℎ𝑎𝑦𝑎 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑟𝑢𝑡𝑖𝑛𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑖𝑛𝑖 𝑘𝑒𝑟𝑎𝑝 𝑚𝑒𝑛𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑎𝑛𝑐𝑎𝑚𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑢𝑡𝑎𝑚𝑎 𝑏𝑎𝑔𝑖 𝑔𝑒𝑛𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑡𝑢𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑢𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑢𝑙𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑎𝑚𝑎𝑛. Ada hal positif seperti digambakan di atas. Tetapi pola hidup yang hanya bersifat rutin akan berseberangan (dan kerap jadi konflik) dengan generasi milenial yang tidak suka pada rutinitas. Mereka suka pada perubahan, fleksibilitas, dan pembaruan. Mereka bisa berganti pekerjaan hingga 20 kali, hal mana berbeda dengan generasi orang tuanya yang hanya punya tiga jenis pekerjaan: cari pekerjaan, pertahankan sampai pensiun (karena ada THR) dan pensiun.
Jadi rutinitas menjadi bahaya yang mengancam terutama di era teknologi yang bergerak cepat, kreatif, dan penuh variasi. Hal itu bila dibiarkan dan tidak disadari maka ketika bahaya datang secara tiba-tiba, orang tidak bisa menyelamatkan diri. 𝑩𝒂𝒏𝒋𝒊𝒓 𝒃𝒂𝒏𝒅𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒅𝒊 𝑺𝒖𝒎𝒂𝒕𝒆𝒓𝒂 𝑩𝒂𝒓𝒂𝒕, 𝑺𝒖𝒎𝒂𝒕𝒆𝒓𝒂 𝑼𝒕𝒂𝒓𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝑨𝒄𝒆𝒉 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒆𝒏𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒉𝒂𝒍 𝒊𝒏𝒊. 𝑺𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒂𝒌𝒕𝒊𝒗𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒎𝒆𝒍𝒖𝒃𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒖𝒌𝒊𝒕 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒈𝒖𝒏 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒓𝒂𝒚𝒂, 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒃𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒂𝒚𝒖 𝒅𝒂𝒏 𝒂𝒌𝒕𝒊𝒗𝒊𝒕𝒂𝒔 𝒍𝒂𝒊𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂𝒑 𝒏𝒐𝒓𝒎𝒂𝒍 𝒅𝒂𝒏 𝒘𝒂𝒋𝒂𝒓. 𝑻𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒌𝒆𝒕𝒊𝒌𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒈𝒆𝒓𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒏𝒂𝒉 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒖𝒂𝒓 𝒃𝒊𝒂𝒔𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒍𝒖𝒎𝒑𝒖𝒉𝒌𝒂𝒏, 𝒃𝒂𝒓𝒖 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒂𝒅𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏, 𝒂𝒅𝒂 𝒉𝒂𝒍 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒔𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒕𝒆𝒓𝒅𝒆𝒕𝒆𝒌𝒔𝒊 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒏𝒈𝒈𝒆𝒍𝒂𝒎 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒓𝒖𝒕𝒊𝒏𝒊𝒕𝒂𝒔.
Check Up Rutin
Kehidupan mestinya dilakukan dengan mencheck up diri secara rutin. Rutinitas bisa teratasi dengan mengontrol kesehatan diri, mental, kehidupan spiritual, sosial, dan sebagainya. Perlu ada waktu untuk untuk menguji sejauh mana seseorang berada.
𝑴𝒂𝒔𝒂 𝑨𝒅𝒗𝒆𝒏 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒅𝒊𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒎𝒂𝒔𝒂 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 ‘𝒄𝒉𝒆𝒄𝒌 𝒖𝒑’ 𝒌𝒆𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑𝒂𝒏. 𝑫𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒄𝒉𝒆𝒄𝒌 𝒖𝒑 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒔𝒆𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒑𝒆𝒓𝒖𝒃𝒂𝒉𝒂𝒏. 𝑲𝒆𝒕𝒊𝒌𝒂 𝒉𝒂𝒍 𝒊𝒏𝒊 𝒅𝒊𝒔𝒂𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉 𝒎𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒚𝒖𝒌𝒖𝒓 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒉𝒂𝒍-𝒉𝒂𝒍 𝒃𝒂𝒓𝒖 (𝒎𝒆𝒔𝒌𝒊𝒑𝒖𝒏 𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍). Orang lalu menjadi lebih puas akan apa yang dicapai yang membuatnya bahagia. Ia lalu merasa hidupnya ‘berisi’ (bukan hampa) dan memberinya semangat lagi untuk melangkah. Hal ini disebut sebagai ‘Micro-variations’ yakni mengubah bah secara kecil-kecilan entah rute berbeda jalan berbeda, menu baru, cara kerja baru.
Bila ditempatkan dalam konteks ini, masa Adventus yang terdiri dari 4 minggu bisa dibuat ‘goal switching’ atau tujuan-tujuan kecil yang mau dicapai setiap minggu. Tidak usah besar-besar tetapi tujuan kecil yang disusun hanya agar minggu yang satu berbeda dengan minggu yang lain dan bisa terdeteksi betapa banyak hal baru yang terjadi. Hal kecil ini akan sekaligus menjadi momen untuk menyadari, kalau setiap saat kita memasang tujuan berbeda dengan variasi kecil, akan tersibak banyak hal baru yang menjadi alasan untuk bersyukur dan menjadi lebih puas.
Kesadaran akan hal-hal kecil ini (mohon maaf) saya ambil dari kisah pribadi saya. Ketika lock down pandemi covid-19, semua orang tidak bisa keluar rumah. Saya lalu fokus pada teman kecil di depan rumah dan mulai mengamati semut, tanah kering, pohon, penyerbukan alamiah. Hal-hal ini tidak akan saya temukan tanpa covid yang melarang saya beraktivitas. Saya sadar kemudian bahwa memberi waktu mengamati hal-hal kecil yang ada di sekitar saya dapat membuat saya lebih bersyukur. Rangkaian pengalaman kecil inilah yang kemudian saya tulis dan diterima untuk diterbitkan dengan judul: INSPIRASI HIDUP, Pengalaman Kecil, Sarat Makna. Buku ini yang ternyata menjadi salah satu buku yang mendapatkan tempat di hati pembaca dan dalam evaluasi tiap 6 bulan, buku ini menjadi teratas dalam penjualan.
Jadi, agar dapat mendapatkan hidup yang lebih berkualitas, cara terbaik dalam melihat hal-hal kecil secara baru dalam kreativitas baru. Saya perlu beralih dari godaan rutintas dan terpanggil untuk selalu mengevaluasi (check up diri). Masa Adventus menawarkan hal ini. ***
𝐑𝐨𝐛𝐞𝐫𝐭 𝐁𝐚𝐥𝐚. 𝐏𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐛𝐮𝐤𝐮 𝐈𝐍𝐒𝐏𝐈𝐑𝐀𝐒𝐈 𝐇𝐈𝐃𝐔𝐏, 𝐏𝐞𝐧𝐠𝐚𝐥𝐚𝐦𝐚𝐧 𝐊𝐞𝐜𝐢𝐥, 𝐒𝐚𝐫𝐚𝐭 𝐌𝐚𝐤𝐧𝐚 (𝐂𝐞𝐭𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞-𝟑 𝐏𝐞𝐧𝐞𝐫𝐛𝐢𝐭 𝐊𝐚𝐧𝐢𝐬𝐢𝐮𝐬).








