Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong
(Jurnalis, Penulis Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus” dan Pendiri Oring Literasi Siloam)
WARTA-NUSANTARA.COM– Saya menulis serial tulisan yang mengurai dugaan adanya mafia di Nagekeo, terkhusus mafia di waduk Lambo atau waduk Mbay. Saya mulai dengan sebuah pertanyaan “Nagekeo Dalam Cengkeraman Mafia?” (FloresPos.Net 29/9/2025) hingga tulisan ke-18 berjudul “Somasi Angkuh untuk Membungkam Kritik” (Korantimor.com 27/11/2025). Tulisan hari ini bukan merupakan tulisan yang terakhir. Apalagi dengan batas waktu 2 x 24 jam atau somasi terakhir dan seterusnya. Menulis tidak pernah ada limit waktunya. Bagi saya, menulis tidak pernah ada batasnya. Sebuah upaya menyingkap kebenaran secara perlahan. Publik Nagekeo yang kritis dan memiliki hati nurani sekurang-kurangnya memiliki gambaran yang semakin benderang terkait dugaan sangat kuat keberadaan mafia Nagekeo.

Steph Tupeng Witin
Belasan artikel khusus tentang dugaan mafia Nagekeo itu berbasis data, fakta dan bukti lapangan. Publik yang selama ini bungkam di hadapan permainan jahat para terduga begundal mafia, akhirnya menemukan keberanian untuk bersuara. Para jurnalis kritis-bukan jurnalis abal-abal hasil didikan KH Destroyer-yang sangat kerap mengalami kriminalisasi, teror dan intimidasi dari Yudha Pranata dan Serfolus Tegu yang didukung para pengacara dalam berbagai tingkatan, telah kehilangan ketakutan untuk menulis secara kritis dan benar.

Saat ini Kabag Ops Polres Nagekeo, Serfolus Tegu sedang diperiksa Propam Polda NTT dalam dugaan sejumlah kasus di Nagekeo. Publik Nagekeo tahu bahwa selama ini Serfolus Tegu menjadikan Polres Nagekeo sebagai alat teror bersama para pengacaranya yang kadang asbun dan “wora” disertai teror dengan menggunakan pranata hukum. Hukum yang berkiblat pada keadilan dan kebenaran di tangan pengacara mafia jadi alat teror menakutkan.
Para pengacara membela Serfolus Tegu habis-habisan bahkan dengan berpartisipasi dalam dugaan kejahatan: menggunakan data intelijen Polres Nagekeo untuk membungkam kritik warga. Pengacara bernama Tobbyas Ndiwa harus diseret untuk diperiksa Mabes Polri dan Polda NTT karena menyebarkan data intelijen Polres Nagekeo yang belakangan dibantah sebagai berita hoaks.
Tobbyas Ndiwa patut diduga menyebarkan informasi kebohongan publik. Ini tidak main-main. Jejak kebohongan Ndiwa ada di ruang media, meski media itu abal-abal karena selevel dengan mutu kebohongan yang ditebarnya.
Terkait wartawan komplotan mafia waduk Lambo itu, kita perlu memberi sedikit keterangan agar pembaca jangan dibohongi melalui pemberitaan dan tulisan yang mengglorifikasi Serfolus Tegu. Glorifikasj Tegu biasanya disemburkan moncong para lingkaran mafia yang kualitasnya hanya selevel Kafe Coklat. Para komplotan ini entah sadar atau lagi kesurupan, kadang membuka sendiri borok dan kedok mafianya. Bahkan mereka sendiri membuka identitas orang kuat Jakarta melalui moncong mafianya.
Ada wartawan abal-abal dulunya penjual ikan dari kampung ke kampung lalu “ditangkap”-ikan juga biasa ditangkap-oleh Yudha Pranata dan dicuci otaknya menjadi wartawan piaraan KH Destroyer. Ada juga wartawan abal-abal yang sebelumnya menjadi pegawai koperasi Pintu Air tapi dipecat karena melakukan penipuan dan penggelapan uang nasabah.
Setiap hari komplotan wartawan mafia-Anyo, Bernad, Bambang, Bejo dan Udin-setia berada di rumah jabatan Serfolus Tegu dan menjadi jongosnya untuk menyebarkan kehobongan dan hoaks melalui media abal-abal. Kebohongan dan hoaks itu diulang bertubi-tubi lewat mulut pengacara: Tobbyas Ndiwa, Hans Gore dan Kosmas Jo Oko,pengacara gondrong yang fotonya saja sudah membunuh gairah dan minat publik untuk membaca analisa hukumnya yang sembrono.
Kosman Jo Oko diduga kuat, punya “sejarah” dan “rekam jejak” dalam sejarah pendirian Sekolah Tinggi Olahraga dan Kesehatan (Stokes) di Ende dulu yang kini menjadi STKIP Simbiosis. Kita duga, orang-orang yang berkomplot dalam cangkang mafia Nagekeo adalah orang-orang bermasalah. Maka analisa dan pernyataan hukum mereka kadang menuai “masalah,” bukan karena kualitasnya tapi karena kesembronoannya.
Apalagi mereka berkumpul dan berdiskusi abal-abal di ruang sampah “Nagekeo Mandiri” dengan adminya Agustinus Bebi Daga, anggota KH Destroyer, corongnya Polres Nagekeo dan preman kampung yang mengawasi, melancarkan proyek galian C ilegalnya milik Primus Wawo di kampung Wolosabi, Sipi, Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, jalan Lintas Flores jurusan Ende-Bajawa.
Di Nagekeo, institusi Polres digunakan sebagai alat yang kejam dan sadis untuk membungkam kritik dan di sisi lain melindungi mafia. Sebuah paradoks paling kelam dalam negara hukum: ketika suara warga yang mengungkap kebenaran justru menjadi sasaran serangan, sementara jejaring kekuasaan gelap mendapat karpet merah dari aparat yang seharusnya melindungi warga. Fenomena ini menjadi tanda kerusakan kompas moral institusi Polres Nagekeo yang harusnya menegakkan hukum secara adil dan benar.
Saat oknum aparat Polres Nagekeo dan pengacara asbun memakai data intelijen untuk menekan warga yang bersuara kritis, sesungguhnya polisi bersama pengacara tidak menjaga keamanan, tapi berandil dalam melahirkan ketakutan serentak membunuh ketertiban.
Penyalahgunaan data intelijen oleh anggota Polres Nagekeo dan pengacara Tobbyas Ndiwa menarasikan sebuah babak baru: ketika kewenangan negara dapat digunakan secara serampangan hanya untuk melindungi kepentingan individu polisi Serfolus Tegu seorang, mungkin dengan kelompok mafianya yang masih bercokol dalam Polres Nagekeo.
Data intelijens yang seharusnya menjadi instrumen deteksi ancaman justru dijadikan alat menyerang pengkritik dan melindungi otak mafia Nagekeo dari ancaman hukum. Fakta ini berbicara perihal posisi institusi keamanan Polres Nagekeo yang disandera oleh kepentingan gelap mafia Nagekeo dan abai untuk melindungi rakyat yang menyuarakan kejahatan komplotan mafia.
Ketika polisi membungkam kritik, bukan kejahatan, dan ketika informasi rahasia negara khususnya data intelijens Polres Nagekeo digunakan sebagai senjata untuk membela diri dan melindungi jaringan bisnis ilegal, maka yang terjadi bukan lagi pelanggaran etika biasa.
Fakta ini membuktikan aparat penegak hukum tidak lagi berdiri di pihak kebenaran, tetapi menjadi bagian dari mesin kekuasaan mafia. Di Nagekeo, gejala ini bukan teori abstrak. Ia nyata, terukur, dan dirasakan langsung oleh warga yang berani bersuara.
Para jurnalis kritis dan bernurani di Nagekeo, mengalami teror, tekanan dan intimidasi dari Polres Nagekeo yang diotaki Yudha Pranata dan Serfolus Tegu. Informasi yang “benar” adalah yang ditulis dan disebarkan oleh komplotan orang-orang piaraan, lebih tepat “peternakan” KH Destroyer melalui media abal-abal.
Data intelijen kepolisian adalah data rahasia untuk deteksi dini dan keamanan nasional yang tidak boleh dibuka untuk publik. Data intelijens tidak boleh digunakan oleh anggota polisi untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Itu namanya penyalahgunaan wewenang.
Pelanggaran ini dapat berujung pidana, etik, hingga pemecatan. Pengetahuan umum dan amat biasa ini harusnya juga diketahui aparat penegak hukum, terutama pengacara yang membela oknum polisi yang telah diduga menyalahgunakan sepotong kuasa yang diberikan negara.
Pengacara yang menggunakan data intelijens negara, khusus Tobbyas Ndiwa, untuk mengkriminalisasi dan menyerang warga yang bersuara untuk kebenaran harus diproses hukum. Tidak ada yang kebal dengan hukum bila proses dan jalurnya benar. Tapi jangan memaksakan kebodohan kita agar orang lain mengikuti kedunguan kita menyetor kebodohan.
Serfolus Tegu hanya boleh menggunakan data intelijen Polres Nagekeo saat menjalankan tugas untuk kepentingan institusi sesuai rantai komando dan untuk melindungi kepentingan publik (UU Polri Pasal 13–14). Data intelijen wajib digunakan dengan penuh tanggung jawab. Data intelijens tidak boleh digunakan untuk membela diri dalam kasus pribadi, digunakan untuk menyerang warga, misalnya menyerang saya yang setia menulis serial opini di media untuk menyuarakan suara mayoritas rakyat Nagekeo yang selama kurun waktu panjang mengalami penindasan dan kriminalisasi dahsyat dari komplotan yang diduga sangat kuat sebagai mafia Waduk Lambo sekaligus mafia Nagekeo.
Data intelijens tidak boleh digunakan untuk kepentingan kelompok mafia, kepentingan politik, ekonomi, atau pribadi, dan untuk membuat narasi hoaks untuk melindungi diri. Ketika data intlijens disalahgunakan dengan serampangan, rakyat yang kritis memiliki tanggung jawab konstitusional dan moral untuk melawan arogansi ini.
Lalu ketika pengacara dalam hal ini Tobbyas Ndiwa, yang juga diduga kuat terlibat dalam jaringan terduga mafia waduk Lambo, berpartisipasi aktif dalam abuse of power data intelijens ini, masihkah rakyat Nagekeo akan menaruh kepercayaan kepada pengacara model ini? Apalagi dalam kasus penyalahgunaan data intelijens negara ini, pengacara Tobbyas Ndiwa menjadi orang paling pertama yang membuka fakta penggunaan data intelijens ini ke ruang publik.
Kita menduga kuat, Tobbyas Ndiwa ini telah sangat lama bersekongkol dan berkolusi jahat dengan Polres Nagekeo dalam menggunakan data intelijens ini untuk menyerang warga dan jurnalis kritis yang melawan arogansi dan kepongahan yang sejujurnya hanya semakin membuka fakta kelemahan dan keterbatasan, tidak sebatas intelektual tapi moralitas penegak hukum. Jika Serfolus Tegu menggunakan data intelijen Polres untuk menyerang balik kritik saya untuk membungkam warga, menyusun narasi untuk menggiring opini, melindungi jaringan tertentu, atau menutupi kejahatan, maka itu tidak sah, ilegal, dan melanggar semua aturan. Itu kejahatan!
Dan pengacara bernama Tobbyas Ndiwa yang menjadi orang pertama yang membuka fakta penyalahgunaan data intelijens ini sangat pasti dan telak menabrak semua aturan dan fakta jauh lebih dahsyat kejahatannya dari Serfolus Tegu. Mengapa? Karena sebagai pengacara, Ndiwa harusnya lebih paham penggunaan data intelijens negara yang ikut ia salahgunakan ini. Kita menduga, Tobbyas Ndiwa ini masih memiliki anggapan kuno bahwa rakyat Nagekeo tidak paham hukum sehingga semena-mena dan sewenang-wenang berkoar seolah benar padahal salah sangat besar.
Kita pun heran, ada pengacara model ini, yang entah sadar atau tidak maju tak gentar menyuarakan fakta yang sangat salah. Tapi itu bahasa alam: kejahatan tidak selalu sempurna dan selalu ada celah yang tidak disadari mafia: mereka sendiri akhirnya menunjuk hidung dan mulutnya sendiri.
Kebohongan Tobbyas Ndiwa
Dalam “TANGGAPAN DAN KLARIFIKASI TERHADAP OPINI STEPH TUPEN WITIN,” yang diterbitkan Politisinusantara.com, 19 November 2025, Tobbyas Ndiwa, Kuasa Hukum AKP Serfolus Tegu/Kabag Ops Polres Nagekeo, menanggapi dua opini saya yang dipublikasikan di FloresPos.net tanggal 20 dan 22 Oktober 2025. Dalam rangka mengglorifikasi Tegu, kliennya, dan Gories Mere (GM), Tobbyas menyampaikan kronologi keterlibatan AKP Serfolus Tegu pada rencana pembebasaan lahan proyek PSN Waduk Lambo sejak Tahun 2016. Ada 14 butir informasi yang menurut Tobbyas, dijelaskan berdasarkan keterangan dari kliennya dan disampaikan sesuai “time line” yang dapat dipertanggungjawabkajn secara hukum. Saya kutip satu butir, yakni butir 9, sebagai berikut.
“Menurut keterangan klien kami, dari investigasi intelejen tim Polres Nagekeo ditemukan alasan mengapa Kepala BPN Nagekeo yang baru tidak mengeluarkan undangan pencairan dikarenakan: Kepala kantor BPN Nagekeo mendapat telepon dari oknum anggota DPRD Nagekeo, agar bersurat kepada BWS untuk melakukan validasi ulang. Namun oleh BWS mengatakan bahwa tugas mereka sudah selesai hingga turunnya uang ganti untung untuk dicairkan kepada warga suku terdampak. Oknum anggota DPRD Nagekeo sebelum menjadi anggota DPRD, pernah menjadi kuasa hukum salah satu pihak yang bersengketa antara suku Kawa dan suku Rendu, saat itu kalah saat berpekara di Pengadilan Negeri Bajawa. Dugaan, sebagai balasannya ketika terpilih menjadi anggota DPRD yang bersangkutan melakukan provokasi kepada sekelompok masyarakat Rendu pada saat RDP dengan Kepala BPN Nagekeo di kantor DPRD Nagekeo. Dimana pada saat RDP terjadi keributan karena hadirnya massa dari kelompok Dus Wedo. Lalu klien kami selaku Kabag Ops beserta tim mengamankan situasi agar tidak terjadi kontak fisik. Patut diduga oknum anggota DPRD sengaja mengundang kelompok masyarakat membuat keributan agar memperhambat proses pencairan uang ganti untung.”
Sangat jelas, seperti diakui sendiri oleh Tobbyas, kliennya menggunakan data intelijens Polres Nagekeo. Pengacara berdasi ini membeberkan fakta ini dengan bangganya seakan saya dan publik Nagekeo bisa digertak dengan data intelijens. Gaya mafia Nagekeo memang mirip Tobbyas. Suka membawa-bawa nama Polri, orang kuat Jakarta, orang lemah Jakarta dan intelijen negara seakan itu semua adalah milik pribadi mereka.
Memangnya Tobby itu siapa ya? Orang ini sangat berbahaya karena dia sendiri membuka borok penggunaan data intelijen negara. Apalagi data negara itu hanya sekadar mau melindungi Serfolus Tegu yang dikenal jejak kejahatannya di Nagekeo.
Pengacara yang suka menebar teror berkedok hukum ini mesti dilaporkan agar diproses hukum karena ikut menggunakan data intelijen milik negara untuk melindungi terduga otak mafia Nagekeo.
Di titik ini, kita ingatkan rakyat Nagekeo bahwa pengacara model Tobbyas Ndiwa ini sangat berbahaya karena diduga menjadi bagian dari komplotan mafia sebagai kejahatan terorganisasi yang menggunakan institusi kepolisan Polres Nagekeo, bahkan memakai data intelijens untuk membela kliennya, Serfolus Tegu.
Dugaan ini terbukti dalam narasinya di media abal-abal yang saya kutip dengan sangat terpaksa di atas karena malas membacanya. Tidak bermutu. Tidak ada nilai tambah. Hanya mengulang-ulang kebohongan dan hoaks. Tidak ada kreativitas secuil pun yang kita baca. Kata-kata tidak berkembang: sebatas ancam, teror, gertak, bohong, hoaks, asbun dan suara menggelegar. Semua itu biasa dilakukan oleh komplotan mafia yang sedang panik dan kalap.
Publik Nagekeo menghargai pengacara Ibukota Negara yang datang ke kampung halaman untuk membela orang tertindas secara pro bono atau tanpa dibayar. Itu baru top! Bukan petantang-patenteng, maju tak gentar, membela yang bayar.
Tegu bukan individu lemah. Ia polisi aktif yang punya jejaring luas. Sebagai pemilik Kafe Coklat, ia diduga memiliki likuiditas yang kuat. Belum lagi dugaan selama ini tentang keterlibatan dia di jejerang mafia tanah dan BBM bersubsidi. Semua orang yang lemah integritas dan tak punya nyali gampang sekali “disumpel” olehnya.
Bantahan DPRD Nagekeo
Data intelijens yang dkoarkan oleh pengacara Tobbyas Ndiwa mendapatkan bantahan keras dari Ketua Komisi 1 DPRD Nagekeo, Mbulang Lukas, S.H. Lukas menyebut gaya koar-koar Tobby Ndiwa itu sebagai suguhan bohong atau hoaks. Lukas mengingatkan Tobby agar jangan menggiring rakyat dengan cara-cara kotor menyebar hoaks. Polres Nagekeo harus bertanggung jawab karena penulis artikel itu yaitu Tobbyas Ndiwa, pengacara Serfolus Tegu tegas menyatakan bahwa data informasi yang ditulisnya bersumber dari data intelijen Polres Nagekeo. Mbulang mengingatkan Tobby Ndiwa agar kalau tidak mengetahui fakta sebenarnya, jangan asal bunyi (asbun) dan tanpa beban menyebarkan hoaks (Warisan Budaya Nusantara.Com 27/11/2025).
Bantahan Lukas Mbulang dalam pemberitaan itu membuka dugaan aib kejahatan institusional Polres Nagekeo, tidak hanya intel Polres Nagekeo sebagai sumber pertama informasi, tapi juga Kapolres Nagekeo yang bertanggung jawab atas kerahasiaan informasi. Masalahnya: informasi itu kebohongan besar alias hoaks. Lalu bagaimana kebohongan dan hoaks itu dirahasiakan? Lukas Mbulang sebenarnya menampar dengan keras berkali-kali wajah penulis opini yang identitasnya jelas: kuasa hukum Serfolus Tegu. Pengacara “gagah” berjiwa kerdil itu bernama Tobbyas Ndiwa. Dialah penyebar yang menyiram informasi hoaks itu ke tengah-tengah masyarakat. Mbulang bertanya, “Si penyebar itu dia Humas data intelkah? Ini sebuah kekonyolan yang berlipat ganda.”
Pertanyaan Lukas Mbulang itu bikin kita tertawa ngakak, apalagi sambil membayangkan aura wajah Lukas Mbulang dengan sorot mata melotot hendak menelan penyebar hoaks dan pengacara gondrong yang bisa terkaget-kaget lalu lari terbirit-birit ceburkan diri ke kali waduk Lambo yang belum berair.
Kita duga kuat, Tobbyas Ndiwa ini tidak paham apa itu data intelijen sehingga omong asal bunyi hanya dengan tujuan jahat: meneror untuk membungkam suara berlawanan dengan mafia. Tobby Ndiwa ini harus diproses hukum karena ia berpartisipasi sangat dan super aktif dalam membocorkan rahasia negara dan terlibat konkret dalam tindak pidana penyebaran kebohongan dan hoaks. Fakta ini tidak bisa dibantah! Apalagi kalau bantahan itu meniru gaya setan: mengutip ayat-ayat kitab suci untuk melegitimasi penyebaran kebohongan dan hoaksnya.
Fakta lain dari kebohongan yang disebarkan dengan tahu (bukan tempe) dan sadar oleh Tobbyas Ndiwa adalah fitnah yang sangat sadis dan kejam terhadap kesakralahan lembaga perwakilan rakyat: DPRD Nagekeo yang ditarik masuk dalam permainan mafia Nagekeo khususnya mafia waduk Lambo. Kita heran, kenapa intel Polres begitu lugas melaporkan kebohongan untuk disebarkan oleh Tobbyas Ndiwa hanya untuk melindungi Serfolus Tegu sekaligus membungkam suara kebenaran?
Kebohongan yang diproduksi Intel Polres Nagekeo yang dilanjutkan Tobby Ndiwa menyebut bahwa anggota DPRD Nagekeo, tanpa nama, menelepon Kepala Kantor BPN Nagekeo. Intel Polres Nagekeo ini mengarang sangat bebas untuk diselundupkan menjadi data intelijen negara melalui institusi Polres Nagekeo.
Data-data bohong dan hoaks itu sangat merusak kredibilitas institusi negara sekelas Polres Nagekeo. Kita menduga lebih jauh bahwa data intelijen yang bohong dan hoaks ini memang biasa diproduksi oleh jejaring komplotan mafia yang memang selalu kerasan hidup dalam budaya bohong. Kebohongan dan hoaks selalu ditutupi dengan omong asal bunyi, tanpa substansi, dengan suara besar dan menggelegar hanya sekadar meneror, mengancam dan mengkriminalisasi warga dan jurnalis kritis menggunakan hukum dan institusi penegak hukum sebagai alat legitimasinya.
Pertanyaan: bagaimana jalurnya sehingga data intelijen yang penuh kebohongan dan sarat hoaks ini bisa tiba di tangan Tobbyas Ndiwa dan dimuntahkan keluar dengan suara menggelegar tapi asbun itu? Pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh Tobbyas Ndiwa, Serfolus Tegu, Kapolres Nagekeo dan Intel Polres Nagekeo. Empat serangkai ini harus diproses hukum oleh Polda NTT dan bila perlu Mabes Polri.
Kebohongan dan hoaks data intelijen yang disebarkan Tobby Ndiwa bukan pertama kali. Publik Nagekeo harus ingat bahwa kerja polisi di Polres Nagekeo dalam kasus waduk Lambo memang diduga penuh kebohongan dan kiblatnya melindungi pergerakan komplotan mafia sambil memukul warga dan jurnalis kritis yang melawan kepongahan dan arogansi gerakan para begundal mafia.
Fakta: ada bukti laporan bohong-bohongan yang dikirim Polres Nagekeo ke Polda NTT setelah kejadian teror dan kekerasan terhadap Bapak Gaspar Raja. Polisi Tegu dan Wunibaldus Wedo bersama gerombolan mafia lain melakukan “Fani” di atas lahan yang sama sekali tidak masuk dalam penetapan lokasi (Penlok) I, II dan III (Penlok III belum ada tanda tangan Gubernur NTT) dengan pola mainan mafia: melakukan koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nagekeo untuk validasi ulang. Ini bukti kerja para mafia di waduk Lambo. Berdasarkan regulasi, tidak pernah boleh ada validasi ulang. Kepala BPN Nagekeo kala itu, Bapak Abidin ikut cawe-cawe makanya Abidin ini mengikuti mainan otak mafia Servulus Tegu dan Wunibaldus Wedo.
Tapi sekarang ini, rakyat Nagekeo bersyukur karena Kepala BPN yang baru mengambil sikap tegas dan tidak mau mengikuti alur permainan otak para mafia waduk Lambo sehingga 14 bidang tanah kembali ke pangkuan ketiga ketua suku: Redu, Gaja dan Isa sebagai pemilik sah. Jika tidak, artinya kalau permainan mafia kampungan ala Servulus Tegu dan Wunibaluds Wedo bersama matan Kakan BPN Abidin lolos, maka uang 21,8 miliar milik sah ketiga ketua suku dirampok ludes oleh gerombolam mafia.
Kejahatan memang tidak selalu sempurna. Selalu saja hadir orang-orang baik dan berhati nurani yang mempersembahkan dirinya-hidup maupun mati-untuk memuliakan orang-orang kecil di Nagekeo, khususnya ketiga ketua suku: Redu, Gaja dan Isa yang sekian lama menjadi korban teror dan kekerasan gerombolan mafia (FloresPos.Net 20/10/2025).
Tolak Bungkam
Ketika kita berada dalam kondisi kelam: aparat penegak hukum khususnya polisi “memukul” pengkritik dan melindungi mafia keparat, publik harus berani melawan dengan menyebut sebuah kejahatan dengan nama sebenarnya.
Penyalahgunaan data intelijen oleh aparat polisi dan pengacara Tobbyas Ndiwa bukan sekadar pelanggaran administrai negara tapi sebuah tindakan kriminal yang menggerogoti sendi-sendi negara hukum.
Orang-orang yang harusnya merawat kebenaran dan keadilan hukum justru meruntuhkan bangunan kebenaran dan keadilan hukum. Ketika data intelijen negara dijadikan alat untuk menyerang warga yang kritis dan membela kepentingan mafia gelap, maka aparat itu sendiri telah berubah dari penjaga keamanan menjadi ancaman terhadap keamanan rakyat. Ini bukan sekadar kesalahan individu, tetapi indikasi kerusakan moral dan profesional yang sangat serius. Orang-orang yang terjebak dan menjebakkan diri dalam kubangan mafia, sudah kehilangan kewarasan untuk menyadari kesalahannya.
Nagekeo sedang berada dalam cengkeraman tangan para bandit mafia yang sebenarnya terlihat telanjang di ruang publik: mafia tanah, mafia galian C, mafia hewan, mafia BBM, mafia prostitusi. Aparat penegak hukum tidak lagi berdiri di pihak kebenaran, tetapi menjadi bagian dari mesin kekuasaan mafia (captured state dan police corruption nexus). Di Nagekeo, gejala ini bukan teori abstrak. Ia nyata, terukur, dan dirasakan langsung oleh warga yang berani bersuara laporan warga yang ditolak, mahasiswa yang dihalangi berdialog, dan tokoh moral yang diserang balik.
Semua pola ini tidak mungkin terjadi tanpa keberpihakan sebagian aparat. Ketika polisi lebih sibuk memburu pengkritik ketimbang memburu mafia, itulah pertanda bahwa sebagian kekuasaan negara sedang dialihkan ke tangan kelompok kriminal. Ini persoalan besar terkait masa depan penegakan hukum di Nagekeo.
Bagaimana perjuangan untuk kepentingan seluruh rakyat dilibas hanya untuk melindungi kepentingan klien yang sedang terancam keberadaannya dalam institusi polisi? Pengacara, kuasa hukum memang tugasnya membela klien tapi belalah klien dengan rasional, sikap kritis, tidak perlu berapi-api seperti orang kesurupan dan kehilangan ruang keterbukaan untuk dikoreksi orang lain. Tidak ada monopoli kebenaran di atas dunia ini. Apalagi monopoli itu hanya mengandalkan suara besar, menggelegar bak guntur hanya untuk mengancam dan meneror suara warga.
Masyarakat harus tahu bahwa hukum masih berpihak pada mereka. Undang-undang Indonesia tegas melarang penyalahgunaan wewenang, apalagi penyalahgunaan intelijen. Tindakan semacam itu bukan saja melanggar UU Polri, UU Administrasi Pemerintahan, UU KIP, dan UU Intelijen Negara, tetapi juga menghancurkan martabat kepolisian sebagai institusi.
Polisi yang baik tidak akan menggunakan celah-celah kekuasaan untuk kepentingannya sendiri. Polisi yang baik tidak takut pada transparansi, tetapi justru menjunjungnya untuk menjaga kepercayaan publik. Jika ada anggota Polri yang melenceng, negara wajib mengambil tindakan tegas untuk memulihkan integritas institusi.
Karena itu, Serfolus Tegu atau siapa pun aparat yang memakai intelijen secara salah harus diperiksa secara menyeluruh. Pengacaranya, Tobbyas Ndiwa harus ikut diseret untuk duduk di depan penyidik Polda NTT dan bila perlu Mabes Polri.
Proses hukum dan etik harus berjalan tanpa kompromi. Pemecatan untuk Serfolus Tegu bukanlah hukuman yang berlebihan untuk pelanggaran berat seperti ini. Justru itulah langkah minimum untuk menunjukkan bahwa negara tidak tunduk pada mafia, dan Polri tetap berdiri sebagai institusi yang bekerja untuk rakyat, bukan untuk elite, bukan untuk jaringan kriminal, dan bukan untuk melindungi diri sendiri. Tanpa pembersihan total, kepercayaan masyarakat tidak akan pernah pulih kembali.
Pada akhirnya, perlawanan terhadap mafia dan aparat yang menyimpang bukan hanya tugas seorang imam, jurnalis, aktivis, atau mahasiswa. Ini adalah perjuangan seluruh masyarakat yang mencintai keadilan. Mafia hanya bisa tumbuh ketika rakyat diam. Ketika kita bungkam, kita sedang merawat kejahatan para begundal mafia keparat. Mari menjaga Nagekeo tetap dalam genggaman rakyat, bukan dalam cengkeram komplotan mafia. ***







