• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Rabu, Desember 3, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Hukrim

Jangan Jadikan Polres Nagekeo Bunker Mafia (Catatan buat Gerombolan Mafia (5)

by WartaNusantara
Desember 2, 2025
in Hukrim, Opini
0
Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong
0
SHARES
23
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

RelatedPosts

Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong

Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong

“PROVOCATIONI OBSTARE” Tekanan Provokasi Adu Domba Merusak Tatanan Keharmonisan Kekerabatan

“PROVOCATIONI OBSTARE” Tekanan Provokasi Adu Domba Merusak Tatanan Keharmonisan Kekerabatan

Load More

Jangan Jadikan Polres Nagekeo Bunker Mafia (Catatan buat Gerombolan Mafia (5)

Oleh : Steph Tupeng Witin(Jurnalis, Penulis Buku “Lembata Negeri Kecil Salah Urus” dan Pendiri Oring Literasi Siloam)

WARTA-NUSANTARA.COM–  Di tengah upaya pemerintah memperkuat tata kelola keamanan dan menegakkan hukum secara profesional, masyarakat Nagekeo justru menyaksikan ironi kelam yang terjadi di tubuh Polres mereka sendiri. Penyalahgunaan data intelijen, dugaan keterlibatan oknum aparat dalam jejaring mafia Waduk Lambo, serta pembungkaman kritik warga dengan memakai senjata pranata hukum semisal somasi, menjadi rangkaian peristiwa yang mengguncang kepercayaan publik. Situasi ini mencapai titik krisis ketika seorang anggota DPRD secara terbuka menyebut laporan intelijen Polres sebagai hoaks. Sebuah pernyataan yang mengguncang dasar legitimasi institusi kepolisian di tingkat daerah. Apa yang terjadi di Nagekeo bukan sekadar kegaduhan lokal, tetapi cermin dari masalah sistemik dalam pengelolaan intelijen dan integritas aparat negara.

                  Steph Tupeng Witin

Pemeriksaan AKP Serfolus Tegu oleh Propam Polda NTT menjadi momen penting yang membuka tabir lebih dalam tentang hubungan gelap antara oknum polisi, mafia lokal, dan praktik hukum yang menyimpang. Di balik seragam, jabatan, dan retorika pembelaan diri, publik melihat indikasi kuat bahwa data intelijen negara digunakan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk melindungi masyarakat. Ketika data intelijen yang seharusnya menjadi instrumen rahasia berubah menjadi alat serangan terhadap warga dan tameng bagi aparat bermasalah, maka batas antara penegakan hukum dan penyalahgunaan kekuasaan telah runtuh.

Kasus ata intelijen negara dari Polres Nagekeo yang dibocorkan oleh pengacara Tobbyas Ndiwa dengan “gagah perkasa”-entah dia sadar atau tidak-dengan sendirinya menjadi ujian bagi Polri: apakah ia mampu berdiri tegak membela integritas institusi, atau tenggelam dalam kompromi yang melindungi oknum?  Orang seperti Tobbyas Ndiwa ini mesti segera diproses hukum untuk mengetahui alur jalannya data intelijen negara yang digunakan secara serampangan untuk meneror warga yang bersuara kritis agar bungkam dan diam di hadapan praktik ulah mafia Nagekeo yang telanjang. Kebocoran dan penyalahgunaan data intelijen negara oleh pengacara Tobbyas Ndiwa ini merupakan bukti yang sangat valid bagi aparat polisi level Polda NTT dan Mabes Polri untuk menegakkan hukum agar menjadi pelajaran berharga bagi semua elemen, terutama yang terkait dengan Polres Nagekeo. Fakta kejahatan data intelijen ini  menarasikan dugaan publik bahwa memang selama ini ada oknum polisi di Polres Nagekeo sejak zaman Kapolres Yudha Pranata menggunakan data inteljen ini secara sembrono untuk mendukung praktik mafianya, secara khusus di waduk Lambo. Sekalig lagi, pengacara Tobbyas Ndiwa harus diminta pertanggungjawaban hukumnya lebih segera agar membawa pencerahan dan pencerdasan sehingga tidak berkoar-koar sesukanya dan bertingkah seolah menjadi satu-satunya pemilik hukum di Republik ini.

Saat ini, Kepala Bagian Operasi (Kabag Ops) Polres Nagekeo, AKP Serfolus Tegu, tengah diperiksa oleh Propam Polda NTT. Proses ini tidak terjadi di ruang hampa: ia muncul setelah rangkaian kegaduhan panjang seputar pembangunan Waduk Lambo dan dugaan keterlibatan oknum aparat dalam jejaring mafia tanah. Pemeriksaan ini diharapkan tidak sekadar menjadi formalitas, tetapi menjadi pintu masuk untuk membenahi institusi, mengembalikan kehormatan Polri, dan memulihkan rasa percaya masyarakat Nagekeo sekaligus memberikan pelajaran hukum bagi pengacara Tobbyas Ndiwa agar tidak asal bunyi (asbun) ketika menyebarkan berita bohong dan hoaks seputar data intelijen Polres Nagekeo sebagaimana dibantah Ketua Komisi 1 DPRD Nagekeo, Mbulan Lukas (Warisan Budaya Nusantara.Com 27/11/2025).

Nama Serfolus Tegu, sebagaimana nama mantan Kapolres Nagekeo AKBP Yudha Pranata, sudah lama dikaitkan publik dengan konflik dan polemik Waduk Lambo. Di kalangan masyarakat terdampak, keterlibatan mereka dalam jejaring mafia waduk disebut sebagai rahasia umum. Tuduhan itu tentu membutuhkan pembuktian hukum yang sah, tetapi suara warga tidak bisa begitu saja disapu ke bawah karpet, apalagi ketika serangkaian peristiwa belakangan ini justru menguatkan kesan adanya penyalahgunaan kewenangan.

Serial tulisan tentang mafia Waduk Lambo yang beredar di ruang publik membuat Serfolus Tegu meradang. Alih-alih menjawab dengan klarifikasi terbuka dan transparan sesuai standar pejabat publik, ia diduga memilih jalur yang gelap. Ia disebut meminta testimoni palsu mengenai “jasanya” dalam membangun waduk, berusaha membungkam aksi demonstrasi warga dan pemberitaan media, serta menghadirkan pengacara dari Jakarta yang dinilai banyak pihak justru memperuncing konflik, bukan menyelesaikannya. Puncaknya, muncul dugaan sangat serius bahwa data intelijen Polres Nagekeo digunakan untuk membela kepentingan pribadinya dan menyerang pihak-pihak yang kritis.

Pada titik inilah masalahnya bukan lagi sekadar konflik biasa. Penyalahgunaan data intelijen menyentuh jantung negara hukum, karena intelijen kepolisian adalah instrumen rahasia negara yang seharusnya digunakan untuk deteksi dini, peringatan dini, dan perlindungan masyarakat. Ketika instrumen itu berubah menjadi alat pembelaan diri seorang perwira, atau menjadi senjata untuk memukul balik kritik, maka yang rusak bukan hanya figur individual, melainkan kredibilitas institusi. Fakta penyalahgunaan data itelijens oleh oknum polisi di Polres Nagekeo yang dikoarkan pengacara Tobbyas Ndiwa-yang kemudian dilukiskan sebagai kebohongan dan hoaks karena asal bunyi oleh Ketua Komisi 1 DPRD Nagekeo, semakin menguatkan dugaan bahwa negara tidak ramah dan melindungi warga. Teror kepada warga kritis dengan menggunakan data intelijens Polres Nagekeo, apalagi kemudian diketahui data itu hoaks penuh kebohongan, semakin memperburuk citra institusi Polres Nagekeo di hadapan rakyat Nagekeo. Polres Nagekeo diposisikan seolah hanya milik satu oknum polisi bernama Serfolus Tegu yang kebetulan diberi jabatan Kabag Ops. Ulah satu oknum yang diduga terlibat dalam banyak kasus bisa mengorbankan sebuah institusi negara bernama Polres Nagekeo.

Publik pun semakin heran ketika Kapolres Nagekeo terlihat diam. Bahkan ketika muncul dugaan bahwa data intelijen digunakan untuk kepentingan pribadi Serfolus Tegu, tidak tampak respons cepat dan tegas dari pimpinan Polres. Di mata warga, diam seperti ini mudah dibaca sebagai pembiaran. Gambaran yang berkembang: Polres Nagekeo bukan lagi benteng hukum dan keadilan, melainkan bunker mafia. Orang-orang bermasalah yang merugikan rakyat tampak memiliki kedekatan khusus dengan oknum aparat di sana. Nama-nama seperti Hans Gore, Gusti Bebi, hingga Tobbyas Ndiwa-yang menjadi pengacara Yudha dan Tegu sekaligus-muncul dalam percakapan publik sebagai bagian dari lingkaran yang diduga diuntungkan oleh kekuasaan kepolisian setempat. Agustinus Bebi Daga, anggota KH Destroyer, corongnya Polres Nagekeo dan preman kampung yang mengawasi, melancarkan proyek galian C ilegalnya milik Primus Wawo di kampung Wolosabi, Sipi, Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, jalan Lintas Flores jurusan Ende-Bajawa.

Di tengah situasi ini, ada satu peristiwa yang menjadi titik balik penting: seorang anggota DPRD Nagekeo yang namanya disebut dalam laporan intelijen Polres secara terbuka menyatakan bahwa laporan tersebut adalah hoaks. Bagi publik awam, itu mungkin terdengar seperti konflik biasa. Namun, dalam perspektif hukum, etika, dan tata kelola intelijen demokratis, peristiwa itu adalah alarm keras.

Laporan intelijen bukan gosip kafe, bukan bahan selebaran gelap, dan bukan opini liar di media sosial sekelas “Nagekeo Mandiri” yang mengharamkan perbedaan pendapat sebagai kekayaan. Orang-orang yang merayap di ruang sampah “Nagekeo Mandiri” harus satu suara untuk menarikan hoaks, sumpah serapah, makian dan menyerang orang lain dengan buas. Mereka mengagungkan kebenaran yang dangkal di sebuah ruang yang sempit dan terbatas, sesempit dan seterbatas ruang gerak pikirannya. Ini ruang tempat mendiskusikan tulisan remeh temeh di media abal-abal yang diproduksi mantan tukang jual ikan, preman kampung penjaga lokasi galian C di Ulupulu, tulisan mantan petugas Kopdit Pintu Air yang dipecat karena menggelapkan uang nasabah dan wartawan pembocor percakapan KH Destroyer yang terlilit utang pinjol karena perilaku yang kecanduan judi online. Apalagi percakapan itu ditambah bumbu dari pelanggan tetap Kafe Coklat dan tuan tanah palsu alias tuan tanah dadakan waduk Lambo.

Para wartawan yang “diternakkan” sejak KH Destroyer ini tidak memiliki rekam jejak yang baik sebagai wartawan, tidak menulis peristiwa, hanya sekadar menjadi boneka opini polisi dan jejaring lain semisal orang lemah Jakarta. Mereka mengglorifikasi tokoh-tokoh semacam Serfolus Tegu dan orang lemah Jakarta dengan puja-puji yang membuat publik Nagekeo kian muak. Semakin mereka pasang badan untuk membela, semakin terkuak borok tokoh-tokoh yang lemah ini. Hal ini tidak pernah mereka sadari. Merekalah yang berandil membuka tabir borok tokoh-tokoh ini melalui tulisan pesanan.

Orang-orang dungu inilah yang tanpa sadar membongkat “mastermind” mafia Nagekeo dan setelah terkuak ke ruang publik, gerombolan dungu ini beramai-ramai memuja-mujinya kembali. Padahal nama tokoh lemah ini sudah hancur lebur berkeping-keping di bibir waduk Lambo. Komplotan mafia yang selama ini hidupnya tergantung pada orang lemah Jakarta, akan selalu berusaha untuk menunjukkan bukti bahwa mereka sudah dan akan selalu membela bohirnya. Nurani sudah tumpul karena mereka tidak mampu lagi melihat warga yang sudah menjadi korban terjangan mafianya.  Apa saja dilabrak asalkan bisa tunjuk jidat bahwa dia sedang membela. Orang-orang hasil “ternakkan” ini mirip onta yang membenamkan kepala di pasir untuk tidak melihat bahaya di sekitarnya.

Kita mesti memberitahu rakyat Nagekeo bahwa laporan intelijen adalah produk strategis yang semestinya lahir dari proses deteksi dini yang ketat, verifikasi berlapis, dan analisis profesional. Ketika seorang pejabat publik, yang memiliki kedudukan hukum dan politik, berdiri di ruang terbuka dan menyebut laporan intelijen Polres sebagai hoaks, maka ada tiga kemungkinan serius yang harus diselidiki.

Kemungkinan pertama, intelijen Polres memang memproduksi informasi palsu. Ini berarti tuduhan disusun tanpa dasar, tanpa verifikasi yang memadai, dan diarahkan untuk membentuk framing tertentu demi kepentingan oknum atau kelompok tertentu. Dalam konteks hukum, kondisi seperti ini berpotensi memenuhi unsur fitnah, pemalsuan dokumen, dan penyalahgunaan wewenang. Pasal 317 KUHP tentang fitnah, Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen, dan Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang bisa relevan bila terbukti ada rekayasa sistematis.

Kemungkinan kedua, informasi mentah atau raw intelligence yang belum diverifikasi dipaksakan untuk dinaikkan menjadi kesimpulan resmi. Dalam kerja intelijen yang sehat, data mentah seharusnya diproses, diuji, dan dianalisis sebelum dijadikan produk resmi. Bila data mentah yang rapuh itu dijadikan kesimpulan strategis, maka produk intelijen tersebut cacat sejak lahir. Kapolres sebagai end-user pertama bertanggung jawab menilai kelayakan produk ini. Jika ia membiarkan data mentah diperlakukan sebagai kebenaran final, maka ia ikut memikul tanggung jawab etis dan struktural.

Kemungkinan ketiga, yang paling berbahaya, adalah adanya konflik kepentingan dalam produksi intelijen. Artinya, laporan dibuat bukan demi kepentingan negara dan keamanan publik, melainkan demi kepentingan oknum, kelompok mafia lokal, atau agenda politik tertentu. Di sinilah intelijen berubah menjadi apa yang disebut para ahli sebagai pathological intelligence: intelijen yang sakit, yang telah kehilangan orientasi publik dan berubah menjadi alat kekuasaan gelap.

Penting digarisbawahi, anggota DPRD bukan warga biasa. Ia adalah pejabat publik, bagian dari unsur penyelenggara pemerintahan daerah, dan memiliki standing politik serta hukum yang jelas. Ketika seorang anggota DPRD menyatakan bahwa laporan intelijen Polres terhadapnya adalah hoaks, itu bukan sekadar bantahan emosional, melainkan pernyataan serius yang menantang legitimasi produk intelijen dan integritas institusi.

Dari sisi konsekuensi, bila laporan intelijen tersebut terbukti hoaks, dampaknya berlapis. Pertama, kredibilitas Polres runtuh di mata pemerintah daerah dan warga. Kedua, perlu ada proses hukum terhadap semua pihak yang menyusun, memerintahkan, dan mengesahkan laporan itu. Ketiga, Polda dan bahkan Mabes Polri wajib turun tangan, bukan untuk menyapu persoalan, tetapi untuk melakukan audit intelijen, pemeriksaan etik, dan bila perlu proses pidana terhadap pihak yang terlibat.

Dalam struktur organisasi Polri, Satuan Intelijen dan Keamanan (Sat Intelkam) berada langsung di bawah Kapolres. Sat Intelkam menyusun laporan harian, mingguan, dan khusus kepada Kapolres. Di atasnya, secara fungsional, ada Direktorat Intelijen Keamanan (Dir Intelkam) di tingkat Polda, dan secara institusional ada Baintelkam di Mabes Polri. Artinya, intelijen Polres tidak boleh bekerja liar. Semua produk intelijen harus tunduk pada prinsip legalitas, akuntabilitas, kerahasiaan, dan profesionalisme.

Di atas kertas, peran intelijen Polri di tingkat Polres sudah sangat jelas. Mereka bertugas melakukan deteksi dini dan peringatan dini atas potensi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, memantau dinamika sosial, politik, dan kriminal di wilayahnya, serta melindungi kerahasiaan informasi negara. Mereka bukan alat intimidasi, bukan badan propaganda, dan bukan perisai bagi polisi yang bermasalah seperti Serfolus Tegu di Polres Nagekeo. Data intelijen bersifat rahasia negara dan diatur oleh prinsip need to know. Data itu tidak boleh dibuka kepada pengacara pribadi, tidak boleh dipakai untuk menyusun narasi pembelaan diri di luar mekanisme resmi, dan tidak boleh disusupkan ke ruang publik untuk mem-framing warga yang kritis.

 

Tetap Menulis untuk Korban

Saya menulis dugaan praktik mafia di Nagekeo khususnya waduk Lambo untuk kesekian kalinya. Saya tahu banyak orang yang selama ini merasa sangat nyaman dalam lingkaran dunia mafia Nagekeo sangat panik. Berbagai upaya kriminalisasi dilakukan untuk membungkam. Pengacara gondrong, Kosmas Jo Oko sebagai kuasa hukum Serfolus Tegu, Kabag Ops Nagekeo, telah melaporkan saya ke Polres Nagekeo pada 21 Oktober 2025 dengan tuduhan pencemaran nama baik. Saya menulis berdasarkan data dan fakta. Saya sendiri berharap komplotan mafia membantah dengan argumen, data dan fakta, bukan dengan serangan pribadi dan menjadikan hukum sebagai alat teror kebebasan bersuara. Saya menyuarakan realitas mewakili suara para korban. Panggilan dan tanggung jawab moral kemanusiaan ini melekat dalam Imamat saya. Saya tidak menulis untuk membela oknum bermasalah atau orang lemah Jakarta. Saya menulis untuk kepentingan orang-orang kecil dan tertindas dalam proyek strategis nasioanl (PSN) waduk Lambo. Serial tulisan saya membuka mata banyak orang dan menjadi referensi aparat Propam Polda NTT yang turun ke Nagekeo untuk bertemu dan berbicara dengan warga korban kejahatan para begundal komplotan mafia Nagekeo. Terbukti saat ini, Kabag Ops Serfolus Tegu sudah diperiksa kedua kalinya di Propam Polda NTT. Pemeriksaan Propam Polda untuk kedua kalinya ini membantah tuduhan membabi buta pengacara mafia bahwa Propam Polda NTT mengkriminalisasi Serfolus Tegu.

Pengacara Tobbyas Ndiwa mensomasi saya dengan batas waktu 2×24 jam. Batas waktu menarasikan napasnya yang mendekati titik akhir. Berbagai upaya dilakukan pengacara suruhan Serfolus Tegu dan mungkin orang lemah Jakarta untuk meneror. Saya akan tetap menulis sampai titik darah terakhir untuk orang-orang Rendu: suku Redu, Isa dan Gaja. Orang-orang kecil ini sekian lama ditindas komplotan mafia waduk Lambo yang saat ini sedang diamuk kepanikan dahsyat. Komplotan mafia seperti orang kesurupan, menerjang ke segala arah tanpa kendali.

Saya tidak akan pernah berhenti menulis. Semua upaya gertakan hanya untuk mengintimidasi. Mafia salah orang dan salam alamat! Apalagi tayangan di medsos tanpa kompetensi mengambil kesimpulan yang sumir. Hanya orang gila yang menuduh orang lain gila. Ini tipe manusia kerdil memahami keadilan dan miskin mengerti tentang kebenaran. Saya tidak pernah kendur apalagi stop menulis hanya karena gertakan, somasi dan teror dangkal dari medsos pengacara gondrong yang berkeliling dunia untuk mewartakan kedunguannya. Tulisan di media ada UU Pers. Itu lex specialis atau hukum khusus. Harus melewati hak jawab sampai keputusan Dewan Pers Nasional. Kita diatur oleh hukum. Bukan kita (apalagi pengacara gondrong dan Tobby Ndiwa) yang memberi kesan asbun: bisa mengatur hukum.

Saya akan taat hukum dengan proses yang benar, adil dan memuliakan akal sehat. Saya tegaskan: tidak akan datang ke Polres apa pun, apalagi Polres Nagekeo, hanya untuk menyetor kebodohan dan kedunguan seperti yang sedang dipertontonkan pengacara gondrong dan antek-antek Tegu lainnya.

Saya melawan komplotan mafia Nagekeo yang tanpa sungkan merampok hak rakyat kecil dan kemudian mengancam untuk membungkam orang yang melakukan perlawanan. Sejak era Yudha Pranata, polisi yang diotaki Serfolus Tegu melalui KH Destroyer berusaha menjadi pemimpin opini kebohongan dan sesat. Itu sangat jahat karena mematikan hak kontrol rakyat. Wartawan yamg membuat berita berbeda, mereka pasti suap dan jika menolak, pasti diteror dan dikriminalisasi. Sejak saya menulis seri tulisan mafia Nagekeo, entah kenapa, organisasi KH Destroyer dan komplotan mafia kocar-kacir tak karuan. Mereka berusaha memakai pedang hukum sebagai senjata pemusnah. Senjata itu pula yang mereka pakai selama ini terhadap rakyat dan jurnalis kritis. Saya menulis untuk meliterasi publik dengan membuat narasi mencerahkan. Tulisan saya harus memimpin narasi besar mengantar publik ke level yang lebih beradab, bukan membela terduga penjahat mafia dan orang lemah Jakarta yang hanya semakin membuka bolong boroknya yang memuakkan publik.  Ternyata, dunia ini milik orang bernyali.

Pelanggaran Ganda
Karena itu, bila benar data intelijen Polres Nagekeo dipakai untuk membela diri seorang perwira atau menyerang tokoh yang mengkritik, maka di situ terjadi bentuk pelanggaran ganda. Pertama, pelanggaran terhadap fungsi intelijen itu sendiri. Kedua, pelanggaran terhadap hukum administrasi pemerintahan yang mengharuskan setiap kewenangan digunakan semata-mata untuk tujuan yang ditetapkan undang-undang. UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebut bahwa penyalahgunaan wewenang dapat berujung pada pencabutan kewenangan, sanksi disiplin, gugatan perdata, dan bahkan pidana.

Dimensi lain yang tidak kalah berbahaya adalah praktik framing oleh intelijen. Framing dalam konteks ini bukan sekadar cara bercerita, tetapi rekayasa narasi yang sengaja disusun untuk melabeli seseorang atau kelompok sebagai ancaman, tanpa dasar yang dapat dipertanggungjawabkan. Framing bisa dilakukan melalui penghilangan konteks, pemelintiran data, atau penyusunan profil ancaman palsu yang kemudian digunakan untuk membenarkan tindakan represif. Bila framing ini berkelindan dengan kepentingan mafia lokal, maka aparat yang seharusnya menjadi pagar hukum malah menjadi pagar hidup mafia.

Apa yang harus dilakukan Polri dalam situasi seperti ini? Pertama, diperlukan audit intelijen yang menyeluruh. Polda NTT bersama Baintelkam Mabes Polri perlu menelusuri seluruh proses produksi laporan intelijen Polres Nagekeo yang dipersoalkan, mulai dari sumber informasi, metode pengumpulan, proses analisis, sampai pada siapa laporan itu disampaikan dan untuk tujuan apa digunakan. Bila ditemukan adanya rekayasa atau manipulasi, laporan tersebut harus secara resmi dicabut, dan pihak-pihak yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban.

Kedua, Propam wajib menjalankan pemeriksaan etik yang independen dan transparan. Pemeriksaan seharusnya tidak hanya menyasar anggota yang menulis laporan, tetapi juga atasan yang memberi perintah, termasuk Kabag Ops, Kasat Intel, dan Kapolres sebagai penanggung jawab akhir. Propam harus menelusuri apakah ada motif jahat, konflik kepentingan, atau hubungan struktural dengan mafia lokal dalam penyusunan laporan tersebut.

Ketiga, bila ditemukan unsur pidana, proses tidak boleh berhenti di meja etik. Penyidik dari Polda atau bahkan Mabes Polri harus berani mengambil alih dan memproses perkara ini secara pidana. Penyalahgunaan intelijen dan framing yang merugikan pejabat publik maupun warga biasa tidak boleh dianggap sebagai pelanggaran internal semata.

Keempat, institusi Polri berkewajiban melakukan rehabilitasi nama baik terhadap pihak-pihak yang menjadi korban framing. Dalam konteks ini, pejabat publik yang dengan jelas menyatakan bahwa laporan intelijen tentang dirinya adalah hoaks berhak mendapatkan klarifikasi resmi dan pemulihan nama baik melalui mekanisme yang transparan.

Kelima, kasus Nagekeo harus dijadikan momentum untuk reformasi internal intelijen Polres. Personel yang punya konflik kepentingan harus ditarik dari posisi strategis, budaya kerja yang permisif terhadap manipulasi data harus diubah, dan pendidikan ulang mengenai prinsip intelijen demokratis perlu digalakkan. Intelijen harus kembali menjadi mata dan telinga negara untuk melindungi masyarakat, bukan menjadi tangan gelap yang memukul orang yang berani bersuara.

Jika semua ini dibiarkan, konsekuensinya akan sangat mahal. Polres bisa berubah menjadi alat mafia, bukan pelindung rakyat. DPRD, tokoh agama, dan tokoh masyarakat akan kehilangan keberanian untuk menyampaikan kritik. Warga akan hidup dalam ketakutan karena merasa sewaktu-waktu bisa diframing atas nama intelijen. Mafia lokal akan semakin kuat, karena mereka bisa memanfaatkan oknum aparat untuk memproduksi narasi palsu demi melanggengkan kekuasaan dan keuntungan ekonomi mereka. Pada akhirnya, yang runtuh bukan hanya wibawa Polres Nagekeo, tetapi reputasi Polri secara nasional.

Di tengah semua ini, dukungan publik terhadap langkah Propam Polda NTT untuk memeriksa Serfolus Tegu menjadi sangat penting. Publik berharap Propam bekerja profesional, independen, dan berani mengambil langkah paling tegas, termasuk pemecatan, bila terbukti terjadi pelanggaran berat. Pesannya sederhana tetapi fundamental: Polres Nagekeo bukan bunker mafia. Polres harus menjadi rumah keadilan dan perlindungan bagi rakyat, bukan menjadi benteng bagi mereka yang menyalahgunakan seragam dan kewenangan.

Reformasi Polri tidak akan pernah berhasil bila kasus-kasus seperti di Nagekeo disapu bersih dengan kalimat “hanya kesalahpahaman”. Justru dari daerah-daerah seperti inilah reformasi bisa dimulai, dengan cara menegakkan garis tegas antara polisi yang mengabdi dan oknum yang mengkhianati amanat. Membongkar penyalahgunaan intelijen di Nagekeo bukanlah tindakan melawan Polri. Sebaliknya, itu adalah bagian dari usaha bersama untuk mengembalikan Polri kepada jati dirinya: sebagai pengayom, pelindung, dan penegak hukum yang berdiri di pihak rakyat, bukan di belakang tembok bunker mafia.

Tobbyas Ndiwa Membuka Aib Kliennya
Di tengah kemelut Waduk Lambo dan pemeriksaan AKP Serfolus Tegu oleh Propam Polda NTT, muncul satu figur yang justru memperkeruh keadaan: Tobbyas Ndiwa, pengacara yang mengaku membela Tegu namun bertindak dengan cara-cara yang justru menguak borok kliennya sendiri. Dalam berbagai pernyataannya, Tobbyas tampil gagah seolah memegang kebenaran tertinggi. Namun, gaya bicara yang penuh kepongahan itu justru membongkar fakta-fakta yang selama ini tersembunyi dan merusak kehormatan institusi penegak hukum di Nagekeo.

Dalam konferensi dan pernyataannya di media, Tobbyas tanpa ragu menyampaikan informasi yang ia sebut sebagai “data intelijen Polres Nagekeo”. Ia mengucapkannya dengan lantang, seakan data itu miliknya dan dapat ia bawa ke panggung publik kapan pun ia mau. Kepongahan ini justru menjadi bukti telanjang bahwa data intelijen negara benar-benar telah diperlakukan secara sembarangan, tidak terjaga, dan dipakai untuk kepentingan pribadi seorang polisi yang sedang terdesak. Bagi publik yang memahami tata kelola intelijen, tindakan Tobbyas ini bukan hanya keliru melainkan sangat fatal.

Pengacara profesional yang memahami etika seharusnya menjadi pagar moral yang melindungi kliennya dari potensi pelanggaran hukum. Namun Tobbyas bertindak sebaliknya. Ia mempertontonkan praktik hukum yang sembrono, yang bukannya menyelamatkan klien, tetapi justru mengakui kepada publik bahwa Tegu telah menggunakan produk intelijen untuk kepentingan pribadi. Dengan membuka isi data intelijen itu secara publik, Tobbyas sebenarnya tidak sedang membela, melainkan sedang mengubur kliennya lebih dalam ke dalam kubangan pelanggaran etik, disiplin, dan pidana.

Dalam perspektif hukum, apa yang dilakukan Tobbyas adalah bentuk pengakuan tidak sengaja bahwa kliennya terlibat dalam penyalahgunaan wewenang. Seorang polisi tidak boleh memegang, apalagi membocorkan data intelijen untuk perkara pribadi. Namun Tobbyas justru menampilkan data itu seperti trofi. Ia lupa bahwa data intelijen merupakan rahasia negara yang tunduk pada Perkap Intelijen Keamanan dan prinsip kerahasiaan negara. Ketika seorang pengacara dengan santai membeberkannya, publik tidak hanya melihat kelalaian, tetapi juga kejahatan prosedural.

Lebih jauh lagi, tindakan Tobbyas mempermalukan institusi kepengacaraan. Profesi advokat memiliki Kode Etik Advokat Indonesia yang mewajibkan advokat menjaga kehormatan profesi, bertindak berdasarkan hukum, serta tidak memperalat informasi rahasia negara. Namun Tobbyas melangkah jauh dari batas itu. Ia memperagakan gaya beracara yang barbar, menjadikan panggung media sebagai tempat memamerkan dokumen rahasia, tanpa refleksi moral, tanpa pertimbangan etika, dan tanpa kesadaran bahwa tindakannya mencoreng martabat advokat di mata publik.

Tidak berhenti di situ, sepak terjang Tobbyas menunjukkan kecenderungan menjadi corong bagi kelompok bermasalah di Nagekeo. Ia bukan hanya membela Tegu, tetapi juga pernah muncul membela AKBP Yudha Pranata, nama lain yang sering dikaitkan dengan dugaan mafia waduk. Pola ini menunjukkan bahwa Tobbyas tidak sekadar menjadi pembela, melainkan bagian dari orbit kekuasaan gelap yang berusaha menutupi penyalahgunaan kewenangan dengan membungkusnya sebagai “klarifikasi hukum”. Dalam dunia advokat, ada garis tipis antara pembelaan dan keterlibatan. Dan Tobbyas tampaknya sedang melintasi garis itu.

Dalam konteks lebih luas, praktik hukum yang dipertontonkan Tobbyas mencoreng wajah advokat Indonesia. Ia mengirim pesan buruk bahwa profesi advokat dapat dipakai untuk memutihkan kesalahan aparat, melindungi mafia lokal, dan memanipulasi opini publik melalui kebohongan yang dibungkus jargon hukum. Padahal advokat seharusnya menjadi profesi terhormat-officium nobile-yang berdiri pada prinsip keadilan, integritas, dan pembelaan terhadap kebenaran. Tobbyas justru mempraktikkan kebalikannya: advokasi tanpa moral, pembelaan tanpa kode etik, dan retorika tanpa kebenaran.

Ironisnya, apa yang dilakukan Tobbyas bukan hanya merusak nama kliennya, tetapi juga memperlihatkan “dosa kolektif” Polres Nagekeo. Ketika ia mengumbar data intelijen itu di ruang publik, ia tanpa sadar memperlihatkan bahwa data rahasia yang seharusnya terkunci rapat bisa berpindah tangan ke pengacara luar institusi. Ini bukan lagi sekadar masalah individual Tegu, tetapi persoalan struktural tentang bagaimana Polres Nagekeo mengelola dokumen intelijen negara. Melalui mulut Tobbyas, publik melihat betapa kaburnya batas antara polisi, pengacara, dan mafia lokal di wilayah itu.

Pada akhirnya, tindakan Tobbyas Ndiwa telah memperlihatkan sebuah contoh paling muram dari hubungan antara advokat, oknum polisi, dan jejaring kepentingan lokal yang merusak tatanan hukum. Ia membuktikan bahwa seorang pengacara bukan hanya bisa gagal menjalankan tugas moralnya, tetapi bisa menjadi sumber kerusakan yang lebih besar. Bukannya membersihkan nama kliennya, ia justru menguatkan dugaan penyalahgunaan intelijen dan mempermalukan institusi Polri. Di mata publik, sepak terjangnya menjadi simbol kemerosotan etika profesi, sebuah pelajaran pahit bahwa moralitas dalam profesi hukum bukan hanya diperlukan, tetapi wajib.

Aparat Melindungi, Bukan Berkolusi

Pada akhirnya, persoalan di Polres Nagekeo bukan hanya menyangkut satu atau dua nama, tetapi mencerminkan kegagalan struktural dalam menjaga integritas institusi negara. Ketika data intelijen yang seharusnya menjadi instrumen rahasia negara dapat berpindah tangan kepada pengacara luar, ketika laporan intelijen dipakai untuk kepentingan pribadi, dan ketika Kapolres membiarkan semua itu terjadi tanpa kontrol, maka yang terguncang bukan hanya kredibilitas Polres Nagekeo, melainkan wibawa Polri secara keseluruhan. Negara hukum tidak akan pernah kokoh apabila aparatnya membiarkan celah-celah pelanggaran menjadi kebiasaan.

Kasus ini juga menunjukkan betapa rentannya wilayah seperti Nagekeo terhadap infiltrasi aktor-aktor gelap, mulai dari mafia tanah, oknum aparat, hingga pengacara tanpa etika yang memanfaatkan kekuasaan untuk menindas warga atau menutupi skandal. Padahal, masyarakat Nagekeo hanya ingin satu hal: rasa aman dan keadilan. Mereka ingin aparat yang melindungi, bukan aparat yang berkolusi. Mereka ingin institusi yang bekerja untuk rakyat, bukan menjadi benteng bagi mereka yang menyalahgunakan seragam. Kepercayaan publik yang runtuh hanya bisa dipulihkan melalui tindakan nyata dan reformasi menyeluruh.

Pemeriksaan terhadap AKP Serfolus Tegu oleh Propam Polda NTT adalah langkah awal, tetapi tidak cukup. Proses ini harus diperluas ke segala arah: audit intelijen, pemeriksaan etik terhadap Kapolres, proses pidana bagi pelanggaran berat, dan penataan kembali seluruh jaringan intelijen Polres Nagekeo. Tanpa langkah sistemik, masalah ini hanya akan dipindahkan dari satu orang ke orang lain, sementara akar persoalan tetap tumbuh dan mencengkeram tubuh institusi. Reformasi yang setengah hati hanya akan memperpanjang penderitaan masyarakat Nagekeo.

Dalam konteks inilah, suara publik, termasuk tokoh masyarakat, DPRD, media, dan organisasi sipil, menjadi sangat penting. Kritik bukanlah tindakan permusuhan terhadap Polri; sebaliknya, kritik adalah bentuk kepedulian paling tulus untuk menyelamatkan institusi yang sangat penting bagi kehidupan bernegara. Sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan hukumnya, tetapi dari kemampuannya mengoreksi kesalahan, memperbaiki pelanggaran, dan membersihkan institusi dari oknum yang merusak nama baiknya. Nagekeo memberi ujian besar bagi Polri: apakah ia memilih keberanian atau kenyamanan?

Akhirnya, masyarakat menanti apakah Polri akan bergerak tegas untuk menunjukkan bahwa institusi ini berdiri di sisi kebenaran. Jika Propam dan Polda NTT mampu membongkar penyalahgunaan intelijen, membersihkan Polres dari jaringan mafia, dan memulihkan kepercayaan rakyat, maka kasus Nagekeo dapat menjadi titik awal penting reformasi kepolisian di Indonesia. Namun bila dibiarkan, sejarah akan mencatat Nagekeo sebagai contoh bagaimana lembaga penegak hukum bisa terperangkap dalam jejaring gelap yang dibiarkan berkembang. Pilihannya kini ada di tangan Polri, apakah tetap menjadi pelindung rakyat, atau membiarkan Polres Nagekeo menjadi bunker mafia selamanya. *

Pada akhirnya, persoalan di Polres Nagekeo bukan hanya menyangkut satu atau dua nama, tetapi mencerminkan kegagalan struktural dalam menjaga integritas institusi negara. Ketika data intelijen yang seharusnya menjadi instrumen rahasia negara dapat berpindah tangan kepada pengacara luar, ketika laporan intelijen dipakai untuk kepentingan pribadi, dan ketika Kapolres membiarkan semua itu terjadi tanpa kontrol, maka yang terguncang bukan hanya kredibilitas Polres Nagekeo, melainkan wibawa Polri secara keseluruhan. Negara hukum tidak akan pernah kokoh apabila aparatnya membiarkan celah-celah pelanggaran menjadi kebiasaan.

Kasus ini juga menunjukkan betapa rentannya wilayah seperti Nagekeo terhadap infiltrasi aktor-aktor gelap, mulai dari mafia tanah, oknum aparat, hingga pengacara tanpa etika yang memanfaatkan kekuasaan untuk menindas warga atau menutupi skandal. Padahal, masyarakat Nagekeo hanya ingin satu hal: rasa aman dan keadilan. Mereka ingin aparat yang melindungi, bukan aparat yang berkolusi. Mereka ingin institusi yang bekerja untuk rakyat, bukan menjadi benteng bagi mereka yang menyalahgunakan seragam. Kepercayaan publik yang runtuh hanya bisa dipulihkan melalui tindakan nyata dan reformasi menyeluruh.

Pemeriksaan terhadap AKP Serfolus Tegu oleh Propam Polda NTT adalah langkah awal, tetapi tidak cukup. Proses ini harus diperluas ke segala arah: audit intelijen, pemeriksaan etik terhadap Kapolres, proses pidana bagi pelanggaran berat, dan penataan kembali seluruh jaringan intelijen Polres Nagekeo. Tanpa langkah sistemik, masalah ini hanya akan dipindahkan dari satu orang ke orang lain, sementara akar persoalan tetap tumbuh dan mencengkeram tubuh institusi. Reformasi yang setengah hati hanya akan memperpanjang penderitaan masyarakat Nagekeo.

Dalam konteks inilah, suara publik, termasuk tokoh masyarakat, DPRD, media, dan organisasi sipil, menjadi sangat penting. Kritik bukanlah tindakan permusuhan terhadap Polri; sebaliknya, kritik adalah bentuk kepedulian paling tulus untuk menyelamatkan institusi yang sangat penting bagi kehidupan bernegara. Sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan hukumnya, tetapi dari kemampuannya mengoreksi kesalahan, memperbaiki pelanggaran, dan membersihkan institusi dari oknum yang merusak nama baiknya. Nagekeo memberi ujian besar bagi Polri: apakah ia memilih keberanian atau kenyamanan?

Akhirnya, masyarakat menanti apakah Polri akan bergerak tegas untuk menunjukkan bahwa institusi ini berdiri di sisi kebenaran. Jika Propam dan Polda NTT mampu membongkar penyalahgunaan intelijen, membersihkan Polres dari jaringan mafia, dan memulihkan kepercayaan rakyat, maka kasus Nagekeo dapat menjadi titik awal penting reformasi kepolisian di Indonesia. Namun bila dibiarkan, sejarah akan mencatat Nagekeo sebagai contoh bagaimana lembaga penegak hukum bisa terperangkap dalam jejaring gelap yang dibiarkan berkembang. Pilihannya kini ada di tangan Polri, apakah tetap menjadi pelindung rakyat, atau membiarkan Polres Nagekeo menjadi bunker mafia selamanya. ***

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong
Hukrim

Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong

Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong Oleh Steph...

Read more
“PROVOCATIONI OBSTARE” Tekanan Provokasi Adu Domba Merusak Tatanan Keharmonisan Kekerabatan

“PROVOCATIONI OBSTARE” Tekanan Provokasi Adu Domba Merusak Tatanan Keharmonisan Kekerabatan

Tantangan Peran Hukum Adat Dalam Penegakan Keadilan Hukum Secara Yuridis

Tantangan Peran Hukum Adat Dalam Penegakan Keadilan Hukum Secara Yuridis

Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan

Somasi Angkuh Untuk Membungkam Kritik (Catatan untuk Komplotan Mafia Nagekeo (4)

“Gubernur NTT Harus Berhentikan Ferdianus Dari Kepala SMKN Wae Ri’i – Manggarai”

Meridian Dewanta Minta Polres Ende Usut Tuntas Kasus Tindak Pidana Penadahan Mobil Suzuki ERTIGA Milik Kliennya

Menjadi Saudara Dalam Kemanusiaan

Pengkritik “Dipukul”, Mafia Dilindungi (Catatan untuk Komplotan Mafia Nagekeo (3)

Load More
Next Post
Rektor Terpilih Undana Prof Jefri Bale Siap Tuntaskan Dugaan Korupsi di Kampus

Rektor Terpilih Undana Prof Jefri Bale Siap Tuntaskan Dugaan Korupsi di Kampus

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In