Akhmad Bumi Bantah Jika Kematian Prada Lucky Karena Kelalain Rumah Sakit
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM– Kasus kematian almarhum Prada Lucky di Batalion 834, Aeramo, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, kembali berlanjut. Pengadilan Militer III-15 Kupang dijadwalkan menggelar sidang lanjutan pada Rabu, 17 Desember 2025, dengan agenda pembacaan pembelaan (pledoi) oleh penasihat hukum 22 terdakwa.




Kuasa Hukum Keluarga Korban, Akhmad Bumi, SH, menegaskan bahwa penyampaian pledoi merupakan hak para terdakwa, kita hormati. Tapi, pihaknya akan mencermati secara serius seluruh materi pembelaan yang disampaikan dalam persidangan.




“Tahapan pembacaan pledoi 22 terdakwa adalah hak terdakwa yang harus dilalui. Kami akan mencermati secara seksama seluruh materi pembelaan penasihat hukum saat disampaikan di persidangan nanti,” ujar Akhmad Bumi, Senin (15/12/2025) di Kupang.
Akhmad Bumi mengungkapkan bahwa dalam persidangan sebelumnya, penasihat hukum 22 terdakwa membangun argumentasi bahwa kematian Prada Lucky merupakan takdir serta akibat kelalaian dan keterlambatan penanganan pihak rumah sakit.
Menurutnya, argumentasi tersebut tidak dikenal dalam hukum pidana positif Indonesia dan tidak dapat menghapus pertanggungjawaban pidana para terdakwa.



“Mengaitkan kematian Prada Lucky sebagai takdir adalah argumentasi non-yuridis. Hukum pidana tidak mengadili takdir, tetapi mengadili perbuatan manusia. Yang dimintai pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan para terdakwa yang melanggar hukum, proses menuju kematian korban yang dilakukan dengan kekerasan dan penyiksaan berkali-kali,” tegas Akhmad Bumi.
Ia menjelaskan, dalam hukum pidana berlaku asas actus reus dan mens rea, yakni adanya perbuatan pidana dan niat jahat sebagai dasar pertanggungjawaban pidana.
“Perbuatan pidana didahului dengan niat. Jika tanpa niat, itu namanya kelalaian atau lupa. Dalam perkara ini, perbuatan para terdakwa bukan lalai atau lupa tapi sengaja,” jelasnya.
Akhmad Bumi menegaskan bahwa kematian Prada Lucky bukanlah peristiwa kebetulan, melainkan akibat dari rangkaian penganiayaan berat yang dilakukan berulang kali oleh 22 terdakwa secara bergantian.
“Prada Lucky meninggal bukan karena kebetulan. Ada rangkaian penganiayaan berat yang dilakukan berkali-kali, dan hal itu telah dibuktikan oleh oditur dalam tuntutan. Unsur sengaja terbukti karena perbuatan dilakukan berulang kali, saksi dan para terdakwa telah menjelaskan dalam persidangan, dikuatkan dengan rekam medis, visum dan keterangan ahli,” katanya.
Ia menambahkan, seluruh pertanyaan hukum terkait apakah perbuatan tersebut dilakukan tanpa sengaja, apakah ada unsur kealpaan, serta apakah perbuatan itu melawan hukum, telah dijawab dan dibuktikan oleh oditur militer dalam tuntutan.
“Oditur membuktikan bahwa para terdakwa bersalah, melakukan perbuatan melawan hukum, para pelaku baik sebagai pemberi perintah, pembiaran, atau pelaku langsung, maupun pelau turut serta. Karena itu, mereka patut dihukum,” tegasnya.
Terkait dalil kelalaian rumah sakit, Akhmad Bumi menegaskan bahwa secara hukum pidana, kelalaian medis, jika pun terbukti tidak menghapus sebab utama kematian korban.
“Sebab utama kematian Prada Lucky adalah adanya kekerasan dan penganiayaan sebelum korban membutuhkan perawatan medis. Kondisi korban sudah dalam kondisi kritis akibat perbuatan para terdakwa saat dibawah ke rumah sakit. Korban kritis bukan karena korban jatuh dari pohon, atau jatuh dari bukit tapi karena perbuatan terdakwa dan perbuatan itu melanggar hukum. Dan itu telah dibuktikan oditur dalam tuntutan,” jelasnya.
Ia menilai dalil kelalaian medis sebagai bentuk pengalihan tanggung jawab pidana. “Dokter tidak pernah terlibat dalam peristiwa awal, tidak menciptakan kondisi kritis pada korban, dan hanya merespons situasi yang sudah kritis pada korban. Mengalihkan kesalahan kepada tenaga medis adalah upaya mengaburkan rantai kausalitas hukum,” katanya.
Menurut Akhmad Bumi, jika logika tersebut diterima, maka akan lahir preseden berbahaya dalam penegakan hukum. “Setiap pelaku penganiayaan bisa bebas dari tanggung jawab pidana selama korban meninggal di rumah sakit. Ini absurd dan sangat berbahaya bagi hukum,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa dalam persidangan tidak pernah dibuktikan bahwa kematian Prada Lucky akibat kelalaian medis. “Tidak ada bukti tindakan dokter melanggar SOP, tidak ada putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang menyatakan adanya kelalaian fatal,” katanya.
Menurutnya, keterlambatan penanganan medis tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan konsekuensi dari kondisi kritis korban yang telah terjadi sebelumnya.
“Pertanyaan kunci yang dihindari penasehat hukum 22 terdakwa adalah mengapa Prada Lucky harus ditangani secara darurat. Jawabannya karena korban sudah mengalami kondisi kritis akibat kekerasan,” ujarnya.
Akhmad Bumi menilai, menyatukan dalil takdir dengan kelalaian dokter merupakan inkonsistensi logika hukum. “Jika kematian dianggap takdir, maka tidak perlu mencari sebab manusia. Tetapi jika dicari sebab manusia, maka harus ditelusuri sebab pertama, perbuatan. Ini prinsip dasar hukum pidana,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa menerima pembelaan tersebut berarti membiarkan runtuhnya keadilan. “Negara akan gagal melindungi korban kekerasan struktural. Ini bukan pembelaan hukum, melainkan pembunuhan tanggung jawab,” tegasnya.
Dalam tuntutan oditur, terdakwa Ahmad Faisal, S.Tr. (Han) dalam berkas perkara pertama Nomor 40-K/PM.III-15/AD/X/2025 dituntut 12 tahun penjara, hukuman tambahan dipecat dari dinas militer, serta membayar restitusi Rp561.128.860,00 kepada korban Prada Lucky. Ia didakwa melanggar Pasal 131 dan Pasal 132 KUHPM.
Sebanyak 17 terdakwa dalam berkas kedua Nomor 41-K/PM.III-15/AD/X/2025 dengan terdakwa Thomas Desambris Awi, dkk, dituntut 6 tahun penjara, kecuali dua perwira Made Juni Arta Dana dan Achmad Thariq Al Qindi Singajuru, S.Tr. (Han) yang dituntut 9 tahun penjara. Seluruhnya dituntut dipecat dari dinas militer dan membayar restitusi Rp544.625.070,00, didakwa melanggar Pasal 131 KUHPM.
Sementara 4 terdakwa dalam berkas ketiga Nomor 42-K/PM.III-15/AD/X/2025 dengan terdakwa Ahmad Ahda, dkk, dituntut 6 tahun penjara, dipecat dari dinas militer, serta membayar restitusi Rp544.625.070,00, juga didakwa melanggar Pasal 131 KUHPM.
Oditur menyatakan tuntutan restitusi kepada 22 terdakwa didasarkan pada Keputusan LPSK Nomor A.0672.R/KEP/SMP-LPSK/XI/Tahun 2025 yang ditandatangani Ketua LPSK Brigjen Pol (Purn) Dr. Achmadi, SH, MAP, sesuai UU Nomor 13 Tahun 2006, PP Nomor 7 Tahun 2018, Perma Nomor 1 Tahun 2022, serta peraturan LPSK lainnya. ***(*/WN-01)








