HADIR DI TITIK RAGU Inspirasi Homili Minggu IV Adventus, 21 Desember 2025
Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM– Ipranda adalah satu dari sedikit orang yang selamat dari banjir bandang 27 November 2025. Dengan langkah tertatih dan suara yang masih gemetar, ia mengisahkan pengalaman yang nyaris tak terkatakan. Banjir datang tiba-tiba. Sungai di dekat rumahnya mendadak meluap, membawa arus deras yang menghancurkan segalanya. Sebuah batu raksasa menghantam rumah tetangga hanya beberapa meter dari tempat tinggalnya. Disusul gelondongan kayu dan air yang menjulang puluhan meter, seperti gelombang tsunami kecil yang menyapu habis rumahnya. Dalam hitungan menit, istri, anak pertama, dan mertuanya lenyap. Kini, ia hanya ditemani seorang bayi berusia enam bulan.



Siapa pun yang berada di posisi Ipranda pasti akan goyah. Luka itu terlalu dalam. Kehilangan itu terlalu kejam. Bahkan orang yang masih menyimpan sisa iman pun akan bertanya: Masih perlukah percaya? Pilihan paling masuk akal mungkin adalah berhenti berharap, menjauh dari doa, atau menghilang dari semua yang mengingatkan pada luka itu. Setiap kali mata terpejam, yang muncul adalah jerit orang-orang terkasih yang tak sempat diselamatkan.



Inilah titik ragu. Titik ketika iman diuji habis-habisan. Jika Tuhan itu baik, mengapa tragedi sekejam ini dibiarkan terjadi? Jika bencana adalah akibat kerakusan manusia yang merusak alam, mengapa orang-orang kecil seperti Ipranda yang harus menanggung akibatnya? Di mana keadilan Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan itu bukan tanda kurang iman, tetapi tanda luka yang belum sembuh.
Namun, titik ragu bukan hanya milik para korban bencana. Kitab Suci menunjukkan bahwa Yusuf pun pernah berdiri di tempat yang sama. Ia bermimpi membangun keluarga sederhana bersama Maria, perempuan yang ia cintai dan hormati. Tetapi semua itu runtuh ketika ia mengetahui Maria mengandung. Yusuf terkejut, terluka, dan bingung. Ia sudah menimbang segalanya dengan matang. Sekarang, masa depan itu terasa buyar.



Yusuf pun berada di titik ragu yang sangat dalam. Ia memikirkan jalan paling “aman”: menceraikan Maria secara diam-diam. Ia menimbang segala konsekuensi—bagi dirinya dan terutama bagi Maria. Dalam kebimbangannya, Yusuf tentu berdoa. Dan justru di saat hatinya kosong dan gelisah, suara Tuhan datang dalam mimpi: “Yusuf, anak Daud, janganlah takut mengambil Maria sebagai istrimu…” (Mat 1:20).
Menarik sekali: Tuhan tidak hadir ketika Yusuf sudah yakin, tetapi ketika ia ragu. Kekosongan dan kebimbangan justru menjadi ruang terbuka bagi Tuhan untuk berbicara. Keraguan bukan akhir segalanya, melainkan pintu masuk bagi kemungkinan yang lebih besar. Di saat manusia berhenti memaksakan jawaban, di situlah suara Tuhan bisa didengar lebih jernih.
Yusuf pun bangun dan memilih kasih, meski penuh risiko. Ia menerima Maria, menerima stigma sosial, salah paham, dan konsekuensi yang tidak ringan. Kasih yang dewasa memang jarang nyaman atau populer, tetapi berani menanggung risiko demi kebenaran. Yusuf tidak banyak bicara. Ia bertindak. Ketaatannya sederhana, tetapi berdampak besar bagi sejarah keselamatan.
Titik ragu seperti ini mungkin juga sedang kita alami. Apalagi di penghujung tahun, saat kita menoleh ke belakang dan menyadari bahwa ada persoalan hidup yang belum juga selesai. Keraguan terasa makin berat karena kita takut membawanya ke tahun yang baru.
Namun, apakah keraguan selalu negatif? Tidak. Keraguan Yusuf justru menjadi masa persiapan batin. Seperti tanah yang dibiarkan kosong agar kembali subur, kekosongan jiwa bisa menjadi ruang bagi benih harapan yang baru. Mimpi Yusuf lahir dari pergulatan batin yang jujur. Mimpi sering kali menjadi cermin dari ingatan, emosi, kecemasan, dan harapan kita yang belum selesai.
Karena itu, penting menjaga memori harian kita. Ketika kecemasan kita bungkus dengan harapan, ketika luka kita hadapi dengan keberanian untuk tetap mencintai, mimpi pun menjadi sumber inspirasi, bukan pelarian kosong. Dari sanalah lahir tindakan nyata.
Di tengah duka ribuan korban banjir bandang, kecemasan memang nyata. Namun solidaritas yang muncul di seluruh negeri memberi harapan baru. Barangkali inilah panggilan kita: membiarkan tragedi mengoreksi cara hidup kita, sekaligus menumbuhkan mimpi akan dunia yang lebih adil dan manusiawi.
Seperti Yusuf, kita diajak mengonversi niat baik menjadi tindakan nyata. Berani melangkah meski ragu. Bersyukur karena titik ragu ternyata bukan tanda ditinggalkan Tuhan, melainkan tempat di mana Ia justru hadir paling dekat. 🌱🙏
Robert Bala. Penulis buku MENGIRINGI KEMATIAN 73 Renungan untuk Ibadat Kedukaan Penerbit Ledalero. Prolog Uskup Malang Mgr Henricus Pidyarto O’Cam. Epilog Dr Markus Solo Kwuta, SVD








