• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Kamis, Desember 18, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Hukrim

Mengapa AKP Serfolus Tegu Berani Melawan Propam Polda NTT? (Catatan untuk Gerombolan Mafia Nagekeo (9)

by WartaNusantara
Desember 16, 2025
in Hukrim
0
Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong
0
SHARES
53
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

RelatedPosts

Pemkab Lembata dan Pengadilan Agama Lewoleba Teken Tiga Nota Kesepakatan Pelayanan Hukum Masyarakat

Pemkab Lembata dan Pengadilan Agama Lewoleba Teken Tiga Nota Kesepakatan Pelayanan Hukum Masyarakat

Hari Kesaktian Pancasila 2025 : Momentum Untuk Berefleksi dan Menegakkan Nilai Luhur Bangsa Indonesia

Tanah Ulayat : Episentrum Kehidupan Masyarakat Adat, Jaminan Keberlanjutan, dan Sumber Konflik Pascasertifikasi PTSL di Indonesia

Load More

Mengapa AKP Serfolus Tegu Berani Melawan Propam Polda NTT? (Catatan untuk Gerombolan Mafia Nagekeo (9)

 Oleh Steph Tupeng Witin

(Jurnalis, Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” dan Pendiri Oring Literasi Siloam)

WARTA-NUSANTARA.COM––  Luar biasa Ajun Komisaris Polisi (AKP) Serfolus Tegu. Merasa tidak bersalah, meski indikasi bersalah sangat kuat, ia menyewa pengacara untuk melawan Propam Polda NTT. Lewat pengacaranya, pemilik Kafe Coklat yang pernah menewaskan beberapa ladies dan anggota polisi itu menyatakan diri tidak bersalah. Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda NTT dinilai menyalahi prosedur dan mengada ada.

Lewat dua pengacara yang satu dari Jakarta: Tobbyas Ndiwa dan yang lainnya dari Nagekeo: Kosmas Jo Oko-Serfolus Tegu juga melaporkan saya dengan tuduhan memfitnah nama baiknya. Laporan pertama dialamatkan ke Polres Nagekeo. Tidak pernah ada tindak lanjut dari laporan itu kepada saya. Bahkan Serfolus Tegu dalam telepon kepada wartawan di Nagekeo pasca laporan itu menyatakan bahwa ia sengaja melaporkan saya agar bisa bertemu dan “omong baik-baik saja.” Saya tidak tahu apa makna “omong baik-baik saja.” Tapi ini pola yang polisi pakai selama ini di Nagekeo untuk meredam perlawanan rakyat dan membungkan suara kritis jurnalis. Menghadapi kritik publik tentang independensi Polres Nagekeo, Tegu bersama pengacar gondrong, Jo Oko mencabut kembali laporan itu. Pencabutan laporan itu pun diumumkan dengan seenaknya saja oleh pengacara gondrong, Kosmas Jo Oko melalui video pribadinya. Saya heran, di dataran bumi ini ada pengacara dengan level model Jo Oko ini: lapor sendiri lalu tarik sendiri laporan itu. Orang juga tidak tanya kenapa dia laporkan saya tapi dia omong sendiri persis orang kesurupan.

Atas kasus yang sama, kedua pengacaranya kemudian melaporkan saya ke Polda NTT. Kosmas Jo Oko umumkan di akun media sosialnya sekali lagi bahwa dia ke Polda NTT untuk melaporkan saya. Akun medsos pribadi itu yang selama ini ia gunakan untuk menghina saya. Bahkan pernah ia menggunggah tiktok menghina saya dengaan latar pot wc yang kotor. Pengacara ini tidak punya rasa kemanusiaan lagi. Menjijikkan, Dia pikir, hanya dia yang paling hebat di kampung Nagekeo. Heran, kenapa laporan ke polisi diumumkan ke publik melalui media sosial? Kosmas Jo Oko ini pengacara yang diduga sangat jauh bahkan terpencil dari profesioanlisme. Mungkin dia hanya membuat “laporan” kepada Tegu yang telah membayarnya sekadar menunjukkan bahwa ia telah berbuat sesuatu. Artinya, tidak ada bayaran gratis.

Tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik yang dialamatkan kepada saya seharusnya tidak ditempuh melalui jalur pidana, melainkan melalui mekanisme penyelesaian pers. Pihak yang merasa dirugikan cukup melaporkan ke Dewan Pers untuk mendapatkan penyesuaian dan penyelesaian yang adil dan lebih bermartabat. Namun, Tegu memilih jalur hukum pidana. Pengacara yang profesional mestinya paham jalur konstitusional itu. Tapi pengacara yang “maju tak gentar membela yang membayar” akan melakukan banyak hal yang kontrapoduktif sekadar memanggungkan dirinya dan membuat publik semakin muak dengan semua pencitraan itu.


Situasi menjadi semakin problematis karena kritik etik yang disampaikan melalui tulisan dibalas dengan laporan pidana. Secara formal, langkah itu mungkin saja sah secara hukum. Namun secara etik dan demokratis, tindakan tersebut patut dipersoalkan. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menegaskan bahwa kritik terhadap pejabat publik merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi, selama disampaikan untuk kepentingan umum. Saya mengkritik AKP Serfolus Tegu sebagai pejabat publik yang digaji uang rakyat demi membela orang-orang kecil di Redu, Gaja dan Isa bahkan orang Nagekeo yang diperlakukan tidak manusia dalam kurun waktu yang panjang. Ini fakta di lapangan, bukan tuduhan palsu sebagaimana digonggongkan para begundal mafia Nagekeo di media sosial. Menggunakan instrumen pidana untuk merespons kritik etik membuka ruang kriminalisasi pendapat, sesuatu yang justru bertentangan dengan semangat Polri Presisi yang mengaku humanis dan demokratis.

Serfolus Tegu adalah Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) di Polres Nagekeo. Tugas Kabag Ops di lingkungan Polri adalah merencanakan, mengendalikan, dan mengawasi seluruh kegiatan operasional kepolisian, termasuk administrasi operasi, pengamanan kegiatan masyarakat dan pemerintah, serta koordinasi kerja sama antarfungsi dan instansi terkait, sekaligus mengelola informasi dan dokumentasi Polres. Kabag Ops memastikan semua operasi berjalan efektif dan terkoordinasi di wilayah kerjanya di bawah Kapolres. Dengan penjelasan ini, kita dapat melihat bahwa tugas Tegu sangat penting dan strategis.

Saat ini, Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda NTT sedang memeriksa AKP Serfolus Tegu. Propam adalah divisi khusus dalam struktur Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang bertugas sebagai unsur pengawasan internal. Propam Polda membina profesi dan mengamankan internal Polri, menjaga disiplin, etika, serta integritas anggota, menangani pelanggaran disiplin, kode etik, dan pengaduan masyarakat terkait anggota Polri, serta menegakkan aturan internal kepolisian. Propam Polda merupakan perpanjangan tangan Divpropam Polri di tingkat daerah dan mencakup fungsi Provos (penegakan disiplin) serta Paminal (pengamanan internal).

Pemeriksaan terhadap Serfolus Tegu oleh Propam Polda NTT sejatinya bukan sekadar kisah tentang seorang perwira yang dipanggil untuk klarifikasi etik. Kasus polisi yang dipuja oleh para begundal komplotan mafia melalui media abal-abal milik jurnalis “mentah” yang berafiliasi dengan gerombolan mafia sebagai “pahlawan Waduk Lambo” itu telah berkembang menjadi cermin yang memantulkan kondisi paling rawan dalam tubuh negara hukum: ketika kekuasaan merasa terganggu oleh pengawasan, kritik dipersempit menjadi ancaman, dan mekanisme etik diperlakukan seolah musuh. Dalam konteks inilah, pemeriksaan Propam tidak lagi berdiri sebagai prosedur administratif biasa, melainkan sebagai ujian integritas institusional Polri di hadapan publik.

Di tengah tuntutan publik yang semakin tinggi terhadap profesionalisme dan akuntabilitas kepolisian, keberadaan Divisi Propam Polri bukan sekadar unit administratif internal, melainkan instrumen fundamental dalam menjaga martabat institusi. Propam hadir sebagai penjaga etika, disiplin, dan integritas anggota Polri, memastikan bahwa kewenangan besar aparat penegak hukum tidak menyimpang dari koridor hukum dan nilai moral negara hukum.

Tugas utama Propam adalah melakukan pengawasan internal terhadap perilaku dan kinerja anggota Polri, khususnya terkait dugaan pelanggaran disiplin, pelanggaran kode etik profesi, dan penyalahgunaan wewenang. Dalam konteks ini, Propam tidak bertindak sebagai “musuh” anggota Polri, melainkan sebagai mekanisme korektif internal agar institusi kepolisian tetap berada pada rel profesionalisme. Tanpa pengawasan internal yang kuat, kekuasaan represif yang dimiliki aparat berpotensi berubah menjadi alat kesewenang-wenangan dan gejala itu telah terlihat di Nagekeo dalam rentang waktu yang cukup panjang, sejak Yudha Pranata menjadi Kapolres Nagekeo. KH Destroyer adalah alat represif kekuasaan Yudha Pranata dan Serfolus Tegu. Organisasi dengan nama sangar ini harus dihentikan sepak terjangnya!

Propam berwenang melakukan pemeriksaan terhadap setiap anggota Polri yang dilaporkan masyarakat atau ditemukan secara internal memiliki indikasi pelanggaran. Pemeriksaan tersebut berfokus pada aspek etik dan disiplin profesi, bukan semata-mata pidana. Namun jika dalam proses pemeriksaan ditemukan unsur tindak pidana, Propam memiliki kewajiban moral dan institusional untuk merekomendasikan penanganan lebih lanjut melalui mekanisme peradilan pidana. Dengan demikian, Propam berfungsi sebagai pintu awal pemurnian institusi sebelum perkara memasuki ranah hukum yang lebih luas.

Lebih jauh, Propam juga menjalankan fungsi pembinaan profesi kepolisian. Penegakan kode etik bukan semata soal menghukum, tetapi juga mendidik dan mencegah. Sanksi yang dijatuhkan-mulai dari teguran, mutasi, demosi, penempatan khusus, hingga pemberhentian tidak dengan hormat merupakan instrumen untuk menegaskan standar moral profesi kepolisian. Pesan yang hendak disampaikan jelas: menjadi polisi bukan hanya soal kewenangan, tetapi juga tanggung jawab etik yang melekat seumur hidup profesi.

Dalam negara demokratis, kepercayaan publik terhadap kepolisian sangat ditentukan oleh sejauh mana Polri mampu membersihkan dirinya sendiri. Di sinilah peran Propam menjadi krusial. Setiap upaya melemahkan, mendiskreditkan, atau melawan proses pemeriksaan Propam sejatinya bukan hanya pembangkangan terhadap mekanisme internal, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap prinsip akuntabilitas publik. Polisi yang profesional seharusnya tunduk pada pemeriksaan etik sebagai bagian dari sumpah jabatannya. Dalam konteks ini, Tegu dengan bantuan dua pengacaranya itu menampilkan diri seolah berada di atas mekanisme etik. Tindakan ini tidak sekadar melukiskan kepongahan tanpa dasar dari kedua pengacara dan Serfolus Tegu tapi sebuah perlawanan irasional kepada institusi internal Polri sendiri. Ini sangat kacau, ngawur dan menjadi beban berat bagi Tegu.

Propam adalah cermin wajah Polri di mata masyarakat. Ketegasan Propam dalam menegakkan kode etik akan berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. Sebaliknya, pembiaran terhadap pelanggaran etik akan meruntuhkan wibawa hukum itu sendiri. Karena itu, memperkuat Propam bukanlah pilihan, melainkan keharusan konstitusional demi tegaknya hukum, keadilan, dan martabat Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.

Publik Nagekeo Dukung Langkah Propam
Kasus ini menjadi penting bukan karena nama AKP Serfolus Tegu semata, melainkan karena respons yang mengiringinya. Ketika pengawasan internal dibalas dengan serangan opini oleh pengacara, pelaporan pidana terhadap pengkritik, dan delegitimasi terbuka terhadap lembaga etik, maka yang dipertaruhkan bukan lagi reputasi individu, melainkan marwah hukum dan kepercayaan rakyat.

Di sinilah tulisan ini mengambil posisi: bukan sebagai pengadilan jalanan, tetapi sebagai seruan moral agar etika tidak dikalahkan oleh kekuasaan dan agar negara tidak tunduk pada rasa takut terhadap mafia (Nagekeo). Apalagi jika negara yang direpresentasi Propam harus tunduk bahkan “ditundukkan” pada dugaan aliran “banjir bandang” dari waduk Lambo meski saat ini waduk Lambo baru digenangi air mata orang-orang kecil yang ditindas dan dirampas hak-haknya oleh mafia.

Ada satu prinsip yang tidak pernah boleh dilanggar dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia: tidak ada satu pun anggota Polri yang berada di atas etika profesi. Prinsip ini bukan sekadar jargon moral yang indah di ruang kelas atau upacara, melainkan fondasi hukum dan institusional yang dijaga secara sadar oleh satu organ khusus di dalam Polri, yakni Bidang Profesi dan Pengamanan, Propam. Tanpa Propam, disiplin Polri kehilangan penyangga; tanpa keberanian Propam, etika Polri berubah menjadi slogan kosong.

Karena itu, ketika Propam NTT melakukan pemeriksaan terhadap AKP Serfolus Tegu, yang sesungguhnya sedang diuji bukan hanya seorang perwira menengah di sebuah kabupaten kecil, melainkan keberanian Polri itu sendiri untuk menegakkan etikanya tanpa takut pada tekanan kekuasaan, uang, relasi, atau jaringan mafia lokal yang selama ini kerap bersembunyi di balik seragam dan jabatan.

Namun yang terjadi setelah pemeriksaan itu justru menimbulkan pertanyaan publik yang serius. Pemeriksaan etik tidak direspons dengan sikap kooperatif sebagaimana diharapkan dari seorang aparat penegak hukum, melainkan dibalas dengan serangan opini, pelaporan pidana terhadap penulis kritik, serta upaya delegitimasi terbuka terhadap Propam sebagai lembaga pengawas internal. Pada titik inilah publik berhak bertanya dengan nada curiga namun sah: apakah ini masih pembelaan hukum yang wajar, atau sudah berubah menjadi perlawanan terhadap sistem pengawasan internal Polri? Bukankan AKP Serfolus Teguh adalah polisi aktif di Polres Nagekeo? Mengapa dua pengacara yang disewa Tegu ini begitu lancang membela kliennya dengan mendegradasi Propam Polda NTT yang merupakan pengawas internal bagi setiap angota polisi yang aktif? Bukankah tindakan dua pengacara yang disewa Tegu itu semakin memurukkan kondisi Tegu di hadapan institusi Propam Polda NTT?  Fakta memalukan ini harus menjadi catatan tersendiri bagi Propam Polda NTT bahwa seorang anggota polisi aktif bisa menyerang institusi Propam Polda NTT melalui dua pengacaranya! Publik juga berhak mengingatkan pengacara agar jangan bertingkah “berlebihan” dengan berlindung di balik jubah pengacara. Ada tataran etika profesi yang mesti diperhatikan agar tidak terkesan semborono dan ngawur.

Dalam struktur organisasi Polri, Propam bukanlah lembaga pilihan yang boleh dihadapi secara selektif. Ia adalah unsur pengawas internal yang wajib dihormati dan ditaati oleh setiap anggota Polri tanpa kecuali, dari bintara hingga perwira tinggi. Kewenangan ini bukan lahir dari kehendak subjektif, melainkan ditegaskan secara normatif dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menegaskan bahwa tugas Polri dalam menegakkan hukum harus dijalankan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Prinsip ini tidak mungkin ditegakkan tanpa mekanisme etik yang efektif.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Polri bahkan secara tegas mewajibkan setiap anggota bersikap patuh, kooperatif, dan tidak menghalangi pemeriksaan. Sementara itu, Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri menegaskan bahwa pelanggaran etik tidak harus menunggu adanya putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap.

Pakar hukum pidana dan hukum kepolisian, Prof. Dr. Chairul Huda, pernah menegaskan bahwa etika profesi polisi bekerja lebih luas dan lebih awal daripada hukum pidana. Seorang polisi bisa saja tidak terbukti secara pidana, tetapi tetap dinyatakan melanggar etik karena perilakunya merusak kepercayaan publik atau menyalahgunakan kewenangan. Dengan kata lain, dalih bahwa Propam tidak boleh memeriksa sebelum ada putusan pengadilan pidana adalah keliru, baik secara doktrinal maupun secara institusional.

Dalam praktik penegakan etik Polri, terdapat satu prinsip penting yang sering diabaikan oleh para pembela kekuasaan: etika tidak bekerja semata-mata pada satu peristiwa pidana yang terisolasi, melainkan pada akumulasi perilaku dan persepsi publik yang rasional. Etika berbicara tentang watak kekuasaan dan pola tindakan, bukan sekadar soal terbukti atau tidak terbukti secara pidana. Karena itulah, berbagai dugaan yang mengitari AKP Serfolus Tegu, mulai dari kasus kematian di Kafe Coklat, dugaan penipuan terhadap orang tua calon polisi dengan nilai ratusan juta rupiah, kekerasan berupa ancaman terhadap aktivis PMKRI Kupang hingga isu mafia tanah Waduk Lambo, galian C, dan distribusi BBM subsidi, menjadi relevan secara etik, meskipun belum semuanya diputus oleh pengadilan. Semua kasus yang menjerat Serfolus Tegu itu telah diuraikan dalam serial tulisan saya di bawah tema besar: dugaan praktik mafia Nagekeo khususnya waduk Lambo. Hanya orang yang tidak membaca seluruh serial tulisan saya secara utuh yang mudah jatuh dalam tuduhan prematur bahwa saya memfitnah pribadi. Tuduhan tanpa dasar ini hanya muncul dari orang-orang yang sudah terkapar tak berdaya dalam membangun argumentasi dalam polemik rasional. Orang yang sudah kalah biasanya cenderung melarikan diri ke serangan “ad hominem.” Sekadar pemuas dahaga kepanikan. Orang model ini dibiarkan saja menggelepar dalam sumurnya sendiri.

Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, pernah menyatakan bahwa dalam negara hukum modern, pejabat publik justru harus diperiksa lebih ketat secara etik karena kewenangan mereka berdampak langsung pada hak dan keselamatan warga negara. Maka pemeriksaan Propam dalam konteks ini bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan perintah moral dan konstitusional untuk menjaga kepercayaan rakyat terhadap institusi kepolisian.

Tegu Tidak Kebal Hukum
Dalam konteks inilah, kasus AKP Serfolus Tegu perlu dibaca secara lebih jernih dan struktural. Yang menjadi persoalan utama bukan sekadar adanya dugaan atau isu tentang “bekingan orang kuat”, melainkan fakta sosial bahwa rasa percaya diri terhadap perlindungan kekuasaan itu telah hadir secara terbuka dalam respons dan sikap yang ditunjukkan.

Dalam kajian sosiologi hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber dan dikembangkan dalam studi birokrasi modern, yang menentukan perilaku aparat bukan hanya kekuasaan nyata, tetapi juga keyakinan subjektif bahwa kekuasaan itu ada dan dapat diakses. Dengan kata lain, sekalipun klaim kedekatan dengan figur kuat tidak diuji secara hukum, keberadaannya sebagai working belief sudah cukup untuk memengaruhi cara seorang aparat memandang pengawasan etik.

Dalam studi tentang etika institusi penegak hukum, para akademisi seperti Tom Tyler dan Philip Zimbardo menekankan bahwa kepatuhan terhadap aturan tidak hanya ditentukan oleh sanksi formal, tetapi oleh persepsi legitimasi otoritas pengawas. Ketika seorang aparat menunjukkan sikap seolah pemeriksaan Propam dapat dinegosiasikan, diperdebatkan secara terbuka, atau dilawan melalui tekanan opini, maka itu menandakan adanya erosi legitimasi Propam di mata yang bersangkutan.

Dalam konteks AKP Serfolus Tegu, sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari keyakinan yang telah menjadi pengetahuan publik, bahwa dirinya merasa memiliki dukungan atau jejaring kekuasaan di luar struktur lokal. Apalagi dalam kasus dugaan mafia Nagekeo, Tegu selalu mencatut dan membawa nama-nama itu. Meski kemudian dibantah tapi jejak di ruang publik tidak mudah dihapus oleh sebuah bantahan dalam jumpa pers bertubi-tubi pun. Sekali lagi, yang dianalisis di sini bukan kebenaran faktual dari klaim tersebut, melainkan dampaknya terhadap etika institusi.

Dari sudut pandang reformasi Polri, kondisi ini justru memperjelas bahaya sense of impunity yang selama ini ingin diputus. Literatur reformasi kepolisian di berbagai negara pasca otoritarian-termasuk pengalaman Amerika Latin dan Eropa Timur menunjukkan bahwa reformasi sering gagal bukan karena kurangnya aturan, melainkan karena aparat menengah merasa lebih loyal pada jaringan informal ketimbang pada mekanisme pengawasan formal. Ketika loyalitas semacam ini tumbuh, Propam tidak lagi dipandang sebagai representasi negara, tetapi sebagai rintangan administratif yang bisa ditekan atau dinegosiasikan.

Karena itu, membaca kasus Serfolus Tegu semata sebagai konflik personal atau salah paham prosedural justru menyederhanakan persoalan. Yang sedang dipertaruhkan adalah pesan institusional: apakah keyakinan akan “orang kuat di belakang” benar atau tidak masih efektif melumpuhkan pengawasan etik. Jika iya, maka reformasi Polri menghadapi tantangan serius di tingkat operasional. Namun jika Propam tetap bekerja tanpa kompromi, maka satu pesan penting akan lahir: dalam Polri yang sedang direformasi, klaim kedekatan kekuasaan tidak lagi relevan di hadapan etika.

Dalam konteks inilah, keberanian AKP Serfolus Tegu merespons pemeriksaan Propam secara konfrontatif semakin sulit dipahami sebagai sekadar pembelaan prosedural. Sebab, sebagaimana ditegaskan Pengacara Nasional Petrus Bala Pattyona, pemeriksaan oleh Direktorat Propam bukanlah tindakan sewenang-wenang, melainkan mandat institusional untuk menegakkan disiplin, menjaga etika, dan memastikan profesionalisme serta integritas anggota Polri.

Pemeriksaan Propam justru bertujuan mencegah penyimpangan yang lebih jauh, meningkatkan kepercayaan publik, dan melindungi institusi dari kerusakan moral. Ketika seorang anggota sudah dimintai keterangan, itu menandakan bahwa Propam telah bekerja secara serius: meminta keterangan saksi, mengumpulkan alat bukti, bahkan dalam banyak kasus merekomendasikan mutasi, pembebasan jabatan, atau penempatan khusus demi mencegah intimidasi terhadap saksi dan menjaga objektivitas pemeriksaan. Semua ini berlandaskan Undang-Undang Kepolisian dan Peraturan Kapolri, dengan rentang sanksi yang jelas dari teguran hingga PTDH.

Karena itu, membaca pemeriksaan Propam Polda NTT sebagai bentuk kriminalisasi atau tindakan tidak sah justru menunjukkan kegagalan memahami fungsi dasar pengawasan internal. Lebih jauh, respons defensif yang disertai serangan opini terhadap Propam hanya memperkuat kesan adanya sense of impunity, rasa kebal terhadap mekanisme etik yang selama ini menjadi penyakit laten dalam tubuh lembaga penegak hukum. Dalam perspektif etika institusi, bukan penting apakah seseorang benar-benar memiliki bekingan orang kuat, melainkan bahwa keyakinan akan perlindungan kekuasaan itu telah hidup dan memengaruhi sikap terhadap pengawasan.

Pandangan serupa ditegaskan oleh Dr. Edi Hardum, Dosen dan Pengacara Nasional di Jakarta, yang mengingatkan bahwa Polri adalah bagian dari cabang eksekutif negara hukum. Ketika kinerja pejabat negara termasuk pejabat Polri dikritik masyarakat, kritik tersebut merupakan hak konstitusional warga negara. Dalam negara hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, kritik yang disampaikan untuk kepentingan publik tidak dapat dipidana. Pers, sebagai pilar keempat demokrasi, dan media sosial sebagai kekuatan kelima di era industri 4.0, justru berfungsi mengawasi agar negara tidak menyimpang dari mandatnya.

Karena itu, Dr. Edi Hardum mengkritik keras sikap advokat yang “latah” membela pejabat negara yang sedang dikritik publik. Menurutnya, pejabat negara yang dikritik karena kinerjanya tidak semestinya berlindung di balik penasihat hukum swasta, melainkan menjawab secara institusional melalui mekanisme internal atau humas lembaga. Kritik publik ditujukan pada jabatan dan fungsi negara, bukan pada pribadi. Ketika kritik jabatan dijawab dengan pendekatan pidana dan advokasi personal, yang muncul justru kesan penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakdewasaan demokratis.

Dengan demikian, dalam kasus AKP Serfolus Tegu, persoalan utamanya bukan semata apakah tuduhan-tuduhan itu benar atau tidak, karena itu adalah ranah pemeriksaan etik dan hukum. Persoalan yang lebih mendasar adalah sikap terhadap pengawasan. Ketika Propam dijawab dengan perlawanan, kritik publik dibalas dengan laporan pidana, dan advokat tampil agresif membela pejabat negara yang sedang diperiksa etik, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nasib satu perwira, melainkan arah reformasi Polri itu sendiri: apakah Polri berdiri bersama etika dan rakyat, atau justru memberi ruang bagi rasa kebal yang merusak negara hukum dari dalam.

Para pengacara AKP Serfolus Tegu menyerang Propam dan menuding pemeriksaan Propam terhadap klien mereka tidak sesuai SOP, berbasis opini, dan tidak sah. Pada titik inilah garis etik dilampaui. Peraturan disiplin Polri secara tegas melarang setiap anggota melakukan perbuatan yang dapat menghambat proses penegakan disiplin. Menghambat tidak selalu berarti menghalangi secara fisik. Delegitimasi terhadap Propam di ruang publik, tekanan opini melalui media, serta pembangunan narasi bahwa Propam bertindak sewenang-wenang dapat dikualifikasikan sebagai bentuk penghambatan non-fisik terhadap mekanisme pengawasan internal.

Pakar hukum tata negara dan administrasi negara, Prof. Yusril Ihza Mahendra, pernah mengingatkan bahwa jika mekanisme pengawasan internal dilemahkan melalui tekanan opini atau kekuasaan, maka yang runtuh bukan hanya satu institusi, melainkan sendi negara hukum itu sendiri. Dengan demikian, jika benar terdapat upaya sistematis untuk melemahkan Propam, maka tindakan tersebut tidak lagi sekadar pembelaan hukum, melainkan berpotensi menjadi pelanggaran etik baru yang lebih serius. Hal ini mesti dipahami pengacara itu!

Perlu ditegaskan secara jujur dan proporsional bahwa setiap anggota Polri memang berhak didampingi pengacara, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri tentang Bantuan Hukum di Lingkungan Polri. Namun hak pendampingan hukum bukanlah lisensi untuk menyerang atau mendelegitimasi lembaga pengawas. Dalam praktik sidang Kode Etik Profesi Polri, sikap kooperatif justru sering menjadi faktor yang meringankan. Sebaliknya, sikap konfrontatif terhadap Propam kerap dipandang sebagai indikator ketidakpatuhan etik. Seorang mantan anggota Kompolnas pernah menyatakan bahwa Propam bukan musuh polisi, melainkan alat negara untuk menyelamatkan Polri dari kehancuran moral.

Di balik semua dinamika hukum dan opini ini, terdapat fakta sosial yang tidak boleh diabaikan: publik Nagekeo telah lama lelah dan muak. Tokoh masyarakat setempat menyatakan bahwa orang kecil selalu kalah sementara yang kuat selalu selamat. Karena itu, ketika Propam turun tangan, turun ke Nagekeo bertemu dan berbicara dengan korban di Redu, Isa dan Gaja, bagi masyarakat, itu bukan sekadar prosedur internal, melainkan harapan terakhir bahwa negara masih hadir. Aktivis masyarakat sipil bahkan menegaskan bahwa persoalan ini bukan lagi soal satu perwira, melainkan soal pilihan Polri: berdiri bersama rakyat atau berdiri bersama mafia.

Pada akhirnya, kasus AKP Serfolus Tegu telah menjelma menjadi pertarungan terbuka antara etika dan kekuasaan, antara pengawasan internal dan jaringan kepentingan gelap. Jika Propam mundur, pesan yang sampai ke publik akan sangat jelas: Polri kalah oleh mafia. Namun jika Propam berdiri tegak-profesional, independen, dan berani-maka pesan yang lahir juga tegas dan bermartabat: tidak ada anggota Polri yang kebal etik, dan negara tidak tunduk pada tekanan bahkan dari mafia sekalipun seperti kasus dugaan mafia waduk Lambo.

Maka pertanyaannya kini bukan lagi sekadar apakah AKP Serfolus Tegu melawan Propam. Pertanyaan yang jauh lebih mendasar adalah: apakah Polri masih berani melawan mafia, baik yang bersembunyi di luar maupun yang berdiam di dalam tubuhnya sendiri?

Penegasan Kapolri
Sejak awal masa jabatannya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo berulangkali menegaskan bahwa reformasi Polri tidak mungkin berhasil tanpa disiplin internal yang tegas dan kepatuhan penuh terhadap mekanisme pengawasan. Dalam berbagai forum resmi mulai dari Rapim Polri, apel Kasatwil, hingga pernyataan terbuka kepada media Kapolri menekankan bahwa tidak ada ruang kompromi bagi anggota Polri yang melanggar etik dan disiplin.

Dalam salah satu pernyataan yang paling sering dikutip, Jenderal Sigit menegaskan bahwa “siapa pun yang melanggar hukum dan kode etik akan ditindak tanpa pandang bulu”. Ia secara eksplisit menyatakan bahwa jabatan, pangkat, kedekatan, maupun prestasi masa lalu tidak boleh menjadi tameng untuk menghindari pemeriksaan Propam dan sidang Kode Etik Profesi Polri. Bahkan, Kapolri pernah menyatakan bahwa anggota Polri yang tidak siap diawasi lebih baik tidak berada di dalam institusi.

Pesan ini bukan sekadar retorika kepemimpinan. Ia menjadi fondasi dari agenda besar yang disebut Kapolri sebagai transformasi menuju Polri yang Presisi-prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Dalam kerangka Presisi, Propam justru ditempatkan sebagai pilar utama reformasi internal, bukan sebagai lembaga pelengkap. Kapolri berulang kali menegaskan bahwa Propam harus kuat, independen, dan tidak boleh diintervensi, karena tanpa Propam yang berwibawa, Polri akan kehilangan kepercayaan publik.

Dalam konteks inilah, kasus AKP Serfolus Tegu harus dibaca. Pemeriksaan Propam Polda NTT terhadap Tegu sejatinya sejalan sepenuhnya dengan garis kebijakan Kapolri. Propam menjalankan fungsi yang secara terbuka didorong oleh pimpinan tertinggi Polri: menindaklanjuti laporan masyarakat, menjaga marwah institusi, dan memastikan bahwa perilaku anggota tidak menyimpang dari nilai-nilai etik.

Namun persoalan muncul bukan pada pemeriksaannya, melainkan pada respons terhadap pemeriksaan itu sendiri. Ketika proses etik dibalas dengan narasi perlawanan, tudingan terhadap Propam, serta upaya menyeret kritik publik ke ranah pidana, maka sikap tersebut justru bertolak belakang dengan semangat reformasi Polri yang dicanangkan Kapolri. Dalam banyak kesempatan, Jenderal Sigit menekankan bahwa kritik adalah vitamin bagi Polri, bukan ancaman. Ia bahkan meminta jajarannya untuk tidak alergi terhadap kritik, selama kritik itu disampaikan untuk kepentingan perbaikan institusi.

Dari perspektif reformasi Polri, kasus Tegu bukan lagi soal benar atau salah secara individual, melainkan soal apakah agenda transformasi benar-benar hidup di tingkat daerah. Reformasi Polri tidak diukur dari pidato Kapolri di Jakarta, melainkan dari bagaimana Propam bekerja di Nagekeo, bagaimana perwira menanggapi pemeriksaan, dan bagaimana kritik publik diperlakukan. Jika di tingkat lokal pemeriksaan etik dipersepsikan sebagai ancaman, maka reformasi berhenti sebagai slogan.

Lebih jauh, Kapolri juga berkali kali menyampaikan bahwa anggota Polri harus siap kehilangan jabatan bahkan karier jika terbukti melanggar etik berat, demi menyelamatkan institusi secara keseluruhan. Dalam beberapa kasus nasional, Kapolri tidak ragu menyetujui PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) terhadap perwira, justru untuk menunjukkan bahwa Polri serius membersihkan diri. Dalam terang ini, setiap upaya melemahkan Propam atau membangun narasi bahwa pemeriksaan etik adalah kriminalisasi justru bertentangan langsung dengan arah kebijakan Kapolri sendiri.

Karena itu, jika kasus AKP Serfolus Tegu diletakkan dalam bingkai reformasi Polri, maka persoalan utamanya bukan pada keberanian Propam memeriksa, melainkan pada kesediaan anggota Polri untuk tunduk pada disiplin yang sama-sama mereka sumpahkan. Reformasi Polri menuntut satu hal mendasar: keberanian institusi untuk menegakkan etika, dan kerendahan hati anggota untuk diawasi.

Dengan kata lain, kasus Tegu adalah tes lapangan reformasi Polri. Jika Propam dibiarkan bekerja tanpa intimidasi dan delegitimasi, maka pesan Kapolri sampai ke akar rumput. Namun jika Propam dilemahkan oleh tekanan opini dan kekuasaan lokal, maka reformasi Polri akan berhenti sebagai wacana elite: kuat di pusat, rapuh di daerah.

Propam: Simbol Keberanian Institusi Polri

Pada akhirnya, perkara AKP Serfolus Tegu telah melampaui batas kasus personal. Ia telah berubah menjadi panggung terbuka tempat publik menyaksikan apakah Polri masih memegang kendali atas dirinya sendiri, atau justru terseret oleh kepentingan, relasi, dan kekuasaan gelap yang selama ini bersembunyi di balik prosedur hukum. Di titik ini, etika tidak lagi bersifat abstrak; ia hadir konkret sebagai pilihan yang harus diambil.

Propam, dalam konteks ini, bukan sekadar unit internal yang menjalankan SOP. Ia adalah simbol keberanian institusi untuk membersihkan diri. Ketika Propam bekerja secara profesional, independen, dan konsisten, sesungguhnya ia sedang menyelamatkan Polri dari keruntuhan moral yang jauh lebih berbahaya daripada kritik tajam atau opini keras. Sebaliknya, ketika Propam dilemahkan, yang runtuh bukan hanya satu mekanisme pengawasan, melainkan kepercayaan rakyat terhadap negara hukum.

Penggunaan instrumen pidana untuk merespons kritik etik juga patut direnungkan secara jujur. Negara demokratis tidak dibangun dengan membungkam suara, melainkan dengan membuka ruang koreksi. Kritik terhadap pejabat publik terlebih aparat bersenjata bukan ancaman bagi negara, melainkan alarm agar kekuasaan tidak kehilangan arah. Ketika kritik dianggap kriminal, maka yang sesungguhnya sedang sakit bukan pengkritiknya, melainkan sistem kekuasaan itu sendiri.

Polres Nagekeo telah sekian lama merendam dirinya sejak Yudha Pranata menjadi Kapolres Nagekeo. Kritik publik dan jurnalis selalu dijawab dengan teror dengan menjadikan institusi Polres Nagekeo sebagai alat terornya. Ini fakta yang sangat serius di Polres Nagekeo yang tidak boleh lagi dibiarkan merajalela. Banyak juga anggota Polres Nagekeo yang sangat tertekan dengan penguasaan institusi negara ini oleh segelintir orang yang merasa sangat berkuasa, khususnya AKP Serfolus Tegu ini. Polres Nagekeo milik negara, bukan milik satu dua orang! Apalagi milik gerombolan mafia sehingga seolah memberi “karpet merah” kepada KH Destroyer untuk mengabadikan kekerasan dan kejahatan di Nagekeo.

Bagi masyarakat Nagekeo dan banyak wilayah lain di Indonesia, kehadiran Propam sering dipandang sebagai harapan terakhir. Harapan bahwa hukum tidak selalu berpihak pada yang kuat. Harapan bahwa seragam tidak menjadi tameng bagi penyalahgunaan kewenangan. Harapan bahwa negara masih memiliki keberanian untuk berdiri di sisi warga, bukan di sisi jaringan gelap yang menggerogoti keadilan dari dalam.

Karena itu, pertanyaan pamungkas dari kasus ini bukanlah apakah AKP Serfolus Tegu bersalah atau tidak karena itu adalah wilayah pemeriksaan etik dan hukum di Propam Polda NTT.  Kita sangat mendukung Propam Polda NTT mengambil sikap yang proporsional, benar dan adil sesuai fakta. Pertanyaan yang jauh lebih mendasar adalah apakah Polri masih berani menjaga martabatnya sendiri? Jika Propam berdiri tegak, Polri masih punya masa depan. Jika Propam dikalahkan, maka bukan hanya etika yang tumbang, melainkan negara hukum yang perlahan kehilangan nyawanya. ***

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Pemkab Lembata dan Pengadilan Agama Lewoleba Teken Tiga Nota Kesepakatan Pelayanan Hukum Masyarakat
Hukrim

Pemkab Lembata dan Pengadilan Agama Lewoleba Teken Tiga Nota Kesepakatan Pelayanan Hukum Masyarakat

Pemkab Lembata dan Pengadilan Agama Lewoleba Teken Tiga Nota Kesepakatan Pelayanan Hukum Masyarakat LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM--  Senin,16 Desember 2025 —...

Read more
Hari Kesaktian Pancasila 2025 : Momentum Untuk Berefleksi dan Menegakkan Nilai Luhur Bangsa Indonesia

Tanah Ulayat : Episentrum Kehidupan Masyarakat Adat, Jaminan Keberlanjutan, dan Sumber Konflik Pascasertifikasi PTSL di Indonesia

Padma Indonesia Dukung Forja Ngada Kembalikan Harkat dan Martabat Pers

Ketua Kompak Indonesia Minta Kapolda NTT Wajib Turun Tangan Berantas Jaringan Rokok Ilegal di NTT

Gubernur NTT Ajak Masyarakat NTT Gemar Menanam

Suku Sidhe Layangkan Somasi ke Kapolres Ngada: “Polisi Jangan Jadi Mafia Tanah!”

Abdul Kadir Yunus Laporkan Advokat Rikha Permatasari ke Polda NTT, Kuasa Hukum: Diduga Intimidasi dan Masuki Pekarangan Tanpa Izin

Abdul Kadir Yunus Laporkan Advokat Rikha Permatasari ke Polda NTT, Kuasa Hukum: Diduga Intimidasi dan Masuki Pekarangan Tanpa Izin

Akhmad Bumi Bantah Jika Kematian Prada Lucky Karena Kelalain Rumah Sakit

Akhmad Bumi Bantah Jika Kematian Prada Lucky Karena Kelalain Rumah Sakit

Load More
Next Post
Bupati dan Wakil Bupati Lembata Audiensi dengan Tim Surveyor KKP dan Mahasiswa IPB Terkait Kampung Nelayan Merah Putih

Bupati dan Wakil Bupati Lembata Audiensi dengan Tim Surveyor KKP dan Mahasiswa IPB Terkait Kampung Nelayan Merah Putih

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In