DPRD Ende dan Demokrasi yang Tersinggung (Ketika Wakil Rakyat Lupa Mendengar)
Oleh Richardus Beda Toulwala, S. Fil., M. Si
Dosen STPM St. Ursula – Ende
ENDE : WARTA-NUSANTARA.COM– Rapat Paripurna Interpelasi DPRD Ende yang digelar pada Rabu siang, 17 Desember 2025, dihadiri langsung oleh Bupati Ende Yosep Badeoda bersama jajaran pemerintah daerah, berubah ricuh ketika interupsi saling bersahutan dan suara meninggi di ruang sidang. Pertanyaan anggota DPRD yang belum tuntas disampaikan terpotong silang pendapat antarfraksi, hingga pimpinan sidang kehilangan kendali atas jalannya forum. Dalam hitungan menit, ruang parlemen Ende bergeser dari arena dialog resmi menjadi panggung konflik terbuka.
Rapat Paripurna Interpelasi DPRD Ende (17/12/2025) bukan sekadar kisruh prosedural. Kisruh itu adalah cermin dan cermin itu retak. Yang terpantul bukan semata perdebatan antarwakil rakyat dan kepala daerah, melainkan krisis etika dalam mengelola kekuasaan.




Interpelasi dalam teori demokrasi adalah instrumen akuntabilitas. Interplasi bukan arena adu suara, apalagi panggung adu emosi supaya ‘makan puji’. Dalam bahasa Hannah Arendt, ruang politik seharusnya menjadi space of appearance, tempat gagasan diuji melalui kata, bukan melalui gestur kemarahan. Ketika kata gagal mengendalikan emosi, yang runtuh bukan hanya tata sidang, tetapi martabat institusi.



Demokrasi di dalam gedung DPRD Ende bukan sedang berbeda pendapat, melainkan sedang tersinggung karena ia diperlakukan tanpa adab. Ruang parlemen yang seharusnya menjadi  SAO POTU MBE’O TAU NGGUA MA’U bagi akal sehat justru berubah menjadi arena saling potong suara, emosi, dan ego. Ketika interupsi lebih dihargai daripada argumen, dan suara keras dianggap lebih sah daripada nalar, demokrasi kehilangan muka di hadapan rakyat Ende. Ini bukan soal siapa benar atau salah, tetapi soal kegagalan kolektif menjaga tata cara, tata krama, dan martabat forum. Dalam situasi seperti itu demokrasi tidak mati tetapi ia dipermalukan oleh para wakilnya sendiri.


Pertanyaan kritis terhadap Peraturan Kepala Daerah adalah hal yang sah. Bahkan itu inti dari fungsi pengawasan legislatif. Namun cara pertanyaan dipotong, disela, dan diperebutkan menunjukkan bahwa sebagian aktor politik kita masih memandang kekuasaan sebagai hak untuk bersuara paling keras, bukan kewajiban untuk mendengar paling saksama. Yah, otot kerja lebih maksimal dari akal. Di titik inilah politik berubah dari deliberasi menjadi dominasi.


Di sisi lain reaksi emosional termasuk gestur memukul meja menandai kegagalan yang lain, yaitu kegagalan mengelola perbedaan secara dewasa. Max Weber pernah mengingatkan bahwa politik menuntut ethic of responsibility, bukan sekadar ethic of conviction. Kemarahan mungkin lahir dari rasa tidak dihormati, tetapi tanggung jawab menuntut agar emosi tidak menguasai akal.
Keputusan Bupati Ende meninggalkan ruang sidang juga patut dibaca secara jernih. Ia bisa dipahami sebagai upaya meredam eskalasi konflik. Namun dalam perspektif simbolik, peristiwa itu menyampaikan pesan yang tidak sederhana. Ketika ruang formal demokrasi tak lagi mampu menjamin rasionalitas, maka kekuasaan memilih menarik diri. Ini bukan kemenangan siapa pun. Ini alarm bagi semua.
Yang paling dirugikan dari kisruh ini bukan eksekutif, bukan legislatif, melainkan publik. Masyarakat Ende menyaksikan wakil-wakilnya gagal menjaga etika dialog, padahal merekalah yang seharusnya menjadi teladan dalam mengelola perbedaan. Demokrasi lokal tidak runtuh karena perbedaan pendapat, tetapi karena ketidakmampuan merawat perbedaan itu dengan adab.
Saat ini Ende tidak kekurangan regulasi. Yang mulai langka justru kebijaksanaan dalam berpolitik. Kita memerlukan lebih banyak argumen, bukan interupsi, lebih banyak mendengar, bukan meninggikan suara, lebih banyak etika, bukan ego.
Paripurna yang ricuh hari ini semestinya menjadi titik refleksi dan bukan sekedar berita harian. Sebab ketika lembaga terhormat kehilangan wibawa di hadapan rakyatnya sendiri, yang retak bukan hanya prosedur politik, tetapi kepercayaan publik. Dan itu jauh lebih sulit diperbaiki. Salam akal sehat. ***
Richardus Beda Toulwala, S. Fil., M. Si. Penulis adalah Dosen STPM St. Ursula – Ende





