Tanah Ulayat : Episentrum Kehidupan Masyarakat Adat, Jaminan Keberlanjutan, dan Sumber Konflik Pascasertifikasi PTSL di Indonesia
Oleh Domitius Pau, S.Sos., M.A
Dosen Program Studi Ilmu Sosiatri Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula, Pemerhati Masalah Sosial dan Peneliti Masyarakat Adat
Pengantar
WARTA-NUSANTARA.COM–Â Tanah ulayat, dalam konteks masyarakat adat di Indonesia, jauh melampaui definisi sebidang properti fisik. Ia adalah episentrum kehidupan, tempat bersemayamnya leluhur, dapur kedaulatan pangan, sekolah kearifan lokal, dan pondasi kokoh yang menopang seluruh struktur sosial serta spiritual komunitas. Kepemilikan yang bersifat komunal ini adalah modal kultural dan ekonomi yang tak ternilai harganya, sebuah sistem yang telah teruji dalam menjamin keberlanjutan dan ketahanan budaya masyarakat adat selama berabad-abad. Masyarakat adat memperoleh jati dirinya melalui hubungan yang sakral dan abadi dengan tanah ulayat, ketika tanah itu terancam, maka sesungguhnya yang terancam adalah keutuhan identitas dan peradaban mereka sendiri. Namun, selama beberapa dekade terakhir, ironi tragis terus membayangi entitas vital ini, yang seharusnya dilindungi sebagai warisan bangsa, justru menjadi objek sengketa yang tak berkesudahan, sumber perpecahan, obyek manipulasi, dan bahkan pemicu pertumpahan darah. Dorongan pembangunan dan legalisasi formal seringkali berbenturan secara destruktif dengan sistem kepemilikan adat, menciptakan jurang konflik yang semakin dalam.




Filosofi Tanah Ulayat sebagai Modal Keberlanjutan
Menurut Ter Haar, tanah ulayat atau beschikkingsrecht memiliki peran sentral sebagai fondasi eksistensi dan identitas masyarakat adat yang menyatukan dimensi material, sosial, dan magis-religius. Secara substansial, tanah ulayat berfungsi sebagai sumber kedaulatan wilayah yang menjamin kesejahteraan anggota persekutuan melalui hak memungut hasil, sekaligus berperan sebagai pengatur keseimbangan antara kepentingan publik dan individu melalui “teori balon”—di mana hak ulayat akan menguat untuk melindungi lahan dari pihak luar dan melonggar saat warga lokal mengelola tanah secara intensif. Ter Haar memandang tanah ulayat sebagai instrumen hukum untuk menjaga tatanan sosial dan hubungan spiritual dengan leluhur, sehingga keberadaannya menjadi syarat mutlak bagi keberlanjutan dan keberlangsungan hidup dan otonomi suatu masyarakat adat.



Filosofi kepemilikan komunal dalam tanah ulayat merupakan antitesis dari individualisme kepemilikan modern. Tanah ulayat dikelola berdasarkan prinsip keseimbangan ekologis dan keadilan sosial. Ia bukan sekadar alat akumulasi kekayaan, melainkan sumber daya kolektif yang harus dijaga untuk generasi mendatang. Sistem ini menjamin bahwa setiap anggota komunitas adat memiliki akses yang adil terhadap sumber daya alam, meminimalkan kesenjangan ekonomi, dan memastikan bahwa tidak ada anggota yang teralienasi dari hak dasarnya untuk hidup. Fungsi tanah ulayat sebagai jaminan ketahanan budaya sangat krusial, dimana ritual adat, sistem pertanian, hingga praktik pengelolaan hutan lestari semuanya terinternalisasi dan bergantung pada integritas wilayah ulayat. Oleh karena itu, mempertahankan tanah ulayat sama artinya dengan mempertahankan kehidupan komunitas  dan mata rantai budaya yang tak boleh putus. Ketika tanah ini beralih fungsi menjadi milik perorangan atau korporasi, kearifan lokal yang terikat padanya akan tercabut dari akarnya dan meninggalkan masyarakat adat dalam kekosongan kultural dan kemiskinan struktural.


Mekanisme Konflik: Pengalihfungsian dan Kehilangan Jati Diri
Sengketa tanah ulayat umumnya dipicu oleh upaya sistematis dari pihak-pihak tertentu, mulai dari investor, spekulan tanah, hingga oknum aparat negara yang beroperasi di dalam dan luar komunitas untuk mengalihfungsikan kepemilikan komunal menjadi kepemilikan individual. Upaya tersebut seringkali melalui instrumen legal formal yang mengabaikan hak-hak historis adat. Dampak dari proses pengalihan  ini sangat destruktif. Pertama, terjadi disintegrasi sosial, di mana nilai-nilai kolektivisme digantikan oleh persaingan individualistik dan memicu perpecahan di dalam komunitas itu sendiri. Konflik internal ini melemahkan daya tahan dan kohesi sosial masyarakat adat dalam menghadapi tekanan dari luar. Kedua, muncul krisis identitas atau hilangnya jati diri komunitas. Generasi muda komunitas itu akan terputus dari praktik-praktik adat yang diwariskan karena ruang praktiknya (tanah ulayat) sudah tiada. Akibat terburuknya adalah sering terjadi kekerasan dan pertumpahan darah di lokasi sengketa, di mana masyarakat adat yang mempertahankan haknya sering berhadapan dengan kekuatan modal yang sering dibekingi oknum aparat. Tragedi ini bukan hanya mengakibatkan kerugian materi, tetapi merupakan luka historis yang semakin  terbuka menganga dalam catatan perjalanan bangsa.


Kasus Kabupaten Ngada: PTSL sebagai Pedang Bermata Dua
Kekacauan yang timbul dari sengketa tanah ulayat menemukan manifestasi yang sangat tajam di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, terutama setelah pelaksanaan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Program PTSL, yang secara ideal bertujuan mulia untuk memberikan kepastian hukum melalui sertifikasi, dalam konteks Ngada justru menjadi pedang bermata dua yang merobek-robek tatanan sosial masyarakat adat. Masalah fundamentalnya terletak pada integritas data yuridis yang menjadi syarat mutlak dalam proses sertifikasi.
Di Ngada, sebuah realitas pahit terungkap, data yuridis sebagai dasar penerbitan sertifikat justru menjadi objek manipulasi. Ironisnya, aktor utama yang dicurigai memanipulasi data adalah oknum otoritas desa yang berkolaborasi dengan pihak tertentu. Dalam tatanan adat, kades khususnya seringkali dipandang sebagai otoritas tertinggi, semacam “hakim” di tingkat desa yang paling memahami dan dihormati dalam urusan sengketa dan batas tanah adat. Ketika otoritas ini justru menggunakan wewenangnya untuk memanipulasi fakta yuridis di lapangan, maka yang runtuh bukan hanya validitas dokumen, tetapi juga kepercayaan fundamental masyarakat terhadap sistem keadilan dan kepemimpinan di desa itu sendiri.
Anomali dan Dugaan Penyalahgunaan Wewenang di Desa Binawali
Kasus di Desa Binawali menjadi contoh anomali yang paling mencolok dan merusak. Sengketa tanah yang mulai menyeruak sejak masuknya program PTSL di desa itu, tidak terjadi secara organik antarwarga, melainkan terdapat indikasi kuat mengenai ketidaksesuaian data yuridis yang bersumber dari tingkat otoritas desa. Munculnya celah legal-formal dalam proses sertifikasi ini mengindikasikan adanya kelemahan pengawasan yang berpotensi dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengalihkan fungsi aset komunal.
Yang lebih memprihatinkan dan mengkhawatirkan adalah dugaan adanya sikap aparat penegak hukum, khususnya oknum kepolisian yang seharusnya profesional dalam menjalankan tugas. Keterlibatan aparat ini menimbulkan kecurigaan serius dari masyarakat bahwa upaya yang diduga manipulatif tersebut merefleskikan adanya praktik gratifikasi yang terstruktur, baik dalam bentuk imbalan kapling gratis, uang tunai, ataupun dalam bentuk keuntungan materiil lainnya. Sikap aparatur negara yang sama sekali jauh dari prinsip netralitas dalam penyelesaian masalah tanah ulayat di lapangan seperti ini setidaknya memberikan pesan yang sangat kuat bahwa reformasi internal untuk meningkatkan profesionalisme dan netralitas aparat keamanan yang sedang digaungkan sekarang ini sangat penting dan krusial guna menjamin rasa keadilan masyarakat.
Akibat langsung dari praktik manipulatif ini adalah dokumen yuridis yang diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ngada menjadi amburadul, kacau, dan sarat manipulasi. Kesaksian di lapangan menunjukkan kekacauan data yang fundamental, seseorang yang secara faktual dan historis memiliki lahan di bagian utara, namanya justru tercantum untuk lahan di bagian selatan, atau bahkan nama pemilik sah digantikan oleh nama pihak lain. Data yang kacau dan manipulatif ini adalah bom waktu sengketa di masa depan sebab sertifikat yang dikeluarkan tidak mencerminkan kebenaran fakta yuridis di lapangan.
Keterlibatan oknum aparat yang tidak menunjukkan profesionalisme dalam setiap aksi di lapangan juga sangat merusak tatanan sosial dan budaya. Sebaliknya, tindakan semacam itu sangat kontras dengan Tri Brata dan Catur Prasetya polisi sebagai penjaga keamanan dan pengayom masyarakat. Di sisi lain, keberpihakan yang mencolok seperti itu dapat menimbulkan kesan dalam masyarakat bahwa oknum tersebut telah mengikis nilai profesionalismenya sendiri sebagai pengayom seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.
Fenomena ini mencerminkan kegagalan ganda, kegagalan aparatur desa dalam menjaga amanah adat dan kegagalan aparat negara untuk menjaga netralitas dan keadilan. Kepercayaan publik, khususnya masyarakat adat, terhadap institusi negara pun akan semakin terkikis oleh skandal yang terang-terangan seperti ini.
Kebutuhan Mendesak: Pengakuan dan Perlindungan Tanah Ulayat
Kasus Ngada adalah cermin besar yang menunjukkan betapa rentannya hak ulayat di hadapan kepentingan pragmatis, ambisi individu, dan penyalahgunaan wewenang struktural. Penguatan regulasi formal seperti Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B Ayat (2) yang mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, serta Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukanlah hutan negara, harus menjadi rujukan utama dan diimplementasikan secara tegas dan tanpa kompromi.
Negara harus hadir untuk mengambil tindakan restoratif dan represif. Pertama, dilakukan audit total terhadap proses PTSL, terutama sertifikat yang bermasalah, khususnya di wilayah yang rentan konflik ulayat. Sertifikat dimaksud perlu diidentifikasi dan diperbaiki sedini mungkin sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari dalam masyarakat. Kedua, penegakan hukum harus dijalankan seadil-adilnya terhadap oknum kades dan oknum polisi yang diduga terlibat dalam manipulasi data ataupun terdapat unsur gratifikasi. Hanya dengan membersihkan praktik yang kurang terpuji ini dan mengembalikan integritas data serta profesionalisme aparat, maka sertifikasi tanah dapat benar-benar menjadi alat pemajuan dan kepastian hukum, bukan instrumen perampasan dan penghancuran budaya. Ketiga, proses yuridis harus dilakukan dengan teliti dan seksama oleh BPN agar tidak mengakomodasi praktek manipulasi yang sering dilakukan oleh oknum otoritas desa dan jaringan mafia tanah. Khusus untuk tanah ulayat, BPN perlu turun langsung ke masyarakat adat dan memastikan bahwa proses yuridis tersebut bebas konflik, bukan sekadar mengejar target program dari pusat. Keempat, konflik yang muncul karena tanah ulayat merupakan jenis konflik yang disebabkan oleh pelanggaran terhadap konsensus yang ditetapkan oleh leluhur sebelumnya. Penyelesaian masalah ini menjadi sangat sederhana bila menggunakan pendekatan klasik (non litigasi) dengan menegakkan kembali konsensus tersebut. Dalam kontek ini, peran otoritas desa, polisi, dan pihak kecamatan menjadi mediator, bukan menjadi pihak yang terkesan mendukung salah satu pihak atas informasi yang diberikan sepihak pula.
Memastikan perlindungan tanah ulayat adalah investasi jangka panjang bangsa dalam menjaga kemajemukan, keadilan sosial, dan kedaulatan kultural di tengah arus modernisasi. Membiarkan sengketa ini berlarut adalah membiarkan jati diri bangsa ini runtuh sehelai demi sehelai bersama tanah leluhurnya. Dengan demikian, tanggung jawab semua elemen bangsa, khususnya aparat negara menjadi hal yang krusial dalam konteks ini sekaligus merupakan tanggung jawab moral untuk menciptakan masyarakat yang aman, damai, sejahtera, dan beradab…








