Kasih-Nya Menyertai Kita
Oleh : Pater Steph Tupeng Witin, SVD
WARTA-NUSANTARA.COM– Minggu Adven keempat adalah ajakan merenungkan kasih. Tidak lama lagi kita akan menjejakkan kaki pada gerbang pintu Natal: saat kelahiran Yesus Kristus. Ketiga bacaan hari ini diikat oleh satu kata yang sama: Imanuel: Allah menyertai kita.




Kasih Karunia Allah menyertai kita. Kata “Imanuel” ini lahir bukan saat hidup sedang tenang, melainkan ketika manusia berada dalam krisis, saat masa depan kabur, dan kesangsian iman mulai muncul.
Nabi Yesaya mewartakan kedatang Imanuel itu justru kepada raja Ahas yang tidak beriman kepada Allah. Menurut Yesaya, janji Allah tidak mungkin dibatalkan. juga ketika umat dan rajanya tidak percaya kepada Allah dan janji-Nya (Yes 7:13).



Allah tetap setia di tengah ketidaksetiaan manusia. Yusuf mengalami itu. Hidupnya yang rapi tiba-tiba berantakan. Ia tidak diberi penjelasan panjang, tetapi hanya satu peneguhan: anak itu akan disebut Imanuel. Artinya: ini bukan tanda bahwa Allah meninggalkan, melainkan bahwa Allah sedang hadir dan pasti setia hadir.
Tetapi menyertai tidak berarti menghilangkan badai. Yusuf tetap harus melangkah. Risiko tetap ada. Yang berubah bukan keadaannya, melainkan keberaniannya untuk tidak takut. Yusuf bukanlah orang yang gegabah dalam bertindak dan mengambil keputusan penting dan menentukan dalam hidupnya.


Matius menggunakan kata “mempertimbangkan” untuk melukiskan bagaimana Yusuf menghadapi persoalan yang berat. Kata “mempertimbangkan” berarti orang melihat sisi baik dan buruk dari suatu keputusan yang akan diambil.
“Mempertimbangkan” juga berarti memberikan ruang bagi Allah berbicara kepada kita. “Mempertimbangkan” juga berarti kita membuka hati untuk mendengarkan suara Allah itu. Kita percaya, Allah memiliki rencana yang indah atas diri dan hidup kita karena “Allah adalah kasih” 1Yoh 4:8).


Namun terkadang kita sulit menemukan-Nya karena beratnya beban hidup kita. Tuhan bisa berbicara melalui banyan media, cara dan jalan.
Kita butuhkan hati yang peka dan pikiran yang murni agar mampu membaca rencana dan kehendak Allah dalam seluruh hidup dan karya.
Kita perlu rendah hati membawa semua rencana kita kepada-Nya agar Roh Kudus menerangi pikiran kita untuk berani mengambil keputusan dengan benar di tengah banyak gejolak dan badai. Keputusan mesti berlandas pada kasih Allah yang setia menyertai.
Yesus sendiri menunjukkan seperti apa kasih yang menyertai itu.
Ketika murid-murid-Nya terombang-ambing di tengah badai, Yesus tidak menunggu badai reda. Ia menerjang badai itu, bahkan berjalan di atas air dengan segala resikonya, demi mencapai mereka (Mat 14:22-33).
Kasih sejati selalu berani mengambil risiko demi yang dicintai. Gambaran kasih sejati itu terbahasakan secara benderang pada perubahan keputusan yang Yusuf ambil terhadap Bunda Maria. Cinta Yusuf kepada Maria tidak berhenti ketika ia tahu Maria mengandung. Justru di situlah cintanya diuji.
Awalnya Yusuf memilih menjauh agar nama Maria tidak tercemar. Itu bukan tanda tidak cinta, melainkan bentuk cinta yang masih berhati-hati, cinta yang melindungi meski harus mengorbankan dirinya sendiri.
Namun Allah memanggil Yusuf untuk melangkah lebih jauh. Yusuf akhirnya mengambil Maria sebagai istrinya. Ia memilih berada bersama Maria, bukan dari kejauhan, tetapi di tengah risiko. Jika Maria dicurigai, Yusuf siap ikut dicurigai.
Ia tidak membersihkan namanya sendiri, tetapi mengambil bagian penuh dalam hidup Maria. Cinta Yusuf pun berubah bentuk.
Dari cinta yang menjaga jarak, menjadi cinta yang tinggal dan setia. Ia rela menanggung salah paham dan kehilangan rasa aman. Diam-diam, Yusuf belajar bahwa cinta sejati bukan hanya melindungi, tetapi berani hadir (KAJ, 2025).
Cara Yusuf mencintai Maria mencerminkan cara Allah mencintai manusia. Dalam Yesus, Imanuel, Allah tidak mencintai dari jauh. Ia masuk ke dalam hidup manusia yang rapuh dan tercemar oleh dosa.
Allah rela dianggap berdosa dan jahat, bahkan sampai wafat di salib.
Iman Kristen lahir dari cinta seperti ini. Cinta yang tidak menjaga jarak, tetapi tinggal.
Cinta yang tidak menghindari risiko, tetapi menanggungnya. Inilah cinta Yusuf, dan inilah cinta Allah yang menyelamatkan manusia. Mungkin hidup kita hari ini belum bisa dipahami. Badai belum reda.
Tetapi Adven mengingatkan: Allah tidak menyertai dari kejauhan. Ia datang dan hadir di tengah perjuangan kita. Natal bukan tentang hidup yang sudah teratur dan tertata, melainkan tentang Allah yang setia hadir. Dan itu cukup membuat kita yakin, Allah bersama kita maka kita berani berjuang terus menghadapi badai hidup itu.***







