• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Senin, Desember 22, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Hukrim

Ketika Antek-Antek GM Tak Henti Membungkam Suara Kebenaran (Catatan Untuk Gerombolan Mafia Nagekeo (10)

by WartaNusantara
Desember 21, 2025
in Hukrim, Opini
0
Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong
0
SHARES
52
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

RelatedPosts

Jaksa Kena OTT KPK : Gagalnya Jaksa Agung Lakukan Reformasi Kejaksaan

Jaksa Kena OTT KPK : Gagalnya Jaksa Agung Lakukan Reformasi Kejaksaan

Sewa 50 Tahun, Dibungkus Rp4,5 Miliar: Logika Pemkab Lutim Dipertanyakan

Sewa 50 Tahun, Dibungkus Rp4,5 Miliar: Logika Pemkab Lutim Dipertanyakan

Load More

Ketika Antek-Antek GM Tak Henti Membungkam Suara Kebenaran (Catatan Untuk Gerombolan Mafia Nagekeo (10)

Oleh :  Steph Tupeng Witin

(Jurnalis, Penulis Buku “Politik Dusta di Bilik Kuasa” dan Pendiri Oring Literasi Siloam)

WARTA-NUSANTARA.COM–  Upaya mafia Nagekeo untuk membungkam suara kebenaran tidak pernah berhenti.  Sebagaimana praktik mafia pada umumnya, mereka menghalalkan segala cara untuk memaksa saya berhenti menulis tentang mafia Nagekeo, terutama yang beroperasi di Waduk Lambo, Nagekeo, Flores. Mereka tetap bersikeras pada narasi sesatnya bahwa tidak ada yang diperlakukan tidak adil di masyarakat terdampak Waduk Lambo. Tidak ada mafia di Nagekeo yang merampas hak rakyat.

Terakhir adalah artikel berjudul  “Membongkar Topeng Steph Tupeng Witin” yang ditulis oleh sahabat Valens Daki-soo (VDS), Redem Kono, di media milik VDS yang dikelola seadanya. VDS menggunakan media miliknya ini untuk menghajar tanpa ampun pihak yang mengganggu kepentingannya. Saya akan bedah satu per satu tulisan “filsuf” amatiran yang sama sekali tidak memahami kondisi Nagekeo, khususnya masyarakat terdampak Waduk Lambo. Jika VDS adalah antek GM-figur yang diduga menjadi mastermind kegaduhan di Waduk Lambo-maka Redem Kono dan penulis pro VDS adalah anteknya VDS.  Sebagaimana VDS adalah staf khusus dari (mantan) staf khusus, Redem Kono cs adalah antek dari antek GM.

Pandangan para filosof kelas dunia dikutip serampangan dengan penafsiran yang dipaksakan untuk membela GM dan antek-anteknya. Antek GM peringkat satu adalah VDS, perantau Nagekeo di Jakarta yang terpaksa pulang kampung untuk berebut rezeki di Waduk Lambo. Ke mana-mana ia membawa nama GM dan mengglorifikasi figur ini. Tidak salah jika ada yang menduga, “priuk nasi” VDS sangat tergantung pada GM. VDS cs dan semua sepak terjang mereka telah mendegradasi nama besar GM.

Pembaca yang mengikuti tulisan saya masih ingat ketika Valens Daki-soo (VDS), staf khusus dari mantan Staf Khusus Gories Mere (GM), menggelar sebuah jumpa pers yang aneh di Hotel Arend, Mbay, Kamis, 4 Desember 2025 sore hingga malam. Para wartawan diberikan  amplop bertuliskan VDS yang berisi uang tunai Rp 300.000.  Ya, uang tutup mulut, sebuah praktik khas VDS cs untuk membungkam suara kritis.   Mayoritas wartawan yang hadir adalah pendukung VDS dan anggota Kaiser Hitam (KH) Destroyer.  Forum ini seperti pengadilan “in absentia” terhadap saya.

Jumpa pers itu bertopik “Staf Khusus Komjen Pol (Purn) Drs Gories Mere Tanggapi Tudingan “Mafia Waduk Lambo” dan “Orang Kuat Jakarta”.   Melihat topik jumpa pers ini, publik yang paling awam pun bisa memahami bahwa jumpa pers senja hingga malam kelabu itu punya tujuan yang jelas: Membersihkan nama GM dari dugaan mafia Waduk Lambo dan menghancurkan citra saya agar isi tulisan saya tidak layak dipercaya.

Nama GM masuk ke ruang public-dalam kaitan dengan mafia Waduk Lambo-diangkat oleh Thobbyas Ndiwa, pengacara Jakarta yang terpaksa cari makan di Waduk Lambo. Di beberapa tulisan awal, saya menyebut “orang kuat” Jakarta. Karena algoritma di otak mereka sudah terbentuk, maka begitu ada kata “orang kuat”, mereka langsung menyebut itu GM. Hitung-hitung, ya, baik juga, biar publik Nagekeo bisa melihat dengan lebih jelas.

Hasil pemantauan saya, tulisan VDS dan orang-orang suruhan yang ada di jaringannya tidak dipercaya publik. Ukuran yang dipakai publik sederhana saja: apa sesungguhnya motivasi penulis? Apakah dia atau mereka menulis dengan tujuan untuk membantu rakyat yang dirampas haknya, tak mampu bersuara untuk memperjuangkan haknya? Ataukah dia atau mereka menulis untuk menjaga kepentingan dan status quo mereka?

Tulisan VDS cs masuk kelompok kedua, yakni pihak yang menulis dengan tujuan untuk menjaga status quo.  Sedangkan tulisan saya sudah mendapat tempat di hati silent majority (mayoritas diam) yang menunggu dengan penuh harap datangnya keadilan. Sudah lama publik Nagekeo dijejali narasi sesat gaya AKBP Yudha Pranata, antek-antek AKP Serfolus Tegu, KH Destroyer, dan VDS bersama gengnya. Rakyat sudah muak dengan gerombolan musang berbulu ayam.  Berbicara manis, tapi diam-diam hak rakyat diambil.

Dalam perang narasi tentang “mafia Waduk Lambo”, pihak yang mempertahankan status quo adalah mereka yang berusaha menjaga agar keputusan, relasi kuasa, dan cara kerja yang sudah berjalan tidak terusik oleh kritik substantif.  Pihak yang paling lantang mengusik adalah saya. Sudah lebih dari 20 artikel saya tentang mafia Waduk Lambo. Tulisan saya disambut dengan sukacita dan penuh harap oleh para korban dan kekuatan baru yang mengendaki perubahan. Saya tidak punya kepentingan pribadi dengan Waduk Lambo dan Nagekeo.  Sebagai seorang imam, biarawan, dan wartawan senior, kepentingan saya hanya satu: membela kepentingan mereka yang tidak mampu membela diri.  Suara dari mereka yang tidak mampir bersuara.

Tulisan saya mencabik-cabik kohesi jaringan mafia yang sudah mereka bangun.  Sejak tulisan pertama saya diturunkan dengan judul “Nagekeo dalam Cengkeraman Mafia?”, para begundal perusak Nagekeo bereaksi sangat keras, bahkan over dosis. Mereka, salah satunya VDS, menelepon saya dan WhatsApp (WA) berkali-kali. Siapa saja yang mereka duga mendukung saya dan mengancam kepentingan mereka ditelepon. Di berbagai grup WA, terutama Nagekeo Mandiri, saya dicerca dengan sangat buas dan brutal. Para gerombolan mafia membagi tugas untuk meneror semua orang yang bersuara berbeda dengan mereka.

Jauh Panggang dari Api
Narasi VDS, para anteknya tidak dipercaya publik. Selain karena publik “yang diam” melihat kondisi riil di lapangan, VDS dan para anteknya tidak menjawab pertanyaan pokok soal hak warga terdampak Waduk Lambo yang terampas, ketimpangan kekuasaan dan uang yang membuat rakyat menderita, dan berbagai dugaan praktik tidak adil. Mereka malah mengalihkan perhatian ke soal moral dan pribadi pengkritik. Ketika kritik dibalas dengan tudingan munafik, tidak berintegritas, atau “mempermalukan daerah”, maka sesungguhnya, yang sedang dipertahankan VDS dan para anteknya bukan kebenaran, melainkan kenyamanan tatanan yang sudah mapan.

Sebaliknya, mereka yang menolak status quo adalah pihak-pihak yang tetap mengajukan pertanyaan sulit meski tidak populer: apakah proses benar-benar adil bagi warga, apakah dialog berlangsung setara, dan apakah hak-hak rakyat benar-benar dipenuhi. Dalam konteks ini, kegaduhan bukan tanda kesalahan, melainkan konsekuensi dari upaya membuka ketimpangan yang selama ini dinormalisasi. Figur terdepan dalam mempertahankan status quo adalah VDS, motivator yang hingga kini tak mampu memotivasi diri sendiri agar berlaku adil dan mendengarkan suara mereka yang tak mampu bersuara.  Status quo selalu merasa terancam oleh suara kritis, karena kritik memaksa kekuasaan mempertanggungjawabkan dirinya, bukan sekadar berlindung di balik prosedur dan stabilitas semu.

Alih-alih menjawab substansi yang dipersoalkan-yakni fakta lapangan tentang hak warga terdampak, relasi kuasa, dan dugaan praktik tidak adil-respons yang disampaikan VDS cs justru bergerak ke wilayah lain yang tidak relevan dengan masalah utama. Redem Kono, orang suruhan VDS, menulis ngarol ngidul dengan mengutip filosof kesohor seakan dengan cara itu, masalah dibuat terang benderang. Faktanya, dengan respons yang ngawur itu, nama besar GM yang hendak mereka purifikasi justru kian tenggelam (nyungsep-kata orang Jawa) ke dasar waduk.

Serangan balik dilakukan dengan kutipan para filsuf besar-Habermas, Rawls, Kant, hingga Nietzsche-ditafsirkan secara bebas dan cenderung selektif. Filsafat dijadikan tameng retoris untuk membangun kesan intelektual dan moral, bukan sebagai alat untuk menguji kenyataan konkret. Akibatnya, perdebatan bergeser dari soal apa yang sungguh terjadi di lapangan menjadi soal siapa lebih pintar mengutip teori, siapa lebih unggul secara simbolik di ruang wacana. Di titik ini, filsafat kehilangan fungsi kritisnya dan berubah menjadi ornamen pembelaan semata.

Karena itu, respons semacam ini benar-benar jauh panggang dari api. Ia tidak menjawab pertanyaan mendasar yang saya ajukan, tidak membantah data lapangan dengan data tandingan, dan tidak menunjukkan keberpihakan pada verifikasi faktual. Yang tampak justru upaya mengaburkan masalah dengan bahasa tinggi dan abstraksi, sehingga publik dijauhkan dari inti persoalan. Padahal, dalam konflik seperti Waduk Lambo, fakta lapanganlah yang seharusnya menjadi panggang utama, bukan permainan tafsir filsafat yang melayang jauh dari api kenyataan. Kita sama-sama belajar filsafat. Kutipan  dari para filsuf itu enak di kepala tapi tidak berhenti di situ, dia harus menjejak di tanah apalagi hati.

Siapa yang Bertopeng?
Judul “Membongkar Topeng Steph Tupeng Witin” adalah sebuah judul yang sangat dipaksakan. Kata “topeng” lebih cocok dikenakan kepada VDS, pria paruh baya yang selalu tampil necis, berjalan sambil membusung dada, dan berbicara halus-terstruktur, tapi lebih berpihak pada mafia dan patut diduga ia sudah masuk dalam jaringan mafia.

Istilah “Membongkar Topeng” bukanlah pernyataan faktual, melainkan klaim simbolik yang sarat penilaian sesat. Kata topeng dengan sendirinya mengandaikan dua hal. Pertama, adanya identitas palsu yang sengaja disembunyikan. Kedua, adanya identitas asli yang baru terungkap setelah dibongkar. Dengan memilih diksi ini, penulis judul sebenarnya telah lebih dulu menghakimi seolah-olah subjek tulisan selama ini hidup dalam kepalsuan dan menyamarkan jati dirinya dari publik.

Masalahnya, asumsi tersebut tidak bertumpu pada realitas empiris. Saya, Pater Steph, tidak menyembunyikan identitas apa pun. Saya menulis dengan nama asli, status imamat saya jelas, Ordo SVD saya terang-benderang, dan sikap saya disampaikan secara terbuka di ruang publik. Bahkan dalam soal yang sensitif sekalipun-seperti bantuan yang pernah saya terima dari GM-saya tidak menyangkal atau menutupinya, melainkan mengakuinya secara terbuka. Ada dua tulisan saya sebelumnya yang sudah menjelaskan untuk menjawab teror Tobbyas Ndiwa melalui somasi angkuh yang hanya “gertak sambal” dan “wora” VDS yang ditutup dengan sangat buruk dalam jumpa pers sarat masalah. Dalam kondisi seperti ini, tidak ada lapisan identitas yang disembunyikan, dan karena itu tidak ada pula “topeng” yang secara faktual bisa dibongkar.

Gagasan bahwa penerimaan bantuan otomatis menggugurkan hak moral untuk mengkritik adalah kesalahan etis yang sangat mendasar. Dalam etika moral-termasuk dalam kerangka deontologis yang sering dirujuk Immanuel Kant-yang membatalkan legitimasi kritik bukanlah bantuan itu sendiri, melainkan adanya quid pro quo: pertukaran bantuan dengan kewajiban membela atau pembungkaman kritik. Fakta bahwa saya secara terbuka mengakui bantuan, namun tetap memilih membela rakyat Nagekeo terdampak, justru menunjukkan pemutusan relasi kepentingan secara sadar. Ini yang terpenting! Secara etis, keterbukaan dan konsistensi ini memperkuat integritas sikap, bukan meruntuhkannya.

Dilema yang diajukan-memilih antara membela rakyat yang haknya dirampas atau membela pihak pemberi bantuan-bukanlah inkonsistensi, melainkan keputusan moral yang sah. Dalam filsafat moral, kesetiaan pada kebenaran dan keadilan harus mengatasi relasi personal, bantuan masa lalu, dan rasa sungkan. Tradisi Kristiani menegaskannya dengan terang: “Tidak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan.” Maka, ketika saya memilih rakyat, itu bukan pengkhianatan, melainkan posisi moral yang koheren dan bertanggung jawab!

Masalahnya, kritik Redem Kono menggeser isu struktural menjadi persoalan personal. Alih-alih menjawab pertanyaan substantif-pelanggaran hak warga, ketimpangan kuasa, dan korban proses waduk-fokus dialihkan pada karakter pengkritik melalui strategi klasik delegitimasi: jika substansi tak dapat dipatahkan, serang pembawanya. Ironinya, bila konsistensi, keterbukaan, dan identitas nyata menjadi ukuran, maka “topeng” justru tampak pada klaim objektivitas yang menutupi pembelaan kepentingan tertentu. Dengan demikian, judul “membongkar topeng” bukan deskripsi fakta, melainkan penilaian normatif yang disamarkan. Inilah cara para mafia dan kompolotan para begundalnya yang menyalahgunakan pisau filsafat dan moral.

Dengan demikian, judul “Membongkar Topeng” tidak bekerja sebagai deskripsi kenyataan, melainkan sebagai penilaian normatif yang dipaksakan seolah-olah fakta. Ia lebih berfungsi sebagai alat framing untuk membentuk persepsi pembaca sejak awal, bukan sebagai simpulan yang lahir dari pembuktian. Yang sesungguhnya terjadi bukanlah pembongkaran kepalsuan, melainkan perbedaan sikap dan pilihan moral serta perbedaan itu secara jujur tidak dapat direduksi menjadi narasi tentang topeng, kepura-puraan, atau kemunafikan.

Tidak Ada Mafia, (Karena) Ada Diskursus Publik?
Dalam tulisan-tulisan awal, saya memaparkan jalan panjang pengetahuan “apa itu mafia?” Saya mengutip Mafia Sisilia-Italia, Mafia Rusia, Mafia Meksiko, Mafia Kamboja, dan lain-lain. Pemaparan ini untuk memperkuat kesimpulan awal saya bahwa ada mafia di Nagekeo dan agar masyarakat bisa memahami pola kerja mafia.  Polanya sama, perbedaan pada skala dan kecanggihan. Perbedaan ini, antara lain, ditentukan oleh pengetahuan, tingkat kecerdasan, penggunaan teknologi, dan regulasi dan law enforcement di masing-masing negara dan wilayah.

Mafia eksis karena didukung oleh oknum polisi, oknum militer, dan politisi (aktif dan mantan), oknum pengusaha, dan oknum pengacara. Pada sejumlah jaringan mafia ada keterlibatan oknum media. Oknum polisi, militer, dan politisi adalah figur yang tampil di diskursus publik. Itu terjadi karena mereka adalah pejabat aktif dan tokoh publik.

Klaim bahwa mafia tidak mungkin ada bila proses berlangsung deliberatif, transparan, dan berada dalam diskursus publik mengandung kesalahan logis mendasar berupa false dichotomy (dikotomi palsu). Argumen ini mengandaikan hanya dua kemungkinan ekstrem. Pertama, praktik mafia selalu bekerja dalam kerahasiaan total. Kedua, kehadiran diskursus publik otomatis meniadakan kejahatan terorganisir. Dalam logika formal, penyederhanaan semacam ini menutup spektrum realitas yang jauh lebih kompleks, karena mengabaikan kemungkinan bahwa praktik penyalahgunaan kuasa justru beroperasi di antara dua kutub tersebut.

Literatur tentang kekuasaan modern menunjukkan bahwa relasi kuasa tidak selalu bekerja dalam kegelapan, melainkan sering tampil di ruang semi-terbuka. Michel Foucault menegaskan bahwa kekuasaan tidak hanya represif, tetapi juga produktif. Ia membentuk wacana, menciptakan normalitas, dan memproduksi legitimasi melalui bahasa serta institusi. Dalam kerangka ini, forum publik bukanlah jaminan kebersihan moral, melainkan bisa menjadi medium dimana kepentingan tertentu disamarkan sebagai rasionalitas, kepentingan umum, atau prosedur sah.

Bahkan dalam teori diskursus normatif yang optimistis, Jurgen Habermas sendiri memberi syarat ketat: diskursus hanya sah secara etis bila bebas dari dominasi, manipulasi, dan ketimpangan kuasa. Tanpa prasyarat tersebut, diskursus mudah berubah menjadi performatif-sekadar ritual legitimasi-di mana aktor kuat berbicara paling lantang, sementara yang terdampak secara struktural kehilangan posisi tawar. Dengan kata lain, kehadiran diskursus publik tidak otomatis berarti kebenaran terungkap atau keadilan ditegakkan.

Karena itu, kesimpulan bahwa “tidak ada mafia karena ada diskursus publik” adalah inferensi yang tidak sah secara ilmiah. Sejumlah studi tentang state capture, elite collusion, dan organized crime justru menunjukkan bahwa aktor-aktor bermasalah kerap memanfaatkan ruang publik untuk membangun citra legalitas dan moralitas. Diskursus publik bisa autentik, tetapi bisa pula menjadi topeng kekuasaan. Maka, ukuran ketiadaan mafia bukanlah sekadar ada-tidaknya forum publik, melainkan apakah relasi kuasa, proses keputusan, dan dampaknya pada hak warga benar-benar bebas dari kolusi dan penyalahgunaan wewenang.

Mafia vs Demokrasi Deliberatif
Klaim bahwa saya melakukan cherry-picking dan confirmation bias dalam menuduh adanya mafia tampak, pada pandangan pertama, sebagai koreksi metodologis yang sah. Dalam epistemologi dan filsafat ilmu, dua bias ini memang dikenal luas sebagai jebakan kognitif yang melemahkan argumen: cherry-picking terjadi ketika data dipilih secara selektif, sedangkan confirmation bias muncul ketika seseorang hanya menerima informasi yang menguatkan keyakinan awalnya. Namun, persoalan serius muncul ketika tuduhan metodologis ini sendiri tidak lolos dari standar yang sama yang dipaksakan kepada pihak yang dikritik.

Secara ironis, penulis justru melakukan bentuk cherry-picking yang lebih halus dengan memilih definisi mafia yang paling klasik, ekstrem, dan usang. Mafia dipahami secara sempit sebagai organisasi kriminal yang sepenuhnya hierarkis, tertutup rapat, dan bergerak secara eksplisit di luar hukum. Dengan definisi ini, setiap praktik kekuasaan yang tidak memenuhi ciri-ciri tersebut dapat dengan mudah disangkal sebagai “bukan mafia.” Strategi ini bukan netral secara ilmiah, melainkan seleksi definisional yang menguntungkan posisi penulis sejak awal.

Literatur kontemporer tentang kejahatan terorganisir justru menunjukkan pergeseran penting. Diego Gambetta menjelaskan bahwa mafia modern sering berfungsi sebagai provider of protection yang dapat beroperasi di zona abu-abu antara legalitas dan ilegalitas. Sementara itu, Letizia Paoli menegaskan bahwa organisasi semacam ini semakin cair, adaptif, dan kerap berjejaring dengan aktor legal-termasuk birokrat, politisi, dan profesional terdidik-tanpa harus tampil sebagai sindikat kriminal klasik.

Dalam kerangka yang lebih luas, pendekatan penulis juga dapat dibaca sebagai bentuk confirmation bias terbalik: sejak awal ia berangkat dari keyakinan bahwa “mafia tidak ada,” lalu memilih kerangka konseptual yang memastikan kesimpulan tersebut. Padahal, dalam metodologi ilmu sosial, konsep seharusnya bersifat heuristic-membantu membaca realitas-bukan normatif defensif yang menutup kemungkinan analisis alternatif.  Charles Tilly bahkan menunjukkan bahwa praktik yang menyerupai pemerasan dan perlindungan koersif dapat dilembagakan dalam struktur negara dan pasar tanpa kehilangan daya rusaknya.

Dengan demikian, tuduhan bahwa saya salah logika tidak berdiri di atas posisi epistemik yang lebih unggul. Sebaliknya, ia mengungkap paradoks metodologis: penulis menuding cherry-picking sambil melakukan cherry-picking definisi mafia yang paling aman bagi argumennya sendiri. Dalam ilmu pengetahuan, kejujuran analitis justru menuntut keterbukaan terhadap konsep mafia kontemporer yang hibrid, cair, dan sering beroperasi di balik wajah legalitas. Menolak kemungkinan ini bukanlah kehati-hatian ilmiah, melainkan penyempitan realitas demi mempertahankan kesimpulan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Peran GM di Waduk Lambo
Klaim bahwa GM tidak terkait mafia karena tidak ditemukan surat perintah, instruksi kriminal, atau bukti empiris yang bersifat yuridis tampak meyakinkan hanya bila persoalan ini dibingkai semata sebagai perkara pidana. Namun, kerangka tersebut keliru total ketika digunakan untuk menilai relasi kuasa dalam proyek publik seperti Waduk Lambo. Standar “tidak ada dokumen instruksi, maka tuduhan gugur” adalah standar pembuktian di pengadilan, bukan standar analisis dalam jurnalisme investigatif, etika kekuasaan, atau ilmu sosial kritis. Di titik inilah terjadi reduksi metodologis yang sangat serius tapi sangat tidak disadari penulisnya.

Dalam jurnalisme investigatif, kebenaran jarang hadir dalam bentuk perintah tertulis yang eksplisit. Mark Lee Hunter menegaskan bahwa kerja investigatif berfokus pada penelusuran patterns of behavior: pola relasi, jejaring pengaruh, aliran akses, dan keuntungan yang berulang, bukan semata-mata bukti pidana formal. Mafia, dalam pengertian struktural, justru menghindari jejak yuridis dan bekerja melalui mekanisme informal yang tampak sah di permukaan, tetapi problematik dalam dampaknya bagi keadilan dan hak warga.

Literatur kejahatan terorganisir modern menunjukkan bahwa mafia kontemporer bersifat hibrid: ia tidak selalu hierarkis, tidak selalu tertutup, dan tidak selalu melakukan tindak kriminal yang mudah dikualifikasi. Letizia Paoli menjelaskan bahwa jaringan semacam ini kerap beroperasi di wilayah abu-abu antara legalitas dan ilegalitas, memanfaatkan kedekatan dengan aktor formal untuk memperoleh akses istimewa dan asimetris kuasa. Dalam konteks ini, ketiadaan “surat perintah” tidak meniadakan kemungkinan adanya kolusi atau pengaruh koersif yang bekerja secara sistemik.

Pendekatan yang menyempitkan makna mafia hanya pada “kejahatan pidana yang telah terbukti secara yuridis” juga mengabaikan fungsi analisis etik dan struktural. Charles Tilly menunjukkan bahwa praktik yang menyerupai pemerasan dan perlindungan koersif dapat dilembagakan melalui institusi yang sah, sehingga tampak legal namun tetap merugikan publik. Oleh karena itu, tuduhan mafia sering kali bermula dari indikasi struktural-ketimpangan kuasa, relasi eksklusif, dan dampak sistemik-sebelum, atau bahkan tanpa, putusan pengadilan.

Dengan demikian, bantahan bahwa GM “tidak terkait mafia” karena tidak ada bukti pidana formal adalah argumen yang tidak memadai secara ilmiah. Ia menutup kemungkinan analisis yang sah dalam tradisi investigatif dan etika kekuasaan, yang justru bertugas membaca tanda-tanda awal penyalahgunaan relasi dan pengaruh. Pertanyaan kuncinya bukan sekadar “apakah ada surat instruksi kriminal?”, melainkan “bagaimana pola relasi kuasa bekerja, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang menanggung kerugian?” Mengabaikan pertanyaan ini bukan kehati-hatian metodologis, melainkan pengaburan realitas yang seharusnya diselidiki secara kritis.

Jurnalisme Investigatif dan Opini
Klaim bahwa saya bukan jurnalis investigatif karena menulis opini sesungguhnya runtuh ketika diuji dengan kerangka teoretis jurnalisme kontemporer. Kesalahan mendasarnya adalah category mistake: menyamakan genre publikasi dengan metode epistemik. Dalam ilmu pengetahuan-termasuk ilmu sosial dan jurnalisme-bentuk penyajian tidak pernah identik dengan cara memperoleh pengetahuan. Opini adalah ruang artikulasi normatif dan reflektif, sementara investigasi adalah proses penelusuran fakta. Mengaburkan perbedaan ini berarti mencampuradukkan level analisis dan menilai kebenaran dari bungkus, bukan dari proses dan bukti.

Pandangan ini sejalan dengan gagasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam  The Elements of Journalism, yang menegaskan bahwa jantung jurnalisme bukanlah netralitas gaya, melainkan disiplin verifikasi. Mereka menolak anggapan bahwa jurnalisme harus selalu tampil dalam bentuk laporan “lurus” untuk sah secara profesional. Yang menentukan legitimasi jurnalistik adalah apakah penulis menguji klaim, membandingkan sumber, dan menempatkan kebenaran faktual di atas kepentingan pribadi maupun institusional. Dengan ukuran ini, tulisan berlabel opini tetap dapat bersifat investigatif jika ia lahir dari kerja verifikasi yang ketat.

Lebih jauh, Mark Lee Hunter dalam Investigative Reporting secara eksplisit mematahkan dikotomi palsu antara laporan berita dan esai analitis. Bagi Hunter, investigasi adalah metode sistematis untuk mengungkap fakta yang sengaja disembunyikan, dan metode itu dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk narasi, termasuk opini panjang. Ia bahkan menegaskan bahwa investigasi sering kali membutuhkan ruang interpretatif, sebab fakta-fakta structural-jejaring kuasa, konflik kepentingan, dan relasi tersembunyi-tidak selalu berbicara sendiri tanpa analisis kritis penulis.

Sementara itu, pendekatan James S. Ettema dan Theodore L. Glasser dalam Castodians of Conscience menambahkan dimensi etis yang krusial. Mereka memandang jurnalisme investigatif bukan sekadar teknik pengumpulan data, melainkan praktik moral yang bertujuan membangkitkan kesadaran publik. Dalam kerangka ini, investigasi hampir selalu mengandung unsur opini, karena ia menuntut penilaian normatif atas penyalahgunaan kuasa. Dengan kata lain, opini bukan lawan dari investigasi, melainkan sering menjadi kendaraan etis bagi investigasi itu sendiri.

Dengan menyatukan ketiga rujukan ini, menjadi jelas bahwa menggugurkan sifat investigatif sebuah tulisan hanya karena ia berlabel opini adalah kekeliruan metodologis dan konseptual. Pendekatan semacam itu tidak membantah data, tidak menguji verifikasi, dan tidak mematahkan analisis relasi kuasa, melainkan sekadar menghindar dari perdebatan substantif. Dalam tradisi ilmiah dan jurnalistik yang sehat, pertanyaan yang sah bukanlah di rubrik apa tulisan itu dimuat, melainkan bagaimana kebenaran dicari, diuji, dan dipertanggungjawabkan kepada publik.

Klaim “Steph Tidak Netral dan Subjektif”
Klaim bahwa “Steph tidak netral dan subjektif karena sering memakai kata saya” berangkat dari pemahaman jurnalisme yang sudah lama dipersoalkan dalam kajian ilmiah. Ia mengandaikan bahwa objektivitas identik dengan penghilangan subjek penulis, seolah-olah kebenaran akan otomatis muncul ketika suara “aku” disenyapkan. Dalam epistemologi modern, asumsi ini problematik. Objektivitas tidak lahir dari penghapusan subjek, melainkan dari kejujuran metodologis dalam memperlakukan data, argumen, dan bukti.

Dalam teori jurnalisme kontemporer, standar “netral tanpa subjek” justru dikritik sebagai ilusi profesional. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism menegaskan bahwa jurnalisme bukan tentang meniadakan sudut pandang, melainkan tentang disiplin verifikasi. Seorang penulis boleh-dan sering kali perlu-menyatakan posisinya secara terbuka agar pembaca dapat menilai argumen secara kritis. Menyembunyikan posisi personal tidak serta-merta membuat tulisan objektif; yang membuatnya dapat dipercaya adalah ketepatan data dan keterbukaan metode.

Lebih jauh, jurnalisme investigatif dan kritis justru mengakui kehadiran subjek sebagai bagian dari tanggung jawab moral penulis. James S. Ettema dan Theodore L. Glasser dalam Custodians of Conscience menunjukkan bahwa jurnalis investigatif berperan sebagai penjaga nurani publik. Dalam peran ini, suara personal-termasuk penggunaan “saya”-bukan tanda kelemahan ilmiah, melainkan ekspresi akuntabilitas: penulis tidak bersembunyi di balik anonimitas gaya, tetapi berdiri di depan temuannya sendiri.  Dalam bahasa Bung Karno, penulis berani mengatakan, “Ini dadaku, mana dadamu?”

Pendekatan ini juga sejalan dengan perkembangan jurnalisme reflektif dan critical journalism, yang menilai transparansi posisi lebih jujur daripada klaim netralitas semu. Menurut Mark Deuze dan para pemikir jurnalisme kritis, objektivitas absolut adalah mitos profesional; yang realistis adalah fairness, coherence, dan evidence-based reasoning. Dalam kerangka ini, pertanyaan utama bukanlah apakah penulis memakai kata “saya”, melainkan apakah ia memanipulasi data, melompat dalam logika, atau mengabaikan fakta yang bertentangan dengan tesisnya.

Dengan demikian, menyerang gaya bahasa-khususnya penggunaan kata “saya”-tanpa membantah data dan alur argumentasi adalah bentuk pengalihan isu. Kritik semacam itu tidak menyentuh inti persoalan epistemik, melainkan berhenti pada estetika retorik.   Ini persis gaya khas VDS yang gemar beretorika tanpa substansi. Dalam tradisi ilmiah yang sehat, subjektivitas tidak diukur dari kehadiran subjek gramatikal, tetapi dari kesalahan fakta dan cacat logika. Selama data sahih dan penalaran utuh, kejujuran menyatakan posisi justru memperkuat, bukan melemahkan integritas sebuah tulisan.

Antek GM Terus Mengungkit Pemberian
Tuduhan bahwa “Steph meminta jatah bulanan dari GM sehingga integritasnya runtuh” sejak awal berdiri di atas fondasi argumentatif yang rapuh. Dalam logika ilmiah, ini dikenal sebagai argumentum ad hominem, yakni upaya menggugurkan kebenaran suatu kritik dengan menyerang pribadi pengkritiknya, bukan dengan menilai data, fakta, atau penalaran yang ia ajukan. Aristoteles dalam Sophistical Refutations telah lama menempatkan serangan personal sebagai kekeliruan logis karena tidak menyentuh substansi klaim. Dalam tradisi filsafat kritis modern, Jürgen Habermas menegaskan bahwa validitas argumen hanya dapat diuji melalui rasionalitas komunikatif-yakni koherensi logika, bukti empiris, dan keterbukaan pada kritik-bukan melalui delegitimasi moral subjek yang berbicara.

Masalah menjadi lebih serius ketika tuduhan tersebut disertai moral displacement: pemindahan pusat perdebatan dari isu struktural dan fakta lapangan ke wilayah moralitas personal. Pertanyaan-pertanyaan mendasar sengaja tidak disentuh: dalam konteks apa pemberian itu terjadi, apakah ia merupakan hibah kemanusiaan, bantuan pastoral, atau relasi personal yang sah secara etis? Dalam etika publik, seperti ditegaskan oleh John Rawls, penilaian moral atas tindakan harus mempertimbangkan konteks, maksud, dan struktur relasi kuasa, bukan sekadar eksistensi suatu pemberian. Tanpa analisis konteks, tuduhan tersebut berubah menjadi insinuasi, bukan argumen.

Dalam jurnalisme investigatif dan etika akademik, yang menjadi tolok ukur utama bukanlah “apakah seseorang pernah menerima sesuatu”, melainkan apakah terdapat quid pro quo-pertukaran kepentingan yang dapat dibuktikan secara eksplisit atau implisit. Kovach dan Rosenstiel dalam The Elements of Journalism menekankan bahwa konflik kepentingan harus dibuktikan melalui relasi kausal antara pemberian dan perubahan sikap editorial atau analisis, bukan diasumsikan secara apriori. Dengan kata lain, bahkan jika benar ada pemberian, hal itu tidak otomatis membatalkan kebenaran kritik, kecuali dapat ditunjukkan bahwa kritik tersebut dikondisikan, dikendalikan, atau dibeli oleh pemberian itu.

Dari sudut pandang moral Kristen, reduksi kebenaran menjadi persoalan “siapa yang berbicara” alih-alih “apa yang dikatakan” juga bermasalah. Injil mengingatkan, “Janganlah kamu menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil” (Yohanes 7:24). Rasul Paulus sendiri tidak menolak bantuan jemaat (Filipi 4:14–16), namun tetap menyampaikan teguran keras ketika kebenaran Injil dipertaruhkan. Dalam tradisi Kristen, integritas tidak diukur dari ketiadaan relasi atau bantuan, melainkan dari kesetiaan pada kebenaran dan keberanian menegurnya, bahkan ketika itu tidak menguntungkan secara personal.

Dengan demikian, strategi mengganti debat substansi dengan delegitimasi moral pribadi bukan hanya cacat secara logis, tetapi juga tidak etis secara ilmiah dan moral. Kritik yang sah harus dijawab dengan bantahan atas data, pola relasi kuasa, dan argumentasi factual-bukan dengan membangun narasi kecurigaan yang tak diuji. Dalam etika intelektual, kebenaran tidak runtuh hanya karena pembawanya rentan; ia runtuh hanya jika argumennya terbukti salah. Di sinilah letak perbedaan antara pencarian kebenaran dan sekadar upaya membungkam suara kritis. Inilah bedanya antara penulis yang membela rakyat korban berhadapan dengan penulis jongos mafia dan komplotan begundal yang panik lalu mencari celah untuk mendeligitimasi sumber kepanikannya. Kita nikmati saja kepanikan mafia!

Filsafat Dijadikan Senjata Retoris
Filsafat pada hakikatnya lahir sebagai latihan kerendahan intelektual: kesediaan untuk mempertanyakan asumsi sendiri sebelum menghakimi dunia. Sejak dialog-dialog Plato hingga hermeneutika modern, filsafat berfungsi sebagai alat uji-bukan sekadar alat hias. Namun dalam praktik wacana publik kontemporer, filsafat kerap direduksi menjadi kumpulan nama besar dan kutipan panjang yang dipakai bukan untuk memperdalam analisis, melainkan untuk menutup perdebatan. Ketika rujukan filosofis berubah menjadi tameng simbolik, maka filsafat kehilangan fungsi kritisnya dan bergeser menjadi instrumen retoris semata (Flyvbjerg, 2001).

Pola ini terlihat jelas ketika tokoh-tokoh besar seperti Nietzsche atau Kant dikutip secara selektif dan terlepas dari konteks genealogis gagasannya. Kutipan tentang kehendak untuk berkuasa atau imperatif kategoris sering dihadirkan sebagai “stempel kebenaran”, bukan sebagai kerangka untuk menguji konsistensi moral si pengutip sendiri. Padahal, baik Nietzsche maupun Kant menuntut pembaca untuk menanggung konsekuensi etis dari pemikirannya, termasuk risiko menggugat posisi diri sendiri (Nietzsche, 1887/1998; Kant, 1785/2012). Ketika tuntutan refleksif ini diabaikan, filsafat berubah menjadi slogan berwibawa tanpa beban intelektual.

Hal serupa tampak dalam pemakaian Derrida dan Gadamer. Dekonstruksi Derrida kerap dipanggil untuk meruntuhkan argumen lawan, tetapi jarang dipakai untuk mendekonstruksi bahasa dan asumsi penulis itu sendiri. Padahal, dekonstruksi justru menolak posisi aman yang mengklaim pusat makna tunggal (Derrida, 1976). Demikian pula hermeneutika Gadamer, yang menekankan fusion of horizons-perjumpaan horizon penafsir dan teks-sering disempitkan menjadi pembenaran subjektivitas sepihak (Gadamer, 1960/2004). Dalam praktik retoris, kedua pemikir ini diperas otoritasnya tanpa dihidupi metodologinya.

Ciri retorika otoritas intelektual biasanya mudah dikenali: kutipan panjang, rujukan berlapis, tetapi nihil pengujian balik. Filsafat hadir sebagai palu, bukan cermin. Ia diarahkan keluar-untuk menjatuhkan, mendeligitimasi, dan mengerdilkan pihak lain-tanpa pernah diarahkan ke dalam untuk menguji bias, kepentingan, atau inkonsistensi diri. Praktik ini bertentangan dengan etos filsafat sebagai critical self-reflection yang menuntut keberanian intelektual untuk salah (Popper, 1963).

Menariknya, bahkan rujukan religius pun dapat terjerumus dalam pola serupa. Yesus Kristus kerap dikutip untuk menguatkan klaim moral terhadap pihak lain, namun ajaran-Nya tentang mengoreksi diri-“mengeluarkan balok dari matamu sendiri”-sering terlewatkan. Dalam tradisi etika Kristen, kebenaran tidak dilepaskan dari pertobatan dan kerendahan hati, bukan dari kemenangan retoris (Bonhoeffer, 1959). Ketika figur Yesus dijadikan alat pembenaran moral tanpa praksis pengosongan diri, pesan etisnya direduksi menjadi legitimasi simbolik.

Secara epistemologis, penggunaan filsafat sebagai senjata retoris menciptakan ilusi kedalaman. Ia tampak canggih, tetapi miskin kerja konseptual. Dalam istilah Bourdieu, ini adalah symbolic power-kekuasaan yang bekerja lewat pengakuan terhadap simbol otoritas, bukan lewat kekuatan argumen (Bourdieu, 1991). Akibatnya, wacana publik menjadi arena intimidasi intelektual, bukan ruang pencarian kebenaran bersama.

Karena itu, kritik terhadap praktik ini bukan penolakan terhadap filsafat, melainkan pembelaan terhadap martabatnya. Filsafat layak dipakai sebagai alat analisis yang jujur, yang berani menguji diri sebelum menghakimi orang lain. Tanpa itu, kutipan Nietzsche, Kant, Derrida, Gadamer, bahkan Yesus Kristus, hanyalah ornamen retoris: indah di permukaan, tetapi hampa secara intelektual dan etis. Filsafat yang sejati tidak bertanya, “siapa yang bisa saya jatuhkan?”, melainkan, “posisi apa dalam diri saya yang perlu diuji?”

Opini Steph Memecah Belah?
Klaim bahwa “alih-alih membela rakyat, Steph memecah belah” berangkat dari asumsi moral yang tampak sederhana, namun problematik. Ia mengandaikan bahwa kritik terhadap kekuasaan niscaya identik dengan perpecahan sosial. Dalam filsafat politik modern, asumsi ini telah lama dipersoalkan. Hannah Arendt mengingatkan bahwa ruang publik yang sehat justru ditandai oleh pluralitas dan pertentangan argumen, bukan oleh keseragaman yang dipaksakan. Ketika kritik disamakan dengan perpecahan, yang sesungguhnya terjadi adalah pemindahan beban moral dari struktur kekuasaan ke individu pengkritik, sebuah moral inversion yang menutup pintu refleksi bersama.

Dalam tradisi teori kritis, konflik tidak selalu menjadi gejala kerusakan sosial. Jürgen Habermas menegaskan bahwa ketegangan dalam diskursus publik sering kali menandai adanya klaim kebenaran yang saling berbenturan dan belum diselesaikan secara rasional. Masyarakat yang tampak “tenang” tanpa kritik justru berisiko menyimpan ketidakadilan yang rapi dan terinstitusionalisasi. Dengan demikian, menyalahkan pengkritik karena munculnya ketegangan sosial berarti mengabaikan kemungkinan bahwa konflik tersebut adalah indikator luka struktural yang selama ini disangkal.

Argumen bahwa saya “mempermalukan diri sendiri” juga menggeser fokus dari substansi ke karakter. Dalam logika argumentasi, ini dikenal sebagai argumentum ad hominem, yang oleh Karl Popper dipandang sebagai kegagalan rasionalitas kritis karena menghindari pengujian klaim faktual. Kritik terhadap jejaring kekuasaan-termasuk dugaan praktik mafia-tidak gugur hanya karena penulisnya dianggap tidak simpatik atau kontroversial. Kebenaran empiris menuntut verifikasi, bukan penilaian moral atas pembawanya.

Dari perspektif etika Kristen, pembalikan beban moral semacam ini bertentangan dengan spirit kenabian. Dalam Kitab Suci, para nabi kerap dituduh “mengacaukan Israel” justru karena mereka menyingkap ketidakadilan (bdk. 1Raj 18:17). Yesus Kristus sendiri dituduh memecah belah ketika Ia berkata, “Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Mat. 10:34), sebuah metafora tentang kebenaran yang mengguncang kenyamanan moral. Damai yang sejati dalam iman Kristen bukanlah ketiadaan konflik, melainkan buah dari keadilan (Yes. 32:17).

Secara teologis, Thomas Aquinas membedakan antara pax falsa (damai palsu) dan pax vera (damai sejati). Damai palsu lahir dari penindasan suara kebenaran, sedangkan damai sejati bertumbuh dari keterbukaan pada koreksi moral. Dalam kerangka ini, kritik Steph-meski menimbulkan ketegangan-tidak dapat serta-merta dicap sebagai pemecah belah. Ia justru dapat dibaca sebagai upaya menyingkap ketidakteraturan moral yang menghalangi keadilan komunal.

Kesimpulan penulis yang menolak tuduhan mafia juga rapuh secara metodologis. Ia tidak berhasil membuktikan ketiadaan praktik mafia; yang dilakukan hanyalah menyempitkan definisi mafia menjadi semata kejahatan yuridis yang telah diputus pengadilan. Padahal, dalam studi sosiologis, mafia sering dipahami sebagai jejaring pengaruh, kolusi, dan akses istimewa yang bekerja di wilayah abu-abu antara legal dan ilegal. Mengganti debat substansi dengan serangan karakter tidak memperkuat argumen, tetapi justru mengaburkannya.

Lebih jauh, klaim bahwa diskursus publik membebaskan aktor dari praktik mafia juga keliru. Sejarah menunjukkan bahwa banyak aktor berpendidikan dan tampil terbuka di ruang publik tetap dapat terlibat dalam praktik gelap. Amartya Sen mengingatkan bahwa transparansi formal tidak otomatis menjamin keadilan substantif. Integritas personal, betapapun pentingnya, bukan pengganti verifikasi fakta dan analisis struktural.

Pada akhirnya, penggunaan filsafat sebagai tameng otoritas-alih-alih sebagai alat kritik diri-mengkhianati hakikat filsafat itu sendiri. Filsafat, sebagaimana ditegaskan Immanuel Kant, menuntut keberanian untuk berpikir sendiri (sapere aude), termasuk menguji posisi kita sendiri secara jujur. Dalam terang iman Kristen, keberanian ini berpadu dengan panggilan moral untuk “mengatakan kebenaran dalam kasih” (Ef. 4:15). Kritik yang mengguncang bukanlah musuh persatuan; ia sering kali adalah jalan yang sulit namun perlu menuju keadilan dan damai yang sejati.

Bukan Membela, Tapi Mendegradasi
Fenomena yang tampak paradoksal ini justru memperlihatkan ironi dalam politik reputasi: pembelaan yang dimaksudkan untuk mengangkat martabat seorang tokoh malah berujung pada degradasi simbolik. Dalam konteks Nagekeo-bahkan lebih luas, NTT-nama GM selama ini disebut dengan rasa kagum, sebagai figur yang diasosiasikan dengan wibawa nasional dan jejaring kekuasaan yang besar. Namun, ketika pembelaan dilakukan secara membabi buta oleh para pendukungnya, citra itu bergeser: dari tokoh nasional yang berjarak dan berpengaruh menjadi figur lokal yang terseret dalam konflik sempit dan defensif.

Dalam kajian sosiologi simbolik, reputasi tidak semata dibangun oleh tindakan tokoh utama, melainkan oleh narasi yang diproduksi di sekelilingnya. Ketika para pembela mengganti argumentasi berbasis fakta dengan serangan personal dan penyangkalan apriori, yang terjadi adalah symbolic downgrading. Figur yang semula berada di atas konflik justru ditarik masuk ke arena polemik harian, kehilangan aura transendennya sebagai aktor besar yang tak perlu dibela secara reaktif.

Alih-alih memperkuat posisi GM, pembelaan semacam ini menciptakan kesan bahwa GM rapuh dan membutuhkan proteksi verbal dari “antek-antek” yang berbicara atas namanya. Dalam teori legitimasi politik, wibawa justru lahir dari kemampuan untuk membiarkan kritik diuji oleh fakta dan institusi, bukan dari upaya membungkamnya. Ketika pembelaan berubah menjadi penyerangan, publik membaca pesan yang berlawanan: ada sesuatu yang terlalu sensitif untuk disentuh.

Secara kultural, masyarakat Nagekeo memiliki kepekaan kuat terhadap simbol kepemimpinan. Tokoh yang dihormati adalah mereka yang tenang, tidak reaktif, dan tidak merasa perlu menjelaskan diri secara berlebihan. Karena itu, pembelaan yang agresif bukan hanya gagal meyakinkan, tetapi juga melanggar etos lokal tentang martabat. GM yang semula diposisikan sebagai figur “nasional” perlahan direduksi menjadi “tokoh Nangaroro”, bukan karena tindakannya sendiri, melainkan karena cara ia direpresentasikan oleh para pendukungnya, terutama VDS, pria necis yang selalu menunjukkan lengannya, yang ke mana-mana menjual nama GM seakan tidak mampu hidup di bumi tanpa memuja-muja GM.

Dari sudut pandang etika publik, terjadi pembalikan tanggung jawab moral. Para pembela mengklaim sedang melindungi kehormatan GM, tetapi justru menurunkannya dengan mengaitkan namanya secara langsung pada setiap bantahan, setiap serangan, dan setiap debat kecil. Dalam logika moral klasik, kehormatan tidak dijaga dengan teriakan, melainkan dengan jarak dan konsistensi tindakan. Ketika jarak itu hilang, kehormatan ikut runtuh.

Tradisi moral Kristen memberi cahaya kritis atas situasi ini. Dalam Injil, pembelaan yang berlebihan sering kali justru menyingkap kelemahan. Petrus yang menghunus pedang untuk membela Gurunya ditegur: “Sarungkan pedang itu” (Yoh. 18:11). Pesannya jelas: kebenaran tidak membutuhkan kekerasan verbal maupun loyalitas buta. Pembelaan yang tidak arif bukan tanda kesetiaan, melainkan ketidakpercayaan pada kekuatan kebenaran itu sendiri.

Secara filosofis, pembelaan tanpa refleksi diri juga menandakan kegagalan nalar kritis. Filsafat tidak dimaksudkan untuk menjadi tameng otoritas, tetapi alat koreksi-terutama koreksi terhadap pihak yang kita bela. Ketika filsafat dan moral hanya dipakai untuk menjustifikasi posisi, bukan untuk menguji kemungkinan salah, maka yang lahir bukan pembelaan bermartabat, melainkan propaganda yang mempersempit makna kebenaran.

Akhirnya, degradasi simbolik GM bukanlah hasil dari kritik publik, melainkan dari cara pembelaan yang salah arah. Reputasi nasional runtuh bukan karena serangan lawan, tetapi karena loyalitas yang tidak bijak. Dalam ruang publik yang dewasa, tokoh besar justru diangkat oleh pembela yang tenang, argumentatif, dan siap menerima uji fakta. Tanpa itu, kekaguman rakyat perlahan berubah menjadi kekecewaan-bukan pada sosok GM-melainkan pada narasi sempit yang dipaksakan atas namanya. ***

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Jaksa Kena OTT KPK : Gagalnya Jaksa Agung Lakukan Reformasi Kejaksaan
Hukrim

Jaksa Kena OTT KPK : Gagalnya Jaksa Agung Lakukan Reformasi Kejaksaan

Jaksa Kena OTT KPK : Gagalnya Jaksa Agung Lakukan Reformasi Kejaksaan KET FOTO : Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Hulu Sungai...

Read more
Sewa 50 Tahun, Dibungkus Rp4,5 Miliar: Logika Pemkab Lutim Dipertanyakan

Sewa 50 Tahun, Dibungkus Rp4,5 Miliar: Logika Pemkab Lutim Dipertanyakan

Tim Penasihat Hukum 22 Terdakwa Tolak Restitusi Rp1,65 Miliar, PH Keluarga Lucky: Hak Konstitusional Korban Tidak Bisa Dinegosiasikan

Tim Penasihat Hukum 22 Terdakwa Tolak Restitusi Rp1,65 Miliar, PH Keluarga Lucky: Hak Konstitusional Korban Tidak Bisa Dinegosiasikan

Yupelita Dima Tegas Bantah Tuduhan LGBT terhadap Prada Lucky: Dalil PH Terdakwa Tidak Pernah Dibuktikan di Persidangan

Yupelita Dima Tegas Bantah Tuduhan LGBT terhadap Prada Lucky: Dalil PH Terdakwa Tidak Pernah Dibuktikan di Persidangan

Tenaga Ahli KemenHAM Sambangi Kemenham Jateng, Dengar Aspirasi Jajaran dan Persiapan Pelatihan HAM

Tenaga Ahli KemenHAM Sambangi Kemenham Jateng, Dengar Aspirasi Jajaran dan Persiapan Pelatihan HAM

Pemkab Lembata dan Pengadilan Agama Lewoleba Teken Tiga Nota Kesepakatan Pelayanan Hukum Masyarakat

Pemkab Lembata dan Pengadilan Agama Lewoleba Teken Tiga Nota Kesepakatan Pelayanan Hukum Masyarakat

Load More
Next Post
Dorong Sektor Peternakan, Bupati Lembata Pimpin Rapat Skema Pembiayaan Ayam Pedaging

Dorong Sektor Peternakan, Bupati Lembata Pimpin Rapat Skema Pembiayaan Ayam Pedaging

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In