HARI IBU DAN PANGGILAN IMAN KATOLIK DI TENGAH RENCANA GEOTHERMAL ATADEI
Oleh : Nia Liman*
WARTA-NUSANTARA.COM– Jauh sebelum fajar menyentuh puncak gunung, saat kabut masih memeluk erat pepohonan, perempuan itu sudah terjaga. Di dapur yang masih remang, ia menjadi ‘imam’ pertama di altar rumah tangganya; menyalakan tungku dan meniup bara hingga api menyala, memastikan ada kehangatan yang menjalar ke seluruh penjuru rumah melalui uap air dan aroma makanan sarapan. Baginya, setiap percik api adalah simbol kehidupan yang harus dirawat agar tidak padam. Segera setelah itu ia membasuh dirinya, bersalin pakaian rapi, dan melangkah tenang menembus dingin menuju gereja untuk mengikuti Misa pagi. Di bawah atap rumah Tuhan, ia merekatkan kembali hubungan antara bumi dan langit. Baginya, doa adalah napas, dan kerja adalah ibadah.




Usai Misa, ia kembali ke rumah, menyiapkan sarapan sederhana, memastikan anak-anak tidak berangkat ke sekolah dengan perut kosong. Bagaimanapun, masa depan sebuah bangsa bermula dari meja makan yang cukup. Tak ada waktu baginya untuk berpangku tangan. Hidupnya adalah pengabdian yang mengalir deras. Dengan segera ia melarutkan diri dalam pekerjaan domestik yang seolah tak berujung; mencuci, menyapu, hingga berjalan jauh menjinjing jeriken demi mencari air bersih.



Hingga malam tiba dan rembulan menggantikan matahari, ia adalah penjaga terakhir yang memejamkan mata, hanya setelah memastikan segala sesuatu baik adanya dan semua penghuni rumah terlindungi dalam kenyamanan. Semua itu dilakukannya dengan penuh takzim, tanpa keluh dan tanpa pamrih. Setiap gerak tangannya bukan sekadar kerja fisik, tapi juga sebuah ritual penghormatan kepada kehidupan itu sendiri. Sebuah pengabdian tanpa tepi yang menempatkan dirinya sebagai jantung yang memompa nadi kehidupan keluarga, persis seperti tanah yang menyokong segala yang tumbuh di atasnya. Perempuan itu bernama ‘Ibu’.


Narasi tentang ketulusan ibu di ceruk dapur setiap rumah dalam gambaran di atas sesungguhnya telah menemukan gaung historisnya pada setiap tanggal 22 Desember, tanggal yang diperingati oleh Indonesia sebagai Hari Ibu Nasional. Peringatan Hari Ibu ini lahir dari sebuah monumen perjuangan yang dimulai sejak Kongres Perempuan Indonesia Pertama tahun 1928 di Yogyakarta. Momentum bersejarah itu telah mengumpulkan para perempuan pendahulu untuk menyatukan cita-cita dan usaha dalam memajukan perempuan Indonesia; sebuah ikhtiar luhur untuk menempatkan martabat perempuan sebagai pilar utama dalam menjaga kedaulatan bangsa dan tanah airnya. Dengan demikian, ada benang merah yang sangat kuat antara semangat kedaulatan tahun 1928 dengan ketakziman ibu yang menjaga tungku api tetap menyala. Keduanya adalah manifestasi dari penjagaan terhadap keberlangsungan hidup.


Dalam konteks tradisi Katolik, Hari Ibu selalu dirayakan di Masa Adven; sebuah masa penantian, waktu untuk berjaga, merawat harapan dan menyiapkan ruang bagi kehidupan yang akan lahir. Bunda Maria, dalam iman Katolik tidak saja dihormati sebagai ibu biologis dari Tuhan Yesus, tapi juga karena kesediannya untuk menjaga kehidupan dalam kerentanan yang ekstrim. Ia mengandung, melahirkan, dan merawat di tengah ketidakpastian sosial dan politik yang mengancam kala itu. Teologi Katolik melihat keibuan sebagai panggilan etis: menjaga, melindungi, dan menumbuhkan kehidupan bahkan ketika dunia di sekitarnya tidak ramah.


Di Lembata, terutama di wilayah Atadei, rencana pengembangan geothermal telah memicu ketegangan. Di atas kertas, proyek ini ditempatkan dalam kerangka transisi energi bersih. Tapi di lapangan, yang dirasakan banyak perempuan, terutama ibu, adalah ketakutan akan rusaknya tanah ulayat, berkurangnya sumber air, dan terganggunya ruang hidup yang menopang keluarga. Bagi mereka, isu energi bukan tentang listrik semata, tapi tentang air susu, air minum, dan keberlanjutan hidup sehari-hari.
Paus Fransiskus, dalam Laudato Si’, menegaskan bahwa krisis lingkungan tidak dapat dipisahkan dari krisis sosial. Ia mengingatkan bahwa bumi adalah “rumah bersama” (our common home), dan manusia dipanggil bukan untuk menguasai, melainkan merawat. Logika ini sejalan dengan etika keibuan: merawat tanpa mengeksploitasi, menggunakan tanpa merusak, dan merencanakan masa depan tanpa mengorbankan yang paling rentan.
Feminisme ekologis telah lama mengingatkan bahwa perempuan sering berada di garis depan dampak kerusakan lingkungan karena kedekatannya dengan kerja-kerja perawatan hidup. Kamla Bhasin, feminis Asia Selatan, menegaskan bahwa ketidakadilan gender dan kerusakan lingkungan bersumber dari logika yang sama: dominasi dan kontrol. Jika pembangunan dijalankan tanpa mendengar suara perempuan, maka akan ada pemindahan risiko ke tubuh dan kehidupan mereka. Artinya jika pengeboran itu terjadi maka keseimbangan alam akan rusak, mata air akan kering, ibu-ibu harus berjalan lebih jauh untuk mencari air, mendaki lebih tinggi, dan memikul jeriken lebih berat. Secara fisik, tubuh mereka akan mengalami keletihan luar biasa. Polusi dan perubahan kualitas lingkungan juga akan berdampak langsung pada kesehatan reproduksi perempuan. Jika tanah dicaplok atau rusak, perempuan kehilangan kedaulatannya untuk memastikan anak-anaknya makan. Perusahaan mendapatkan keuntungan, sementara perempuan mendapatkan beban untuk mempertahankan hidup di tengah lingkungan yang sudah tidak lagi ramah.
Transisi energi, karena itu, tidak saja tentang mengganti sumber energi fosil dengan energi terbarukan. Ia menuntut perubahan cara pandang: dari pendekatan teknokratis dan maskulin menuju pendekatan etika perawatan (ethics of care). Dalam terang iman Katolik, ini berarti menempatkan martabat manusia dan keutuhan ciptaan sebagai pusat, bukan sekadar target produksi energi. Karena itu Hari Ibu kali ini menjadi momen refleksi kolektif: apakah kebijakan pembangunan hari ini benar-benar berpihak pada mereka yang merawat kehidupan setiap hari? Apakah suara ibu-ibu di Lembata didengar sebagai subjek moral, atau hanya dianggap penghambat proyek strategis? Jika iman Katolik sungguh dihidupi, maka merawat bumi dan mendengarkan jeritan para ibu bukanlah sikap anti-pembangunan, tapi bentuk ketaatan pada panggilan iman itu sendiri.
Akhirnya, memuliakan ibu berarti memastikan tanah Lembata tetap utuh sebagai rahim kehidupan. Di ambang fajar baru ini, mari kita menjaga kesucian Bumi sebagaimana Maria menjaga Sang Bayi dalam palungan yang sederhana namun penuh martabat.
Selamat merayakan Hari Ibu, dan dalam semangat menjaga kehidupan yang baru lahir, selamat menyambut Natal bagi seluruh masyarakat Lembata yang merayakannya. Semoga damai Natal menyertai bumi dan rahim tanah kita.
Nia Liman, Pegiat Literasi dan Pendiri Taman Literasi Bintang Timur





