Polres Nagekeo Jangan Halangi Media Menulis Mafia Waduk Lambo (Catatan untuk Gerombolan Mafia Nagekeo (11)
Oleh Steph Tupeng Witin
Jurnalis, Penulis Buku âLembata Negeri Kecil Salah Urusâ dan
Pendiri Oring Literasi Siloam




Kubu VDS mati-matian berusaha menutup fakta dengan berbagai cara, mulai dari japri kepada saya, pembelaan membabi buta terhadap GM, hate speech di Grup WhatsApp Nagekeo Mandiri dan Grup Facebook Nagekeo News, hingga tulisan di media online. Kubu ini juga menggelar jumpa pers serta melakukan pertemuan dengan berbagai pihak yang dinilai berseberangan. Semua upaya itu dilakukan agar saya berhenti menulis untuk membongkar dugaan praktik mafia waduk Lambo yang telah berlangsung lama. Saya menulis dengan basis data dan fakta lapangan tapi gerombolan para begundal itu berulang-ulang menyebar hoaks yang sesungguhnya semakin menegaskan bahwa merekalah pelaku utama dugaan praktik mafia di Kabupaten Nagekeo. Tulisan mereka itu ibarat anak ingusan masih mentah yang memuntahkan kotorannya di pinggir jalan. Semua orang yang lewat memalingkan wajahnya. Ogah dan muak melihat kotoran itu.



Kubu kedua ini tampak kuat karena didukung oleh oknum polisi yang diduga masuk dalam jaringan mafia. Jaringan Mafia Waduk Lambo dan Mafia Nagekeo terdiri atas oknum polisi, oknum anggota legislatif, oknum pengacara, oknum pengusaha, dan oknum wartawan. Mereka leluasa beroperasi karena, ditengarai, ada bekingan orang kuat Jakarta. VDS diduga berada dalam barisan ini, dengan posisi yang dikesankan kepada publik sebagai pengusaha, pengacara, sekaligus pemilik media. VDS tampil terdepan membela AKP Serfolus Tegu dan Gories Mere (GM), mantan anggota Polri dan mantan staf khusus Presiden Jokowi Jika diberikan kebebasan kepada media untuk melakukan investigative reporting akan terlihat benang merah. Fakta mengherankan adalah VDS sudah pernah berjanji tidak akan terlibat lagi dalam debat perihal mafia waduk Lambo. Janji itu ia ungkapkan di salah satu media sosial dan dalam jumpa pers syarat skandal di Mbay beberapa waktu lalu. Namun kini VDS muncul lagimenceburkan dirinya ke dalam perdebatan mafia waduk Lambo. VDS menulis di Indonesiasatu.co., media miliknya yang ia kelola seadanya. Tipikal media ini sama dengan media abal-abal di Mbay lainnya yang menulis dengan prinsip: maju tak gentar membela yang bisa membayar, persetan dengan benar atau salah, tidak peduli orang baca atau tidak. Yang penting: pesanan tulisan dibayar!  Saya sendiri akan tetap menulis dengan energi pembelaan kepada orang-orang kecil yang menjadi korban penindasan mafia: Suku Redu, Gaja dan Isa dan kelompok warga Nagekeo lainnya yang ditindas komplotan KH Destroyer. Membaca tulisannya, VDS sesungguhnya sedang menarasikan dirinya bahwa di usia sudah lebih dari satu abad, VDS masih mencari jati dirinya. VDS ibarat anak kecil yang berkelahi berebut mainan dengan halusinasinya sendiri di pinggir waduk Lambo. Mengapa VDS dengan gagah berani mengingkari janjinya sendiri yang sudah terekam di jagat digital dan pasang badan menceburkan dirinya kembali dalam perdebatan seputar dugaan mafia waduk Lambo? Kita menduga, VDS sangat panik dengan bandang serial tulisan yang tidak pernah tertepi demi membela martabat orang-orang kecil yang hak-haknya dirampas dengan kasar oleh jejaring mafia. Banyak data dan bukti mafia dlaam serial tulisan saya. Hanya orang dungu yang memotong di tengah jalan perdebatan ini dengan intensi instan: membela begundal mafia dan bohirnya yang juga sangat panik dan sedang memantau dari lubang persembunyiannya.


Serial tulisan saya mengangkat berbagai kasus yang dialami masyarakat terdampak Waduk Lambo dan masyarakat Nagekeo pada umumnya. Di Waduk Lambo, sebagian masyarakat terdampak tidak mendapatkan dana ganti rugi sesuai hak mereka. Bahkan, ada warga yang sama sekali tidak memperoleh ganti rugi. Mafia memunculkan tuan tanah baru, sehingga memicu konflik komunal. Mafia juga mengeksiskan orang Nagekeo perantau yang memperoleh IUP galian C dan melakukan penambangan di lahan warga tanpa ganti rugi, atas nama PSN. Nama kontraktor itu sudah disebut berulangkali dalam serial tulisan.


Sebagian uang ganti untung tanah yang diterima para bapak tidak sepenuhnya sampai ke ibu rumah tangga. Jaringan mafia ditengarai membawa PSK-mereka menyebutnya dengan istilah âladiesâ-untuk menggoda para bapak. Ladies dan minuman keras menggerus uang ganti untung hingga berubah menjadi buntung. Kehadiran Kafe Coklat sangat menghancurkan keutuhan hidup keluarga-keluarga di Nagekeo khususnya Mbay dan sekitarnya. In fakta.
Jaringan mafia dengan bekingan oknum polisi juga memasok BBM untuk kontraktor di Waduk Lambo. Diduga kuat, BBM (solar) subsidi dijual di waduk dengan harga nonsubsidi. Saat ini, harga biosolar di SPBU sekitar Rp 6.800 per liter, sedangkan harga biosolar nonsubsidi sekitar Rp 21.000 per liter. Dengan menjual Rp 16.800 per liter saja, mafia sudah mengantongi selisih-atau margin rente subsidi-sekitar Rp 10.000 per liter. Amboy!



Salah satu indikasinya, mobil pribadi dan truk swasta yang membutuhkan BBM subsidi-solar dan Pertalite-kerap mengalami kelangkaan. Kelangkaan juga terjadi pada BBM subsidi di tingkat masyarakat. Kondisi ini bisa terjadi jika penjualan BBM di waduk dilakukan secara masif, baik yang bersubsidi maupun yang nonsubsidi.
Belum ada data yang berhasil dihimpun tentang jumlah BBM per hari dikonsumsi perusahaan yang beroperasi di waduk. Sekadar gambaran, di Waduk Lambo ada sejumlah genset yang beroperasi 24 jam. Ada dua kontraktor besar yang beroperasi di Waduk Lambo, yakni PT Brantas Abipraya dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang beroperasi melalui konsorsium (KSO), PT Bumi Indah sebagai pemenang tender. Banyak alat berat dan truk yang dioperasikan.
Mafia Nagekeo juga diduga memperoleh uang haram dari penyelundupan hewan. Kerbau dan sapi dari Nagekeo dan sekitarnya dikapalkan melalui Pelabuhan Marapokot. Selain itu, diduga sangat kuat bisnis narkoba dan judi online diduga marak berkat peran jaringan mafia.
Investigative Reporting
Opini yang saya tulis hanya sebuah sinyalemen yang perlu diikuti oleh jurnalisme investigasi yang dilakukan dengan bebas oleh media massa, minimal media massa lokal. Para wartawan tidak boleh diteror dan dikriminalisasi ketika mereka menulis kritis.
Jangan ada lagi monopoli informasi gaya AKBP Yudha Pranata yang hingga kini masih dipertahankan Kapolres Nagekeo yang baru. Buktinya, Serfolus Tegu bisa leluasa menelepon dan mengancam awak media yang menulis kritis. Mereka juga menelepon redaksi dan pemilik media agar tidak memuat berita wartawan kritis. Ada wartawan Nagekeo yang dicopot oleh pemrednya karena telepon ancaman dan janji iklan dari oknum polisi Nagekeo. Penulis sendiri mengalami, ada jejaring mafia yang memakai tangan pengacara menelepon media-media agar tidak lagi menurunkan serial tulisan saya. Sebuah upaya pembungkaman dan represi yang sangat biadab di era keterbukaan informasi ini. Pertanyaan sederhana: mengapa gelisah, takut, cemas dan panik dengan tulisan kritis di media kritis? Perilaku barbar antikritik ini sesungguhnya sangat kuat menarasikan ketakutan dahsyat bahwa jika dugaan praktik mafia waduk Lambo terbongkar, akan ada badai yang dashyat. Semakin ada upaya menutupi badai mafia, kekuatan media kritis dan civil society akan semakin berani membongkar semua kebobrokan itu! Media abal-abal yang selalu menulis remeh temeh itu ibarat bau kentut di pinggir waduk Lambo. Bau kentut hanya beredar di kalangan jejaring mafia. Selebihnya, orang muak dan jijik.
Jaringan mafia bekerja rapi. Jika pemilik lahan protes karena ketidakadilan dan melaporkan ke Polres, kasus mereka tidak diproses. Kalau diproses, pelapor malah diintimidasi. Kenapa? Karena pihak yang merugikan warga adalah pengacara dan pengusaha sahabat polisi dalam jaringan mafia.
Dalam situasi inilah media massa perlu diberikan kebebasan untuk melarikan investigative reporting. Investigative reporting atau jurnalisme investigative adalah praktik jurnalistik yang secara aktif mencari dan mengungkap fakta yang sengaja disembunyikan, terutama terkait penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kejahatan terorganisasi, dan pelanggaran hak publik. Berbeda dari peliputan harian yang reaktif, investigative reporting bersifat proaktif: ia berangkat dari kecurigaan rasional lalu diuji melalui kerja panjang, mandiri, dan sistematis. Dalam literatur akademik, praktik ini dipahami sebagai fungsi watchdog demokrasi yang menuntut akuntabilitas melalui verifikasi ketat (de Burgh; Ettema & Glasser).
Penerapannya mengikuti tahapan yang relatif baku. Proses dimulai dengan hipotesis awal-indikasi kejanggalan anggaran, konflik kepentingan, atau pola impunitas-yang kemudian diuji lewat pengumpulan data primer (dokumen kontrak, audit, putusan, basis data) dan wawancara mendalam dengan sumber kunci. Data tersebut diverifikasi silang antar-sumber independen, disusun menjadi kronologi dan analisis pola, lalu ditutup dengan hak jawab bagi pihak yang diberitakan. Di setiap tahap, jurnalis menim








