• Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak
Rabu, Desember 24, 2025
No Result
View All Result
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
  • Home
  • National
  • Internasional
  • Polkam
  • Hukrim
  • News
  • Pendidikan
  • Olahraga
No Result
View All Result
No Result
View All Result
Home Agama

Mungkinkah Waduk Lambo Menjadi Palungan?

by WartaNusantara
Desember 24, 2025
in Agama, Opini
0
Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong
0
SHARES
68
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

Mungkinkah Waduk Lambo Menjadi Palungan?

Oleh Steph Tupeng Witin SVD

Penulis, Jurnalis, Imam Katolik

WARTA-NUSANTARA.COM–  Natal selalu mengandung ironi. Di tengah kabar sukacita tentang kelahiran Sang Juru Selamat, Injil justru membuka kisahnya dengan penolakan: “Karena tidak ada tempat bagi mereka” (Luk. 2:7). Kalimat ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan cermin abadi tentang dunia yang sering kali gagal menyediakan ruang bagi yang lemah. Apalagi kalau dunia, ruang hidup ini, kita dikuasai oleh gerombolan mafia yang berpesta pora di atas hamparan derita dan air mata orang-orang kecil dan sederhana yang rapuh dalam segala dimensi.

RelatedPosts

Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong

Polres Nagekeo Jangan Halangi Media Menulis Mafia Waduk Lambo (Catatan untuk Gerombolan Mafia Nagekeo (11)

Hari Kesaktian Pancasila 2025 : Momentum Untuk Berefleksi dan Menegakkan Nilai Luhur Bangsa Indonesia

Saat Ibu Pertiwi Tak Lagi Memeluk Tapi Menghukum: Refleksi Hari Ibu di Tengah Kepungan Bencana

Load More

Yesus tidak lahir di istana, tidak di ruang kuasa, tidak di pusat peradaban. Ia lahir di palungan: ruang sisa, ruang pinggiran, ruang yang tak dianggap. Tapi ruang itu sering menjadi arena perebutan dalam aroma penindasan kuasa politik-ekonomi. Sejak awal, Natal adalah kritik diam terhadap tatanan yang rapi di atas kertas, tetapi timpang dalam kenyataan. Kritik keras, tajam dan menghujam sanubari siapa pun yang terbuka untuk diterangi dan digarami. Natal Adalah tanda konkret solidaritas Allah bagi kaum sisa, kaum pinggiran, kaum tak dianggap dalam gebyar kuasa dan politik. Karena itu, Natal tidak pernah netral. Ia selalu berpihak. Berpihak pada mereka yang datang dengan harapan, namun ditolak oleh sistem. Berpihak pada mereka yang kehilangan ruang hidup, namun diminta mengalah demi kepentingan yang disebut lebih besar.

Di tanah Flores hari ini, kisah palungan itu menemukan wajahnya kembali di sekitar Waduk Lambo, Nagekeo, Flores, NTT. Waduk yang digadang sebagai proyek strategis nasional, bagi sebagian warga justru menjadi ruang penderitaan yang sunyi. Air belum mengalir di waduk Lambo tapi air mata warga Redu, Isa dan Gaja bersama sesama warga lainnya telah menggenangi alur pinggiran waduk itu. Air mata itu Adalah narasi paling tragis Ketika suara mereka dibungkam oleh mafia yang berjejaring membentuk sebuah kekuatan jahat. Kekuatan tak berperikemanusiaan. Kuasa yang terpencil dari derap peradaban kemanusiaan.

Ada masyarakat yang telah menyerahkan rumah, kebun, tanah ulayat, bahkan kuburan leluhur, namun belum menerima ganti rugi secara utuh, bahkan ada yang belum menerima apa pun. Ada tanah batupasir yang diambil tanpa persetujuan, dengan alasan kepentingan negara, seolah kepentingan itu membatalkan martabat pemiliknya.

Ketika warga bersuara, suara mereka tidak didengar. Ketika melapor, laporan mereka kandas. Ketika mencari keadilan, mereka justru berhadapan dengan ketakutan. Hukum yang seharusnya melindungi berubah menjadi ancaman. Negara yang seharusnya hadir menjadi jarak.

Ada kisah yang lebih menyayat: warga yang wafat dalam tahanan saat memperjuangkan haknya. Ada yang terpaksa bersembunyi di hutan berminggu-minggu karena takut dipanggil aparat. Rasa aman, sebagai hak paling dasar manusia, lenyap dari kehidupan sehari-hari. Apa yang bisa mereka harapkan lagi dari kondisi nyata seperti ini?

Dalam terang iman Kristiani, ini bukan sekadar konflik proyek. Ini adalah krisis moral pembangunan. Ini adalah pertanyaan mendasar tentang arah negara: apakah pembangunan dijalankan untuk manusia, atau manusia yang dipaksa menyingkir demi pembangunan?

Kitab Suci sangat jelas dalam hal ini. Allah tidak pernah menutup telinga terhadap jeritan orang tertindas. “Aku telah melihat kesengsaraan umat-Ku dan Aku telah mendengar teriakan mereka” (Kel. 3:7). Allah bukan penonton netral; Ia berpihak pada korban.

Natal menegaskan keberpihakan itu secara radikal. Sabda menjadi daging (Yoh. 1:14), bukan menjadi kebijakan, bukan menjadi jargon, bukan menjadi slogan pembangunan. Allah memilih masuk ke tubuh yang rapuh, ke sejarah yang luka. Bukan ke tubuh penguasa yang lalim, bukan ke hati mantan penguasa keamanan yang terus saja diglorofikasi melebihi penguasa bangsa ini dan bukan melalui gerombolan antek-antek “Herodes” yang panik akan kedatangan Juruselamat.

Tanah, dalam tradisi biblis, bukan sekadar aset ekonomi. Tanah adalah bagian dari perjanjian, identitas, dan martabat. Merampas tanah tanpa keadilan berarti merampas masa depan. Karena itu para nabi bersuara keras terhadap kekuasaan yang mengambil ladang dan rumah sesamanya.

Ajaran Sosial Gereja Katolik menegaskan bahwa kebaikan bersama tidak boleh dibangun dengan mengorbankan segelintir orang. Pembangunan sejati harus berakar pada martabat manusia, solidaritas, dan keadilan. Tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang melukai.

Negara, dalam kerangka moral ini, bukan sekadar pengelola proyek, melainkan penjaga martabat warganya. Ketika warga dipaksa diam demi keamanan, maka yang runtuh bukan hanya keadilan, tetapi juga legitimasi moral kekuasaan.

Natal menolak damai palsu, damai yang lahir dari ketakutan dan pembungkaman. Damai yang dijanjikan para malaikat adalah damai yang tumbuh dari keadilan: “Damai di bumi bagi manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2:14).

Yesus sendiri mengalami hukum yang kehilangan nurani. Ia diadili secara tidak adil, diseret oleh kekuasaan, dan dihukum mati oleh sistem yang merasa sedang menjaga ketertiban. Karena itu, penderitaan warga hari ini tidak asing bagi Allah. Dia telah masuk dalam alur sejarah dan merasakan nikmatnya menderita bersama kaum kecil dan sederhana yangg terasing dari kekuasaan duniawi.

Namun Natal tidak berhenti pada luka. Palungan bukan akhir, melainkan awal. Dari ruang yang hina, kehidupan baru dimulai. Dari tempat yang ditolak, harapan dilahirkan.

Di sinilah makna simbolik itu menjadi tuntutan konkret: Waduk Lambo mestinya menjadi palungan. Bukan palungan ironi, tetapi palungan kehidupan. Bukan ruang trauma, tetapi ruang berkat bersama.

Palungan berarti tempat yang melindungi, bukan mengancam. Tempat hukum hadir sebagai pengayom, bukan pemburu. Tempat negara memulihkan, bukan sekadar membangun. Tempat orang-orang angkuh menunduk penuh hormat dan sungai pertobatan mengalir tenang.

Bagi masyarakat terdampak yang mayoritas Katolik, kerinduan ini adalah ekspresi iman. Mereka telah memberikan segalanya demi kepentingan umum. Maka keadilan bukanlah hadiah, melainkan kewajiban moral negara. Ganti rugi yang adil, transparan, dan utuh bukan kemurahan hati, tetapi pengakuan martabat. Penegakan hukum yang bersih bukan ancaman stabilitas, melainkan syarat damai yang sejati.

Natal memanggil pertobatan bukan hanya personal, tetapi struktural. Pertobatan yang berani mengakui kesalahan, membongkar praktik mafia, dan memulihkan korban tanpa syarat. Jika pembangunan terus berjalan sambil menutup mata terhadap penderitaan, maka yang dibangun bukan masa depan, melainkan akumulasi luka. Luka yang suatu hari akan menuntut pertanggungjawaban sejarah. Sebaliknya, jika negara berani menjadikan keadilan sebagai fondasi, maka pembangunan akan menjadi kesaksian moral. Air waduk akan menjadi simbol kehidupan, bukan air mata yang dibekukan.

Natal tidak diukur dari gemerlap perayaan, tetapi dari keberanian berpihak pada yang kecil. Dari kesediaan menempatkan manusia-bukan proyek-di pusat kebijakan.

Allah masih memilih palungan. Pertanyaannya bagi kita, sebagai bangsa, sederhana namun menentukan: mungkinkan kita mau menjadikan Waduk Lambo sebagai palungan,  tempat kehidupan dan keadilan bertemu, atau membiarkannya menjadi saksi sunyi bahwa kita pernah gagal mendengar jeritan sesama? Jawaban atas pertanyaan ini hanya niscaya kit akita menurunkan bendera keangkuhan dan meratakan bukit kecongkakan.

Natal berhenti menjadi sekedar liturgi rutin yang diputar ulang setiap akhir tahun di gereja.  Natal tidak sekadar kebisingan dan pesta ria. Momen sakral ini kita jadikan cerita yang sungguh hadir dan menyelamatkan. Natal, Tuhan datang ke dunia dan tinggal dalam kehidupan kita yang sibuk dan terpecah-belah. Dia yang terbaring lemah memanggil kita: hidup  lebih otentik dalam keajaiban terang-Nya, kedamaian, cinta,  kebaikan dan kehidupan baru yang mengunjungi kita. Natal hanya memiliki makna jika kita menjadikannya pemandangan di dalam diri, tempat hati kita bisa menikmatinya dan terjelma menjadi kasih persaudaraan. Mari kita menuju palungan waduk Lambo untuk bertemu dengan Dia! Di sana kita merajut kembali dan berjuang bersama-sama merawat kasih persaudaraan sejati. Salam damai Natal 2025 dan selamat memasuki Tahun Baru 2026.  ***

Kiwangona, 24 Desember 2025

 

WartaNusantara

WartaNusantara

Related Posts

Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong
Hukrim

Polres Nagekeo Jangan Halangi Media Menulis Mafia Waduk Lambo (Catatan untuk Gerombolan Mafia Nagekeo (11)

Polres Nagekeo Jangan Halangi Media Menulis Mafia Waduk Lambo (Catatan untuk Gerombolan Mafia Nagekeo (11) Oleh Steph Tupeng Witin Jurnalis, Penulis...

Read more
Hari Kesaktian Pancasila 2025 : Momentum Untuk Berefleksi dan Menegakkan Nilai Luhur Bangsa Indonesia

Saat Ibu Pertiwi Tak Lagi Memeluk Tapi Menghukum: Refleksi Hari Ibu di Tengah Kepungan Bencana

Retret Mewah dan Kegagalan Empati Kepemimpinan

HARI IBU DAN PANGGILAN IMAN KATOLIK DI TENGAH RENCANA GEOTHERMAL ATADEI

Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong

Ketika Antek-Antek GM Tak Henti Membungkam Suara Kebenaran (Catatan Untuk Gerombolan Mafia Nagekeo (10)

Menjelang Nataru, KemenHAM Pastikan Keamanan Sosial dan Pemenuhan HAM di Tempat Ibadah dan Pasar Semarang

Menjelang Nataru, KemenHAM Pastikan Keamanan Sosial dan Pemenuhan HAM di Tempat Ibadah dan Pasar Semarang

Tobby Ndiwa, Serfolus Tegu dan Kapolres Nagekeo Harus Diproses Hukum Terkait Kebocoran Data Intelijen dan Penyebaran Berita Bohong

Kasih-Nya Menyertai Kita

Load More

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ads

Tag

mostbet mostbet UZ Sastra
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman
  • Kontak

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

No Result
View All Result
  • Home
  • Polkam
  • Internasional
  • National

Copyright @ 2020 Warta-nusantara.com, All right reserved

Login to your account below

Forgotten Password?

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In