Ul. 26:4-10; Rm. 10:8-13; Luk. 4:1-13.
Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara-saudarku yang terkasih,
Hari ini, ketika memasuki hari kelima kita menjalankan masa puasa, bacaan injil justru menampilkan kisah Yesus digoda oleh iblis. Tidak main-main Yesus mengalami tiga kali godaan. Mengapa injil justru mewartakan pencobaan Yesus, tatkala kita baru saja mulai memasuki masa puasa? Penginjil hendak mengatakan kepada kita bahwa Yesus yang adalah Tuhan saja dicobai iblis, apalagi kita sebagai manusia biasa.
Yesus yang adalah manusia sekaligus Tuhan itu ketika dicoba, Iblis mencobai Yesus dari sisi kemanusiaan Yesus. Iblis tahu bahwa Yesus itu juga adalah manusia, karena itu ia mencoba-Nya. Ternyata iblis salah sangka. Kemanusiaan Yesus sedemikian kuat, berbanding lurus dengan ke-Tuhan- an Yesus. Kemanusiaan, atau lebih tepat kedagingan Yesus ternyata tidak selemah yang dibayangkan iblis. Karena itu Yesus berhasil melewati cobaan-cobaan itu. Apakah karena Yesus adalah Tuhan maka Yesus dengan gampang menghadapi godaan-godaan itu? Atau, apakah karena Yesus itu Tuhan maka Yesus sukses menepis semua godaan itu?
Di mana letak kekuatan kemanusiaan Yesus hingga mampu menangkal ketiga godaan itu? Letak kekuatan itu terletak dalam apa yang dikatakan penginjil Lukas:”Yesus penuh dengan Roh Kudus.” Yesus tidak mengandalkan kedagingan-Nya, tetapi Yesus meleburkan diri-Nya untuk hidup dalam Roh Kudus. Karena itu Yesus penuh dengan Roh Kudus. Yesus tidak saja penuh dengan Roh Kudus tatkala Dia kembali dari sungai Yordan, tetapi juga, ketika Ia pergi ke padang gurun. Ia pergi bukan karena kemauan-Nya sendiri, tetapi juga atas kehendak Roh Kudus. Karena itu maka Yesus dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun. Di situ Ia tinggal empat puluh hari lamanya.
Mengapa musti di padang gurun? Bukankah di padang gurun itu tidak ada kehidupan? Bukankah di padang gurun hanya ada fatamorgana? Bukankah di padang gurun hanya ada kesunyian yang menakutkan? Bukankah padang gurun itu adalah symbol derita dan kutuk? Lalu, mengapa justru harus di padang gurun?
Saudara-saudaraku yang terkasih, untuk memahami pertanyaan, mengapa harus di padang gurun, konteksnya adalah perjalanan keluar bangsa Israel dari perbudakan Mesir, menuju tanah terjanji dengan melewati padang gurun selama 40 tahun (Kitab Bilangan 8:1-6).Padang gurun dalam konteks ini adalah tempat Tuhan hendak “merendahkan hati bangsa Israel dan mencobai mereka untuk mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, yakni, apakah bangsa Israel berpegang pada perintah-Nya atau tidak.” (Bil. 8: 2). Selain itu, padang gurun adalah tempat Tuhan “membuat Israel mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN.” ( Bil. 8: 3) Dan pada akhirnya, padang gurun sebagai tempat Tuhan “mengajari Isarel seperti seseorang mengajari anaknya sendiri” (Bil. 8:5).
Maka secara umum, padang gurun adalah perjumpaan bangsa Israel dengan Allah, di mana Israel mengalami Allah sebagai Bapa yang mengetahui kedalaman hati mereka yang hanya terpaut pada Allah, sebagai satu-satu-Nya Allah Esa! Di padang gurun itu pula, Israel mengerti dan memahami kasih setia Allah, bahwa bagi Allah tiada yang mustahil. Ucapan Tuhan adalah otorita penuh maha kuasa mukjizat. Bahwa ucapan Tuhan itu memerdekaan dan menyelamatkan. Dan pada akhirnya, padang gurun adalah tempat pembelajaran kasih Allah. Bahwa Allah senantiasa mengajari mereka sebagaimana mereka mengajarkan anak kandung mereka.
Allah model inilah yang dijumpai Yesus ketika Ia berada di padang gurun. Allah yang dijumpai Yesus di padang gurun adalah Allah yang terus-menerus menguatkan Putra-Nya. Karena itu, tatkala Yesus dicobai iblis untuk mengubah batu-batu menjadi roti, Yesus dengan tegas menghardik iblis dengan berkata:” Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja. ” Pada godaan yang kedua Yesus menjawab:” “Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”
Jawaban Yesus hendak mengatakan kepada kita bahwa Tuhanlah satu-satunya andalan hidup manusia. Kepada Dialah kita bersandar. Bukan kepada “dewa-dewa” lain. Di padang gurun itu Yesus hendak menegaskan diri-Nya kepada iblis bahwa Dia tidak akan menduai Tuhan. Di Padang gurun Yesus hendak mengatakan bahwa harta, kekuasaan dan jabatan bukanlah tujuan akhir kehidupan tetapi yang menjadi tujuan terakhir adalah keselamatan yang digapai melalui percaya penuh kepada Allah. Maka penggodaan di padang gurun hendak mengajarkan bahwa hanya kepada Tuhan kita mengarahkan hati dan bukan kepada yang lain.
Jawaban Yesus ini sejalan dengan bacaan I hari ini. Bacaan yang menyatakan bahwa Allah itu Pencemburu. Bahwa tidak boleh ada allah lain selain DIA! Bila menduakan Tuhan maka kamu menimbulkan sakit hati-Nya, maka pastilah kamu habis binasa .”
Bapa, ibu, saudara-saudariku yang terkasih, kita sedang berada di masa puasa. Tatkala kita menjalankan hari-hari berrahmat ini, tentu godaan-godaan akan selalu saja menghampiri kita. Bila hari ini kita berhasil mengatasi godaan, belum tentu besok kita berhasil, karena walau roh kita memang kuat tetapi daging kita lemah.
Karena itu maka marilah kita menguatkan kemanusiaan kita, kita mengokohkan kedagingan kita dengan “pergi” ke “padang gurun.” Padang gurun bukan menjadi tempat yang menakutkan. Padang gurun bukanlah symbol derita dan kutuk, melainkan sebagai tempat perjumpaan yang intim mesra secara pribadi dengan Tuhan, sebagai satu-satunya kekuatan hidup kita. Pada akhirnya, di padang gurun kehidupan kita, kita mengokohkan komitmen kita untuk senantiasa menjalankan amal, doa dan puasa dengan baik dan benar.
Padang gurun itu, adalah saat kita mengambil kesempatan untuk berada bersama Tuhan. Padang gurun adalah saat teduhnya kita, anda dan saya, untuk berjumpa dengan Tuhan dalam doa, amal dan puasa. Bila kita senantiasa berjumpa dengan Allah di “padang gurun” kehidupan kita maka, pencobaan demi pencobaan, godaan demi godaan akan diatasi, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Yesus. Kemenangan, mujizaat dan pembelaan Tuhan bagi kita adalah bagian orang-orang yang taat kepada Tuhan. Padang gurun adalah tempat di mana kita diproses. Akhirnya penggodaan di padang gurun hendak mengajarkan kita untuk bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, bahwa Dia satu-satunya asal muasal dan tujuan hidup kita.**