Oleh : Germanus S. Atawuwur. Alumnus STFK Ledalero
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
WARTA-NUSANTARA.COM-Kita sekalian yang hadir pada kesempatan ini, tentu sudah pernah diundang untuk suatu hajatan tertentu. Bahkan kita yang hadir di sini pernah juga mengundang orang lain untuk suatu perayaan tertentu. Biasanya di dalam hajatan itu,diadakan juga perjamuan bersama. Di dalam perjamuan itu, tercipta suasana sukacita. Sukacita karena mengalami persekutuan dan persaudaraan bersama.
Hari ini, kita mengenang Perjamuan Malam Terakhir. Yesus mengadakan sebuah perjamuan bersama dengan para murid-Nya. Perjamuan itu sebagai detik-detik terakhir sebelum Yesus masuk dalam babak kehidupan yang baru, babak sengsara dan wafat. Karena itu Yesus memberi contoh yang sebetulnya tidak patut untuk dilakukan oleh seorang Raja. Ia melakukan sebuah perbuatan hina, yang mustinya dilakukan oleh budak-budak di zaman-Nya. Namun Yesus malah melakukan hal itu untuk menegaskan kepada murid-murid-Nya, bahwa Dia adalah Raja yang berhati Hamba, yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani.
Untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Raja yang berhati hamba, sebelum melakukan pembasuhan kaki para murid-Nya, penginjil Yohanes mencatat bahwa Dia terlebih dahulu menanggalkan jubah-Nya. Jubah itu symbol kemahakuasaan, symbol ke-Raja-an. Wibawa sebuah penguasa. Tetapi Yesus tanggalkan “jubah” itu, dan Dia menjadikan diri-Nya sebagai Hamba. Karena itu, sesudah Dia menanggalkan jubah-Nya, Ia mengambil sehelai kain lenan lalu mengikatkannya pada pinggang-Nya. Kemudian Ia menuang air dalam sebuah bejana, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya. Ia melakukannya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Sebagai Raja yang berhati Hamba Yesus tanpa malu menunjukkan contoh inikepada para murid-Nya, Ia mencuci kaki kedua belas murid-Nya. Yesus tidak hanya mencuci kaki para murid lalu membiarkan para murid-Nya mengeringkan sendiri kaki-kaki mereka. Karena itu setelah mencuci kaki para murid-Nya, Ia mengambil kain lenan yang terikat di pinggang-Nya, lalu menyeka-keringkan kaki para murid. Sebuah contoh yang hendak
murid-murid-Nya, bahwa Dia adalah Raja yang berhati Hamba, yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani.
Untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Raja yang berhati hamba, sebelum melakukan pembasuhan kaki para murid-Nya, penginjil Yohanes mencatat bahwa Dia terlebih dahulu menanggalkan jubah-Nya. Jubah itu symbol kemahakuasaan, symbol ke-Raja-an. Wibawa sebuah penguasa. Tetapi Yesus tanggalkan “jubah” itu, dan Dia menjadikan diri-Nya sebagai Hamba. Karena itu, sesudah Dia menanggalkan jubah-Nya, Ia mengambil sehelai kain lenan lalu mengikatkannya pada pinggang-Nya. Kemudian Ia menuang air dalam sebuah bejana, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya. Ia melakukannya sendiri tanpa meminta bantuan orang lain.
Sebagai Raja yang berhati Hamba Yesus tanpa malu menunjukkan contoh inikepada para murid-Nya, Ia mencuci kaki kedua belas murid-Nya. Yesus tidak hanya mencuci kaki para murid lalu membiarkan para murid-Nya mengeringkan sendiri kaki-kaki mereka. Karena itu setelah mencuci kaki para murid-Nya, Ia mengambil kain lenan yang terikat di pinggang-Nya, lalu menyeka-keringkan kaki para murid. Sebuah contoh yang hendak disampaikan Yesus kepada murid-murid-Nya, bahwa sebuah pelayanan tidak boleh setengah-setangah. Sebuah pelayanan harus dilakukan hingga tuntas. Itulah pelayanan paripurna yang ditunjukkan Yesus kepada para murid-Nya oleh karena kasih-Nya kepada mereka.
Selesai Yesus melakukan adegan itu, Dia mengenakan pakaian-Nya dan duduk kembali. Kemudian Dia memberikan wejangan sebagai Guru. Kepada para murid-Nya wejangan itu disampaikan, ” Mengertikah kamu arti perbuatan-Ku itu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan. Jika Aku, Tuhan dan Gurumu membasuh kakimu, maka kamu pun wajib membasuh kaki. Sebab Aku telah memberikan teladan kepadamu, supaya kamu juga buat seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.”
Menjelang masa berakhir hidup-Nya Yesus melaksanakan dua hal yang tidak mungkin dilupakan. Pesan terakhir-Nya juga teladan-Nya. Kata-kata dan perbuatan-Nya tertoreh dalam ingatan kolektif para murid-Nya. Kata-kata sebagai wejangan terakhir itu tentu menggugah para murid-Nya. Kata-kata itu tentu membakar semangat mereka. Sedangkan teladan itu, mengobarkan gairah para murid. Teladan itu,
disampaikan Yesus kepada murid-murid-Nya, bahwa sebuah pelayanan tidak boleh setengah-setangah. Sebuah pelayanan harus dilakukan hingga tuntas. Itulah pelayanan paripurna yang ditunjukkan Yesus kepada para murid-Nya oleh karena kasih-Nya kepada mereka.
Selesai Yesus melakukan adegan itu, Dia mengenakan pakaian-Nya dan duduk kembali. Kemudian Dia memberikan wejangan sebagai Guru. Kepada para murid-Nya wejangan itu disampaikan, ” Mengertikah kamu arti perbuatan-Ku itu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan. Jika Aku, Tuhan dan Gurumu membasuh kakimu, maka kamu pun wajib membasuh kaki. Sebab Aku telah memberikan teladan kepadamu, supaya kamu juga buat seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.”
Menjelang masa berakhir hidup-Nya Yesus melaksanakan dua hal yang tidak mungkin dilupakan. Pesan terakhir-Nya juga teladan-Nya. Kata-kata dan perbuatan-Nya tertoreh dalam ingatan kolektif para murid-Nya.
Kata-kata sebagai wejangan terakhir itu tentu menggugah para murid-Nya. Kata-kata itu tentu membakar semangat mereka. Sedangkan teladan itu, mengobarkan gairah para murid. Teladan itu, memikat minat mereka, sehingga menimbulkan partisipasi dalam pelayanan Yesus Sang Raja yang berhati Hamba. Kekuatan kata-kata itu, keterpikatan teladan itu, pada akhirnya membuat Paulus dalam suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus menegaskan kembali kata-kata Yesus:” Perbuatlah ini untuk mengenangkan Daku.”
Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih,
Tatkala kita merayakan Perjamuan Tuhan sebagai Perayaan Kenangan malam ini, sejatinya, kita harus menyadari bahwa perjamuan itu, tidak saja dilakukan Yesus untuk kedua belas murid-Nya, melainkan Yesus mengundang kita semua, Anda dan saya, untuk masuk dalam Perjamuan Suci ini. Yesus mengundang tidak hanya saya dan Anda semua, melainkan Ia juga mengundang semua orang dari segala zaman untuk turut serta dalam perjamuan ini. Dalam perjamuan kenangan ini, yang “dihidangkan” adalah Tubuh dan Darah Kristus sendiri. Karena hidangan perjamuan ini adalah Tubuh dan Darah Kristus sendiri maka Perjamuan ini akan berlangsung terus, sampai dunia ini berakhir. Karena itu maka dengan
bacaan II akan tetap relevan. “Inilah Tubuh-Ku, yang diserahkan bagimu; perbuatlah ini untuk mengenangkan Aku. Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan, Ia lalu berkata, “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan dalam darah-Ku. Setiap kali kamu meminumnya, perbuatlah ini untuk mengenangkan Daku.”
Paulus mengulang kalimat:” Perbuatlah ini untuk mengenangkan Daku.” Bila hal yang diulang-ulang, berarti ada sesuatu yang penting di sana. Maka pertanyaannya adalah, apa yang penting sehingga diulang-ulang? Hal yang penting itu adalah pelayanan. Pelayanan tanpa batas. Pelayanan tanpa pamrih tertentu. Pelayanan kepada semua orang, tidak pandang bulu. Pelayanan yang sungguh-sungguh. Tidak boleh setengah-setengah. Pelayanan tanpa batas. Tidak boleh tersekat oleh karena kepentingan tertentu. Harus utuh-total. Tuntas hingga akhir. Model pelayanan seperti dideskripsikan di atas itulah yang harus menjadi kekhasan kita sebagai pengikut Kristus. Dalam pelayanan itu, segala hal dipertaruhkan, pikiran, perasaan, komitmen, waktu dan materi. Bahkan nyawapun dapat menjadi taruhan pelayanan total itu.
Dalam konteks pelayanan model beginilah marilah kita bertanyaa pada diri sendiri, apakah dalam keseharian hidup kita, anda dan saya menunjukkan pelayanan yang sungguh-sungguh kepada sesama, teristimewa kepada orang-orang yang membutuhkan bantuan kita? Bila kita jujur, pelayanan kita kadang diskriminatif. Kita lebih suka melayani orang-orang yang masuk dalam kelompok the havest, kelompok yang punya segalanya: uang, harta, pangkat dan kedudukan. Kepada orang-orang model begitu kita malah memberikan pelayanan prima. Sementara di pihak lain, bila datang orang yang tak punya, dia cuma orang biasa saja, maka kita akan mempunyai seribu satu alasan untuk menolak memberikan pelayanan. Kalau pun pada akhirnya kita harus memberikan pelayanan, pelayanan itu hanya setengah-setengah. Kadang juga, kita lebih suka melayani orang-orang yang selalu memuji-muji kita, kita lebih suka melayani orang-oang yang menyenangi kita, sementara itu, orang yang tidak suka dengan kita, kita tidak melayani mereka. Pelayanan kita justru kita delegasikan kepada orang lain. Bila orang yang membenci kita, tiba-tiba membutuhkan
sebuah pelayanan dari kita, kita malah tidak bergeming. Beraneka litany alasan segera keluar dari mulut kita.
Deretan “kekurangan” dan ketidakmaksimal pelayanan kita itu justru ditantang Yesus dalam contoh pelayanan pembasuhan kaki. Yesus tidak hanya membasuh kesebelas kaki murid-Nya. Ia membasuh juga kaki Yudas Iskariot, yang kelak mengkhianati-Nya. Yesus tahu, bahwa Yudas Iskariot akan mengkhianati-Nya tetapi Yesus tetap memasuh kaki-Nya. Karena itu tatkala menanggapi pernyataan Petrus, Yesus berkata:” Kamu pun sudah bersih, hanya tidak semua. Yesus tahu, siapa yang akan menyerahkan Dia; karena itu Ia berkata:” Tidak semua kamu bersih.”
Kata-kata Yesus ini menjadi kenyataan sebagaimana yang ditulis injil Yohanes:” Ketika mereka sedang makan bersama, setan membisikan dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, rencana untuk mengkhianati Yesus. Pengkhianatan Yudas, menghantar Kristus Sang Raja yang berhati Hamba akhirnya harus menderita, sengsara dan wafat di salib. Itulah bukti pelayanan paripurna dari Sang Raja oleh karena Kasih-Nya tanpa batas bagi kita. Sebagai balasannya, mari kita berkomitmen untuk menerjemahkan kata-kata Yesus dalam kehidupan kita sehari-hari:” Perbuatlah ini sebagai kenangan akan Daku.” ***








