Oleh : Godfridus Sesfao, Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang/ Semester 4
Abstraksi :
WARTA-NUSANTARA.COM-Tulisan ini sebagai syarat untuk memperoleh nilai ujian Semester Mahasiswa Filsafat Unwira Kupang. Penulis mengembangkan tulisan ini berdasarkan pembelajaran dalam teori Kosmologi yang terdapat dalam modul. Persoalan yang menarik perhatian penulis adalah persoalan menganai saat awal dan akhir kosmos. Yakni apakah kosmos berawal dan berakhir. Penulis mengambil tema ini karena menari untuk direfleksikan dan menjawabnya. Nampaknya penulis lebih gampang menjawab pertanyaan terakhir dibandingkan dengan pertanyaan pertama. Sebab, Karena itu, penulis berpendapat bahwa kosmos sedang dalam perjalanan berakhir. Hal ini ditandai dengan persoalan-persoalan yang terjadi baik itu perang, masalah kemanusiaan yang dialami oleh manusia serta hewan dan tumbuhan sebagai mikrokosmos. Untuk itu berdasarkan dua terori yakni Utilitarianisme dan etika situasi Flether penulis menawarkan satu cara untuk mengisi saat-saat perjalanan kosmos itu yakni dengan bertindak sesuai dengan kehendak hati tetapi ada satu norma yang membimbing yakni untuk kegunaann dan cinta kasih kepada semua makhluk tercipta dan Pencipta. Jika, ada kegunaan dan cinta kasih dalam perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
Pendahuluan:
Dua pertanyaan mendasar dalam persoalan kosmos adalah apakah kosmos itu berawal dan berakhir. Para Filsuf baik dari Yunani Kuno telah mengukapkan jawaban mereka yang tentunya berdasarkan refleksi atau pengalaman mereka dengan kosmos yang lalu dikaji atau diuji dalam akal budi. Parmenides mengawali pembicaan ini dengan menyatakan alam semesta tidak memiliki saat awal dan saat akhir. Ia mendasarkannya atas asumsi bahwa yang tetap adalah yang ada, tanpa gerak, tanpa perubahan, ruang dan waktu adalah ilusi.[1] Selanjutnya masih berberapa filsuf lagi yang juga memberikan padangan mereka atas persoaaln ini antar lain Asristotels, Spinoza, Imanuel Kant dan akhirnya Whitenhead yang melengkapi perdebatan ini dengan menyatakan alam semesta memiliki saat awal dan saat akhir. Ia berdasarkan pandanganya bahwa entitas abadi yang tidak memiliki saat awal dan saat akhir hanyalah Tuhan. Semua proses entitas di luar Tuhan selalu dalam “proses menjadi”.[2] Pandangan Whitehead inilah yang akan penulis kaji secara khusus dalam tulisan ini. Berdasarkan jawaban-jawaban ini, penulis yang telah berada di bumi ini 22 tahun kiranya memiliki pengalaman tetang alam semesta, yakni tetang bagaimana penulis menyaksikan pergantian antara pagi ke siang lalu ke sore dan berakhir pada malam hari. Dan situasi lain yang dirasakan penulis adalah tetang panas, dingin, hujan, mendung, kabut. Serta adanya tumbuhan-tumbuhan yang tumbuh dan hewan-hewan yang berjuang mempertahankan spesias masing-masing dan teristimewa pengamatan penulis tetang manusia yang semakin maju dalam pengetahuan dan juga penemuan-penemuan, namun, selalu diserta dengan permasalahan yang semakin hari semakin kompleks (Ekonomi, Politik, Kebudayaan, Agama dan Lingkungan Hidup). Semua permaasalah ini terjadi di dalam dunia yang satu dan sama yang dikenal dengan kosmos. Lantas bagaimanakah menilai situasi ini? Kaum Utilitarianisme berpandangan bahwa perkembangan yang baik itu hanya kalau ada kebaikan bagi semua. Joseph Flether mengajukan suatu perbuatan yang harus dilakukan berdasarkan situasi. Sesungguhnya dalam etika situasi tidak ada norma umum yang absolut yang dijadikan sebagai patokan. Tetapi semuanya sesuai dengan situasi yang tentunya unik dan mempunyai jalan keluarnya tersendiri. Dan satu satunya prinsip atau hukum dalam pengambilan keputusan adalah norma cinta.[1] Berdasarkan pandangan ini penulis menyimpulkan bahwa jawaban atas dua pertanyaan ini yakni apakah kosmos berawal dan berakhir dapat dilihat dalam situasi saat ini. Bahwasannya pendapat-pendapat para filsuf terdahulu telah menjawab pertanyaan itu. Tetapi di zaman now ini tentu mempunyai jawabannya tersendiri berdasarkan persoalaan-persoalan mendasar tadi. Sebab itu, penulis mau mengatakan bahwa kosmos saat ini telah memiliki awal dan sekarang sedang berjalan menuju akhir. Lantas apakah usaha manusia Untuk hidup di saat yang sedang berlangsung ini, agar ia dapat menemukan dirinya sebagai manusia yang berkemanusiaan? Apakah usahanya sendiri dapat menolongnya di tengah gerakan makrokosmos ini.
Penamaan: Kata Kosmos berasal dari kata Yunani yang berarti :” susunan atau keteraturan.” Kata susunan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti:”1. Sesuatu yang sudah diatur dengan baik, karang mengarang, 2. Sesuatu yang sudah disusun (ditumpukan), 3. Hasil Menyusun.[1] Sedangkan kata keteraturan berarti:” kesamaan keadaan, kegiatan, atau proses yang terjadi beberapa kali atau lebih; keadaan atau hal teratur.[2] Dengan demikian, maka orang-orang Ionia Kuno berani menyatakan bahwa “Alam semesta dapat dimengerti”, karena alam semesta memperlihatkan suatu keteraturan.[3] Dalam Metafisikan ketika berbicara mengenai sifat transendental dari “Ada” adalah kesatuan. Semakin barang itu bersatu maka barang itu semakin dikenal. Tetapi, jika barang-barang itu tidak bersatu maka akan sulit untuk dikenal. Hal itulah yang diistilahkan dalam Kitab Kejadian dengan chaos:” tanpa bentuk.” Atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tidak berwujut. Dalam mitodologi Yunani keadaan ini diciptakan oleh dewa-dewa yang bertindak sesukanya. Jadi yang menjadi persoalan di dalam kosmologi: kosmos (yang tersusun, teratur) dan Logos: (ilmu, kata) yakni ilmu yang mempelajari tetang dunia yang tersusun ini.[1]
Filsuf yang menolak Saat Awal dan Saat Akhir Kosmos Kata “saat” menunjukan: waktu, ketika.[2] Persoalan tetang waktu sendiri merupakan persoalan sengit yang belum juga tak kunjung habis. Sebab, jawaban yang berbeda-beda dari para filsuf ini menjadi dasar dari kaum Skeptis yang menyakngkal bahwa alam budi manusia tidak mungkin mencapai kebenara dalam konteks ini adalah alam semesta. Bahkan kaum Skeptis seperti Phyro yang tidak mau tau atau acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi dan berusaha untuk bebas dari segala pikiran. Namun, Sokrates adalah pribadi yang berhasil menyelamatkan filsafat dengan menyatakan bahwa secara kodrat akal budi manusia dapat mencapai kebenaran. Sehingga dalam memahami soal awal dan akhir dari kosmos juga ditemui hal-hal penerimaan dan penolakan. Aristoteles dalam bukunya Physics bagian IV, membicarakan tetang problem ruang, kekosongan dan waktu. Pendapatnya tetang w aktu lebih agak kabur. Ia menyatakan bahwa waktu seperti halnya dengan ruang bersifat “continuous”-berkesinambungan. Aristoteles percaya bahwa yang riill adalah waktu sekarang; tetapi pikiran kita sadar akan waktu masa lampau, dan mampu mengantisipasi masa depan.[3] Dengan bahasa yang agak sama Drijarkara membahasakan maksud itu dengan menulis :kesadaran manusia tetang waktu itu menyangkut dua hal yaitu kesadaran tetang “yang lalu” dan kesadaran tetang “yang akan datang” dan yang menjadi hubungan keduanya adalah “masa kini”. Saat sekarang itu merupakan kesadaran akan diri sendiri yang sebagai barang yang ada, akan tetapi terus menerus berubah.[1] Sedangkan, pada awalnya Permanides menyatakan bahwa waktu itu hanya sebuah ilusi. Yakni di dunia ini tidak ada waktu, gerak. Dan yang ada hanyalah Yang -ada itu ada. Inilah yang disebut kebenaran yang dimungkiri (Hadiwijono, 1980: 23).[2] Dengan demikian ia menjadi orang pertama yang dikenal sebagai orang yang mengakarkan bahwa alam semesta tidak memiliki awal dan saat akhir. Kata Awal dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer berarti:” permulaan.”[3] dan kata :”akhir” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti:” belakangan, kesudahan,penghabisan.[4]jadi baik permulaan maupun kesudahan dari alam semesta itu tidak ada menurut Permanides.
Filsuf yang mengakui saat awal dan saat akhir Kosmos Whitehead adalah filsuf yang menyatakan bahwa alam semesta memiliki saat awal dan saat akhir. Hal ini dibangun dengan memakai nama Allah sebagai entitas yang tidak berubah.
Secara tegas ia menyatakan bahwa entitas yang tidak berubah hanyalah Allah, sebab pada hakekatnya Ia adalah yang awal dan yang akhir. Semua entitas di luar Tuhan selalu dalam “proses menjadi”. Contoh entitas di luar Tuhan adalah manusia. Menurut Drijarkara manusia itu berjiwan dan juga berbadan karena itu ia selalu berada dalam proses menjadi. Dalam tiap-tiap saat ia adalah terjadi, akan tetapi tidak ada saat berhenti! Dalam tiap-tiap saat dia terus menjadi juga![1] Menurut Whiethead Proses itu bukan proses buta, tetapi memerlukan “elemen formative” sebagai sumber Kreatifitas adalah Tuhan. Pandangan Whitehead ini disebut:”panentheime” :(semua serba di dalam Tuhan). Dibedakan dengan “pantheisme”, artinya semua serba Tuhan”.[2]
Kesadaran akan Kosmos saat ini Kosmos atau dunia tempat dimana kita tinggal ini disebut oleh St. Fansiskus dari Asisi sebagai saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka.[3] Dalam Ensiklik Laudato Si mi’ Signore”, —“Terpujilah Engkau, Tuhanku”. Kosmos/ rumah/lingkuangan yang kita tinggali saat ini oleh Paus Fransiskus disebut sebagai saudari kita yang sedang menjerit oleh segala kerusakan yang kita timpakan kepadanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, air, udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu, bumi terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Ia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin” (Roma 8:22). Kita lupa bahwa kita sendiri dibentuk dari debu tanah (Kejadian 2:7); tubuh kita tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya.[1] Dengan demikian nyanyian pujian kepada Allah oleh alam kini menjadi jeritan yang terus menyakiti hati Allah sebagai Pencipta. Penderitaan itu, dialami pertama-tama adalah ulah manusia yang menerapkan sistem membangun tanpa cinta lingkungan Hidup. Hal ini berarti ekologi kita sedang berada dalam egologi yakni semangat untuk meraih keuntungan sebesarnya dari lingkungan hidup/ alam dan tanpa memperhitungkan makhluk yang lain. Sebab itu, krisis lingkungan terjadi dimana-mana dan sampai akhirnya menyebabkan krisis dari penghuni lingkangan itu sendiri yakni manusia sebagai tuan atas segala ciptaan. Paus St. Yohanes Paulus II menjadi semakin khawatir akan masalah ini. Dalam ensikliknya yang pertama ia memberi peringatan bahwa manusia tampaknya sering “tidak melihat makna lain dari lingkungan alam selain apa yang berguna untuk segera dipakai dan dikonsumsi”.4 Selanjutnya, ia menyerukan pertobatan ekologis global. Pada saat yang sama, ia mencatat bahwa hampir tak ada usaha untuk “mengamankan kondisi-kondisi moril lingkungan manusiawi. [1]
Sikap yang perlu dilakukan perspektif Filsafat Etika
Ada dua sikap kiranya yang penulis sarankan yakni yang pertama adalah utilitarisme. Utilitarisme adalah paham etika yang menyatakan bahwa melakukan apa saja yang dapat membawa kebaikan sebanyak-banyaknya bagi orang lain. Namun, sikap ini hendaknya yang harusnya dipikirkan adalah bukan hanya ”Aku”/Ego tetapi juga memikirkan sesama/orang lain/makhluk yang lain atau sesara umum memikirkan yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa. Sebab mereka adalah aku yang lain yang juga membutuhkan penghargaan yang sama. Selanjutnya, dari segi filsafat etika penulis mengangkat etika Filsafat Flether untuk menjawapi persoaalan tersebut. Etika Filsafat Flether adalah etika yang tidak terikat pada aturan norma apa pun kecuali norma cinta kasih. Cinta kasih yang ditekankan adalah cinta kasih yang tanpa syarat (agape). Cinta kasih yang tanpa syarat itu juga harus nyata dalam perbuatan nyata setiap hari dan bukan hanya lewat pikiran. Hal ini pulalah yang diajarkan di dalam gereja. Cinta kasih adalah hukum peertama dan utama dan merupakan rungkasan dari seluruh hukum. Bahwasannya ketika berhadapan dengan situasi yang berbeda khususnya situasi alam kita saat ini harus ditangani dengan cara yang berbeda pula. Caranya bukan lagi menguasai dan mengambil sebannyak-banyaknya dengan semang egologi tetapi mengatasinya dengan mencitai alam sebagai sesama ciptaan yang memiliki martabat tersendiri pula dengan semangat ekologi .
Penutup:
Jawaban Filsafat tetang pertanyaan apakah Kosmos memiliki saat awal dan saat akhir adalah jawaban yang beragam. Hal ini dikarenakan persoalan kosmos yang begitu luas dan juga memiliki saling keterkaitan namun direfleksikan berdasarkan kesanggupan akal budi dan sudut pandang masing-masing. Hal ini, jika dianalogikan sekurang-kurangnya seperti satu Koin yang memiliki dua sisi yakni yang sisi yang satu adalah angka dan sisi yang lain adalah burung. Kedua pendangan itu tidak salah, tetapi keduanya benar mengungkapkan tetang suatu entitas yang sama yang tetunya memiliki ciri dan keunikannya. Namun, dari jawaban-jawaban di atas penulis menarik kesimpulan bahwa walaupun akal budi manusia tidak mencapai kebenaran sempurna, tetapi melalui kemungkinan-kemungkinan yang ada, itu sudah cukup untuk manusia. Artinya bahwa manusia sudah memiliki pemahaman dengan Komos melalui jawaban-jawaban di atas. Pertanyaannya adalah apakah semua yang dilakukan oleh manusia dalam pikiran sudah terwujut dalam karya atau actio?
Daftar Pustaka:
- Siswanto Joko, Orientasi Kosmologi (Modul), Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press, 2005
- Kosat-Oktovianus, Keputusan Moral Cinta Kasih dan Situasi (Analisis Etika situasi Joseph Flether), Kupang:Unwira Press,2022
- Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi Bahasa), Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama, 2008
- Drijarkara, Kumpulan Karangan, Yokyakarta: Kanisius, 1965
- Drs. Salim Peter dan Salim Yenny Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer (Edisi Pertama), Jakarta: Modern English Press, 1991
- P. Harun Martin OFM, Ensiklik LAUDATO SI‘ PAUS FRANSISKUS (~ TENTANG PERAWATAN RUMAH KITA BERSAMA ~), Jakarta: Obor
- Nyanyian Saudara Matahari atau Gita Sang Surya, dalam Karya-karya Fransiskus dari Assisi, Yogyakarta: Kanisius, 2000, 324-326
[1] P. Martin Harun OFM, Op.Cit. Hal.3
[1] P. Martin Harun OFM, Ensiklik LAUDATO SI‘ PAUS FRANSISKUS (~ TENTANG PERAWATAN RUMAH KITA BERSAMA ~), Jakarta: Obor, 2015. Hal. 1
[1] Drijarkara, Op.Cit.,hal. 11
[2] Joko Siswanto, Op.Cit., hal. 47.
[3] Nyanyian Saudara Matahari atau Gita Sang Surya, dalam Karya-karya Fransiskus dari Assisi, Yogyakarta: Kanisius, 2000, 324-326
[1] Drijarkara, Kumpulan Karangan, Yokyakarta: Kanisius, hal. 10
[2] Ibid., 66
[3] Drs. Peter Salim dan Yenny Salim Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer (Edisi Pertama), Jakarta: Modern English Press, 1991, hal. 107
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit.., hal. 27
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Op-Cit., hal 173
[2] Ibid.,hal. 1197
[3] Joko Siswanto, Op.Cit., hal. 68
[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi Bahasa), Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama, 2008, hal 1364
[2] Ibid., hal. 99
[3] Joko Siswanto, Op.Cit., hal.1
[1] Kosat-Oktovianus, Keputusan Moral Cinta Kasih dan Situasi (Analisis Etika situasi Joseph Flether), Kupang:Unwira Press,2022, hal. 5
[1] Joko Siswanto, Orientasi Kosmologi (Modul), Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press, 2005. Hal 46
[2] Joko Siswanto, Op.cit. 46