Oleh : Germanus S. Atawuwur
Alumnus STFK Ledalero
Kej.18:20-32; Kol. 2:12-14; Luk. 11:1-13
WARTA-NUSANTARA.COM-Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, Kehidupan dan pelayanan Yesus sendiri hanya mengandalkan doa kepada Bapa di Sorga. Penginjil Lukas menunjukan moment-moment Yesus berdoa. Pertama, ketika Yesus dibaptis oleh Yohanes Pembaptis (Luk 3:21), Yesus berdoa dan membiarkan diri dikuatkan oleh kehadiran Ilahi. Kedua, Yesus berdoa semalam suntuk di sebuah bukit sebelum menetapkan ke-12 muridnya sebagai rasul (Luk 6:12). Ketiga, Yesus berdoa sebelum menanyai murid-murid mengenai pendapat orang mengenai dirinya dan mendengarkan pendapat murid-murid sendiri (Luk 9:18). Keempat, Ia mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes ke gunung untuk berdoa (Luk 9:28), Kelima, sebelum mengajar murid-murid-Nya berdoa, Yesus sendiri berdoa di sebuah tempat (Luk 11:1), Keenam, di Getsemani sewaktu bergulat dengan dirinya sendiri apakah akan menerima kenyataan salib dalam hidup-Nya (Luk 22:41), Ketujuh, di Golgota, di kayu salib, ia masih berdoa dua kali (Luk 23:34 dan 46). Itulah kesempatan-kesempatan yang secara khusus disebut Lukas. Bagi Yesus berdoa ialah menaruh diri di hadapan Yang Ilahi yang dipercayanya sebagai Bapa. Ia membiarkan kekuatan Ilahi menghidupinya.
Para murid menyadari teladan yang dicontohkan Guru-Nya itu, Karena itu maka tatkala mereka mengikuti perjalanan Yesus ke Yerusalem mereka datang kepada-Nya minta diajar berdoa, minta diberi rumusan doa yang dapat mereka pegang untuk bekal hidup dan pelayanan selanjutnya sebagai murid dan saksi Kristus dalam memberitakan injil keselamatan. Maka Yesus pun merespon permintaan para murid agar diajarkan berdoa dengan memberikan doa yang kita kenal sebagai Doa Bapa Kami. Dengan doa ini, Yesus tidak saja mengajarkan cara dan tumusan doa, tetapi lebih jauh Dia hendak menyadarkan murid-murid-Nya tentang isi terdalam dari berdoa itu sendiri. Pertama, doa berisikan pujian kepada Allah. Karena itu rumusan doa yang pas kepada-Nya adalah Bapa, dikuduskanlah nama-Mu. Pujian kepada Allah adalah hal yang sering diabaikan karena kita sering pahami doa sebagai ungkapan keluh kesah hati semata atau hanya sebagai sarana untuk menyampaikan daftar pergumulan dan keinginan kita kepada Allah. Kedua, doa juga berisikan permohonan. Karena itu maka Yesus ajarkan: ” Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya.” Tuhan mengajar kita agar meminta kepada-Nya sesuai dengan kebutuhan, bukan berkelebihan untuk dihambur-hamburkan. Ketiga, doa juga berisikan ungkapan pertobatan.
Untuk menyatakan pujian, permohonan dan pertobatan kita sedapat mungkin menjadikan Allah sebagai sahabat atau sebagai Bapa bagi kita. Bila relasi persahabatan dan kebapakan yang tercipta dalam doa itu maka pasti terjalin ketergantungan sekaligus harapan, kedekatan, keakraban dan tanpa kecanggungan. Karena hubungan persahabatan atau kebapakan tentu memiliki ikatan emosional yang kuat. Hubungan ini berhasil dipunyai oleh Abraham. Dia memiliki relasi emosional dengan Allah sebagai Bapanya.
Oleh karena itu, dia berani membuat tawaran dengan Allah dalam permohonan pengampunan bagi Sodom dan Gomora. Tatkala Abraham mendapat informasi tentang kejahatan warga Sodom dan Gomora yang akan di hukum Tuhan, kemudian Abraham menaikan doa kepada Tuhan. Sampai 6 kali Abraham memberanikan diri meminta kepada Tuhan:” Bagaimana sekiranya ada lima puluh orang benar dalam kota itu? Apakah Engkau akan melenyapkan tempat itu dan tidakkah Engkau mengampuninya karena kelima puluh orang benar yang ada di dalamnya itu? TUHAN berfirman: “Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka.” Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan, walaupun aku debu dan abu “Sekiranya kurang lima orang dari kelima puluh orang benar itu, apakah Engkau akan memusnahkan seluruh kota itu karena yang lima itu?” Firman-Nya: “Aku tidak memusnahkannya, jika Kudapati empat puluh lima di sana.” Lagi Abraham melanjutkan perkataannya kepada-Nya: “Sekiranya empat puluh didapati di sana?” Firman-Nya: “Aku tidak akan berbuat demikian karena yang empat puluh itu.” Kalau aku berkata sekali lagi, sekiranya tiga puluh didapati di sana?” Firman-Nya: “Aku tidak akan berbuat demikian, jika Kudapati tiga puluh di sana. Sesungguhnya aku telah memberanikan diri berkata kepada Tuhan,” Sekiranya dua puluh didapati di sana?” Firman-Nya: “Aku tidak akan memusnahkannya karena yang dua puluh itu.” Katanya: Kalau aku berkata lagi sekali ini saja. Sekiranya sepuluh didapati di sana?” Firman-Nya: “Aku tidak akan memusnahkannya karena yang sepuluh itu.” Permohonan Abraham itu adalah doa. Doa Abraham adalah percakapannya sebagai anak dengan Bapanya. Sebagai anak, Abraham merasa begitu dekat dengan Allah. Karena itu dia dengan berani “baku tawar” dengan Allah. Abraham meminta Tuhan, agar walau dosa dan kejahatan Sodom dan Gomora begitu mengerihkan, tetapi kiranya oleh karena belas kasih kerahiman Tuhan, Tuhan berkenan mengampuni mereka. Akhirnya Tuhan berkata kepada Abraham:” Aku tidak akan memusnahkannya karena yang sepuluh itu.” Abraham akhirnya mendapatkan kepastian kasih kerahiman Allah.
Saudara-saudaraku yang terkasih, kita sangka kita ini jauh lebih baik daripada orang-orang Sodom dan Gomora. Bila kita jujur, kita ini juga rapuh, lemah. Penuh dosa seperti mereka. Maka pantaslah kita bersikap seperti Abraham. Dengan jujur, terbuka dan rendah hati mengakui salah dan dosa kita, sambil kita memohon ampun daripada-Tuhan. Karena itu, sebagaimana permintaan Yesus kepada Santa Faustina:” Engkau belum memberikan kepada-Ku sesuatu yang sungguh-sungguh merupakan milikmu. Anakku, berikanlah kepada-Ku kegagalan-kegagalanmu” (Catatan Harian Faustina, 10 Oktober 1937). Saudaraku, kegagalan kita adalah suatu dosa, sebuah penyesalan dari masa lalu, sebuah luka yang kita miliki di dalam diri kita dan hingga hini belum tersembuhkan.
Kegagalan itu adalah suatu benci dan dendam terhadap seseorang, suatu gagasan mengenai seseorang tertentu. Terhadap semua itu, Tuhan menunggu kita untuk memberikan kepada-Nya kegagalan-kegagalan itu agar Ia dapat membantu kita mengalami kerahiman-Nya. Kita membutuhkan Tuhan, yang melihat di balik kerapuhan kita itu suatu keindahan yang tak dapat diabaikan. Bersama Dia kita menemukan kembali betapa berharganya kita bahkan di dalam kelemahan kita itu. Kita menemukan bahwa kita ini bagaikan kristal-kristal yang indah, yang mudah pecah namun pada saat yang sama juga sangat berharga. Dan jika sebagaimana kristal kita juga transparan di hadapan-Nya, cahaya-Nya – cahaya kerahiman – akan bersinar di dalam dan melalui diri kita di dalam dunia. Karena itu marilah kita dengan jujur dan rendah hati kita memohon kepada-Nya:” Bapa, Ampunilah Kami.”