Catatan Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM–Meski nama itu sering saya dengar terutama dengan beberapa jabatan seperti: Wakil Provinsial. Vikep, bahkan Vikjen Keuskupan Ende, tetapi saya tidak berkesempatan mengenalnya secara pribadi dari dekat.
Hanya ada satu kesempatan yang barangkali itu pertama dan terakhir di mana bisa mendengarkannya dengan intens saat retret di Ledalero, persiapan untuk Kaul Pertama, Agustus 1990.
Retret itu seharusnya dipimpin oleh P. Paul Pemulet SVD yang terkenal sangat ‘luar biasa’ dengan ‘kekhasan’ dan ‘kekhususannya’ yang nyentrik di mata para bruder di BBK Ende. Tetapi Pater Paul yang juga teman kelas Pater Yosef Seran, SVD, wafat karena asma kalut di akhir Juni 1990, maka pembawa retret beralih Pater Yosef Seran, SVD. Di situlah perkenalan lebih jauh tentang Pastor yang bicaranya pas, penuh keyakinan, sopan, dan terasa sangat mengena.
Dalam pertemuan satu-satunya itu saya mendapatkan satu hal yang kemudian menjadi bahan permenungan malah sangat memengaruhi saya selanjutnya. Hal yang saya maksud ketika Pater Yosef memperkenalkan diri kepada kami peserta retret, mungkin saja ada yang belum mengenalnya.
Pater Yosef perkenalkan diri dan tidak lupa menyampaikan tentang latar belakang pendidikannya. 𝑷𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒕𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 ‘𝑩𝑨’ 𝒍𝒖𝒍𝒖𝒔𝒂𝒏 𝑳𝒆𝒅𝒂𝒍𝒆𝒓𝒐. 𝑺𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒈𝒆𝒍𝒂𝒓 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒂𝒈𝒊 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒌𝒆𝒓𝒋𝒂 𝒅𝒊 𝑷𝒓𝒐𝒗𝒊𝒏𝒔𝒊 𝑺𝑽𝑫 𝑬𝒏𝒅𝒆 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏𝒍𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒆𝒓𝒍𝒖 𝒅𝒊𝒃𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂𝒌𝒂𝒏.
Alasannya karena yang mendapatkan benuming di Provinsi SVD Ende adalah orang-orang pintar yang ‘ditahan’ untuk bisa studi lebih lebih lanjut. Saat itu provinsi SVD lain seperti Timor, Ruteng, dan Jawa belum punya seminari tinggi. Karena itu ‘orang-orang pintar’ pasti ‘ditahan’ untuk bisa studi lanjut untuk kemudian menjadi dosen di Ledalero.
Saya tidak tahu mengapa Pater Yosef mengangkat hal itu saat perkenalkan dirinya. Pertanyaan ini kemudian saya dalami terutama.
Angkatan Pater Yosef yang tahbis tahun 1979 memang kumpulan orang-orang pintar yang disekolahkan. Ada yang hanya beberapa bulan setelah tahbis imamat langsung dikirim ke Eropa dan berbagai negara lainnya. Ada 𝑷𝒂𝒕𝒆𝒓 𝑷𝒂𝒖𝒍 𝑷𝒆𝒎𝒖𝒍𝒆𝒕, 𝑺𝑽𝑫 (𝑭𝒊𝒍𝒊𝒑𝒊𝒏𝒂), 𝑨𝒏𝒅𝒆 𝑴𝒖𝒂, 𝑺𝑽𝑫 (𝑹𝒐𝒎𝒂), 𝑻𝒊𝒃𝒖𝒓 𝑻𝒆𝒏𝒈𝒈𝒐𝒓, 𝑺𝑽𝑫 (𝑹𝒐𝒎𝒂), 𝑳𝒆𝒐 𝑲𝒍𝒆𝒅𝒆𝒏, 𝑺𝑽𝑫 (𝑩𝒆𝒍𝒈𝒊𝒂), 𝑲𝒐𝒔𝒎𝒂𝒔 𝑭𝒆𝒓𝒏𝒂𝒏𝒅𝒆𝒛, 𝑺𝑽𝑫 (𝑨𝒖𝒔𝒕𝒓𝒊𝒂) 𝒀𝒐𝒔𝒆𝒇 𝑺𝒖𝒃𝒂𝒏 𝑯𝒂𝒚𝒐𝒏, 𝑺𝑽𝑫 (𝑹𝒐𝒎𝒂), 𝑩𝒆𝒏 𝑩𝒓𝒊𝒂, 𝑺𝑽𝑫 (𝑨𝒖𝒔𝒕𝒓𝒂𝒍𝒊𝒂), 𝑷𝒊𝒆𝒕 𝑩𝒂𝒕𝒆, 𝑺𝑽𝑫 (𝑲𝒆𝒖𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏), 𝑭𝒆𝒍𝒊𝒙 𝑴𝒂𝒅𝒐 𝑫𝒐𝒏𝒊, 𝑺𝑽𝑫 (𝑭𝒊𝒍𝒊𝒑𝒊𝒏𝒂).
Yosef Seran yang barangkali menjadi satu-satunya yang tinggal di Ende sebagai ‘pastor’ biasa dengan pendidikan tertinggi adalah ‘BA’ dari Ledalero yang ia banggakan itu.
Kalau melihat angkatannya 𝑷𝒂𝒕𝒆𝒓 𝒀𝒐𝒔𝒆𝒇 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒍𝒆𝒃𝒊𝒉𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒊𝒎𝒂𝒎 𝒔𝒆𝒅𝒆𝒓𝒉𝒂𝒏𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒂𝒉𝒂𝒋𝒂 𝒊𝒏𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒅𝒂 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 ‘𝒌𝒆𝒑𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏’ 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈-𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓.
Bisa terasa iklim persaingan dalam bidang intelektual yang tidak sekadar ‘kacang-kacangan’. Pengiriman mereka secara berututan untuk belajar ke luar negeri adalah indikatornya.
Pada sisi lain pengiriman itu tentu tidak bisa dipisahkan dari visi besar 𝙋𝒂𝙩𝒆𝙧 𝙃𝒆𝙧𝒎𝙖𝒏 𝑬𝙢𝒃𝙪𝒊𝙧𝒖 𝙎𝑽𝘿 𝙮𝒂𝙣𝒈 𝒋𝙖𝒅𝙞 𝙧𝒆𝙠𝒕𝙤𝒓 𝒔𝙖𝒂𝙩 𝙞𝒕𝙪
Pastor yang sangat getol dalam bidang pendidikan itu sangat visioner. Jadi klop bahwa angkatan yang cerdas itu bertemu dengan Embuiru sehingga lengkap sudah. Itulah persaingan antar orang hebat.
Yang jadi pertanyaan, kalau Provinsi Ende tempat ‘bersaing’ orang-orang pintar, mengapa di sana ada Yosef Seran yang sangat sederhana dan bersahaja saat itu? Mengapa ia tidak mendapat benuming di kampung halamannya Timor atau minimal melaksanakan misi di Provinsi Jawa atau Ruteng?
Ini sebuah pertanyaan yang tentu tidak mudah dijawab. Tetapi bukan berlebihan kalau Yosef ditempatkan di provinsi ‘orang-orang pintar’ agar ia bisa menghadirkan model imamat yang murni, sebagai seorang pastor yang ‘apa adanya’.
Kehadiran Pater Yosef lalu mengingatkan kita akan 𝑺𝒂𝒏𝒕𝒐 𝒀𝒐𝒉𝒂𝒏𝒆𝒔 𝑴𝒂𝒓𝒊𝒂 𝑽𝒊𝒂𝒏𝒆𝒚 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒓𝒖𝒑𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒊𝒎𝒂𝒎 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓. Kadang dijuluki sebagai ‘imam bodoh’. Tetapi justru dalam kesalehannya ia menjadi contoh dan diangkat menjadi seorang santo.
Kata-kata berikut diucapkan dalam sebuah kesederhanaan tentang doa dari Vianye: “𝑫𝒐𝒂 𝒑𝒓𝒊𝒃𝒂𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒆𝒓𝒂𝒎𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒄𝒆𝒄𝒆𝒓 𝒅𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒂-𝒔𝒊𝒏𝒊; 𝒋𝒊𝒌𝒂 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒌𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂, 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒔𝒊𝒍𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒃𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒑𝒊 𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍-𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍. 𝑻𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊, 𝒌𝒖𝒎𝒑𝒖𝒍𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒆𝒓𝒂𝒎𝒊-𝒋𝒆𝒓𝒂𝒎𝒊 𝒊𝒕𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒔𝒂𝒕𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒔 𝒅𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒌𝒂𝒓𝒍𝒂𝒉, 𝒎𝒂𝒌𝒂 𝒌𝒂𝒎𝒖 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒂𝒑𝒂𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒏𝒚𝒂𝒍𝒂 𝒂𝒑𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒔𝒂𝒓, 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒐𝒃𝒂𝒓 𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒂𝒏𝒄𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒆 𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒔𝒂; 𝒅𝒐𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒔𝒂𝒎𝒂-𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒊𝒕𝒖.”
Jabatan Gerejawi..
Kesederhanaan dan pendidikan yang ‘pas-pasan’ tidak membuat Pater Yosef menjadi berbeda. Justru dalam kesederhanaan itu ia bercahaya oleh kesaksian hidup cemerlang. Lebih lagi ketika bergerak dalam bidang pastoral dan sering dilanda ‘gesekan’ antara imam projo dan SVD, Yoses Seran tetap hadir sebagai imam bersahaja dan sederhana.
Kesederhanaan itu telah menjadikannya terpilih sebagai 𝑽𝒊𝒌𝒆𝒑 𝒅𝒊 𝑩𝒂𝒋𝒂𝒘𝒂. 𝑰𝒕𝒖 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒓𝒕𝒊 𝒊𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒎𝒑𝒊𝒏 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒊𝒎𝒂𝒎 𝑺𝑽𝑫 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒊𝒎𝒂𝒎 𝒑𝒓𝒐𝒋𝒐. Tentu saja kepemimpinan seperti inti tidak mudah didapatkan selain imam yang diakui sendiri oleh rekan-rekan dapat memimpin dan memberi kesaksian.
Dari sana, Yosef kemudian menjadi 𝑾𝒂𝒌𝒊𝒍 𝑷𝒓𝒐𝒗𝒊𝒏𝒔𝒊𝒂𝒍. 𝑺𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒎𝒑𝒊𝒏 ‘𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈-𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒊𝒏𝒕𝒂𝒓’, 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒅𝒊 𝒍𝒆𝒎𝒃𝒂𝒈𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝑳𝒆𝒅𝒂𝒍𝒆𝒓𝒐 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒂𝒌𝒖𝒑 𝒑𝒆𝒏𝒅𝒊𝒅𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒓𝒖𝒅𝒆𝒓, 𝒑𝒆𝒓𝒄𝒆𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒏𝒆𝒓𝒃𝒊𝒕 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒎𝒂𝒎-𝒊𝒎𝒂𝒎 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒌𝒆𝒓𝒋𝒂 𝒅𝒊 𝒑𝒂𝒓𝒐𝒌𝒊-𝒑𝒂𝒓𝒐𝒌𝒊. Jabatan seperti ini seharusnya lebih ditempati oleh imam-imam yang sekolah tinggi di luar negeri. Tetapi seorang imam yang hanya lulusan ‘BA’ Ledalero justru diangkat menjadi Wakil Provinsial.
Tidak hanya itu. Di Keuskupan Agung Ende, Pater Yosef 𝒅𝒊𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝑽𝒊𝒌𝒋𝒆𝒏. 𝑺𝒆𝒃𝒖𝒂𝒉 𝒋𝒂𝒃𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒍𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒉 𝒔𝒂𝒋𝒂 𝒔𝒆𝒃𝒆𝒍𝒖𝒎 𝑼𝒔𝒌𝒖𝒑 (𝒎𝒂𝒍𝒂𝒉 𝑼𝒔𝒌𝒖𝒑 𝑨𝒈𝒖𝒏𝒈 𝑬𝒏𝒅𝒆). Jabatan ini yang barangkali untuk teman-teman seangkatannya yang pintar-pintar belum ada yang sampai ke titik itu.
Tetapi itulah yang dicapai oleh Yosef Seran SVD sebagai pengakuan bahwa imam sederhana dan bersahaja itu memiliki kecerdasan yang ternyata jauh lebih hebat dari banyak orang lain. Memang mungkin dari segi kecerdasan matematis-logis (filosofis) Yosef tidak ada di sana untuk besaing tetapi dalam perspektif kecerdasan majuemuk Gardner, Yosef punya kecerdasan lain khususnya intrapersonal yang menakjubkan. Dengan kecerdasan itu ia bukan tipe yang suka bersaing ke luar tetapi lebih fokus ke dalam membekali dan membijakan dirinya sebelum membijakkan orang lain.
Kesederhanaan dan kebijaksanaan itu juga ditunjukkan dalam cara berbicara khusus dalam renungan/ homili. Yosef bukan tipe orang yang melihat kekurangan orang tetapi memberikan apresiasi terhadap apa yang sudah dilakukan. Ia mengedepankan model homili indikatif yang menyibak apa kelebihan dari orang lain daripada secara moralistis lebih membebankan orang dengan nasihat baru yang kadang membosankan.
Itulah maka dalam sebuah renungan, ia pernah menyampaikan bahwa ada seorang yang jahat sekali yang akhirnya wafat. Sudah pasti ia punya jatah untuk masuk neraka. Tetapi dalam proses pertimbangan sana-sini, akhirnya ditemukan bahwa ia pernah berdoa Salam Maria hanya sekali saja. Tetapi justru doa yang hanya sekali itu membuat Bunda Maria meminta ke PuteraNya agar bisa diperkenankan masuk Surga. Bunda Maria menangis dan air matanya itu tertumpuh dan melingkar di timbangan kebaikan. Air mata itu justru memberatkan timbangan bagian kebaikan dan loloslah orang itu masuk Surga.
Itulah cara Yosef memberikan optimisme dan tidak menghukum. Ia selalu mencari-cari kalau ada kebaikan pada orang. Berbeda dengan kebanyakan orang yang lebih sibuk mencari-cari keburukan. Itulah teladan kebijaksanaan yang membuatnya menjadi imam sangat bersahaja.
Wafat dalam Hening
Yosef tidak mau berhenti membuat orang terperangah. Ia tidak meninggal dalam suasana hiruk-pikuk yang merepotkan orang. Ia tidak wafat di RS di mana para tenaga medis bisa berjuang untuk memberinya kesempatan hidup lagi. Ia justru meninggal dalam suasana yang sepi dan hening. Bisa saja ia berjuang seperti yang ia lakukan pagi harinya untuk merayakan misa. 𝑰𝒂 𝒋𝒖𝒔𝒕𝒓𝒖 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒌𝒆 𝒌𝒂𝒎𝒂𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒕𝒂𝒓𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒑𝒂𝒔 𝒑𝒆𝒏𝒖𝒉 𝒎𝒂𝒌𝒏𝒂 𝒊𝒂 𝒔𝒆𝒓𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑𝒏𝒚𝒂: “𝑩𝒂𝒑𝒂 𝒌𝒆 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏𝑴𝒖 𝒌𝒖𝒔𝒆𝒓𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒋𝒊𝒘𝒂𝑲𝒖”. Saya yakin kata-kata ini yang ia ucapkan dan pergi selamanya dalam hening. Selamat jalan Pater. Terima kasih telah menghadirkan tanda di tengah orang-orang pintar.
𝐑𝐨𝐛𝐞𝐫𝐭 𝐁𝐚𝐥𝐚. 𝐏𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬 𝐛𝐮𝐤𝐮 𝐇𝐎𝐌𝐈𝐋𝐈 𝐈𝐍𝐒𝐏𝐈𝐑𝐀𝐓𝐈𝐅 (𝐊𝐚𝐧𝐢𝐬𝐢𝐮𝐬, 𝐎𝐤𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫 𝟐𝟎𝟐𝟑).