Laporan : Aris Suwandi dari Jakarta
JAKARTA : WARTA-NUSANTARA.COM–Komunitas Diskusi dan Riset PolisLab sukses menyelenggarakan diskusi bertajuk “Konsolidasi Masyarakat Sipil Pasca Pemilu 2024”, Senin (15/04/2024). Diskusi tersebut diselenggarakan di Kantor Media Parboaboa, Tebet, Jakarta Selatan.
Hadir sebagai pembicara, Astra Tandang, Pengurus Pusat PMKRI (2022-2024) yang didampingi oleh Moderator, Ruben Nabu, Mahasiswa Mpu Tantular Jakarta. Sementara, peserta yang hadir meliputi delegasi PMKRI Jakarta Pusat dan Selatan, awak media Parboaboa, dan sejumlah civitas academica.
Sebagai pembicara, Astra memulai pemaparannya dengan membuat pembacaan terkait situasi masyarakat sipil yang kian terhimpit oleh peran oligarki.
Baginya, di tengah faktum ‘demokrasi pemirsa’, oligarki memiliki posisi yang semakin kuat di hati masyarakat.
Istilah ‘demokrasi pemirsa’, demikian Astra menjelaskan hendak menunjukkan bagaimana perkembangan media justru mendukung tren baru dalam politik.
“Kandidat dipilih justru berdasarkan presentasi media daripada nilai atau ideologi yang mereka bawah,” pungkas Astra.
Branding yang dibangun media memiliki dampak signifikan karena para kandidat akhirnya mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Lebih lanjut, Astra mengungkapkan bahwa di tengah dominasi oligarki, gerakan masyarakat sipil seperti tidak memiliki taring.
“Saat ini, kita dihadapkan dengan kenyataan mengenai alpanya model perjuangan yang sama seperti masa reformasi dulu. Ironisnya lagi, ada para pejuang reformasi justru sudah menjadi bagian dari pemerintah,” pungkas Astra.
Sebagai aktivis, ia melihat bahwa setiap sektor kehidupan masyarakat kini telah terkoopotasi oleh kepentingan oligarki.
Kenyataan itu menyulitkan masyarakat sipil untuk masuk dan membangun protes terhadap kerja pemerintah.
“Kita susah menyuarakan hak masyarakat karena orang yang ada dalam lembaga pemerintah itu adalah wajah kita semua.”
Alumni Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa Jogjakarta itu menyingkap dilema yang dialami koalisi masyarakat sipil hari-hari ini.
Ia menyebut sulitnya membangun konsolidasi masyarakat sipil dalam mengawal dinamika politik. Alasannya karena masing-masing orang cenderung bergerak sendiri.
“Masyarakat sipil tidak memiliki narasi atau gerakan bersama dalam menghadapi negara (red: pemerintah) dan situasi politik,” ungkapnya.
Selain menyinggung terpecahnya gerakan masyarakat sipil, Astra juga melihat inkonsistensi sikap dari para aktivis.
Baginya, masyarakat sipil menjadi gerakan yang cenderung sporadis dan tendensius.
Mereka baru mulai membangun aktivisme jika telah ada persoalan. Sebaliknya, jika persoalan tidak ada, maka masyarakat sipil cenderung menjadi pasif. Ia lantas mengajukan pentingnya konsistensi masyarakat sipil dalam membangun gerakan.
Sikap konsisten itu terurai dalam keseringan membangun diskusi, advokasi, dan sosialisasi terkait politik ke tengah masyarakat.
“Konsistensi masyarakat sipil itu justru penting dalam memperjuangkan ideologi dan nilai-nilai kemanusiaan.”
Baginya, di tengah pusaran politik yang didominasi oligarki, kedudukan masyarakat sipil masih memainkan peranan penting.
“Masyarakat sipil dianggap vital dalam mempertahankan ideologi bangsa yang telah terisolasi dari diskusi seputar gerakan sosial.”
Pendapat serupa disampaikan oleh Ketua PMKRI Jakarta Selatan, Julio yang menyoal pentingnya masyarakat sipil.
Di tengah kontestasi politik yang kehilangan nilai, ia mengharapkan agar masyarakat sipil tetap berpegang teguh pada ideologi kebangsaan.
Demokrasi, ungkap Julio harus menjadi wadah yang terbuka pada perbedaan pandangan demi membangun keutuhan bangsa.
Penegasan lebih lanjut disampaikan oleh Ketua PMKRI Jakarta Pusat, Ega yang mengharapkan kesatuan gerakan dari seluruh lapisan masyarakat dalam mengawal dinamika politik.
“Pekerjaan mengawal bangsa bukan hanya tugas masyarakat sipil. Sebaliknya, para civitas academica dan masyarakat umum harus bahu-membahu dalam mengawal kemajuan bangsa,” ungkap Ega.
Diskusi malam itu berlangsung alot. Ketua Komunitas PolisLab, Defri Ngo menyampaikan terima kasih untuk semua pihak yang sudah terlibat dalam diskusi tersebut.
Ia juga mengharapkan agar diskusi terkait mampu memantik kesadaran bersama untuk mengawasi kehidupan berbangsa.
“Semoga diskusi kita tidak berhenti di sini. Saya harapkan agar kita mampu bergandengan tangan dan berjuang untuk terus mengawal kerja-kerja pemerintah ke depan,” ungkap Defri.
Sebagai informasi, Komunitas PolisLab adalah sebuah wadah pengembangan pengetahuan yang bergerak di bidang diskusi dan riset.
Sejumlah isu yang menjadi concern dari PolisLab adalah isu sosial, politik, dan budaya. Komunitas ini didirikan pada Januari 2024 lalu atas inisiatif sebagian mahasiswa NTT di Jakarta.
Mereka prihatin dengan siklus hidup para mahasiswa yang ruang lingkupnya hanya bergerak seputar kampus dan kos.
“Kami berharap, komunitas ini menjadi wadah bersama bagi semua mahasiswa NTT di Jakarta untuk mengembangkan kemampuan diri dan mengasah kepekaan mereka dalam merespons isu-isu aktual di tengah masyarakat,” tutup Defri di akhir pertemuan.*