Oleh : Robert Bala
WARTA-NUSANTARA.COM–Tidak bisa dibandingkan. Itulah frase yang pas untuk menggambarkan perbedaan antara 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝑹𝒐𝒄𝒌𝒚 𝑮𝒆𝒓𝒖𝒏𝒈(RG). Yang satu jago omong dan ‘𝑘𝑒𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑚𝑜𝑛-𝑜𝑚𝑜𝑛’. Yang lainnya jago kerja: kerja, kerja, kerja. Dia menjadi kepala eksekutif yang sebenarnya. Yang lainnya eksekutor kata. Dalam situasi terjepit apapun Rocky bisa menemukan jawaban.
Perbedaan itu juga tajam (dan terpercaya). Yang satu katanya presiden akal sehat. Yang lainnya (dalam pandangan Rocky), berseberangan. Tidak pantas untuk memberinya atribut ‘dungu’, seperti yang biasa RG sebutkan. Siapapun tidak setuju dengan julukan Rocky, Tetapi RG membela diri bahwa ‘dungu’ itu bukan berkaitan dengan orang tetapi ‘cara berpikir’.
Tidak tahu dari mana RG mengambil pengertian ini. Bagi yang punya akal sehat (berarti RG tidak punya), dungu memang berkaitan dengan cara berpikir. Tetapi cara berpikir itu bukan sekali ditunjukkan. Ia sudah berulang-ulang sehingga telah menjadi ciri. Dungu karena itu dikatiakn dengan orang yang “sangat tumpul otaknya”, “tidak cerdas”, “bebal” dan “bodoh”. Kalau demikian maka dungu itu sudah bukan cara berpikir tetapi sudah identic dengan pribadi tertentu karena keseringan terbukti memiliki cara berpikir itu.
Dengan menulis pengantar seperti ini saja sudah cukup untuk meminjam satu frase dari Ambon Manise. Saya rasa punya hak menggunakan frase ini karena setahun pernah hidup di Ambon dan melewati indahnya teluk Ambon berperahu dari Rumah-Tiga – Galala PP. Frase yang dimaksud “Seng ada bandingnya”, Jokowi dan Rocky Gerung. Lebih tepat lagi “𝑶𝒋𝒐 𝒅𝒊𝒃𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈𝒌𝒆” (jangan bandingkan Jokowi dan Rocky Gerung).
Tetapi dalam tulisan ini, penulis sedikit memaksakan diri untuk membanding-bandingkan 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝑹𝒐𝒄𝒌𝒚 𝑮𝒆𝒓𝒖𝒏𝒈. Sebuah keberanian yang sekaligus disertai kesiapan untuk dikritik. Dan siapa tahu, ungkapan kesayangan RG, “dungu” bisa dikenakan kepada penulis. Kalau pun dikenakan, ini sekali saja karena cara berpikir yang sekali digunakan dan selesai.
Kembali ke laptop. Sampai setahun yang lalu, ciutan RG dianggap ‘angin lalu’. Lebih lagi karena RG begitu ‘dekat’ dengan beberapa partai seperti Gerindra, PKS, dan Demokrat yang saat itu masih kontra pemerintah. Tokoh-tokoh (tidak tahu apakah memang pantas disebut tokoh) seperti Fadli Zon, Said Didu, Refli Harun, termasuk AHY, secara terbuka mengkritik atau menyerang setiap kebijakan pemerintah. Mereka dengan mudah jadi ‘soip’ dari RG untuk menyerang Jokowi dan pemerintahannya.
Sampai saat itu, RG nampaknya cukup sulit ‘tembus’ kritikannya untuk diterima. Jokowi punya benteng pelindung tidak saja dari masyarakat sederhana tetapi kaum intelektual. Mereka melihat keluguan, ketulusan, dan sikap sederhana. Bagi mereka, Jokowi lebih punya akal sehat dibanding RG yang akalnya lagi sakit.
Jokowi juga dianggap sebagai Bapak Bangsa karena kekurangan Jikowi hanya sedikit, tidak sebanding dengan kelebihannya yang terlampau banyak dan berada di atas RG. Sangat jauh. 𝑶𝒋𝒐 𝒅𝒊𝒃𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈𝒌𝒆. Jokowi dianggap membangun stereotip bangsa yang dianggap malas dengan stereotip baru: ‘kerja, kerja, kerja’. Usaha memperkuat wilayah maritim menjadi kekuatan dunia juga tidak bisa disangkal.
Program yang terbukti dan dirasakan itu bagi banyak orang dilihat sebagai sebuah Gerakan besar. Dengan demikian orang-orang terbaik, siapapun dia akan disiapkan untuk melanjutkan karya besar ini. Tidak usah jauh-jauh. Seperti dirinya yang tadinya ‘seng ada apa-apanya’, tetapi Jokowi bisa dilirik, dibesarkan, dan akhirnya didukung’ dan diberi tempat untuk menjadi seperti sekarang. Semua ini pun membuat orang percaya dan yakin akan kharisma Jokowi.
Sekali lagi sampai saat itu, semua orang 𝒔𝒕𝒂𝒏𝒅 𝒇𝒐𝒓 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊. Orang berdiri di samping (𝒔𝒕𝒂𝒏𝒅 𝒂𝒔𝒊𝒅𝒆 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊) dan membelanya mati-matian. Bagi yang berseberangan dengan wacana-wacana yang tidak masuk akal akan dikecam balik, sesadis malah melampaui apa yang telah mereka lakukan terhadap Jokowi. RG berada dalam posisi untuk dicelah sespadan atau bahakn lebih dari yang ia sampaikan ke Jokowi.
Persoalannya kemudian berubah. Keputusan MK yang meloloskan Gibran jadi Cawapres dan akhirnya terpilih jadi Capres menjadi titik balik. Kaesang yang kemudian menjadi Ketua PSI tanpa sejarah pernah jadi anggota membuat orang yakin bahwa Gibran bukan hal tunggal. Lebih lagi kini keputusan MA yang mervisi usia calon kepala daerah semakin membuat orang berkesimpulan bahwa memang Jokowi tidak seperti diduga. Memang kita tentu tidak terima pleseten bahwa MK (Mahkama Kakak) dan MA (Mahkama Adik), tetapi bila sampai ada yang seperti itu kita hanya mengelus dada.
Sampai di sini memang tidak ada salah. Jokowi bisa saja membela diri bahwa anak sudah berkeluarga dan itu ‘urusan mereka’. Kedengarannya memang ‘keren’, tetapi… Ya tetapi itulah yang jadinya panjang. Banyak orang yang memanfaatkan kehebatan Jokowi untuk mengekalkan kekuasaan baik melalui anak (Gibran, Kaesang) menantu (Bobby) dan tidak tahu siapa lagi. Kalau sampai di sini kita pun melihat ternyata Jokowi yang didukung, dijagokan, memang telah mencapai klimaks kekuasaan dan pantas dianggap Presiden terhebat negeri ini. Tetapi di tahun-tahun terakhir mendekat berakhirnya kekuasaan, kekaguman itu memudar dan orang akan bertanya, apakah di tangan Prabowo-Gibran, charisma itu masih bisa diangkat atau mencapai titik nadir terendah?
Hal ini berbeda dengan RG. ‘Bujang lapuk’, kata si pemilik cincin berlian, yang dijawab RG bahwa cincin ‘si orang itu’ lebih berkilau dari otaknya, justru sebaliknya memang sampai setahun lalu lebih dilihat sebelah mata. Ia bukan siapa-siapa. Kenyamanan di sekitar rumahnya terancam. Orang tidak mau mendengarkan ocehannya. Kalau ia muncul di TV maka orang menemukan alasan untuk mematikan atau mengganati channel. Yang lakukan itu bukan saja masyarakat kecil. Kaum cerdik pandai yang justru berada di baliknya. Dengan demikian masyarakat pun tahu bahwa RG memang pantas untuk dihina.
Tetapi apa yang terjadi setelah MK sukses memberi karpet merah pada anaknya Jokowi dan kini MA juga secara pas juga mengeluarkan keputusan yang hampir sama. Orang mulai anggukan kepada sedikit menyesal telah mencela Rocky Gerung.
Rocky pun semakin dapat panggung. Dalam 3 bulan berturut-turut, Rocky ke NTT. Tadinya ikut prosesi Jumat Agung di Larantuka, lalu ke IFTK Ledalero, dan kini ke Lembata. Keberadannya dibuat 𝑐𝑎𝑝𝑡𝑖𝑜𝑛 (berupa tulisan singkat) dan foto dan video di𝑐𝑎𝑝𝑡𝑢𝑟𝑒 lalu tersebar. Gaungnya meluas dan RG semakin diberi ruang. RG pun akan semaki menanjak, menyebar bak virus dan tidak tahu akah meluas dan berpengaruh seperti apa jadinya. Ia semakin diundang ke penjuru Indonesia sebagai ‘artis’ akal sehat.
Di sinilah perbedaan antara 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝑹𝒐𝒄𝒌𝒚 𝑮𝒆𝒓𝒖𝒏𝒈 yang awalnya dainggap tidak bisa diperbandingkan. Kini terpaksa harus diteriam perbandingan itu. RG semakin menanjak ke arah pembenaran bahwa ia Presiden akal sehat. Jokowi yang dulu disanjung sebagai Presiden yang paling dikagumi, kini menurun tidak tahu akan sampai serendah apa kemudian.
𝑅𝑜𝑏𝑒𝑟𝑡 𝐵𝑎𝑙𝑎. 𝐷𝑖𝑝𝑙𝑜𝑚𝑎 𝑅𝑒𝑠𝑜𝑙𝑢𝑠𝑖 𝐾𝑜𝑛𝑓𝑙𝑖𝑘 𝐴𝑠𝑖𝑎 𝑃𝑎𝑠𝑖𝑓𝑖𝑘, 𝑈𝑛𝑖𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖𝑑𝑎𝑑 𝐶𝑜𝑚𝑝𝑙𝑢𝑡𝑒𝑛𝑠𝑒 𝑑𝑒 𝑀𝑎𝑑𝑟𝑖𝑑 -𝑆𝑝𝑎𝑛𝑦𝑜𝑙