Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Am. 7:12-15; Ef. 1:3-14; Mrk. 6:7-13
WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari terkasih, sepatu atau kasut adalah alas kaki. Sepatu digunakan sesuai fungsinya. Maka kita kenal ada sepatu misa, ada sepatu kantor, ada sepatu sekolah dan ada sepatu olahraga, lebih spesifik sepatu bola kaki. Dalam dunia bola kaki, dikenal ada istilah Sepatu Emas. Sepatu emas itu, adalah symbol penghargaan tertinggi untuk pemain sepak bola dunia yang mencetak gol paling banyak dalam sebuah pertandingan.
Kita kenal istilah Sepatu Emas Eropa adalah penghargaan yang diberikan setiap musim kepada pencetak gol terbanyak dalam pertandingan liga dari divisi teratas liga nasional Eropa Kita kemudian mengenal dua pemain dunia yang terkenal: Leonard Messi dan Christian Rolando, yang selalu mendapat sepatu emas.
Dalam konteks sejarah dan budaya masyarakat kuno sepatu memiliki makna simbolis. Bahwa sepatu itu tidak pernah sama, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Sepasang sepatu itu tidak akan pernah merasa bahwa dirinya lebih tinggi maupun lebih hebat dari pasangannya. Pastilah keduanya memiliki derajat yang sama. Sepasang sepatu memang tidak akan mungkin melangkah secara bersama-sama, tetapi mereka berjalan secara bergantian.
Keduanya seolah memahami akan mana yang harus berjalan terlebih dahulu dan bergantian dengan pasangannya, sehingga akan menciptakan keselarasan yang indah. Dengan saling mengerti satu sama lain itulah yang menjadikan sepasang sepatu mampu mencapai tujuan yang sama. Sepatu tidak berganti posisi. Bila seseorang mengenakan sepatu kiri di kaki kanannya dan sebaliknya maka ia akan terlihat tidak nyaman.
Saudara.saudaraku yang terkasih, hari ini injil menyodorkan kepada kita tentang perutusan murid-murid yang disertai dengan“penyerahan mandate” dan sekaligus larangan dari Yesus, sebagaimana diwartakan:” Yesus memanggil kedua belas murid itu dan mengutus mereka berdua-dua. Ia memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat, dan berpesan kepada mereka supaya jangan membawa apa-apa dalam perjalanan mereka, kecuali tongkat, rotipun jangan, bekalpun jangan, uang dalam ikat pinggangpun jangan, boleh memakai alas kaki, tetapi jangan memakai dua baju.”
Menariknya, ketika Yesus melarang murid-murid-Nya untuk tidak boleh membawa roti, bekal, uang dalam ikat pinggang, jangan memakai dua baju, tetapi Yesus malah memperbolehkan murid-murid-Nya untuk memakai alas kaki. Pertanyaannya adalah, mengapa Yesus justru memperbolehkan para murid-Nya untuk memakai alas kaki?
Alas kaki atau sepatu disebutkan dalam berbagai bagian Alkitab, dan memiliki makna metafora yang signifikan. Dalam Alkitab, makna simbolis yang terkait dengan alas kaki menyoroti tema-tema penghormatan, persiapan, ketundukan, dan kehambaan. Konteks historis dan budaya Alkitab tentang alas kaki menggarisbawahi pentingnya alas kaki secara praktis dan makna simbolis dalam lingkungan spiritual dan sosial. Dalam Perjanjian Lama, melepaskan alas sepatu adalah tanda penghormatan dan kerendahan hati di hadapan Tuhan, yang ditunjukkan oleh Musa di semak yang terbakar. Di sisi lain, mengenakan sepatu dapat melambangkan otoritas dan kesiapan untuk bertindak, seperti dalam konteks Yosua yang diperintahkan untuk melepaskan sepatunya karena dia berada di tanah suci.
Dalam Perjanjian Baru, sepatu digunakan secara metaforis untuk mewakili kesiapan untuk menyebarkan Injil, sebagaimana kita jumpai dalam Efesus: 6:13-17. Alas kaki atau kasut menurut santo Paulus merupakan salah satu bagian dari perlengkapan senjata Allah. Kasut dalam pengertian ini menurut santo Paulus adalah symbol persiapan, kesiapan atau kesiagaan. Dengan demikian Paulus meminta jemaat Efesus untuk siap sedia untuk kapanpun pergi melangkah memberitakan Injil.
Hal yang kita jumpai dalam surat kepada Efesus terlebih dahulu sudah dilukiskan dalam injil seperti sudah kita kutip di atas. Selain makna sepatu sebagai bentuk kesiagaan untuk mewartakan Injil Tuhan, kasut juga melambangkan penghormatan dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Selain itu menggunakan sepatu adalah juga bentuk perlindungan fisik tetapi juga sebagai representasi perjalanan spiritual seseorang, untuk selalu mendekatkan diri dengan yang ilahi. Alas kaki adalah juga ketaatan kepada kehendak Tuhan sekaligus juga adalah ketaatan dalam perjalanan seseorang untuk bermisi.
Jadi dalam konteks perutusan para murid hari ini, ketika Yesus membolehkan para murid-Nya mengenakan alas kaki, maka itu artinya bahwa Tuhan Yesus telah memberikan otoritas kepada para murid-Nya untuk bertindak. Maka otoritas itu dilengkapi Yesus dengan memberi mereka kuasa atas roh-roh jahat.
Bila dalam misi pewartaan para rasul, dijumpai roh-roh jahat yang menghalangi-halangi karya pewartaan mereka maka, dengan kuasa yang diberikan kepada para murid, mereka wajib bertindak dengan cara mengusir roh jahat, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Yesus. Bila setan-setan itu tunduk pada hardikan mereka, maka para murid tidak boleh membusung dada sambil membanggakan kehebatan mereka, tetapi sebaliknya harus tetap rendah hati. Maka, mengenakan alas kaki dalam konteks perutusan adalah bahwa setiap murid Yesus harus memiliki kerendahan hati.
Agar para murid itu terus menerus memiliki kerendahan hati sebagai jati diri mereka maka mereka harus melakukan perjalanan spiritual. Mereka senantiasa melakukan perjalanan untuk mendekatkan diri pada yang ilahi. Dalam konteks inilah berlaku nasehat saleh yang biasa kita dengar, yakni ora et labora. Berdoa dan bekerja, bekerja dan berdoa.
Jadi, Yesus membolehkan murid-murid-Nya dalam melaksanakan misi menggunakan alas kaki memiliki pesan bahwa, para murid yang telah dibekali dengan kuasa ilahi itu telah sah memiliki otoritas untuk bertindak. Dengan otoritas yang ada itu mereka sejatinya harus menyatakan kesiapannya untuk mewartakan Kerajaan Allah. Memperbolehkan mengenakan alas kaki juga mengingatkan murid-murid untuk selalu memberikan rasa hormat pada Yesus Tuhan mereka, sekaligus juga sebagai bentuk kerendahan hati, untuk selalu “bergantung” kepada kemahakuasaan Tuhan. Tidak boleh mengandalkan diri dengan segala kehebatannya, lalu lupa kekurangannya sebagai manusia. Memperbolehkan mengenakan alas kaki tidak hanya bermakna kesiapan untuk bermisi, mewartakan Injil tetapi juga mengingatkan murid-murid agar selalu berjalan mencari kehendak Yang Ilahi. Maka, mengenakan alas kaki adalah juga perjalanan spiritualitas seseorang untuk berjumpa dengan Sang Ada.
Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita juga adalah murid-murid Yesus yang mendapat perutusan hari ini? Kepada kita juga Yesus katakan hal yang sama:” boleh memakai alas kaki.” Maka ketika kita boleh memakai alas kaki kita pun harus siap sedia, kapan saja dan di mana saja untuk mewartakan injil dengan perkataan dan perbuatan. Dengan boleh memakai alas kaki kita hendaknya diingatkan untuk senantiasa melakukan perjalanan spiritual untuk berjumpa dengan Tuhan, sumber hidup kita. ***