Fahmi, si Jembatan it
WARTA-NUSANTARA,COM–Nama lengkapnya Fahmi Abu dan akrab dipanggil Fahmi. Ia lahir di Desa Waijarang, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata pada empat Mei 2012. Bapaknya bernama Zaenal Abidin dan Mamanya bernama Nurwati. Bapaknya bekerja sebagai nelayan sedangkan mamanya sebagai ibu rumah tangga. Fahmi kini ia berusia 12 tahun dan sedang duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar Negeri Waijarang.
Peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Katolik Widya Mandira (UNWIRA) Kupang, yang menjalai Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Waijarang, 17 Juli hingga 21 Agustus 2024, mengenal Fahmi tanggal 19 Juli 2024. Bocah berkulit gelap itu, di antara murid-murid SDN Waijarang lainnya baru mulai dikenal pada 19 Juli 2024 sore, ketika pihak sekolah mempersilahkan para mahasiswa KKN berkunjung ke sekolah itu dan menjalankan salah satu program kerja yakni pendampingan belajar bagi para murid SDN Waijarang.
Perjumpaan pertama dengan para murid SDN Waijarang dalam giat bimbingan belajar sore yang dimulai dari 19 Juli 2024 sore itu, tampak kerlip satu cahaya kecil terpancar dan mencuri perhatian. Fahmi, sore itu, di perjumpaan awal itu, seolah langsung muncul sebagai jembatan. Jembatann antara kami orang-orang wajah baru dengan 90-an murid SDN Waijarang itu. Jembatan antara anak-anak yang lugu dan segan, dengan kami yang juga masih tampak kaku di hadapan para guru serta kepala sekolah yang terlibat di perjumpaan awal tersebut.
Jembatan? Ya, tidak berlebihan jika si bocah Fahmi dijuluki begitu. Ia tampak memainkan satu peranan yang tidak umum dilakukan anak-anak, terutama saat berjumpa dengan orang baru. Tentu anak-anak butuh penyesuaian diri, perlahan-lahan menyesuaikan keberadaan, butuh waktu untuk akrab dan berani dekat.
Fahmi tidak membutuhkan waktu lama Ia begitu cepat berani berinteraksi dengan kami dibandingkan dengan teman-temannya yang lain, meskipun ia duduk atau berada pada posisi bersama teman-temannya, dan ‘berhadapan’ dengan kami. Dia memandang dengan serius apa yang kami perankan, dan tampak berusaha lebih dahulu mengerti apa yang kami lakukan, berusaha lebih dahulu memahami apa yang kami katakana, dan segera mengambil inisiatif dan peran untuk membantu menjembatani apa yang kami lakukan kepada kawan-kawannya, dengan bahasa dan kalimatnya yang membantu kawan-kawannya cepat memahami apa yang sedang kami giatkan. Pun tak tampak kesombongan atau keangkuhan dalam dirinya yang ditampakkan melalui sikap dan tindak tuturnya kepada teman-temannya, lantaran tampil memandu mereka. Tidak terlihat kecongkakan itu. Justru sebaliknya, ia tetap menampakkan keakraban dengan kawan-kawannya, menempatkan mereka sebagai sahabat yang dibantunya. Sikap itu, tidak hanya kepad teman-teman sekelasnya, tetapi juga kepada adik-adik kelas.
Fahmi selalu berani mendekati para mahasiswa KKN dan mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapatnya, bahkan meminta para mahasiswa mendengarkan ia berpantun. Hal itu ia lakukan tampaknya untuk mencairkan keadaan agar kawan-kawannya pun berani berinteraksi dengan para mahasiswa atau pun dengan saya. Juga, sikap itu ia lakukan seolah-olah untuk menarik perhatian para mahasiswa atau saya kepada dirinya dan juga kepada teman-temannya untuk untuk selanjutnya meminta dibimbing atau didampingi guna menyelesaikan sesuatu.
Sikap-sikap itu Fahmi tunjukkan selama masa dampingan belajar sore hari di sekolah atau di tepi pantai sekitar lingkungan sekolah oleh para mahasiswa KKN. Usai dampingan belajar pada sosre hari itu, Fahmi pun berinisiatif menemani perjalanan para mahasiswa kembali ke markas kegiatan. Kawan-kawannya pun tanpa dikomando, mengikuti langkah kakinya, berjalan beriringan dengan para mahasiswa ke markas kegiatan. Di dalam perjalanan, Fahmi tetap mengambil peran menjembatani obrolan dengan para mahasiswa, bahkan tak segan-segan melontarkan guyonan guna menyegarkan suasana dalam perjalanan. Kawan-kawannya pun menjadi tanpa sungkan oleh kondisi yang ia ciptakan.
Dalam proses bimbingan belajar sore hari yang dilakukan oleh para mahasiswa KKN di sekolah, apabila para murid diminta menjalankan satu peran, Fahmi selalu memperlihatkan diri sebagai orang pertama untuk menjalankan peran itu. Ia tidak perduli jika itu salah atau belum tepat. Ia tampil melakukan peran yang diberikan dan seolah-olah ‘memprovokasi’ kawan-kawannya yang lain agar terlibat berperan. Fahmi juga tak malu-malu mengakui bahwa kawannya yang bernama Hasan lebih baik dari dirinya jika para mahasiswa menyuruh membaca naskah dan menceritakan kembali isi naskah secara lisan menggunakan kalimat sendiri. Ia mengakui kalau Hasan lebih bagus, tetapi ia harus tampil lebih dahulu untuk menjadikan Hasan pun berani tampil.
Sikap Fahmi itu yang membuat gurunya, Hudani Abdul Kadir,S.Pd.SD.Gr (54 tahun), guru kelas VI mempunyai penilaian pada Fahmi. Menurut guru Hudani yang telah mengabdi di SDN Waijarang selama 8 ahun dan telah mengenal Fahmi sejak kelas 1,, bahwa secara akademik, Hasan lebih baik. Tetapi secara social, peduli dan pertemanan, Fahmi mempunyai keunggulan karakter itu.
Fahmi juga bisa tersinggung jika sedang menanggapi suatu petunjuk dan ingin berperan tetapi diabaikan. Ia dapat membuat suasana kelas atau suasana pertemuan menjadi kurang akur dengan jalan mengajak kawan-kawannya untuk melakukan kegiatan lain. Ia mampu “merampas’ perhatian kawan-kawannya untuk mengikuti dia. Namun jika kepadanya diberikan keoercayaan maka ia melakukan itu dengan baik dan mampu menggerakkan kawan-kawannya untuk terlibat dalam suasana gembira.
Fahmi, selain menjalankan tugas dan peran sebagai murid SD negeri Waijarang, Fahmi juga selalu mengumandangkan adzan di masjid untuk memulai shalat Magrib. Selama 30 hari lebih kami menjalani KKN di Desa Waijarang, kami selalu mendengarkan lantunan adzan dari Fahmi. Oleh karena markas komando kegiatan KKN berada di dekat masjid maka setiap usai shalat magrib, Fahmi selalu mengajak kawan-kawannya datang ke markas KKN untuk bersalaman, berdiskusi dan berbagi cerita, sebelum mereka kembali ke rumah.
Satu kisah lain yang juga sulit untuk dilupakan dalam kebersamaan dengan Fahmi dan kawan-kawannya yakni ia memandu kami peserta KKN bersama kawan-kawannya ke laut di tepi pantai Desa Waijarang saat pasang surt, guna mengambil media tanam terumbu karang untuk dilakukan penanaman ulang, pada media-media tanam yang hasil transplantasinya gagal atau karangnya gagal tumbuh. Saat melintasi kolam-kolam laut yang dangkal itu, Fahmi tak henti-hentinya menjelaskan tentang tumbuhan maupun hewan-hewan laut yang dijumpai. Ia memperingatkan kami untuk tidak mendekat pada hewan-hewan laut yang bisa berbahaya karena ada bisanya, seperti bulu babi atau ular laut. Ia juga menjelaskan tentang kerang yang bisa dimakan dan yang tidak boleh dimakan. Dan, di hamparan kolam-kolam pasang surut itu, saat saya berseru ‘Si Bolang”, Fahmi mengajak kawan-kawannya untuk menyambut dengan sahutan; ‘Anak Waijarang !”*** (GDT)