“Pemohon tidak menguraikan secara jelas dengan bukti yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan terkait upaya-upaya Pihak Terkait, Pasangan Calon Nomor urut 1 dan Termohon dalam melakukan pelanggaran yang Terstruktur, Sistematis dan Massif”
JAKARTA : WARTA-NUSANTARA.COM– Kantor Pengacara/Mediator Fransisco Fernando Besi, S.H., M.H., Ce. Me, CLA, & Parnert, selaku kuasa hukum Eduard Markus Lioe dan Jhony Army Konay, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati nomor urut 5, dalam Pilkada Kabupaten Timor Tengah Selatan, menyampaikan keterangan selaku Pihak Terkait, dalam persidangan Sengketa Pilkada Kabupaten Timor Tengah Selatan, di Mahkamah Konstitusi di Jakarta, pada Jumat (24/1/2025).
Sebagaimana Rilis yang diterima Warta-Nusantara.Com, Kamis, 23/1/2025, menurut Fransisco Bernardo, selaku Ketua Tim, pihaknya mengajukan diri sebagai Pihak Terkait, dalam Perkara Nomor 270/PHPU.BUP-XXII/2025 yang dimohonkan oleh Egusem Pieter Tahun dan Johan Cristian Tallo, Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 4.
Dijelaskannya, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2024 yang diajukan oleh Pemohon.
Karena berdasarkan ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, menerangkan “Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih”.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 157ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang menerangkan “perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya peradilan khusus”.
“Bahwa dari konstruksi pasal tersebut di atas, mengandung makna yang jelas dan tegas (expressis verbis) jika kewenangan Mahkamah Konstitusi, hanyalah berkaitan dengan perolehan suara tahap akhir yang signifikan dan dapat mempengaruhi penetapan calon terpilih, bukan memeriksa dan memutus peristiwa atau dugaan pelanggaran administrasi atau tindak Pidana Pemilihan,” kata Fransisco.
Bahwa pada faktanya, ujar Fransisco, Permohonan yang diajukan Pemohon tidak berkenaan dengan penetapan perolehan suara hasil pemilihan melainkan berkenaan dengan dugaan pelanggaran dan sengketa lainnya/Pelanggaran Administrasi, dan/atau Sengketa Pidana Pemilihan yang pada pokoknya merupakan
kewenangan dari lembaga-lembaga negara lainnya dan bukan ranah serta kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya. “Mencermati dalil-dalil pokok Permohonan Pemohon terkait dugaan telah terjadinya Pelanggaran yang Terstruktur, Sistematis dan Masif, yang dilakukan oleh
Pihak Terkait bersama-sama dengan Termohon, maka Pihak Terkait dengan tegas membantahnya dan menolak karena menurut Pihak Terkait terhadap dalil-dalil tersebut bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya,”
tukas Fransisco
Ditambahkannya, Pemohon tidak memiliki Kedudukan Hukum (Legal Standing) untuk mengajukan permohonan perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2024 yang dimohonkan oleh Pemohon. “Bahwa Data Agregat Kependudukan Kabupaten Timor Tengah Selatan Semester I Tahun 2024 yang diperoleh dari Dirjen Dukcapil RI melalui Dinas Kependudukan Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2024 tanggal 31 Juli 2024,
diketahui jumlah penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 447.808 jiwa,” tukas Fransisco. Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Timor Tengah Selatan Nomor 1788 Tahun 2024 Tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupatidan Wakil Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2024 Tanggal 6 Desember
2024 pukul 23.55 WITA sebagai berikut:
a) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Salmun Tabun dan Marten Tualaka dengan Perolehan Suara sebanyak 65.411 suara;
b) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Daniel Frans Oematan dan Uksam B.
Selan dengan perolehan Suara sebanyak 11.279 suara;
c) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Alexander Kase dan Johanis Lakapu dengan Perolehan Suara sebanyak 15.624 suara;
d) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Egusem Piter Tahun dan Johan Ciristian
Tallo dengan perolehan suara sebanyak 56.324 suara;
e) Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Eduard Markus Lioe dan Johny Army Konay dengan peroleh suara sebanyak 70.349 suara; “Bahwa jumlah perolehan suara sah berdasarkan Penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah 218.987 sehingga ambang batas yang diperbolehkan untuk diajukan Pemohon adalah 218.987 X 1,5 % = 3.285 suara. Bahwa berdasarkan poin huruf (b) di atas, selisih perolehan suara sah
pasangan calon nomor urut 5 (lima) dengan Pemohon pasangan calon nomor urut 4 (empat) sejumlah 14.025 Suara atau sebanyak 6,4 %. Bahwa hal inipun nyata telah
diakui secara tegas oleh Pemohon sendiri sebagaimana dalam dalil Permohonannya pada Poin huruf C,” ujar Fransisco.
Ditambahkannya, Pemohon juga tidak menguraikan secara jelas dengan bukti yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan terkait upaya-upaya Pihak Terkait, Pasangan Calon Nomor urut 1 dan Termohon dalam melakukan pelanggaran yang Terstruktur, Sistematis dan Massif sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan
penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Pasal 135 A, Ayat (1), sebaliknya ada kesan, bahwa Pemohon hanya menempatkan kalimat “TSM” dalam dalil-dalinya tanpa mengetengahkan secara subtansial maknanya, dengan tanpa menunjukan fakta dan bukti yang valid serta dapat dipertanggungjawabkan.
Dijelaskannya, dalam Pokok Permohonan, Pemohon mencampuradukan objek sengketa/perkara yang seharusnya diselesaikan dan menjadi kewenangan lembaga lain. Perihal ini jelas terlihat dalam dalil pada poin pokok permohonannya
yang mana semuanya menjelaskan dan menguraikan tentang pelanggaranpelanggaran administrasi Pilkada sebagaimana didalilkan Pemohon.
Bahwa dalam dalil pemohon menyatakan bahwa telah terjadi “Pelanggaran yang Terstruktur, Sistematis dan Masif yang dilakukan oleh Pasangan calon Nomor Urut 5 berupa
Money Politic, Kongkalikong dengan Penyelanggara dan adanya pelanggaran lain yang terjadi di 50% TPS wilayah Pemilukada di Kabupaten TTS”, yang menurut Pihak terkait adalah dalil yang sangat kabur atau tidak jelas tuduhan TSM itu ditujukan.
“Bahwa Tuduhan TSM itu tidak bisa ditujukan semata kepada Paslon Nomor urut 5 sebagai salah satu calon, sehingga tuduhan itu sangat kabur dan tidak jelas, apalagi menurut Pemohon, tuduhan TSM itu mempengaruhi perolehan suara Pemohon lebih dari 50 % wilayah Pemilihan Kabupaten TTS, tetapi dalam pembuktiannya hanya mempersoalkan pada 4 Kecamatan dari 32 Kecamatan yang
ada di Kabupaten Timor Tengah Selatan,” ujar Fransisco.
Sedangkan menurut Kuasa hukum Pihak Terkait lainnya, Petrus Bala Pattyona, SH.,MH., Pihak Terkait menolak dengan tegas dalil-dalil yang diajukan oleh pemohon, kecuali terhadap segala sesuatu yang diakui secara tegas kebenarannya. “Bahwa mencermati dalil-dalil Permohonan Pemohon, dapat dipahami bahwa Permohonan Pemohon diajukan hanya berdasarkan opini Pemohon semata dengan membangun dalil dugaan telah terjadi pelanggaran yang Terstruktur, Sistematis dan Masif yang dilakukan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 5 dengan cara Money Politics (politik uang), kongkalikong dengan Penyelenggara, menunjukan bahwa
Pemohon tidak memahami dengan baik apa makna di balik pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Masif itu sendiri,” tukas Petrus.
Sehingga Pihak Terkait menanggapinya sebagai berikut : Bahwa terhadap tuduhan yang dituduhkan Pemohon kepada Pihak Terkait adalah tidak benar dan tidak berdasar, karena dalam proses pelaksanaan tahapan penyelanggaran pemilihan
bupati dan wakil bupati, mulai dari Pendaftaran Pasangan Calon, Kampanye dan Proses Pemungutan dan Perhitungan Suara, Pasangan Calon Nomor urut 5 (Pihak Terkait) tidak pernah melakukan tindakan-tindakan sebagaimana yang telah
dituduhkan oleh Pemohon, bahwa terhadap tuduhan Pemohon tentang adanya pelanggaran secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) adalah tidak jelas dan kabur, karena Pemohon tidak menguraikan secara jelas pelanggaran yang dilakukan
oleh Pihak Terkait bersama Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Timor Tengah Selatan (Termohon) secara kolektif atau bersama-sama dengan jajarannya, dan direncanakan secara matang (by design), tersusun, bahkan sangat rapi sehingga berdampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pernilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota menjadi Undang-Undang Pasal 135 A, Ayat (1) : “Yang dimaksud dengan “terstruktur” adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersamasama”.
“Yang dimaksud dengan “sistenmatis” adalah pelanggaran yang
direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi”. “Yang dimaksud dengan “masif” adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian”. (***)