WARTA=NUSANTARA.COM–Tanggal 20 Februari 2025 menjadi hari bersejarah bagi Provinsi Nusa Tenggara Timur karena pada akhirnya mendapatkan Gubernur dan Wakil Gubernur defenitif, setelah dua kali memiliki Pejabat Gubernur dalam kurun waktu yang cukup lama. Pelantikan ini sebagai momentum bersejarah yang mustinya disaksikan oleh warga masyarakat NTT.
Ternyata ekspektasi itu tidak tercapai karena pelantikan dilakukan secara serentak oleh Presiden Prabowo di Istana Negara. Berkenaan dengan moment bersejarah ini, penulis mempersembahkan tulisan ini sebagai hadiah Komisi Informasi Nusa Tenggara Timur, kepada Gubernur dan Wakil Gubernur, Bapak Emanuel Melkiades Laka Lena dan Bapak Yohanes Asadoma, sebagai gubernur dan wakil gubernur kesembilan.
Hadiah ini sebagai cermin bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, di satu pihak untuk melihat dan menilai kepatuhan penyelenggara dan penyelenggaraan Negara di daerah ini dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat untuk mengawasi tata kelola pemerintahan.
Hal itu sebagaimana diamanatkan pada Pasal 3 Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik; partisipasi public ini dimaksudkan agar terwujudnya good and clean government dengan menghindari praktek KKN sebagai warisan virus dari Orde Baru; dan di pihak lain, melalui cermin ini Gubernur dan wakil gubernur dapat mengikuti dan mengukur kinerja Komisi Informasi NTT, apakah eksistens lembaga ini berbanding lurus dengan visi dan misi Gubernur Provinsi NTT periode 2025-2030 dalam hubungan dengan pemenuhan hak asasi manusia untuk mendapatkan informasi (public) dalam penyelengaraan Negara?
Hak untuk mendapatkan informasi adalah hak asasi manusia. Dia menjadi hak yang terberikan (gabe) dari Tuhan yang tentunya menuntut tanggungjawab (aufgabe).
Sebagai hak yang melekat sejak lahirnya, hak ini diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.”
Deklarasi terhadap hak asasi yang dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948, kemudian diatur di Negara ini melalui tiga peraturan perundang-undangan.
Pertama, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 14 menyatakan dalam ayat (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya. Ayat (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia.
Kedua, setelah hak ini diatur di dalam undang-undang ini, hak ini kemudian diatur dalam Konstitusi UUD 1945 hasil amandemen II, 18 Agustus 2000. Selanjutnya penulis mengutip Pasal 28F, UUD1945:” Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Ketiga, adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Undang-undang ini sebagai implementasi dari mandate Pasal 28F UUD 1945. Undang-Undang ini bertujuan mengatur partisipasi public mulai dari perencanaan, implementasi dan evaluasi dalam mengwal dan mengawasi penyelenggara dan penyelenggaraan Negara. Maka roh dari undang-undang ini adalah Keterbukaan Informasi Publik.
Karena itu maka undang-undang ini selanjutnya memberikan mandat kepada pemerintah untuk membentuk Komisi Informasi Publik mulai dari tingkat pusat hingga daerah (Provinsi dan kabupaten/kota) dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) pada Badan-Badan Publik, yang berfungsi untuk menyediakan, menyimpan/mendokumentasikan serta mendistribusikan informasi-informasi tentang penyelenggara dan penyelenggaraan Negara yang menjadi hak public untuk tahu. Badan Publik menurut Undang-Undang ini adalah Eksekutif, Yudikatif, Legislative, BUMN/BUMD, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Partai Politik.
Komisi Informasi dibentuk untuk mengawasi dan mengawal penyelenggara dan penyelenggaraan Negara dalam kaitan dengan kepatuhannya untuk mengimplementasikan undang-undang ini.
Apabila ditemukan bahwa ada ketidakpatuhan terhadap implementasi undang-undang ini maka Badan Publik dikenai sanksi pidana kurungan penjara dan denda (Pasal 52).
Sementara dalam hubungan dengan hak untuk mendapatkan informasi dari masyarakat, bila tidak tepenuhi hak-haknya maka masyarakat atau badan hukum dapat melakukan Sengketa Informasi Publik kepada Komisi Informasi.
Badan inilah yang memiliki legal standing untuk menerima, memeriksa dan menyelesaikan/memutuskan sengketa informasi public melalui proses ajudikasi non litigasi.
Komisi Informasi Provinsi NTT
Lembaga yang bersifat mandiri, yang memiliki tugas dan fungsi untuk menyelesaikan sengketa informasi public, menurut undang-undang ini, harus dibentuk dua tahun setelah undang-undang ini disahkan. Peraturan perundangan ini disahkan pada tanggal 30 April 2008. Maka, Komisi Informasi di seluruh Indonesia harus dibentuk pada tahun 2010.
Faktanya tidaklah demikian. Seluruh Komisi Informasi di daerah dibentuk menurut political will pemerintah provinsi dan DPRD Provinsi. Sehingga praktek pembentukannya bervariasi. Di Provinsi NTT, lembaga ini baru dibentuk tanggal 28 Agustus 2019 bertepatan dengan dilantiknya lima anggota komisioner Komisi Informasi, atas nama Pius Rengka, Maryanti Adoe, Daniel Tonu, Agustinus Baja dan Ichsan Pua Upa, pada tanggal 28 Agustus 2019.
Komisi Informasi NTT menjadi urutan ketiga terakhir, setelah pembentukan komisi informasi di provinsi lain yang jauh lebih dahulu dibentuk sejak tahun 2010. Jadi, Komisi Informasi NTT berumur kurang lebih enam tahun.
Publik tentu bertanya, selama kurang lebih enam tahun, apa pencapaiannya? Sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam undang-undang ini maka Komisi Informasi NTT hingga awal tahun 2025 sudah menyelesaikan lima (5) sengketa informasi public.
Sengketa informasi berturut-turut yakni pertama, antara Badan Hukum KNPI melawan Pertanahan Kota Kupang yang diselesaikan melalui proses ajudikasi non litigasi; kedua, Pengacara Ahmat Bumi, Partners and Lowyer melawan Polres Lembata; ketiga, Lembaga Swadaya Masyarakat Pemantau Keuangan Negara (PKN) melawan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat; keempat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK melawan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (dalam hal ini Dinas PUPR Provinsi) dan kelima, LSM Bengkel APPeK melawan sepuluh Partai Politik tingkat Provinsi. Keempat kasus terakhir diselesaikan melalui mediasi.
Sementara itu, dalam fungsinya untuk melaksanakan undang-undang ini maka lembaga ini mengukur kepatuhan Badan Publik dalam hubungan dengan tersedinya berbagai kategori informasi public pada Pejabatan Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Badan Publik menurut perintah peraturan ini, dalam rangka untuk memenuhi hak asasi masyarakat dalam hubungan dengan permintaan informasi public yang bertujuan untuk turut serta mengawal dan mengawasi praktek pemerintahan yang baik dan bersih, maka lembaga ini menggunakan dua variable.
Pertama, melalui kegiatan Monitoring dan Evaluasi yang berpuncak pada Pengumuman Penganugerahan Keterbukaan Informasi Publik. Kegiatan ini sudah dilakukan sejak tahun 2022, 2023 dan 2024. Pada kegiatan pertama, pencapaian kepatuhan ini pada angka 74. 4 dengan kategori Cukup Informatif. Pada kegiatan kedua, masih pada kategori Cukup Informatif dengan nilai 79, 6. Pada tahun 2024, meningkat menjadi informative, dengan nilai 91, 7. Variabel.
Kedua adalah mengikuti kegiatan Index Keterbukaan Informasi Publik yang diselenggarakan oleh Komisi Informasi Pusat. Sejak tahun 2022 komisi informasi NTT mengikuti kegiatan ini. Berturut-turut mencapai hasil Cukup Informatif dengan nilai 74, 6 (2022), Cukup Informatif dengan nilai 79, 4 (2023) dan pada tahun 2024, mengalami loncatan yang pesat dengan memperoleh nilai 94, 7 pada kategori Informatif. Jadi, sejak diumumkannya hasil monitoring evaluasi indeks keterbukaan informasi public yang diselenggarakan oleh Komisi Informasi Pusat, tanggal 17 Desember 2024, maka Nusa Tenggara Timur telah menjadi Provinsi Informatif.
Lebih Mudah Menggapai Mimpi Daripada Mempertahankannya!
Pasca lembaga ini terbentuk, dia memiliki visi besar yang tergambar dalam Rencana Strategis (Renstra 2019-2027) adalah Terwujudnya Nusa Tenggara Timur sebagai Provinsi Informatif.
Dengan segala sumber daya “apa adanya” komisi bergerak cepat, dengan menyingsing lengan baju, sambil berlari kencang dengan berbagai desain program yang terukur, para komisioner pada periode kedua, yang terdiri dari Daniel Tonu (Ketua), Germanus Attawuwur (Wakil), Agustinus Baja (Koordinator bidang Penyelesaian Sengketa Informasi, Yosef Kolo (koordinator bidang Edukasi, Sosialisasi dan Advokasi) dan Riesta Megasari (koordinator bidang Kelembagaan), akhirnya mencapai mimpi besar pada tahun yang pertama periode kedua. Ini prestasi luar biasa.
Komisi Informasi sadar, bahwa mempertahankan predikat Provinsi Informatif ini tidaklah mudah. Karena itu butuh supporting dan sekaligus kolaborasi berbagai stakeholders yang berkehendak baik untuk tetap memenuhi hak asasi public di satu pihak dan pada pihak yang lain, untuk mendukung terciptanya penyelenggara dan penyelenggaraan Negara yang baik dan bersih.
Berdasarkan delegasi undang-undang ini, supporting yang dibutuhkan adalah dari pihak Pemerintah Provinsi, dalam hal ini Gubernur dan Wakil Gubernur (Eksekutif) dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi NTT (Legislative). ***