Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Sir. 27:4-7; 1 Kor. 15:54-58; Luk. 6:39-45




WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, berikut saya mengutip Kitab Putra Sirakh: “Kalau ayakan digoyang-goyangkan maka sampahlah yang tinggal, demikianpun keburukan manusia tinggal dalam bicaranya. Perapian menguji periuk belanga penjunan, dan ujian manusia terletak dalam bicaranya. Nilai ladang ditampakkan oleh buah pohon yang tumbuh di situ, demikian pula bicara orang menyatakan isi hatinya. Jangan memuji seseorang sebelum ia bicara, sebab justru itulah batu ujian manusia.



Putra Sirakh tahu bahwa betapa bicara itu bisa saja menjadi sumber berkat, tetapi dapat pula menjadi muasal petaka. Lidah manusia itu patut diwaspadi karena lidah manusia itu sering bercabang hingga pada akhirnya muncullah istilah, dasar lidah tak bertulang. Lidah tak bertulang itu dapat membawa kemuliaan atau bahkan kehancuran. Karena itu maka Sirakh menasehati kita untuk tidak lekas-lekas memuji seseorang sebelum berbicara.


Pembicaraannya itu ibarat ayakan, digoyang-goyang hingga tinggal sampah, demikian pun manusia, keburukannya akan tinggl dalam bicaranya. Jadi, ujian manusia itu terletak dalam bicaranya. Apakah ia lolos seleksi menjadi manusia yang bertipikal buruk atau berkarakter baik? Ujiannya terletak dalam bicaranya.
Nasehat Putra Sirakh selaras dengan Kebijaksanaan Berbicara yang dikemukakan oleh Socrates dalam teorinya Tripel Filter Tes. Filsuf Yunani kuno ini mengemukakan teorinya itu melalui sebuah cerita yang saya kutip berikut ini:“Pada suatu hari seorang teman Socrates bertemu dengannya. Temannya itu berkata; “Tahukah Anda, apa yang saya dengar tentang teman Anda?” Mendengar perkataan temannya itu, Socrates berkata: “Sebelum Anda menceritakan kepada saya perihal apa yang Anda ketahui tentang teman saya itu, saya akan memberikan suatu test sederhana yang saya sebut dengan Triple Filter Test.” Pertama, filter test kebenaran; “Apakah Anda yakin bahwa apa yang Anda katakan kepada saya itu benar?” Temannya menjawab; “Tidak. Saya hanya mendengar saja dari orang lain tentang teman Anda.” “Jadi Anda tidak yakin itu benar?” Tanya Socrates.Sekarang saya berikan filter test kedua, kebaikan; “Apakah yang akan Anda katakan tentang teman saya itu sesuatu yang baik?” ”Tidak, malah sebaliknya,” kata temannya tadi.“ Jadi Anda akan menceritakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, dan Anda tidak yakin itu benar?” tanya Socrates. Sebelum Anda menceritakan tentang teman tersebut, saya ingin memberikan filter test ketiga, kegunaan/manfaat. Apakah informasi yang akan Anda sampaikan itu berguna buat saya atau berguna untuk Anda?” tanya Socrates. “Tidak,” jawab orang tersebut.”



Socrates menyimpulkan, “Bila Anda ingin berbicara tentang sesuatu/seseorang kepada saya yang belum tentu kebenarannya, bukan pula tentang kebaikan, dan bahkan tidak berguna, mengapa Anda datang kepada saya untuk menceritakan hal itu kepada saya?” Mendengar penjelasan Socrates, akhirnya temannya tadi tidak jadi menyampaikan kepada Socrates. Ia menyimpan cerita itu dan membiarkannya tenggelam dalam diamnya.
Saudara-saudara, dalam terang bacaan I dan teori Socrates, hari ini kita mendengar tentang ajaran Yesus kepada orang-orang munafik, kata-Nya:” Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar yang ada di dalam matamu, padahal balok yang di dalam matamu tidak engkau lihat?”


Yesus mengeritik kelakuan orang-orang munafik. Orang munafik itu sama dengan orang muka belakang. Di depan lain, di belakang lain. Bahkan bisa disebut serigala berbulu domba. Manis cuma di bibir tetapi hatinya busuk. Kegemaran mereka adalah suka berbicara tentang kejelekan orang lain.
Karena mereka suka berbicara tentang keburukan-keburukan orang lain, maka Yesus dengan tegas mengeritik mereka, kata-Nya:”Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui? Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”
Kritik yang disampaikan kepada orang munafik berlaku juga untuk kita. Hari ini kita dikritik untuk lebih jujur dan realistis terhadap diri dan terhadap orang lain. Maka dari itu kita dituntut untuk lebih bijaksana. Orang bijak berbicara karena mereka memiliki sesuatu yang dikatakan;orang bodoh berbicara karena mereka harus mengatakan sesuatu.



Baik Yesus, Putra Sirakh dan Socrates meminta agar kita berbicara musti selektif. Pilihan diksi yang digunakan dalam pembicaraan mencerminkan eksistensi kita. Karena itu tidak semua hal perlu dibicarakan. Kita cukup bicara yang penting-penting saja. Bahkan lebih baik diam, karena diam itu emas. Diam untuk menengok ke dalam diri sebelum bicara. Maka lebih baik diam daripada berbicara tentang keburukan orang lain. Karena begitu anda berbicara tentang keburukan orang lain, pada saat yang lain di tempat yang berbebda, keburukan andapun sedang dikuliti oleh orang lain.
Demikian berlakulah hukum tabur tuai.Maka sebelum kita berbicara dengan diri sendiri untuk sesuatu hal atau untuk seseorang, kita harus mengujinya dalam terang kebenaran, kebaikan dan kebermanfaatan.Sampai di sini, pada akhirnya kita bertanya, apa yang harus dibicarakan? Atau kita cukup berdiam diri karena diam itu adalah emas? Tentu tidak. Kita musti berbicara. Tetapi kita musti berbicara tentang kolektifitas kita.
Maka sudah saatnya kita berbicara tentang kita sekarang ini, kini dan di sini. Kita berbicara tentang kita yang suka sekali omong-omong orang punya nama. Kita berbicara tentang kita yang nyaris tidak peduli pada kekinian bumi sebagai rumah kita bersama yang sedang “sakit” oleh ulah manusia sendiri. Kita akhirnya musti berbicara tentang kita sebagai Peziarah Pengharapan di Tahun Yubileum ini. Kita bicara apa yang bisa kita lakukan bersama-sama pada tahun yobel ini, hingga pada akhirnya kita mengalami pembebasan dan kemerdekaan sebagai anak-anak Allah yang berpengaharapan?
Mengakhiri khotbah ini saya mengajak kita satu demi satu untuk kembali ke dalam diri sendiri sambil bertanya, apakah saya ini masih seperti orang munafik atau sudah menjadi orang bijak yang menggunakan triple filter test sebelum berbicara? Karena ujian manusia adalah bicaranya. Karena itu jangan memuji seseorang sebelum ia bicara, demikian nasehat Putra Sirakh. ***