Oleh : Germanus S. Atawuwur, Alumnus STFK Ledalero
Yl.2:12-18; 2 Kor.5:20-6:2; Mat.6:1-6.16-18




WARTA-NUSANTARA.COM–Bapa, ibu, saudara, saudari yang terkasih, kita memasuki lagi masa puasa, dimulai pada hari ini, yang kita kenal sebagai hari Rabu Abu. Selama 40 hari kita akan berpuasa. Karena puasa selama 40 hari maka ada orang menyebutnya sebagai Retret Agung. Puasa yang mulai kita jalankan pada hari ini adalah partisipasi kita terhadap puasa yang telah dilakukan oleh Yesus selama 40 hari di Padang gurun. Kristus sendiri melakukan disiplin ini untuk mengajarkan kepada kita pengikut-Nya bahwa berpuasa hendaknya menjadi sebagian dari pengabdian kita kepada Allah dan sekaligus sebagai keberpihakan kepada sesama yang kurang beruntung nasipnya.



Hari ini kita semua: laki dan perempuan, anak-anak, remaja, orang muda dan dewasa menerima Abu Pertobatan. Satu demi satu kita ditandai dengan pengolesan abu di dahi disertai dengan ucapan “Bertobatlah dan percayalah pada Injil“. Simbol ini mengingatkan kita akan ritual Israel kuno di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan, dan pertobatan (bdk. Ester 4:1,3 ). Penyesalan juga digambarkan dengan “memakan abu” (Mzm 102:10) “Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan.“


Rabu Abu juga sebagai hari untuk mengingat kefanaan kita karena itu maka ketika mengoles abu di dahi, imam juga dapat menggunakan kata-kata ini: “Ingatlah bahwa engkau adalah debu, dan engkau akan kembali menjadi debu.” Dengan mendapatkan olesan abu di dahi kita sadar bahwa kita hanyalah setetes debu di bawah telapak kaki Tuhan, namun mulia di hadapan-Nya karena serupa dengan-Nya.
Saudara-saudaraku, bertepatan dengan pembukaan masa puasa, kita kembali mendengar bacaan tentang seruan nabi Yoel untuk bertobat. “Berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu,berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia.”



Sementara itu dalam bacaan injil kita mendengar nasehat Yesus kepada orang-orang Israel, bagaimana seharusnya berpuasa.” Apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamuseperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa.”
Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang.”


Apa yang dikatakan oleh nabi Yoel dan Yesus, mau mengingatkan kita bahwa masa puasa tidak boleh dilihat sebagai ritual liturgy tahunan semata, tetapiharus juga menjadi kesempatan untuk mengintrospeksi diri. Introspeksi diri musti merujuk pada tiga hal yang dikatakan Yesus: Berpuasa, Bersedekah dan Berdoa.
Kita mengintrospeksi untuk memperbaiki tiga praktek kesalehan kristiani ini karena praktek ini hendaknya dilakukan dalam kesadaran demi kemuliaan Tuhan dan untuk membangun solidaritas bersama dengan manusia, teristimewa mereka yang malang, terlantar dan menderita.
Bila kita lakukan tiga hal itu secara sadar dan bertanggungjawab maka, kita sebenarnya sedang berjalan kembali ke pangkuan Allah penuh kasih sebagaimana kata-kata nabi Yoel:” berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia.”
Maka puasa adalah juga tanda pertobatan, tanda penyangkalan diri, dan tanda kita mempersatukan sedikit pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai silih dosa kita dan demi mendoakan keselamatan dunia.
Saudara-saudaraku, ketika kita memasuki Masa Puasa Tahun ini, Paus Fransiskus mengajak kita semua melalui Surat Gembalanya:“Marilah kita berjalan bersama dalam pengharapan.”
Tema ini sejalan dengan tema Tahun Yubileum:” Peziarah Pengharapan.”
Tahun Yubileum merupakan waktu untuk pembaruan spiritual, penebusan dosa, dan perbuatan amal kasih. Maka, pada Masa Puasa ini, kita pun terpanggil untuk pembaruan spiritual penebusan dosa dan perbuatan amal kasih. Ada tiga hal yang hendak ditekankan oleh Paus Fransiskus dalam Tahun Pembebasan ini. Pertama, ziarah. Ziarah menjadi unsur mendasar dalam setiap Tahun Yubileum.



Ziarah atau sebuah perjalanan secara tradisional dikaitkan dengan pencarian manusia akan makna hidup. Ziarah dengan berjalan kaki sangat mendukung penemuan kembali nilai keheningan, dan kesederhanaan hidup. Peziarah Pengharapan”, membangkitkan ingatan kita akan perjalanan panjang umat Israel ke Tanah Perjanjian, seperti yang diceritakan dalam Kitab Keluaran. Tuhan menghendaki dan menuntun kita di jalan yang sulit dari perbudakan menuju kebebasan. Dia mengasihi umat-Nya dan tetap setia kepada mereka. Panggilan pertama untuk pertobatan datang dari kesadaran bahwa kita semua adalah peziarah dalam hidup ini.
Kedua, harapan. Harapan menjadi teman perjalanan bagi umat beriman untuk berjumpa dengan kasih Tuhan dalam perjuangan hidup kita sehari-hari. Ketiga, komunal. Perjalanan Peziarah ini bersifat komunal. Artinya,perjalanan peziarah tidak bersifat perorangan, melainkan komunal, alias berjalan bersama-sama. Untuk melakukan perjalanan bersamaGereja dipanggil untuk berjalan bersama, untuk menjadi sinodal. Umat Kristiani dipanggil untuk berjalan di sisi orang lain, dan tidak pernah sebagai pengembara yang sendirian.
Berjalan bersama berarti memperkuat persekutuan yang didasarkan pada martabat kita semua sebagai anak-anak Allah (Gal 3:26–28). Itu berarti berjalan berdampingan, tanpa mendorong atau menginjak-injak orang lain, tanpa iri hati atau kemunafikan, tidak membiarkan seorang pun tertinggal atau dikucilkan. Marilah kita semua berjalan ke arah yang sama, bergerak menuju tujuan yang sama, saling memperhatikan dalam kasih dan kesabaran.
Marilah kita berjalan bersama dalam pengharapan, karena kita telah diberi sebuah janji. Semoga ‘spes non confundit’ (pengharapan tidak mengecewakan) (lih. Rm 5:5), pesan utama Yubileum, menjadi fokus perjalanan Prapaskah kita menuju kemenangan Paskah.
Jadi, ini adalah panggilan untuk pertobatan: panggilan untuk berharap, untuk percaya kepada Yesus sebagai Jalan Keselamatan.
Saudaraku, ketika kita memulai Masa Puasa pada hari ini, saya kira pertanyaan orang Amerika sebagai kebiasaan tatkala mereka memasuki masa puasa. Di antara mereka, akan selalu muncul pertanyaan ini:” What are you going to give up this Lent. Karena itu saya akhiri khotbah ini dengan pertanyaan yang tentu masih relevan untuk kita semua: “What are you going to give up this Lent?” (Kamu mau pantang apa dalam Masa Prapaska ini)? ***