Ide Tokoh Ini Sungguh Menguatkan Hati
KUPANG : WARTA-NUSANTARA.COM– HARI Sabtu, 28 Juni 2025. Hari masih pagi. Udara di Puncak Bukit Kolhua, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) masih cukup dingin, basah. Angin sepoi manja melambaikan dedaunan di tepi rumah. Aroma pesta masih terasa. Mata saya yang masih merah menahan rasa kantuk seketika menjadi terang- benderang. Semalaman nyaris tak tidur mendampingi anak Baldus Kila dan anak Ega Burin pada resepsi pernikahan mereka.

Tapi, pagi hari itu, Bapa Anton Bele: dosen, tokoh gereja, katekis, tokoh masyarakat, politisi dan penulis buku dan penulis kontemporer yang produktif, datang ke rumah saya. Benar, rasa kantuk saya hilang seketika karena ia tokoh yang sungguh saya kagumi dan hormati. Ia datang ke rumah dengan berjalan kaki. Jarak rumah saya dengannya terhitung hanya sekitar seratus meter. Saya tersipu malu karena didatangi tokoh ini. Sesungguhnya, saya yang pergi ke rumahnya.

Tokoh ini mampu menembus semua strata atau sekat sosial. Tokoh yang rendah hati dan boleh berdiskusi dengan siapa saja. Sebagai seorang akademisi, doktor pada studi pembangunan, lelaki ini punya kelebihan, yakni mendengar dengan sangat baik. Siapa saja yang bicara, ia dengar, cerna dan kemudian menanggapi dengan sangat santun.
Awalnya, saya berpikir, Bapa Anton cuma berkelakar dan sekadar mengganggu saya untuk bertandang ke rumah.
“Bilang Ibu, apakah sekarang saya bisa menuju rumah? Siap teh,” kata Bapa Anton Bele. Dan, saya bilang, siap dan sekali lagi siap. Tak lama berselang lelaki kelahiran Kampung Lakmaras di kaki Gunung Lakaan, Belu, 79 tahun lalu, tiba di rumah.
Kami menikmati teh dan ubi jalar rebus. Ubi itu dibawa oleh keluarga dari Belu. Sekadar basa-basi dulu, ia kemudian mengatakan bahwa saat pulang mengikuti misa pada pagi hari di Gereja Santo Fransiskus dari Assisi, Kolhua, Kupang, ia hendak mendengarkan lagu-lagu tentang Bunda Maria. Hari itu, Gereja Katolik sejagat memeringati Hati tak Bernoda Santa Perawan Maria dan peringatan Santo Irenius dari Lyons, Uskup dan Martir. Ia mendengarkan sebuah lagu Maria yang ternyata karya saya.
Bapa Anton sungguh serius mendengarkan lagu berjudul, Serenade (Nyanyian Senja) untuk Bunda Maria, sebuah lagu yang saya tulis sekitar empat tahun lalu dinyanyikan oleh Ade Ellen Mamo. Ade Ellen, biduanita asal Manufui, Timor Tengah Utara (TTU) yang sungguh punya talent yang luar biasa. Selalu bangga dan senang jika ade ini menyanyikan lagu-lagu saya. Lagu itu tersimpan cukup lama di laptop maupun handphone karena belum ada waktu untuk me-recording-nya. Tahu bahwa lagu itu karya saya, Bapa Anton men-sharing-kan di beberapa grup layanan Whats App (WA) dan memberi caption yang sungguh menarik.
Intinya bahwa lagu ini patut digemakan dari Bukit Assisi, Kolhua agar dapat dinikmati oleh banyak orang. Ia mengakhiri caption itu dengan, “Bunda Maria mendoakan kita.”
Saya kaget. Kaget karena tokoh nasional ini memberi perhatian atas karya sederhana ini.
Lagu ini cukup diterima oleh umat. Viewersnya 645 ribu di tengah YouTube saya yang masih “kecil ana/jangkauan YouTube yang masih terbatas.” Subscribernya baru tiga ribu sekian. Tiap hari, rata-rata seribu orang yang menonton/mendengarkan lagu ini. Jika pada Bulan Maria, yakni Mei dan Oktober, penonton berkisar dua ribu sampai tiga ribu orang per hari. Tahun ini, saya percaya akan tembus angka satu juta viewers.
Bukukan Lagu-lagu Rohani
Bapa Anton Bele, sang tokoh ini suka menolong dengan caranya. Ia punya ide yang berulangkali disampaikan kepada saya. Antara lain, Harian Pagi Pos Kupang dan POS-KUPANG COM – meski saya sudah purna dari lembaga itu – perlu menerbitkan buku tentang Eksekusi Dance Soru, dkk karena sangat menarik dan penting. Dance Soru dkk pada akhir tahun 80-an membunuh satu keluarga di Rote. Suami istri dihabisi bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Dua anak yang sedang santap malam itu ditebas di bagian leher. Kepalanya terpental masuk pada bejana yang berisi air. Sadis memang. Para pelaku dijatuhi hukuman mati. Pos Kupang yang punya dokumentasi yang sangat bagus juga perlu menerbitkan kembali profil sejumlah tokoh yang berjasa untuk NTT. Begitu kata tokoh ini.
Kembali pada pokok diskusi kami tadi. Bapa Anton meminta saya untuk menyiapkan lagu-lagu rohani yang pernah saya rekam dan masih tersimpan untuk dibukukan. Ia akan melihat dari sisi liturgis kemudian memberi catatan-catatan perbaikan. Setelah itu diberi “nihil obstat” dan “imprimatur” dari Bapa Uskup Agung Kupang. Ia cuma mengoreksi dari sisi konten, isi. Sedangkan dari sisi langgam lagu, Bapa Anton tak mengoreksi. Kata dia, tentang lagu menjadi otoritas penulis lagu.
Lagu-lagu itu tak sekadar lagu rohani. Ia harus punya nuansa liturgis agar bisa dinyanyikan di gereja. “Mulai sekarang, coba siapkan pelan-pelan. Tidak terburu-buru. Ini bukan deadline koran jadi musti cepat sekilat,” kata Bapa Anton sambil tersenyum.
Bapa Anton juga menyarankan agar lagu-lagu itu bisa dinyanyikan dalam sebuah parade karya di gereja. Peserta, terserah apakah secara solo atau secara kolosal dari KUB (kelompok umat basis) atau lingkungan di paroki itu. Wah, saya kaget dengan ide yang sungguh menguatkan ini. Pikiran yang sungguh mengusung sportivitas, kesungguhan, dukungan moril serta membesarkan hati. Membesarkan orang. Bangga sekali dengan Bapa Anton. Bapa Anton juga men-sharing-kan pengalamannya menulis buku. Kata ia, menulis saja setiap kejadian entah panjang atau pendek. Simpan saja di laptop. Satu saat bisa diolah kembali menjadi bunga rampai.
Kepada Bapa Anton saya juga mengonfirmasi beberapa hal penting, di antaranya, yang saya dengar tentang dia. Salah satunya, apakah benar Bapa Anton pernah mengatakan jika menikah dengan Mama Yudith Salassa derajatnya naik — karena sebagai anak petani – dan Mama Yudith turun derajat karena sebagai anak bupati? Bapa Anton menjawab, benar sekali sambil menganggukkan kepala. Kerena itu, selama hidup berkeluarga ia tak pernah bernada tinggi, apalagi mengasari dan lain-lain. Ini bentuk rasa hormat kepada Mama Yudith yang sudah “turun derajat.” Mama Yudith justru “melihat” secara total keluarga di Lakmaras. Sebaliknya, Bapa Anton “melihat” keluarga Mama Yudith. Dua kutub strata sosial yang berbeda itu bisa berpadu, menyatu dalam titian hidup pasangan ini sehari-hari.
Beberapa hari yang lalu, Mama Yudith dan Bapa Anton merayakan usia pernikahan ke-48 tahun. Kita mendoakan agar dua orang tua kita ini sampai pada titik pesta emas 50 tahun pernikahan. Sebuah pencapaian hidup berkeluarga yang sungguh total, keluarga yang selalu menginspirasi karena keteladanan serta sungguh berdedikasi kepada gereja, bangsa dan masyarakat. *** (Paul Burin/Jurnalis)
KET FOTO : Penulis bersama Dr. Anton Bele, Sabtu, 28 Juni 2025.








