Agustinus Lasar Kecam Aparat Kelurahan Lewoleba Tengah Terkait Pembagian Beras Bantuan dipungut “Uang Sampah”
LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM– Agustinus Lasar salah satu warga Kelurahan Lewoloba Tengah, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata menyoroti pihak kelurahan karena merasa janggal atas pembagian beras bantuan senilai 10 Kg dengan memungut “uang sampah” atau “uang kebersuhan” senilai Rp 48.000/orang. Pembagian beras bantuan sosial itu dinilai membebani masyarakat.
Agustinus Lasar mengungkapkan kejanggalan tersebut kepada Warta-Nusantara.Com, pada, Kamis, (24/06/2025) di Kantor Kelurahan Lewoleba Tengah saat sedang mengantri untuk mengambil jatah beras bantuan.
Menurut Agustinus, masyarakat yang ingin mengambil bantuan beras sebanyak 20 kg (dalam dua karung 10 kg), diminta untuk membayar Rp 48.000 dengan dalih sebagai “uang kebersihan” atau “uang sampah”. Ia mempertanyakan legalitas pungutan tersebut.
“Sekarang ada pembagian beras lagi, tapi masyarakat diminta bayar Rp48.000. Katanya itu uang kebersihan. Kami bingung, apakah ini resmi? Apakah ada dasar hukumnya? Harusnya beras bantuan seperti ini dibagikan secara gratis, bukan dipungut biaya,” ujarnya dengan nada kecewa.
Pihaknya juga mengungkapkan bahwa praktik serupa sudah pernah terjadi tahun lalu. Ia menduga hal ini bukan sekadar kebijakan lokal, melainkan bentuk penyalahgunaan wewenang jika tidak disertai dasar hukum yang jelas.
“Kalau memang ini resmi, tolong dijelaskan secara terbuka ke masyarakat. Tapi kalau tidak, ini harus dihentikan. Banyak warga hari ini mengeluh. Ada yang tidak bawa uang, disuruh pulang dan tidak bisa ambil beras. Padahal ini bantuan sosial,” lanjutnya.
Agustinus menegaskan bahwa warga merasa terpaksa membayar karena sangat membutuhkan bantuan tersebut, meski sampah tidak pernah dipungut secara rutin oleh petugas.
Tanggapan Lurah Lewoleba Tengah : “Kontribusi Ringan, Bukan Pungutan Liar”
Lurah Lewoleba Tengah, Fransiska Tuto, S.Sos., menanggapi keluhan warga memberikan penjelasan, bahwa pembayaran sebesar Rp 48.000 tersebut bukan pungutan ilegal, melainkan kontribusi tahunan masyarakat untuk kebersihan lingkungan.
“Masyarakat hanya diminta bayar Rp 48.000 pertahun, atau sekitar Rp 4.000 perbulan. Ini sudah kami sosialisasikan sebelumnya, meskipun mungkin belum tersampaikan secara tertulis,” jelas Fransiska.
Ia menambahkan bahwa hanya sebagian kecil warga yang selama ini membayar kontribusi tersebut, padahal program kebersihan tetap berjalan. Dana kontribusi tersebut, menurut Fransiska, digunakan untuk mendukung operasional kebersihan yang selama ini kekurangan tenaga dan anggaran.
“Untuk dua kartu bantuan sosial, masyarakat cukup bayar sekali setahun. Jadi bukan beban berat. Tapi kalau tidak mau bayar, lalu kami sebagai pemerintah harus menanggung semua sendiri? Ini tidak adil,” ujarnya.
Terkait keluhan warga bahwa sampah tidak pernah dipungut, Fransiska menjelaskan bahwa saat ini hanya terdapat dua petugas kebersihan aktif. Sebagian petugas lainnya gagal dalam seleksi PPPK atau terkendala batas usia.
Kebutuhan Bantuan versus Kewajiban Sosial
Fransiska juga menyampaikan bahwa dari total 415 kartu bantuan, kini meningkat menjadi 830 kartu. Artinya, banyak warga memegang dua kartu dan tetap hanya membayar Rp 48.000 pertahun.
“Yang menerima bantuan ini juga harus sadar, mereka dapat dari dana negara. Jadi ada tanggung jawab moral untuk berkontribusi, walau ringan. Kalau semua hanya mau terima, tanpa mau memberi balik, bagaimana program bisa berkelanjutan ” tegasnya.
Ia pun mengungkap bahwa pemerintah kelurahan telah berkoordinasi dengan Bupati Lembata, yang juga menekankan pentingnya kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah dalam memenuhi target Pendapatan Asli Daerah (PAD). ##BM