JAKARTA : WARTA-NUSANTARA.COM– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (menetapkan 11 orang sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan terkait pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Mereka ditetapkan sebagai tersangka pasca terjaring Operasi Tangkap Tangan(OTT).
Adapun, 11 tersangka tersebut yakni, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan (IEG) ; Dirjen Binwasnaker dan K3, Fahrurozi (FRZ); Direktur Bina Kelembagaan, Hery Sutanto (HS); Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personil K3, Irvian Bobby Mahendro (IBM).
Kemudian, Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja, Gerry Aditya Herwanto Putra (GAH); Sub Koordinator Keselamatan Kerja Dit. Bina K3, Subhan (SUB); Sub Koordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja, Anitasari Kusumawati (AK).
Selanjutnya, Sekarsari Kartika Putri (SKP) selaku Subkoordinator; Supriadi (SUP) selaku Koordinator; Temurila (TEM) selaku pihak PT KEM Indonesia; dan Miki Mahfud (MM) selaku pihak PT KEM Indonesia. KPK telah menemukan sedikitnya dua alat bukti dalam menetapkan 11 tersangka tersebut.
“KPK kemudian menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan 11 orang sebagai tersangka,” kata Ketua KPK, Setyo Budiyanto saat menggelar konpers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat (22/8/2025).
Sejumlah pejabat Kemnaker tersebut diduga kongkalikong untuk melakukan pemerasan terkait pengurusan sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). KPK menemukan modus penggelembungan dana tarif sertifikasi K3 yang seharusnya hanya Rp 275 ribu menjadi Rp 6 juta.
“Ketika kegiatan tangkap tangan KPK mengungkap bahwa dari tarif sertifikasi K3 sebesar Rp 275.000, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp 6.000.000,” kata Setyo.
“Itu terjadi karena adanya tindak pemerasan
dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan pembuatan sertifikasi K3 yang tidak membayar lebih,” sambungnya.
Setyo mengaku prihatin dengan pemerasan yang dilakukan para oknum pejabat Kemnaker. Sebab, tarif Rp6 juta yang dipatok untuk sertifikasi K3 lebih tinggi dari Upah Minimum Regional (UMR) para buruh.
“Biaya sebesar Rp 6.000.000 tersebut bahkan dua kali lipat dari rata-rata pendapatan atau upah (UMR) yang diterima para pekerja dan buruh kita,” tegas Setyo.
Atas penerimaan uang dari selisih antara yang dibayarkan oleh para pihak pengurus penerbitan sertifikat K3 kepada perusahaan jasa K3 dengan biaya yang seharusnya (sesuai tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP), kemudian uang tersebut mengalir ke beberapa pihak, yaitu sejumlah Rp 81 miliar.
Adapun, uang sebesar Rp 81 miliar tersebut mengalir ke sejumlah pejabat Kemnaker dengan rincian sebagai berikut:
1. Pada tahun 2019-2024, Irvian Bobby diduga menerima aliran uang sejumlah Rp 69 miliar melalui perantara. Uang tersebut selanjutnya digunakan untuk belanja, hiburan, DP rumah, setoran tunai kepada Gerry Aditya Herwanto Putra, Hery Sutanto, dan pihak lainnya. Serta digunakan untuk pembelian sejumlah aset seperti beberapa unit kendaraan roda empat hingga penyertaan modal pada tiga perusahaan yang terafiliasi PJK3.
2. Sementara itu, Gerry Aditya Herwanto diduga menerima aliran uang sejumlah Rp 3 miliar dalam kurun tahun 2020 – 2025, yang berasal dari sejumlah transaksi, diantaranya : setoran tunai mencapai Rp 2,73 miliar; transfer dari Irvian sebesar Rp 317 juta; dan dua perusahaan di bidang PJK3 dengan total Rp 31,6 juta. Uang tersebut digunakan Gerry untuk keperluan pribadi, dibelikan aset dalam bentuk satu unit kendaraan roda empat sekitar Rp 500 juta dan transfer kepada pihak lainnya senilai Rp 2,53 miliar.
3. Selanjutnya, Subhan diduga menerima aliran dana sejumlah Rp 3,5 miliar pada kurun waktu 2020-2025, yang diterimanya dari sekitar 80 perusahaan di bidang PJK3. Uang tersebut digunakan untuk keperluan pribadi diantaranya: transfer ke pihak lainnya, belanja, hingga melakukan penarikan tunai sebesar Rp 291 juta.
4. Lalu, Anitasari Kusumawati diduga menerima aliran dana sejumlah Rp 5,5 miliar pada kurun waktu 2021-2024, dari pihak perantara. Atas penerimaan tersebut, aliran dana juga diduga mengalir ke pihak-pihak lainnya.
5. Lantas, sejumlah uang tersebut mengalir kepada pihak penyelenggara negara yakni, Immanuel Ebenezer Rp 3 miliar pada Desember 2024; FAH dan HR sebesar Rp 50 juta per minggu; HS lebih dari Rp 1,5 miliar selama kurun waktu 2021-2024; serta Sdr. CFH berupa satu unit kendaraan roda empat. *** (MCOM/WN-01)