“Festival Muro Lembata” : Harapan Masyarakat Adat, “Pau Ribu Gota Ratu”
LEMBATA : WARTA-NUSANTARA.COM– Suasana Desa Kolontobo, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, dipenuhi pesona kekhidmatan pada Jumat, 22 Agustus 2025 ketika masyarakat adat lima desa pemilik wilayah Muro (Teluk) menggelar Festival Buka Muro. Ritual yang sarat dengan nilai sakral ini merupakan cara masyarakat adat menjaga hubungan harmonis dengan alam, sekaligus menandai awal musim panen hasil laut.
Lima desa pemilik teluk Muro, yakni Dikesare, Tapo Baran, Lamatokan, Todanara, dan Kolontobo, hadir lengkap dalam prosesi adat tersebut. Upacara yang digelar setiap beberapa tahun sekali ini diyakini mampu menjaga kelestarian biota laut, serta menjadi pengingat bahwa laut bukan sekadar sumber hidup, tetapi juga bagian dari warisan leluhur yang harus dihormati.
Hadir dalam kesempatan ini, Linus Lusi, Putra Ileape, Lembata, mantan Penjabat Walikota Kupang mewakili Gubernur NTT, serta rombongan Anggota DPRD Provinsi di antaranya Viktor Mado Watun, Alex Ofong, Leo Ledo, dan Astria Blandina Gaidaka. Dari pemerintah daerah, hadir Yakobus Wuwur, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lembata, bersama Ketua DPRD Kabupaten Lembata Syafruddin Sira dan sejumlah anggota dewan lainnya, termasuk Tokoh Adat Sebastianus Muri.
Rangkaian Ritual
Prosesi dimulai dengan ritual minta leluhur Lewotanah yang dilaksanakan di pusat kampung (Lewokukung). Tuak putih menjadi simbol persembahan kepada leluhur, kemudian dilanjutkan dengan pau boi atau pemberian sesajian bagi “pemilik laut”. Setelah upacara, masyarakat bersama-sama memanjatkan doa syukur serta permohonan restu agar hasil laut tahun ini berlimpah.
“Ini adalah ungkapan syukur sekaligus permintaan maaf kepada alam. Jika tahun lalu ada kesalahan dari kami, maka lewat ritual ini kami memohon ampun dan restu. Semoga hasil laut tahun ini mencukupi kebutuhan masyarakat,” ungkap Yakobus Asan, Atamolan atau pemimpin ritual, kepada Warta Nusantara, Jumat, (22/08)
Pandangan Generasi Muda
Anggota DPRD Provinsi NTT, Astria Blandina Gaidaka, yang turut hadir, mengaku terkesan dengan tradisi ini.
“Saya baru pertama kali menyaksikan ritual adat seperti ini. Muro ditutup selama dua tahun, dan masyarakat tidak boleh melaut sebelum dibuka secara adat. Ini luar biasa, budaya yang harus kita pertahankan,” ujarnya.
Astria juga menekankan pentingnya keterlibatan generasi muda. “Anak-anak muda yang tumbuh di era digital perlu datang, melihat, dan melestarikan budaya kita. Tradisi ini bukan sekadar ritual, tetapi identitas dan warisan leluhur yang harus dijaga bersama,” tambahnya.
Penjaga Harmoni Alam
Festival Muro bukan hanya seremoni adat, tetapi juga sebuah pesan kuat tentang kearifan lokal dalam menjaga ekologi laut. Dengan menahan diri untuk tidak melaut hingga waktu yang ditentukan adat, masyarakat Muro secara tidak langsung memberi kesempatan bagi ekosistem laut untuk pulih dan berkembang. *** (#BM-WN)